Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DEMAM TIFOID
Disusun oleh:
Desi Haryani Putri
1102013075
Pembimbing:
dr. Natalina Soesilawati, Sp.A
1
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Tempat dan Tanggal Lahir : Tambun 03 Oktober 2017
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tambun Selatan Kab. Bekasi
Pendidikan :-
Tanggal Masuk RS : 12 September 2018
Tanggal Pemeriksaan : 13 September 2018
Tanggal Keluar RS : 17 September 2018
Ruangan : Sakura
IDENTITAS ORANGTUA PASIEN
Nama Ayah : Tn. H
Usia : 40 tahun
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SD
3
H. Riwayat Pasca Lahir
Tidak ada keluhan kelainan bawaan
I. Imunisasi
Pasien sudah diberikan imunisasi sesuai usia.
Macam Dasar
I II III IV
BCG ü (1 bulan)
DPT ü (2bln) ü (3bln) ü (4 bln)
Hepatitis B ü (lahir) ü (2 bln) ü (3bln) ü (4bln)
Hib ü (2 bln) ü (3bln) ü (4bln)
Polio ü (1bln) ü (2bln) ü (3 bln) ü (4bln)
Campak ü (9 bln)
4
B. Antropometri
• Berat Badan : 8,1 kg
• Tinggi Badan : 65 cm
• Status Gizi
Status Gizi Antropometri Berdasarkan WHO
Kesan gizi = Normal
C. Status generalis
• Kepala : Normocephale, rambut hitam
• Kulit : Kecoklatan, turgor baik, ikterik (-), rumple leed (-)
• Mata : Pupil bulat isokor, sekret (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
• Hidung : Deviasi septum (-), napas cuping hidung (-), sekret (-),
• Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (+)
• Leher : Pembesaran KGB (-)
• Paru-paru
− Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
− Palpasi : fremitus taktil dan fremitus vocal simetris, krepitasi (-)
− Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
− Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
5
• Jantung
− Inspeksi : Iktus cordis samar terlihat
− Palpasi : Iktus cordis teraba pulsasi
− Perkusi : Tidak dilakukan
− Auskultasi : BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
• Abdomen
− Inspeksi : Bentuk datar
− Palpasi : Hepatomegali (-), splenomegali (-)
− Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
− Auskultasi : Bising usus (+), nyeri tekan (-), turgor baik
• Ekstremitas : Akral hangat (+), sianosis (-), CRT < 2 detik
D. Pemeriksaan Neurologi
• Tanda rangsang meningeal:
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II :-
Kernique :-
Laseque :-
• Motorik : Normal, kesan hemiparesis (-)
• Sensorik : Normal
6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Paratyphi 1/180
Negatif
BH
V. RESUME
Seorang anak berusia 1tahun datang ke IGD RSUD Kab. Bekasi diantar oleh
orang tuanya dengan keluhan demam sejak 8 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun
dan dirasakan lebih tinggi terutama sore dan malam hari. Keluhan juga disertai
mencret dan untah sejak 2 hari SMRS.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan suhu 38,4°C. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pada mulut terdapat lidah kotor, pemeriksaan paru dan jantung dalam batas
normal abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium (+) dan ekstremitas dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 10.4, Ht: 31,3%, Leukosit: 3.200,
Trombosit: 370.000. Serologi S. Typhi O: 1/320, S. Typhi 0B: 1/180, S. Paratyphi BH:
1/180.
7
VI. DIAGNOSIS KERJA
Demam Typhoid
VII. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap
widal
VIII. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
Tirah baring
Diet makanan lunak yang mudah dicerna
Medikamentosa:
Inf Kaen 3B 10 tpm
Inj Ceftriakson 1 x 400 mg
Parasetamol drip 3x80 mg
Inj Ondansetron 3x1 mg
L-bio 2 x 1 sasch
Zink 1x 1cth
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
X. FOLLOW UP PASIEN
Tanggal 13 September 2018
Keterangan
S Demam (+), mencret (+) 1x, muntah (+) 1x
O KU: Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 90/50 mmhg
HR : 136 x/menit normal, teratur
RR : 42 x/menit
Suhu : 38,4°C
SpO2 : 97%
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Mulut : Lidah Kotor (+)
8
THT : Pernapasan cuping hidung (-/-)
Pulmo : Bronkovesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-), retraksi dada (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Bising usus (+), nyeri tekan (+), turgor baik
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), CRT <2 detik
A Demam tifoid
P Inf Kaen 3B 10 tpm
Inj Ceftriakson 1 x 400 mg
Parasetamol drip 3x80 mg
Inj Ondansetron 3x1 mg
L-bio 2 x 1 sasch
Zink 1x 1cth
9
Parasetamol drip 4x80 mg
L-bio 2 x 1 sasch
Zink 1x 1cth
10
Tanggal 16 September 2018
Keterangan
S Demam (-), mencret (-), muntah (-)
O KU: Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 100/60 mmhg
HR : 130 x/menit normal, teratur
RR : 42 x/menit
Suhu : 36,8°C
SpO2 : 99%
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Mulut : Lidah Kotor (+)
THT : Pernapasan cuping hidung (-/-)
Pulmo : Bronkovesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-), retraksi dada (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Bising usus (+), nyeri tekan (+), turgor baik
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), CRT <2 detik
A Demam tifoid
P Inf Kaen 3B 10 tpm
Inj Ceftriakson 1 x 400 mg
L-bio 2 x 1 sasch
Zink 1x 1cth
11
Tanggal 17 September 2018
Keterangan
S Demam (-), mencret (-), muntah (-)
O KU: Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
TD : 100/60 mmhg
HR : 130 x/menit normal, teratur
RR : 42 x/menit
Suhu : 36,6°C
SpO2 : 98%
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Mulut : Lidah Kotor (+)
THT : Pernapasan cuping hidung (-/-)
Pulmo : Bronkovesikuler (+/+), rh (-/-), wh (-/-), retraksi dada (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Bising usus (+), nyeri tekan (+), turgor baik
Ekstremitas: akral hangat (+), edema (-), CRT <2 detik
A Demam tifoid
P BLPL
Inf Kaen 3B 10 tpm
Inj Ceftriakson 1 x 400 mg
Parasetamol drip 4x80 mg
L-bio 2 x 1 sasch
Zink 1x 1cth
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
I. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkempanjangan,
ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial
dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari
hati, limpa, kelenjar limfe dan usus dan payer patch.
II. ETIOLOGI
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagel, tidak berkapsul,
tidak berbentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang
terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekuler
lipoposakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
III. EPIDEMIOLOGI
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa
dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai
saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara
keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan
216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per
100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara,
dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per
100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania
(kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya. (Nelwan, 2012)
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
13
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah
(Nelwan, 2012)
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi
World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit
tersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara
berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens
penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia
menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak
21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada
penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga
dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak
akurat. (Karyanti, 2012)
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit
bervariasi pada populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di
rumah sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa
penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi pada usia
kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis tidak tampak
seperti tifoid. (Karyanti, 2012)
Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis
infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat,
pemilihan antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri,
jumlah kuantitas inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor dari status imun
pejamu. (Karyanti, 2012)
IV. PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti
organisme, yaitu : (1). Penempelan dan invasi sel – sel M payer patch, (2). Bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag payer patch, nodus limfatikus
mesentrikus dan organ – organ ekstraintestinal sistem retikuloendotelial. (3).
Bakteri bertahan hidup didalam aliran darah. (4). Produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air kedalam lumen intestinal.
Bakteri salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak
14
bakteri yang mati, bakteri yang hidupakan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya diileum dan yeyenum, sel-sel M, sel epitel
khusus yang melapisi peyer patch, merupakan tempat intenalisasi salmonellla
typhi. Bakteri mencapai folikel limfa usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar
limfe mesentrika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan
RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi didalam
sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesentrika, hati dan
limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka
salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk
kedalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang paling disukai salmonella typhi adalah hati,
limpa, sum – sum tulang, kandung empedu dan peyer patch dari ileum terminal.
Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograd dari empedu. Eksresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
V. MANIFESTASI KLINIS
Pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5 - 40 hari dengan rata-rata antara
10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan
dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus
dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella, status nutrisi dan
imunologik pejamu serta lama sakit dirmahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit,
penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step
ladder temperatur chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4 demam
turun perlahan secara lisis. Pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat
demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai dengan gejala sistem
saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obstundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
15
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada
kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak
toksisk atau sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang
datang dengan syok hipovolemik, sebagai akibat kurang masukan cairan dan
makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi.
Pasien dapat mengeluh diare,obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode
diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi
dan ujungnya kemerahan, dijumpai hepatomegali dan splenomegali.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan pada anak indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak
dijumpai pada demam tifoid, bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
16
VI. DIAGNOSIS
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
17
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
18
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
19
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.
20
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah
dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
21
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
22
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
23
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku
dalam pelayanan penderita.
Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis
dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,
limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1
VII. TATALAKSANA
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
24
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
• Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
25
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
26
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
b) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
c) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
27
d) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
e) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
f) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik
karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.
IX. PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
28
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.1
X. PENCEGAHAN
• Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
29
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2
• Vaksin vi polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3
tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2
tahun.
30
DEMAM
A. Definisi
Demam atau pireksia merupakan kata yang diambil dari bahasa yunani yang berarti
api (pyro). Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu diatas normal yang
disebabkan perubahan pada pusat pengaturan suhu tubuh. Pengukuran suhu tubuh dapat
dilakukan secara oral, rektal, aksila dan membran tympani. Dikatakan demam apabila sebagai
berikut :
1. Temperatur oral >37,6C
2. Temperatur rektal >38C
3. Temperatur aksila berkisar antara 37,5 C
4. Temperatur membran timpani berkisar pada 37,6C
Suhu tubuh bervariasi pada setiap individunya, tergantung pada berbagai faktor;
antara lain umur, jenis kelamin, lingkungan, temperatur ruangan, tingkat aktivitas, dan
sebagainya. Peningkatan suhu tubuh tidak selalu mengisyaratkan terjadinya demam. Sebagai
contoh, peningkatan suhu tubuh pada seseorang akan meningkat pada keadaan peningkatan
metabolisme tubuh (latihan fisik), tetapi hal tersebut tidak didefinisikan sebagai demam,
karena pusat pengaturan suhu tubuh di otak berada pada batas normal.
B. Etiologi
Demam dapat disebabkan oleh suatu substansi yang dinamakan pirogen, yaitu
substansi atau zat yang dapat memicu demam. Pirogen terbagi menjadi pirogen endogen dan
pirogen eksogen.
Pirogen endogen antara lain ialah sitokin yaitu molekul yang merupakan bagian dari
sistem imun. Pirogen tersebut diproduksi oleh sel fagosit dan menyebabkan peningkatan pada
pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Pirogen endogen mayor antara lain; interleukin-1 (α
dan β), interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor-α. Pirogen endogen minor antara lain;
interleukin-8, tumor nekrosis faktor-β, protein inflamatorik makrofag, dan interferon. Sitokin
tersebut dilepaskan ke sirkulasi sistemik, dimana substansi tersebut akan bermigrasi ke organ
sirkumventrikular dari otak melalui absorpsi berbantuan melalui sawar darah otak. Sitokin
tersebut akan berikatan dengan reseptor endotelial pada pembuluh darah, atau berinteraksi
dengan sel mikroglia lokal. Ketika sitokin tersebut telah berikatan, jalur asam arakidonat
kemudian diaktifkan, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada regulasi termostat
hipotalamus.
31
Pirogen eksogen yang diketahui antara lain komponen dari dinding sel bakteri. Suatu
protein imunologis yang disebut lipopolysaccharide-binding protein (LBP) berikatan dengan
reseptor CD-14 dari makrofag. Hasil ikatan tersebut akan menyebabkan pelepasan berbagai
sitokin endogen, seperti interleukin-1, interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor. Dengan kata
lain, faktor pirogen eksogen tersebut akan merangsang pengeluaran pirogen endogen, yang
kemudian pada akhirnya merangsang jalur asam arakidonat.
Berdasarkan kaitan pirogen dengan produk mikroba, maka dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu pirogen mikrobial dan non-mikrobial, pirogen-pirogen tersebut antara
lain :
1. Pirogen mikrobial
- Bakteri gram positif
Pirogen utama bakteri gram positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan
dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini
menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri
gram negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang
disebabkan infeksi Pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang
melibatkan produksi eksotoksin oleh basil gram positif pada umumnya demam yang
ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram positif piogenik atau
bakteri gram negatif lainnya.
- Bakteri gram negatif
Pirogenitas bakteri gram negatif (misalnya E.coli dan Salmonela) disebabkan adanya
heat-stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen eksogen yang pertama kali
ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu
lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif
tergantung dari dosis (dose-related). Endotoksin gram negatif tidak selalu merangsang
terjadinya demam; pada bayi dan anak yang lebih kecil, infeksi gram negatif sering
memberikan manifestasi hipotermia.
- Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun 1958,
dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam
setelah disuntikkan virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara
lain dengan cara melakukan invasi langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis
terhadap komponen virus termasuk diantaranya pembentukan antibodi, induksi oleh
interferon dan nekrosis sel akibat virus.
32
- Jamur
Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika mikroba berada
dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya
leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai resiko
tinggi untuk terserang infeksi jamur invasif.
2.Pirog en non-mikrobial
- Fagositosis
Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk
terjadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun. Sel
mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL-1 dan terjadinya demam.
Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai sel yang bertanggung jawab
dalam memproduksi IL-1, oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan
agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam
darah perifer, juga tersebar dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus
limfatik, plasenta, ruang peritoneum, dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag
berasal dari granulocyte-monocyte colonyforming unit (GM-CFU) dalam sumsum
tulang, kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal beberapa hari sebagai
monosit yang beredar atau bermigrasi ke dalam jaringan yang akan berubah fungsi
dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan
penting dalam pertahanan tubuh termasuk diantaranya merusak dan memakan
mikroba, mengenal antigen, dan mempresentasikannya untuk menempel pada
limfosit, aktivasi limfosit-T, dan destruksi sel tumor. Keadaan yang berhubungan
dengan perubahan fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru lahir,
kortikosteroid dan terapi imunosupresif, lupus eritematosus sistemik. Dua produk
utama monosit-makrofag ialah IL-1 dan TNF.
- Kompleks antigen antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas dapat timbul baik sebagai akibat
reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau
oleh antigen yang diaktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, yang sebaliknya
akan merangsang monosit dan makrofag untuk melepas IL-1. Contoh demam yang
disebabkan dimediasi oleh reaksi imunologis diantaranya lupus eritematosus sistemik,
dan reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap
33
penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi
dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.
- Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik
androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan IL-1. Ethiocolanolon memproduksi
demam hanya bila disuntikkan intramuskular (bukan intravena), maka diduga demam
tersebut diakibatkan oleh pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan.
Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan
sindrom adrenogenital dan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of
unknown origin).
C. Patofisiologi Demam
Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu
demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2
(PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan
perubahan respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk
menyesuaikan dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus.
PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh
enzim fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase.
Enzim tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan
mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai PGE2
hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik (POA)
melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di POA akan
menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus di medula
oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal demam
dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang kemudian akan
mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan
panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9
34
akan memediasi efek neuroendokrin dari demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar
hipofisis dan organ endokrin lainnya.
Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada
lemari pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan
mengkompensasi peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan
panas dalam tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan
menurunkan proses kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan
dingin bahkan hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk
menyebabkan suhu darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses
menggigil dimulai dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak
panas. Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah, maka
akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan menyesuaikan suhu
tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh
darah untuk meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya
pendinginan tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang baru.
D. Fase Demam
Fase demam dibagi atas tiga stadium, yang menunjukkan proses dari perjalanan
demam (peningkatan dan penurunan demam). Stadium tersebut antara lain :
1. Stadium inkrementi
Stadium inkrementi ialah stadium dimana suhu tubuh mulai terjadi peningkatan, dapat
muncul mendadak atau perlahan-lahan.
2. Stadium fastigium
Stadium fastigium ialah puncak dari kejadian demam itu sendiri, dapat berupa puncak
yang berbentuk datar, tajam (peak), atau parabola. Bila didapat grafik suhu yang
bergelombang sedemikian rupa sehingga didapatkan 2 puncak gelombang dengan
variasi diantara 1-3 minggu, maka disebut demam undulans.
3. Stadium dekrementi
Stadium dekrementi yaitu stadium turunnya suhu tubuh. Apabila suhu turun dengan
mendadak maka keadaan tersebut disebut krisis, bila suhu turun perlahan disebut lisis.
Bila suhu turun mencapai normal kemudian meningkat kembali disebut residif,
sedangkan bila suhu meningkat sebelum suhu turun ke batas normal, maka disebut
rekrudensi.
35
E. Jenis dan Tipe Demam
1. Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang
tidak lebih dari 1º C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid,
pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis,
gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.
2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali
ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga
akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 1º C. Contoh penyakitnya
antara lain; malaria, septikemia. Ada beberapa subtipe dari demam intermiten, yaitu :
a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan
demam tifoid
36
b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana
(Plasmodium vivax)
c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana
(Plasmodium malariae)
37
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal,
fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi
virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.
38
5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback)
Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu,
kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini
didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam dengue, yellow fever, Colorado
tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan
koriomeningitis limfositik.
39
F. Diagnosis Banding Kasus Demam
Penyebab demam adakalanya sulit ditemukan, sehingga tidak jarang pasien sembuh
tanpa diketahui penyebab penyakitnya. Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan
pendekakatan masalah. Untuk kepentingan diagnosis, demam dapat diklasifikasikan menurut
WHO menjadi 3 kelompok, yaitu:
40
1. Demam tanpa tanda lokal
Diagnosis demam Keadaan
Infeksi virus dengue : demam dengue, -‐ Demam atau riwayat demam
demam berdarah dengue, dan sindrom mendadak tinggi selama 2-7 hari
syok dengue -‐ Manifestasi perdarahan (sekurang-
kurangnya uji bending positif)
-‐ Pembesaran hati
-‐ Tanda-tanda gangguan sirkulasi
-‐ Peningkatan nilai hematokrit,
trombositopenia, dan leucopenia
-‐ Ada riwayat keluarga atau tetangga
sekitar menderita atau tersangka
demam berdarah
Malaria -‐ Demam tinggi khas bersifat
intermitten
-‐ Demam terus menerus
-‐ Menggigil, nyeri kepala,
berkeringat, dan nyeri otot
-‐ Anemia
-‐ Hepatomegali, splenomegali
-‐ Hasil apus darah positif
(plasmodium)
Infeksi saluran kemih -‐ Demam terutama di bawah umur
dua tahun
-‐ Nyeri ketika berkemih
-‐ Berkemih lebih sering dari biasanya
-‐ Mengompol (di atas usia 3 tahun)
-‐ Ketidakmampuan untuk menahan
kemih pada anak yang sebelumnya
bias dilakukannya
-‐ Nyeri ketuk CVA atau nyer tekan
suprapubik
-‐ Hasil urinalisis menunjukan
41
proteinuria, leukosituria (>5/lpb)
dan hematuria (>5/lpb)
Sepsis -‐ Terlihat jelas sakit berat dan
kondisi serius tanpa penyebab yang
jelas
-‐ Hipo atau hipertermia
-‐ Takikardia, takipneu
-‐ Gangguan sirkulasi
-‐ Leukositosis atau leukopeni
Demam yang berhubungan dengan -‐ Tanda infeksi HIV
infeksi HIV
42
Abses tenggorokan -‐ Nyeri tenggorokan pada anak yang
lebih besar
-‐ Kesulitan menelan/mendorong
masuk air liur
-‐ Teraba nodus servikal
Meningitis -‐ Kejang, kesadaran menurun, nyeri
kepala, muntah
-‐ Kuduk kaku
-‐ Ubun-ubun cembung
-‐ Pungsi lumbal positif
Infeksi jaringan lunak dan kulit -‐ Selulitis
Demam rematik akut -‐ Panas pada sendi, nyeri, dan
bengkak
-‐ Karditis, eritema marginatum,
nodul subkutan
-‐ Peningkatan LED dan kada ASTO
43
3. Demam lebih dari 7 hari
44
Demam Rematik Akut -‐ Bising jantung yang dapat berubah
sewaktu-waktu
-‐ Arthritis/artralgia
-‐ Gagal jantung
-‐ Denyut nadi yang cepat
-‐ Pericardial friction rub
-‐ Led meningkat
-‐ Protein c reaktif (+)
-‐ Asto (+)
-‐ Diketahui baru terinfeksi streptokokal
Abses dalam -‐ Demam tanpa focus infeksi yang jelas
-‐ Radang setempat atau nyeri
-‐ Tanda-tanda spesifik yang tergantung
tempatnya – paru, hati, otak,
subfrenik, ginjal, dsb
45
4. Demam dengan ruam
Diagnosis demam Keadaan
Campak -‐ Ruam yang khas
-‐ Batuk, hidung berair, mata merah
-‐ Luka dimulut
-‐ Kornea keruh
-‐ Baru saja terpajan kasus campak
-‐ Tidak memiliki catatan sudah
diimunisasi campak
Campak jerman (rubella) -‐ Ruam yang khas
-‐ Pembesaran kelenjar getah bening
postaurikular, suboksipital, dan
coli posterior
Eksantema subitum -‐ Terutama pada bayi (6-18 bulan)
-‐ Ruam muncul setelah suhu turun
Demam scarlet (infeksi Streptokokus -‐ Demam tinggi, tampak sakit berat
beta-hemolitikus grup A) -‐ Ruam merah kasar seluruh tubuh,
biasanya didahului di daerah
lipatan (leher, ketiak, dan lipat
inguinal)
-‐ Peradangan hebat pada
tenggorokan dan kelainan pada
lidah (strawberry tongue)
-‐ Pada penyembuhan terdapat kulit
bersisik
Demam berdarah dengue -‐ Sama seperti diatas
Infeksi virus lainnya (chikungunya, -‐ Gangguan sistemik ringan
enterovirus) -‐ Ruam non spesifik
46
47
48
DAFTAR PUSTAKA
49