Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rongga Mulut

2.1.1 Embriologi Rongga Mulut

Perkembangan bibir dan palatum memiliki perbedaan waktu

pembentukan. Bibir dibentuk pada minggu kedelapan usia kehamilan dan

langit-langit (palatum) pada minggu ke 10-12 (Nahai, et al., 2005).

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.1
Tonjolan muka

Berdasarkan gambar 2.1, terbentuknya 5 tonjolan muka telah terbentuk

pada minggu keempat. Diantaranya adalah: processus frontonasalis,

sepasang processus maxillaris, sepasang processus mandibularis. Pada

minggu kelima, tanda letak (placodes) masuk untuk membentuk lubang

hidung, seperti tampak pada gambar 2.2 (Burg, et al., 2016; Sinnatamby,

2011; Sadler, 2012).

4
5

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.2
Bentukan lubang hidung

Sepasang processus maxillaris telah berkembang ke medial dan

mendorong sepasang tonjolan nasalis medial pada minggu keenam. Fusi dari

tonjolan nasalis medial membentuk: Filtrum, bibir tengah atas, ujung hidup

dan Columella. Fusi dari sepasang tonjolan maxillaris dengan sepasang

tonjolan nasalis medial membentuk bibir atas sempurna (tonjolan maxillaris

membentuk bibir lateral). Sedangkan tonjolan nasalis lateralis membentuk

ala nasalis bilateral, seperti tampak pada gambar 2.3 (Sadler, 2012; Singh &

Pal, 2007).

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.3
Bentukan ala nasalis bilateral

Pembentukan palatum dimulai pada akhir minggu kelima dari

perkembangan dan sempurna pada minggu kedua belas. Dikatakan sempurna

apabila telah terbentuk palatum primer dan palatum sekunder yang dibatasi
6

oleh foramen incisivus, seperti tampak pada gambar 2.4 (Burg, ML, et al,

2016).

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.4
Palatum primer dan palatum sekunder dibatasi oleh foramen incisivus

a. Palatum Primer

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.5
Bentukan Palatum Primer

Palatum primer terdiri dari arcus alveolaris maxillaris dengan 4 incisors

dan palatum durum di depan foramen incisivus. Palatum primer terbentuk

sebelum palatum sekunder, seperti tampak pada gambar 2.5 (Dudek, 2014)
7

b. Palatum Sekunder

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.6
Bentukan palatum sekunder

Selama minggu keenam, pertumbuhan palatum sekunder seperti rak

(Shelf) dari processus maxillaris bilateral, tumbuh secara vertical kebawah

pada kedua sisi dari lidah, seperti tampak pada gambar 2.6 (Smith, 2013;

Dudek, 2014)

Selama minggu ketujuh, lidah pindah kebawah dan bentukan rak (shelf)

berpindah tempat ke posisi horizontal dibawah lidah. Fusi palatum terjadi

secara haluan dari depan ke bekang dan sempurna satu minggu kemudian

dengan adanya fusi uvula (Smith, 2013; Dudek, 2014)..

2.1.2 Anatomi Rongga Mulut

2.1.2.1 Bibir

Bibir berbeda dari struktur sekitarnya. Bibir atas dimulai dari lubang hidung

dan dasar ala nasi setiap sisi dan berakhir di lateral pada lipatan nasolabial. Bibir atas

dibagi menjadi subunit oleh phitral columns. Phitral columns terbentuk oleh serat m.

orbicularis oris kontralateral yang melalui garis tengah. Lekukan ditengah antar

philtral columns disebut phitral groove. Cupid’s bow merupakan bagian persimpangan

kulit dan vermilion diantara phitral columns. Bibir bagian bawah dimulai dari lipatan
8

nasolabial di lateral dan dibatasi oleh lipatan labiomental. Bibir atas dan bawah

menyatu di komisura, seperti tampak pada gambar 2.1Invalid source specified..

Invalid source specified.

Gambar 2.7
Anatomi bibir normal A Philtral columns B Cupid’s bow C Komisura D
White roll E Vermillion G Philtral groove

Bagian kulit dan vermilion dibatasi oleh bagian putih disebut white roll. Warna

dan lekukan white roll dibentuk oleh serat m. orbicularis oris, dimana ketebalannya

semakin berkurang ke arah komisura seperti vermillion. Vermillion terdiri dari epitel

stratified squamous di bagian luar dan transisi menjadi epitel squamous di dalam mulut

Invalid source specified..

Otot daerah rahang atas yang bertanggung jawab atas elevasi bibir atas meliputi

m. zygomaticus mayor, m. zygomaticus minor, m. levator labii superioris alaque nasi,

m. levator labii superioris, dan m. levator anguli oris. Penarikan dan depresi bibir

bagian bawah oleh m. depressor anguli oris dan m. depressor labii. Otot di daerah

intermaksila meliputi m. orbicularis oris, m. buccinator, dan m. risosius. M.


9

orbicularis oris adalah otot bibir yang paling penting, berfungsi sebagai sfingter dan

untuk bicara Invalid source specified..

Supplai darah ke bibir berasal dari arteri karotis eksterna yang diteruskan ke

arteri fasialis. Arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior dan

inferiorInvalid source specified..

Inervasi motorik otot bibir dipersarafi oleh cabang nervus fasialis (VII). Cabang

zygomaticus dan buccal berfungsi untuk elevasi, sedangkan nervus mandibular

marginal menginervasi otot depresor bibir. Inervasi sensorisnya dipersyarafi oleh

cabang infraorbital (V2) dan mental (V3) dari nervus trigeminal Invalid source

specified..

(Zol B & Mark, 2007)

Gambar 2.8
Anatomi Bibir
10

2.2 Sumbing Bibir

2.2.1 Definisi Sumbing Bibir

Sumbing bibir merupakan cacat berupa celah pada bibir atas yang dapat

berlanjut sampai ke gusi, rahang dan langit-langit (Bisono, 2003).

2.2.2 Etiologi Sumbing Bibir

Etiologi sumbing bibir belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa

faktor yang diduga menjadi pencetus terjadinya sumbing bibir. Secara garis besar,

faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya sumbing bibir dalam 2 kelompok,

yaitu:

1. Heredity

Keluarga yang memiliki satu anak atau orang tua yang memiliki sumbing

bibir dan langit-langit, risiko anak pada kehamilan berikutnya meiliki sumbing

bibir dan langit-langit adalah 4%. Apabila dua anak sebelumnya memiliki

sumbing bibir dan langit-langit, risikonya meningkat menjadi 9%, dan jika satu

orang tua dan satu anak terkena dampak sebelumnya, risiko untuk anak-anak

dari kehamilan berikutnya adalah 17%. Untuk keluarga dengan anak yang

memiliki sumbing langit-langit, risiko sumbing langit-langit untuk kehamilan

berikutnya adalah 2%, 6% bila satu orang tua memiliki sumbing langit-langit,

dan 15% jika satu orang tua dan satu anak sebelumnya memiliki sumbing

langit-langit (Hopper, 2014)

2. Lingkungan

a. Faktor usia ibu


11

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan

antara usia ibu dengan kejadian sumbing bibir. Hasil penelitian masih

diperdebatkan, akan tetapi penelitian terakhir dilakukan Berg (2015)

menunjukkan peningkatan usia ibu akan meningkatkan risiko memiliki bayi

dengan sumbing bibir.

b. Penggunaan obat-obatan pada ibu

Penggunaan obat pada ibu hanya memberikan pengaruh kecil untuk

sumbing sumbing bibir. Namun penelitian telah menunjukkan bahwa

penggunaan antagonis folat maternal (asam valproat dan karbamazepin),

penghambat reduktase dihydrofolate (trimetoprim, triameterene, dan

sulfasalazine), benzodiazepin, nsaid, retinoid, dan kortikosteroid dikaitkan

dengan peningkatan sumbing bibir (Hernandez, et al, 2012; Ahmed, 2017).

Paparan obat antikonvulsan yaitu fenitoin selama 5-6 minggu masa

kehamilan dapat menyebabkan sumbing bibir. Fenitoin dapat menghambat

channel kalium, natrium dan kalsium intrauterine. Hal tersebut akan

memperlambat jantung embrio yang menyebabkan hipoksia

berkepanjangan pada embrio sehingga meningkatkan risiko terbentuknya

sumbing bibir (Richard, et al. 2007).

c. Penyakit ibu

Ibu dengan diabetes mellitus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk

memiliki anak dengan sumbing bibir (Ahmed, et al, 2014).

d. Nutrisi
12

Peran asupan nutrisi ibu dalam perkembangan malformasi bawaan

pada anak telah dipelajari dengan tujuan untuk menjelaskan etiologi cacat

lahir spesifik dan menginformasikan strategi pencegahan yang efektif.

Bukti menunjukkan bahwa asupan nutrisi ibu mempengaruhi risiko

melahirkan anak dengan sumbing bibir.

- Secara khusus, kekurangan vitamin B9, yang lebih dikenal dengan folat

(atau bentuk sintesisnya, asam folat), telah lama dikaitkan dengan risiko

malformasi kongenital (Ahmed, et al, 2014).

- Asupan vitamin dari ibu selain folat, seperti vitamin B lainnya

(misalnya riboflavin), zat besi, seng, dan asam amino kolin, metionin,

dan sistein, dikaitkan dengan penurunan risiko memiliki anak dengan

sumbing bibir (Ahmed, et al, 2014).

- Vitamin A diketahui memainkan peran penting dalam perkembangan

janin. Asupan vitamin A yang kurang dan berlebihan meningkatkan

risiko cacat lahir, termasuk sumbing bibir pada hewan dan manusia

(Ahmed, et al, 2014).

2.2.3 Pembentukan Sumbing Bibir

Kegagalan penyatuan (Fusion) tonjolan maxillaris dan nasalis secara unilateral

atau bilateral menghasilkan sumbing bibir dengan/atau palatum primer. Kegagalan

penyatuan bentukan rak palatum menghasilkan sumbing pada palatum sekunder.


13

(Smith's & Grabb, 2014)


Gambar 2.9
Pembentukan Sumbing

2.2.4 Klasifikasi

Klasifikasi sumbing bibir satu sisi (unilateral) dibagi menjadi:

1. Sumbing bibir satu sisi lengkap (Complete Unilateral Cleft Lip) adalah

sumbing bibir pada satu sisi bibir atas sampai ke lubang hidung, mengenai

prosesus alveolaris dan kadang-kadang sampai palatum durum dan

palatum mole (Oneida A & Arosarena, 2007).

2. Sumbing bibir satu sisi tidak lengkap (Incomplete Unilateral Cleft Lip)

adalah sumbing bibir pada satu sisi atas tanpa ada tanda-tanda anomaly

pada prosesus alveolaris (Oneida A & Arosarena, 2007).


14

2.2.5 Tingkat Keparahan Sumbing Bibir

Bermudez dkk (2013) mengklasifikasikan sumbing bibir menjadi tiga

derajat tingkat keparahan yaitu:

a. Tingkat keparahan ringan yaitu hanya sumbing dibagian bibir inkomplit

(jembatan jaringan sampai dengan tepi vermillion).

b. Tingkat keparahan sedang yaitu sumbing bibir dapat inkomplit (jembatan

jaringan hanya pada nasal sill) atau komplit (adanya distorsi ala nasi

minim).

c. Tingkat keparahan sumbing berat yaitu sumbing bibir komplit (distorsi ala

nasi tampak nyata.

2.3 Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan proses

paling kompleks dalam fisiologi manusia (Theddeus O.H., 2009). Jenis penyembuhan

yang paling sederhana terlihat pada penanganan luka oleh tubuh seperti insisi

pembedahan, dimana pinggir luka dapat saling didekatkan agar proses penyembuhan

dapat terjadi. Penyembuhan semacam itu disebut penyembuhan primer atau healing by

first intention.

Setelah terjadi luka maka tepi luka dihubungkan oleh sedikit bekuan darah, yang

fibrinnya bekerja seperti lem. Segera setelah itu terjadi reaksi peradangan akut pada

luka itu, dan sel-sel radang, khususnya makrofag, memasuki bekuan darah dan mulai

menghancurkannya. Pada luka lainnya, diperlukan jahitan untuk mendekatkan kedua

tepi luka sampai terjadi terjadinya penyembuhan.


15

Jahitan dapat dilepas jika sudah terjadi organisasi dan regenerasi epitel pada saat

dimana tepi luka tidak akan membuka lagi, jika benang dilepas. Jadi, pada daerah kulit

dimana secara relative terdapat tegangan yang kecil, maka benang bedah dapat

dilepaskan dalam beberapa hari, lama sebelum kekuatan maksimal scar tercapai, dan

sebelum diletakkannya kolagen dalam jumlah yang cukup (Sabiston, 2017)

(Sabiston, 2017)

Gambar 2.10
Penyembuhan Luka Primer

Jenis penyembuhan luka yang lain adalah penyembuhan luka sekunder (penyembuhan

spontan). Penyembuhan luka sekunder yaitu penyembuhan luka yang dibiarkan tetap terbuka.

Luka akan menutup spontan dengan kontraksi dan re-epitelisasi luka. Penyembuhan sekunder

memerlukan waktu yang lebih lama.

(Sjamsuhidajat & Jong, 2010)

Gambar 2.11
Penyembuhan Luka Sekunder
16

2.3.1 Fase Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi, proliferasi,

dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan

(Sjamsuhidajat & Jong, 2010)

a. Hemostasis dan Inflamasi

Fase inflamasi merupakan fase pertama proses penyembuhan luka.

Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan

tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan

pembuluh darah yang putus (retraksi) dan hemostasis. Hemostasis terjadi karena

trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama

dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh

darah. Trombosit yang berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoaktratan

yang menarik sel radang, mengaktifkan fibroblast lokal dan sel endotel serta

vasokonstriktor. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat & Jong,

2010)

Setelah hemostasis proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade

komplemen. Sel mast dan jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin

yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan,

penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem

dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik radang menjadi jelas berupa warna

kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri

(dolor), dan pembengkakan (tumor) (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).


17

Proses hemostasis dan inflamasi terjadi dengan mulai dilepaskannya

chemotactic factor dari lokasi luka. Definisi luka, dimana terjadi rusaknya

integritas jaringan, yang mengarah ke pembagian pembuluh darah dan kontak

langsung antara matriks ekstraseluler dengan platelet. Paparan antara kolagen

subendotelial dengan platelet menyebabkan terjadinya agregasi platelet,

degranulasi, dan aktivasi dari kaskade koagulasi. Platelet α mengeluarkan

sejumlah bahan wound-active, seperti PDGF, TGF-β, PAF, fibronektin, dan

serotonin. Selain mencapai hemostasis, bekuan fibrin berfungsi sebagai perancah

sel inflamasi seperti leukosit PMNs, neutrofil, dan monosit untuk bermigrasi ke

luka (Brunicardi, et al., 2006).

Infiltrasi selular setelah cedera mengalami proses dengan urutan yang telah

ditentukan. PMNs adalah sel pertama yang menginfiltrasi lokasi luka, yang

memuncak pada 24 hingga 48 jam sejak luka timbul. Peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, pelepasan prostaglandin lokal, dan adanya zat chemotactic

seperti faktor komplemen, IL-1, TNF-α, TGF-β, platelet faktor 4, atau semua zat

dari bakteri merangsang neutrofil bermigrasi (Brunicardi, et al., 2006)

Peran utama dari neutrofil adalah fagositosis bakteri dan debris jaringan.

PMNs juga merupakan sumber utama sitokin inflamasi selama fase awal,

khususnya TNF-α, yang mungkin memiliki pengaruh signifikan terhadap

angiogenesis selanjutnya dan sintesis kolagen. PMNs juga melepaskan protease

seperti collagenase, yang berpartisipasi dalam matriks dan degradasi substansi

dasar dalam fase awal penyembuhan luka. Selain peran mereka dalam membatasi

infeksi, sel-sel ini tidak muncul untuk memainkan peran dalam deposisi kolagen
18

atau akuisisi kekuatan luka mekanik. Sebaliknya, faktor neutrofil telah terlibat

dalam menunda penutupan luka epitel (Brunicardi, et al., 2006).

Makrofag, seperti neutrofil, berpartisipasi dalam debridement luka melalui

fagositosis dan berkontribusi untuk stasis mikro melalui oksigen radikal dan

sintesis oksida nitrat. Fungsi makrofag yang paling penting adalah aktivasi dan

perekrutan sel lain melalui mediator seperti sitokin dan growth factor, serta

interaksi langsung dengan sel-sel dan ICAM. Dengan melepaskan mediator

seperti growth factor TGF-β, VEGF, IGF, EGF, dan laktat, makrofag mengatur

proliferasi sel, sintesis matriks, dan angiogenesis. Makrofag juga memainkan

peran penting dalam mengatur angiogenesis dan deposisi matriks dan remodeling

(Brunicardi, et al., 2006).

Limfosit-T adalah sel inflamasi lain yang secara rutin menginvasi luka.

Dengan jumlah lebih kecil dari makrofag, limfosit-T mengalami puncaknya

sekitar 1 minggu post-injury dan sebagai jembatan transmisi dari fase inflamasi

ke fase proliferasi penyembuhan. Meskipun diketahui penting untuk

penyembuhan luka, peran limfosit dalam penyembuhan luka tidak sepenuhnya

diketahui. Data signifikan mendukung hipotesis bahwa limfosit T memainkan

peran aktif dalam modulasi lingkungan luka. Penipisan dari limfosit-T

menurunkan kekuatan dan konten kolagen, sementara penipisan selektif dari

subset CD8+ limfosit T supresor meningkatkan penyembuhan luka. Namun,

penipisan subset helper CD4 tidak berpengaruh. Limfosit juga memberikan suatu

efek down-regulating pada sintesis kolagen fibroblast oleh interferon IFN-ã,

TNF-á, dan IL-1. Efek ini hilang jika sel-sel secara fisik terpisah, menunjukkan
19

bahwa sintesis matriks ekstraseluler diatur tidak hanya melalui faktor larutan

tetapi juga oleh kontak langsung sel antara limfosit dan fibroblast (Brunicardi, et

al., 2006)

Fase ini merupakan bagian yang esensial dari proses penyembuhan dan

tidak ada upaya yang dapat menghentikan proses ini. Jika proses ini diperpanjang

oleh adanya jaringan yang mengalami devitalisasi secara terus menerus, adanya

benda asing, pengelupasan jaringan yang luas, trauma kambuhan, atau oleh

penggunaan yang tidak bijaksana preparat topikal untuk luka, seperti antiseptik,

antibiotik, atau krim asam, maka penyembuhan diperlambat dan kekuatan

regangan luka menjadi tetap rendah (Morison, 2004)

a. Fase Proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol

adalah proses proliferasi fibroblast. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang

belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin,

dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan

mempertautkan tepi luka. Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan

kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang cenderung

mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast,

menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan

luka mencapai 25% jaringan normal (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).

Fase proliferasi adalah fase kedua dari penyembuhan luka dan prosesnya

berkisar dari hari ke-4 sampai ke-12. Selama fase ini, kontinuitas jaringan

dibentuk kembali. Fibroblast dan sel endotel adalah kumpulan sel terakhir
20

menginvasi daerah luka, dan chematactic factor terkuat untuk fibroblast

adalah PDGF. Saat memasuki lingkungan luka, fibroblast yang masuk harus

terlebih dahulu berproliferasi, dan kemudian menjadi aktif untuk

melaksanakan fungsi utama mereka yaitu renovasi sintesis matriks. Aktivasi

ini terutama dimediasi oleh sitokin dan growth factor yang dilepaskan oleh

makrofag (Brunicardi, et al., 2006).

Fibroblast yang terisolasi pada luka mensintesis kolagen lebih banyak

daripada fibroblast biasa, mereka berkembang biak lebih sedikit, dan mereka

secara aktif melakukan kontraksi matriks. Meskipun jelas bahwa lingkungan

luka kaya sitokin memainkan peran penting dalam perubahan fenotipik dan

aktivasi mediator, meskipun hanya beberapa yang diketahui. Sel endotel juga

berproliferasi secara ekstensif selama fase penyembuhan. Sel-sel ini

berpartisipasi dalam pembentukan kapiler baru (angiogenesis), suatu proses

yang penting untuk keberhasilan penyembuhan luka. Sel endotel bermigrasi

dari venula utuh yang dekat dengan luka. Migrasi mereka, replikasi, dan

pembentukan tubulus baru kapiler berada di bawah pengaruh sitokin dan

growth factor seperti TNF-á, TGF-â, dan VEGF. Meskipun banyak sel lain

yang menghasilkan VEGF, tetapi makrofag merupakan sumber utama dalam

penyembuhan luka, dan VEGF reseptor utamannya terletak pada sel endotel

(Brunicardi, et al., 2006).

Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan

kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang

berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri
21

dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.

Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis.

Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab

epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti

setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka

(Sjamsuhidajat & Jong, 2010)

Epitelisasi terjadi sampai tiga kali lebih cepat di lingkungan yang

lembab (di bawah balutan oklusif atau balutan semipermiabel) daripada di

lingkungan yang kering (Morison, 2004)

Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan

pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses

pematangan dalam fase penyudahan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010)

b. Maturasi dan Remodeling

Maturasi dan remodeling jaringan parut dimulai selama fase

fibroplastik, dan ditandai oleh reorganisasi kolagen yang telah disintesis

sebelumnya. Kolagen adalah dipecah MMPs, dan kolagen pada luka

merupakan hasil keseimbangan antara kolagenolisis dan sintesis kolagen. Ada

pergeseran pada sintesis kolagen dan akhirnya kembali terjadi pembentukan

matriks ekstraseluler yang terdiri dari jaringan parut kaya kolagen yang relatif

aselular (Brunicardi, et al., 2006)

Luka dan integritas kekuatan mekanik di luka baru ditentukan oleh

kuantitas dan kualitas kolagen yang baru disimpan. Pengendapan matriks pada

lokasi luka mengikuti pola karakteristik fibronektin dan kolagen tipe III
22

merupakan perancah matriks awal glukosaminoglikan dan proteoglikan

merupakan komponen matriks signifikan berikutnya, dan kolagen tipe I adalah

matriks akhir. Setelah beberapa minggu pasca injuri jumlah kolagen dalam

luka mencapai plateau, tapi kekuatan terus meningkat selama beberapa bulan

lagi. Pembentukan fibril dan cross-linking fibril menghasilkan penurunan

kelarutan kolagen, peningkatan kekuatan, dan peningkatan ketahanan

terhadap degradasi enzimatik matriks kolagen. Remodeling jaringan parut

berlanjut terus hingga 6 sampai 12 bulan pasca cedera, dengan secara bertahap

menghasilkan jaringan parut yang matang, avaskular, dan aselular

(Brunicardi, et al., 2006).

Kolagenolisis adalah hasil dari aktivitas kolagenase, sebuah

metalloproteinase matriks yang membutuhkan aktivasi baik sintesis kolagen

maupun lisin kolagen, keduanya dikendalikan oleh sitokin dan growth factor.

Beberapa faktor mempengaruhi kedua aspek remodeling kolagen tersebut.

Sebagai contoh, TGF-â meningkatkan transkripsi kolagen baru dan juga

menurunkan perusahaan kolagen dengan menstimulasi sintesis inhibitor

jaringan dari metalloproteinase. Peristiwa hemostasis ini, deposisi kolagen

dan degradasi, adalah penentu utama kekuatan dan integritas luka (Brunicardi,

et al., 2006)

2.3.2 Pembentukan scar

Dalam 24 jam, karena rangsangan PDGF, fibroblast dalam jaringan subkutis

berpindah. Segera setelah itu, kolagen dikeluarkan, dimulai proses penjahitan, dan
23

proses penyatuan kuat antara tepi-tepi luka. Pada luka yang sudah sembuh. Pengukuran

hidroksiprolin tinggi pada hari ke 4-12, dan akan mulai berkurang dengan cepat.

Kekuatan tegangan luka terus meningkat bila kolagen matur. Dua proses utama yang

bekerja selama maturase: (1) ikatan dalam molekul-molekul kolagen dan antara serat-

serat kolagen serta (2) ‘remodeling’ arah berkas kolagen (Sabiston, 2017).

Untuk melakukan ‘remodeling’, berkas kolagen yang sudah ada akan dilarutkan

oleh kolagenase jaringan; jaringan baru terbentuk dan tersusun untuk menahan garis

tegangan melewati luka. Jahitan antar jaringan tepi luka menimbulkan penyembuhan

yang baik. Pada penyembuhan sederhana, kekuatan kolagen dan kecepatan mencapai

maturase bervariasi sesuai keparahan luka. Jadi luka pada kulit akan sembuh dengan

baik dalam waktu 2-3 minggu (Sabiston, 2017).

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka terbagi menjadi dua:

1. Faktor Lokal

a. Oksigenasi

Oksigenasi merupakan factor terpenting yang berpengaruh pada kecepatan

penyembuhan. Hal ini tampak secara klinik: pada daerah dengan

vaskularisasi yang baik, seperti wajah dan lidah. Penyembuhan terhalang

apabila jahitan terlalu ketat.

2. Faktor Umum

a. Nutrisi
24

Kekurangan vitamin C menghalangi hidroksilasi prolin dan lisin, sehingga

kolagen tidak dikeluarkan oleh fibroblast.

b. Usia

Usia dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka seperti:

perubahan vaskuler mengganggu sirkulasi ke daerah luka, penurunan

fungsi hati mengganggu sintesis faktor pembekuan, respons inflamasi

lambat, pembentukan antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen

kurang lunak, jaringan parut kurang elastis.

Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan yang terjadi dikulit

yaitu frekuensi penggunaan sel epidermis, respon inflamasi terhadap

cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi barier kulit.

Kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau

kematangan usia seseorang, namun selanjutnya proses penuaan dapat

menurunkan sistem perbaikan sel sehingga dapat memperlambat proses

penyembuhan luka (Moya, 2004).

Menurut (Alice, et al., 2014) bahwa anak-anak yang sehat tanpa

adanya gangguan seperti status gizi buruk atau gangguan perkembangan

saraf penyembuhan lukanya lebih cepat.

c. Steroid

Steroid menghalangi penyembuhan dengan menekan proses peradangan

dan menambah lisis kolagen. Efeknya sangat nyata selama 4 hari pertama,

setelah itu efeknya berkurang hanya untuk menghambat ketahanan normal

terhadap infeksi. (Sabiston, 2017)


25

2.3.3 Kualitas Scar

Penyembuhan luka sering berakhir dengan meninggalkan scar. Scar pasca-

operasi ataupun trauma umunya akan sulit diprediksi. Walaupun scar terdiri dari

protein yang sama (kolagen) dengan jaringan yang digantikannya, namun komposisi

serat proteinnya yang berbeda,yaitu bukannya membentuk anyaman acak dari serat

kolagen seperti yang ditemukan pada jaringan normal melainkan membentuk anyaman

satu arah pada scar. Barisan kolagen dari scar ini mempunyai kualitas fungsional lebih

buruk dari pada kolagen yang teranyam acak.

Scar biasanya dibedakan dari kulit normal dari segi peninggian jaringan

(hypertrophy), perubahan warna (discoloration), pelebaran jaringan (spreading), dan

bekas jahitan yang tampak pada jaringan tersebut. Kualitas adalah baik buruknya

sesuatu. Kualitas scar adalah baik buruknya scar pasca operasi. Kualitas scar dapat

dinilai dari empat faktor, yaitu:

a. Hypertrophy (peninggian jaringan yang terjadi pada bekas luka operasi)

b. Discoloration (perubahan warna yang terjadi pada bekas luka operasi)

c. Spreading (pelebaran yang terjadi pada bekas luka operasi)

d. Suture Marks (bekas jahitan yang tampak pada bekas luka operasi)

Вам также может понравиться