Вы находитесь на странице: 1из 18

PERAN KEMITRAAN DALAM PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN

MAKALAH

EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Oleh:

Rizki Devina Sihombing (170304130)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


F A K U L T A S P E R T A N I A N
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul:

“Peran Kemitraan Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan” ini dengan

baik.

Penulis tidak lupa berterima kasih kepada pihak – pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini. Kepada dosen Pengasuh

Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan Pertanian Bapak Dr. Ir. Rahmanta, M. Si.,

(NIP: 196309281998031001). Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan

dan arahan yang telah diberikan, dan juga kepada pihak – pihak lain yang tidak

bisa penulis sebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih atas dukungan

dan bantuan yang telah diberikan.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik

dalam isi maupun penulisannya. Karena itu penulis sangat mengharapkan kritik

dan saran untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan

terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Petani dan Permasalahannya
2.1.1 Definisi Petani ....................................................................................... 3
2.1.2 Kendala Pokok dalam Usahatani ........................................................ 3
2.2 Konsep Kemitraan
2.2.1 Pengertian Kemitraan .......................................................................... 5
2.2.2 Sejarah Kemitraan di Indonesia .......................................................... 5
2.2.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat ............................................................. 6
2.2.4 Asas-asas Kemitraan............................................................................. 7
2.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Kemitraan ............................................. 8
2.2.6 Kemitraan dalam Sistem Agribisnis ................................................... 9
2.3 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dan Kemitraan Usaha ............. 9
2.4 Strategi Kemitraan Usaha ......................................................................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................. 14
B. Saran............................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem usaha tani yang ada di Indonesia masih didomiinasi oleh sistem oleh
usaha tani way of life atau kekeluargaan yang bentuknya masih lemah dalam
berbagai bidang baik asset produktif (lahan,peralatan), modal, posisi tawar-menawar
dan sebagainya. Untuk itu, pengembanga usaha tani melalui kelompok tani dan
kemitraan agribisnis dapat menjadi langkah strategis petani dalam meningkatkan
produktivitas usaha taninya.
Petani adalah pelaku utama yang harus diberdayakan. Tahap awal yang perlu
ditempuh untuk memberdayakan petani adalah membentuk kelembagaan berupa
kelompok tani yang merupakan organisasi kerja sama. Kerjasama sangat diperlukan
untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi yang pada dasarnya sangat
sulit bila dihadapi secara individu. Selama ini petani lemah dalam menentukan harga
produksinya karena sulit mendapat akses informasi pasar. Dalam hal ini petani harus
melakukan konsolidasi yang bersifat horizontal. Selanjutnya melalui penyuluhan
(pendidikan dan latihan) yang berkelanjutan terhadap kelompok yang mendapat
pembinaan tersebut diharapkan menghasilkan sumberdaya manusia petani yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berusaha tani.
Untuk dapat berusaha tani lebih teratur dan terarah maka kelembagaan
kelompok tani perlu menjalin kerja sama dan kemitraan dengan pihak
luar/usahawan. Keterkaitan dan kerja sama kelembagaan kelompok tani dengan
pihak swasta/usahawan dapat terjalin secara baik bila terdapat saling ketergantungan
dan kerjasama yang bersifat simetri serta saling menguntungkan.
Peran pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program diharapkan dapat
mendorong dan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menggairahkan
petani/kelompok tani maupun pihak swasta/usahawan, sehingga agribisnis dapat
berkembang. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator, regulator,
motivator yang harus menserasikan hubungan antar pelaku agribisnis tersebut,

1
sehingga para pelaku dapat berinteraksi secara proporsional dan tidak terjadi
eksploitasi yang bersifat kontradiktif. Para pelaku usaha bisa meraih keuntungan
yang seimbang.
Dengan terjadinya keterpaduan berbagai unsur tersebut (kelompok tani,
swasta/usahawan dan pemerintah) diharapkan agribisnis yang bersifat konsolidatif
vertikal atau kemitraan tersebut dapat berkembang.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa sajakah masalah yang sering menjadi kendala bagi petani dalam
menjalankan usahataninya?
b. Bagaimanakah konsep-konsep kemitraan dalam bidang pertanian?
c. Bagaimanakah peran pembangunan pertanian dan kemitraan terhadap sistem
usahatani para petani?
d. Apa langkah strategis kemitraan usaha yang dapat digunakan oleh para petani
dalam menjalankan usahataninya?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui permasalahan yang sering menjadi kendala bagi para
petani dalam menjalankan usahataninya
b. Untuk konsep-konsep kemitraan dalam bidang pertanian.
c. Untuk mengetahui peran pembangunan pertanian dan kemitraan terhadap
sistem usaha tani para petani.
d. Untuk mengetahui langkah-langkah strategis kemitraan usaha yang dapat
digunakan para petani dalam menjalankan usaha taninya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Petani dan Permasalahannya


2.2.1 Definisi Petani
Menurut Scott (1981) petani selain sebagai individu yang tujuan
produksinya terutama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi
keluarga, petani juga merupakan bagian dari suatu mas yarakat yang lebih luas
dalam hal ini termasuk golongan elit bukan-petani dan negara. Berdasarkan
dua definisi petani yang dikemukakan oleh Scott dan Redfield maka petanii
adalah seseorang yang melakukan kegiatan bercocok tanam atau
usahatani dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta
menjadikan kegiatan tersebut sebagai cara hidup.
Wolf (1966) dalam Sunito (2007) menyebutkan bahwa terdapat istilah lain
dari individu atau kelompok yang melakukan usahatani (petani) yaitu tribal
horticultural dan peasant. Tribal hoticultural adalah masyarakat yang independen,
bercocok tanam nomaden1, dan tidak berada di dalam hubungan asimetris
dengan kesatuan politik lebih besar, sedangkan peasant adalah masyarakat yang
hidup dalam hubungan asimetris dengan kesatuan politik yang lebih besar,
bercocok tanam dengan lahan yang sempit, dan sebagian besar menggunakan
hasil produksi pertaniannya untuk kepentingan mereka sendiri.
2.2.2 Kendala Pokok Petani dalam Usahatani
Petani dalam menjalankan usaha tani menghadapi banyak masalah yang salah
satunya dapat direduksi oleh kemitraan usaha dengan perusahaan
(Saptana, 2006). Beberapa masalah teknis budidaya yang dihadapi petani antara
lain:
a) Kurangnya ketersediaan bibit berkualitas;
b) Belum tersedianya paket teknologi komoditas pertanian yang bersifat spesifik
lokasi;

3
c) Cuaca buruk (curah hujan tinggi, kekeringan, perubahan cuaca drastis);
d) Tingginya tingkat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada
komoditas pertanian;
e) Sistem panen dan penanganan pasca panen belum prima;
f) SDM petani dan aparat penyuluh yang masih belum menguasai sepenuhnya
teknologi budidaya komoditas pertanian; dan
g) Infrastruktur pertanian yang kurang memadai terutama jalan desa, jalan
usahatani, dan jaringan irigasi.
Beberapa masalah ekonomi yang dihadapi petani antara lain:
a) Tingginya harga sarana produksi komoditas pertanian seperti bibit, pupuk, dan
obat-obatan, serta mulsa PHP;
b) Adanya indikasi overproduksi pada saat panen raya dan kekurangan pada saat
panen raya dan kekurangan pada saat nonpanen raya;
c) Harga produk pertanian mengalami fluktuasi dalam jangka pendek;
d) Lemahnya permodalan petani, sehingga petani meminjam ke kios saprodi atau
pedagang mitra dengan sistem bayar setelah panen; dan
e) Belum efisiennya sistem pemasaran komoditas pertanian
Beberapa masalah kelembagaan yang dihadapi petani:
a) Lemahnya konsolidasi kelembagaan di tingkat petani baik dari aspek
kepemimpinan (kepengurusan), keanggotaan, manajemen, permodalan, serta
kurangnya jiwa kewirausahaan.
b) Kelembagaan kemitraan rantai pasok yang eksis telahmembantu petani dalam
pengadaan sarana produksi, penyediaan modal kerja, dan pemasaran hasil,
namun menempatkan posisi petani sebagai subordinat dari pedagang atau
perusahaan mitra.

4
2.2 Konsep Kemitraan
2.2.1 Pengertian Kemitraan
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama
dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan juga
merupakan usaha alternatif yang dapat menjadi jalan keluar dalam
mengeliminasi kesenjangan antara usaha kecil dan menengah dengan usaha
besar.
Berbeda dengan hubungan jual beli biasa, dalam kemitraan beberapa hal
baik yang berkaitan dengan produksi maupun pemasaran sudah ditentukan
di depan. Penentuan dalam aspek produksi serta penggunaan input produksi
antara lain terkait dengan jenis komoditas, kuantitas dan kualitas komoditas,
teknologi produksi, serta penggunaan input produksi.
2.2.2 Sejarah Kemitraan di Indonesia
Secara formal kemitraan di bidang pertanian yang ditumbuhkembangkan
oleh pemerintah dimulai tahun 1970-an dengan model Perusahaan Inti
Rakyat Perkebunan (PIR-Bun) sebagai terjemahan dari ”Nucleus Estate
Smallholder Scheme” (NESS). Konsep dari model PIR-Bun dibangun atas
respon dari Bank Dunia yang menghendaki percepatan pembangunan pada
sub sektor perkebunan terutama yang menyangkut komoditas ekspor, dan
sekaligus dapat menciptakan kesempatan kerja baru bagi petani yang
menetap di sekitar perkebunan dan mengelola kebun milik pribadi
(Puspitawati, 2004). Pola kemitraan seperti PIR tidak hanya dikembangkan
pada tanaman perkebunan, tetapi juga diterapkan pada komoditas lain seperti
persawahan. Maka bermunculanlah Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang
menggunakan pola inti-plasma, Tambak Inti Rakyat (TIR) untuk komoditas
pertambakan/udang, dan model-model kemitraan lain seperti PIR-Susu, PIR-
Unggas, Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR), dan Intensifikasi Tembakau
Rakyat (ITR) yang tidak terlepas dari peran pemerintah untuk
mendorong penerapan model kemitraan usaha.

5
Pemerintah memperkenalkan model ini dengan macam-macam istilah
antara lain pola inti plasma, pola kemitraan, pola bapak angkat-anak
angkat, dan pola kerjasama. Kesemua istilah tersebut secara garis besar
merupakan pola kemitaan. Secara tradisional petani dan pengusaha di bidang
pertanian juga sudah banyak melaksanakan kemitraan usaha. Bentuk
gaduhan ternak, sewa-sakap lahan, sistem bagi hasil usaha tani tanaman
semusim dan nelayan, serta sistem ”yarnen” merupakan contoh-contoh
kemitraan tradisional yang banyak dilaksanakan sampai saat ini
2.2.3 Tujuan Sasaran dan Manfaat
Pada dasarnya maksud dan tujuan kemitraan yaitu untuk membantu para
pelaku kemitraan dan pihak-pihak tertentu dalam mengadakan
kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan (win-win solution) dan
bertanggung jawab. Ciri dari kemitraan usaha terhadap hubungan timbal
balik bukan sebagai buruh-majikan atau atasan-bawahan sebagai adanya
pembagian risiko dan keuntungan yang proporsional, di sinilah kekuatan dan
karakter kemitraan usaha.
Sasaran kemitraan agribisnis adalah terlaksananya kemitraan usaha dengan baik
dan benar bagi pelaku-pelaku agribisnis terkait di lapangan sesuai dengan
hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Manfaat yang dapat dicapai dari
usaha kemitraan (Hafsah, 1999) antara lain:
a) Produktivitas :Bagi perusahaan yang lebih besar, dengan model kemitraan,
perusahaan besar dapat mengoperasionalkan kapasitas pabriknya secara full
capacity tanpa perlu memiliki lahan dan pekerja lapangan sendiri, karena
biaya untuk keperluan tersebut ditanggung oleh petani.
b) Efisiensi: Erat kaitannya dengan sistem kemitraan, perusahaan dapat
mencapai efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai
target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh
petani. Sebaliknya bagi petani yang umumnya relatif lemah dalam hal
kemampuan teknologi dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat

6
menghemat waktu produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang
disediakan oleh perusahaan.
c) Jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas Kualitas, kuantitas dan
kontinuitas sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan produktivitas di pihak
petani yang menentukan terjaminnya pasokan pasar dan pada gilirannya
menjamin keuntungan perusahaan. Ketiganya juga merupakan pendorong
kemitraan, apabila berhasil dapat melanggengkan kelangsungan kemitraan
ke arah penyempurnaan.
d) Risiko: Suatu hubungan kemitraan idealnya dilakukan untuk mengurangi
risiko yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Kontrak akan mengurangi
risiko yang dihadapi oleh pihak inti jika mengandakan pengadaan bahan
baku sepenuhnya dari pasar terbuka. Perusahaan inti juga akan
memperoleh keuntungan lain karena mereka tidak harus menanamkan
investasi atas tanah dan mengelola pertanian yang sangat luas.
Kemitraan dapat pula menghasilkan persaudaraan antar pelaku ekonomi
yang berbeda status
2.2.4 Asas-asas Kemitraan
Menurut Veronica (2001) kemitraan agribisnis berdasarkan
pada persamaan kedudukan, keselarasan, dan peningkatan keterampilan
petani mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi
kemitraan yaitu hubungan yang: 1) Saling memerlukan dalam arti
perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra
memerlukan bimbingan dan penambahan hasil. 2) Saling memperkuat
dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra bersama-
sama memperhatikan kedudukan masing-masing dalam meningkatkan
daya saing usahanya. 3) Saling menguntungkan yaitu baik kelompok
mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan
dan kesinambungan usaha.

7
2.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Kemitraan
Daryanti dan Oktaviani (2003) menyatakan terdapat beberapa keuntungan
yang bisa diperoleh perusahaan dengan melakukan kemitraan atau
kontrak pertanian dengan petani mitra, yaitu
(1) terjaminnya ketersediaan bahan baku,
(2) dapat melakukan pengontrolan terhadap proses produksi dan penanganan
pasca panen,
(3) dapat mengontrol kualitas produksi,
(4) dapat menjaga kestabilan harga,
(5) dapat memperkenalkan dan mengembangkan suatu jenis/varietas
tanaman baru,
(6) memungkinkan dapat diidentifikasi kebutuhan pelanggan yang khusus,
(7) implikasi pengotrolan logistik yang lebih baik, dan
(7) hubungan yang baik dengan konsumen atau pembeli.
Keuntungan yang bisa diperoleh petani yakni:
(1) dengan adanya kestabilan harga, dapat menjamin penghasilan yang
tetap,
(2) menghambat dominasi tengkulak,
(3) pengembangan benih baru,
(4) penggunaan teknologi dan keterampilan baru,
(5) hubungan didasarkan pada kepercayaan yang paling menguntungkan,
(6) pembayaran akan hasil terjamin,
(7) penyuluhan tentang teknis disediakan oleh perusahaan mitra,
(8) praktek jual beli yang adil,
(9) dapat memperoleh fasilitas kredit, dan
(10) skema asuransi alam dapat diterapkan
Selain permasalahan yang seringkali muncul dari petani, permasalahan
dapat juga muncul dari perusahaan mitra. Penyalahgunaan posisi seringkali
membawa perusahaan menjadi aktor dominan dalam hubungan kemitraan dan
tidak jarang membawa ketergantungan bagi kelompok/usaha mitra kepada

8
perusahaan besar. Dominasi perusahaan juga dapat mengakibatkan perusahaan
tidak menepati perjanjian yang dibuat bersama
2.2.6 Kemitraan dalam Sistem Agribisnis
Kemitraan bisnis merupakan suatu alternatif yang prospektif bagi pengembangan
bisnis di masa depan untuk menghubungkan kesenjangan antar subsistem dalam
sistem bisnis hulu-hilir (produsen-industri pengolahan-pemasaran) maupun hulu-hulu
sesama produsen). Pada masa lalu kesenjangan dalam sistem bisnis hulu-hilir
diantaranya berupa informasi tentang mutu, harga, teknologi dan akses permodalan.
Kondisi ini menyebabkan pemodal kuat, yang umumnya lebih berwawasan luas, lebih
berpendidikan dan telah berperan di subsistem hilir menjadi lebih diuntungkan oleh
berbagai kelemahan yang ada pada usaha kecil yang berfungsi di pihak produsen atau
hulu.
Pada tingkat makro peranan usaha kecil tersebut diantaranya: penyerapan tenaga
kerja, penyedia bahan baku bagi usaha besar,perolehan devisa, pembangunan wilayah
desentralisasi/otonomi, alat distribusi retail, mitra kerja pelayanan bagi usaha besar,
pereduksi tegangan dan kecemburuan sosial atas kesenjangan usaha kecil-besar. Pada
tingkat mikro usaha kecil berperan sebagai: sumber penghasilan, wadah bagi bakat
wirausaha, pengembangan daya saing individu, dan tempat magang atau sosialisasi
bagi kelangsungan usaha kecil dan rumah tangga.

2.3 Pembangunan Pertanian Berkelajutan dan Kemitraan Usaha


Secara tertulis Indonesia telah menganut konsep pembangunan pertanian
berkelanjutan. Hal ini termuat dalam amandemen UUD 1945, pasal 33 bahwa
"perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atasdemokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional". Pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan
dengan pendekatan sistem dan usaha agribisnis serta kemitraan usaha. Dalam
agribisnis dikenal konsep agribisnis sebagai suatu sistem dan agribisnis
sebagai suatu usaha (perusahaan). Di samping itu dikenal azas-azas dalam

9
pengembangan agribisnis yang berkelanjutan, seperti dikemukakan oleh
Sudaryanto dan Hadi (1993) serta Hadi et al. (1994), yaitu terpusat, efisien,
menyeluruh dan terpadu, serta menjaga kelestarian lingkungan.
Struktur agribisnis yang berkembang saat ini dapat digolongkan sebagai
tipe atau tersekat-sekat, kurang memiliki daya saing, dan tidak berkelanjutan. Hal
itu disebabkan oleh tiga faktor utama (Simatupang 1995), yaitu: 1) tidak ada
keterkaitan fungsional yang harmonis diantara kegiatan atau pelaku
agribisnis, sehingga dinamika pasar belum dapat direspons secara efektif karena
tidak adanya koordinasi, 2) terbentuknya marjin ganda sehingga ongkos
produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil yang harus dibayar konsumen
menjadi lebih mahal, atau sistem agribisnis tidak efisien, dan 3) tidak adanya
kesetaraan posisi tawar antara petani dan pelaku agribisnis lainnya sehingga
petani sulit mendapatkan harga pasar yang wajar. Ada dua sistem koordinasi,
yaitu koordinasi melalui harga pasar dan antarpelaku agribisnis. Operasionalnya
dapat dilakukan melalui kelembagaan kemitraan usaha agribisnis. Sistem yang
pertama tidak dapat menjamin keterpaduan produk, dan sebaliknya untuk
sistem kedua.
Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui pendekatan sistem dan usaha
agribisnis dan kemitraan usaha memberikan beberapa manfaat sekaligus, yaitu:
1) mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan lintas
generasi, 2) meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk-produk pertanian
karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarikan permintaan (demand
driven), 3) meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem agribisnis dan
harmonisasi keterkaitan antarsubsistem melalui keterpaduan antarpelaku, 4)
terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling membutuhkan,
memperkuat, dan menguntungkan, dan 5) adanya kesinambungan usaha yang
menjamin stabilitas dan kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribisnis.

10
2.4 Strategi Kemitraan Usaha
Pembangunan pertanian berkelanjutan memiliki tiga tujuan (Sanim 2006),
yaitu tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan), tujuan sosial
kepemilikan/keadilan), dan tujuan ekologi (kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan). Tiga tujuan tersebut saling terkait. Pembangunan pertanian
berkelanjutan dapat terwujud bila tiga tujuan pembangunan tersebut tercapai.
Kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan dapat diwujudkan
dengan mengembangkan sistem usaha tani ramah lingkungan, memelihara dan
meningkatkan kualitas lingkungan, mengurangi dampak negatif eksternal, serta
mendorong dampak positif eksternal dalam proses pembangunan.Keberhasilan
pembangunan pertanian berkelanjutan ditentukan oleh pelaksanaan revitalisasi
pertanian. Krisnamurthi (2006) mengemukakan, revitalisasi pertanian memiliki
tiga pengertian. Pertama, sebagai kesadaran akan pentingnya pertanian bagi
kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia, kedua, sebagai bentuk rumusan harapan
masa depan tentang kondisi pertanian, serta ketiga, sebagai kebijakan dan strategi
besar melakukan revitalisasi itu sendiri.
Pemberdayaan petani menjadi petani mandiri dan profesional dapat dilakukan
melalui beberapa langkah. Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya manusia
petani melalui pelatihan, penelitian, magang dan sebagainya, baik secara individu
maupun kelompok. Kedua, melakukan revitalisasi kelompok tani mandiri ke
arah kelembagaan formal berbadan hukum (koperasi petani atau koperasi
agribisnis, asosiasi petani komoditas tertentu). Ketiga, mengangkat penyuluh
swakarsa atau petani petandu (dalam program SLPHT) sebagai mitra
penyuluh untuk memperlancar difusi dan adopsi teknologi. Keempat,
memberdayakan kelembagaan penyuluhan pertanian dan kelembagaan Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) menjadi Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis
(PPA) di setiap kecamatan melalui sistem penyuluhan partisipatif. Kelembagaan
di tingkat petani seperti kelompok tani yang belum mandiri perlu direvitalisasi
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Jumlah anggota kelompok
dibatasi 20-25 orang untuk memudahkan penyatuan pendapat dan

11
penggalangan kerja sama (partisipasi). Hal ini didasarkan pada keberhasilan
berbagai program pembangunan pertanian melalui pendekatan kelompok-
kelompok kecil dan proses seleksi yang baik, seperti Program Peningkatan
Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) dan SLPHT.
Kelompok tani mandiri didorong untuk mengkonsolidasikan diri dalam
kelembagaan formal berbadan hukum, sehingga me mudahkan melakukan
transaksi dan kemitraan usaha agribisnis. Kelompok-kelompok tani dapat di
satukan dalam bentuk gabungan kelompok tani (gapoktan), asosiasi petani atau
asosiasi agribisnis yang anggotanya adalah para pengurus kelompok tani. Ketua-
ketua kelompok tani diangkat sebagai penyuluh swakarsa yang bertanggung
jawab akan perkembangan kelompoknya. Jika memungkinkan, penyuluh
swakarsa mendapat insentif atau honor yang dianggarkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemahaman terhadap berbagai aspek
pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) merupakan
prasyarat untuk menjadi penyuluh swakarsa. Gapoktan atau asosiasi dipimpin
oleh seorang ketua atau koordinator penyuluh swakarsa desa (jabatan ini hampir
sama dengan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) yang berlaku sekarang).
Para penyuluh swakarsa akan menjadi mitra Penyuluh Pertanian Lapang
(PPL) dalam mengembangkan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui
kemitraan usaha agribisnis.
Perencanaan pengembangan pembangunan pertanian berkelanjutan dan
kemitraan usaha agribisnis di pedesaan dan kelompok tani disusun bersama
secara partisipatif dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA),
yaitu suatu pendekatan dan metode untuk mempelajari kondisi dan kehidupan
pedesaan masyarakat desa. Dalam hal ini, PPL dan penyuluh swakarsa
didampingi peneliti agar metode yang digunakan tepat dan sesuai sasaran.
Perencanaan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha
agribisnis merupakan kunci keberhasilan pembangunan pertanian, baik dari
tingkatan (magnitude), stabilitas maupun kontinuitasnya. Oleh karena itu,
kegiatan awal yang mutlak dilakukan adalah melatih penyuluh agar memahami

12
teknik dan filosofi PRA. Dalam penerapan di lapang, penyuluh didampingi dan
difasilitasi peneliti yang berpengalaman dan menguasai teknik PRA. Keluaran
PRA adalah rencana kerja atau program pembangunan pertanian berkelanjutan
melalui kemitraan usaha agribisnis. Program difokuskan pada: 1) perencanaan
pola tata tanam untuk mengatur produksi sehingga tepat jenis, volume, kualitas
serta berkelanjutan, 2) diseminasi teknologi tepat guna yang ramah lingkungan,
3) pengelolaan usaha simpan-pinjam, 4) pengadaan sarana produksi melalui
kios saprodi kelompok, 5) penanganan pascapanen dengan memperhatikan
keamanan pangan, dan 6) pemasaran hasil secara berkelompok, baik melalui
kelompok tani maupun koperasi agribisnis. Bila sistem ini berhasil
dikembangkan, diharapkan masyarakat petani secara aktif mendatangi PPA
untuk mengakses informasi teknologi dan pasar atau berkonsultasi tentang
masalah yang dihadapi.
Dengan demikian, penyuluhan partisipatif dapat berjalan dengan baik dan
petani terdidik untuk bertindak secara profesional. Konsultasi dapat dilakukan
secara pribadi atau melalui musyawarah kelompok (sebaiknya diawali dengan
musyawarah kelompok, bila tidak teratasi baru dimajukan ke musyawarah
gapoktan atau asosiasi petani/asosiasi agribisnis). PPA tidak hanya
merencanakan pengembangan agribisnis, tetapi juga memberdayakan dan
meningkatkan kualitas sumber daya petani, PPL, dan penyuluh swakarsa, serta
sebagai mediator bagi terbangunnya kemitraan usaha antarpelaku agribisnis
yang salingmembutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebijakan yang dipandang tepat di Indonesia adalah pembangunan
pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha agribisnis secara
partisipatif. kebijakan ini dapat menjamin efisiensi dan pertumbuhan,
keadilan atau pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Pada subsistem
produksi diterapkan pendekatan sistem usaha tani rotasi tanaman dan daur
ulang bahan organik, teknik konservasi, pengurangan input kimia (low
input sustainable agriculture), pengendalian hama terpadu, dan sistem
produksi tanaman ternak. Pada subsistem lainnya dilakukan dengan
menekan seminimal mungkin limbah yang dihasilkan, mengelola limbah
secara baik, serta membangun mekanisme pasar dalam penetapan harga
dan pem bagian nilai tambah atau keuntungan.
B. Saran
Beberapa saran operasional yang dapa dilaksanakan dalam
pembangunan pertanian adalah revitalisasi lembaga penyuluhan dan
kelembagaan petani, pengaturan produksi melalui serangkaian perencanaan,
pemilihan komoditas berdasarkan permintaan pasar, serta pengembangan
hasil komoditas yang difasilitasi oleh pemerintah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hadi, P.U., R. Sajuti, Saptana, Erwidodo, M.Rachmat, Kh.M. Noekman, dan


Djauhari. 1994. Analisa Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis
Perikanan dan Hortikultura: Model Pengembangan Agribisnis Mangga.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Hafsah, Mohammad Jafar. 1999. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi.


Jakarta: Departemen Pertanian.

Oktaviani, R dan A. Darjanto. 2001. Contract Farming Issues of Agribusiness


Enterprises in Indonesia. Makalah pada First ACIAR Project Workshop
on Contract Farming, Smallholders and Rural Development in East
Java, Bali and Lombok. 23-24 August 2001. Universitas Brawijaya, Malang.

Puspitawati, Eka. 2004. Analisis Kemitraan Antara PT Pertani (Persero) dengan


Petani Penangkar Benih Padi di Kabupaten Karawang. Tesis. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Saptana, dkk. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas


Hortikultura. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Scott, James. C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: PT Intermasa

Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan


Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli
Peneliti Utama Bidang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Sunito, Satyawan. 2007. Petani, Dominasi Negara dan Perkembangan


Kapitalisme. Bahan Kuliah Tidak Untuk Diterbitkan.

Veronica, Natalia. 2001. Formulasi Pola Kemitraan Agribisnis Pada PT.


Agrobumi Puspa Sari dengan Petani Krisan. Skripsi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

15

Вам также может понравиться