Вы находитесь на странице: 1из 34

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN PERUBAHAN PADA

SISTEM MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

AZNIAR

EKA ASTUTY

MIMI KARMILA

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM KALIMANTAN TIMUR


AKADEMI KEPERAWATAN YARSI SAMARINDA

TAHUN

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang
berjudul ”Asuhan Keperawatan Gerontik dengan Perubahan pada Sistem
Muskuloskeletal”. Sebagai seorang perawat yang profesional kita harus
mengetahui bahwa pada usia lanjut fisiologis seluruh sistem tubuh akan
mengalami perubahan salah satunya yaitu perubahan fisiologis pada sistem
muskuloskeletal dimana pada sistem ini membahas terkait tulang, otot, sendi, dan
saraf.

Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Ns. Dwi Astuty,
M.Kep selaku koordinator dan dosen keperawatan gerontik yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, bimbingan dari
dosen masih sangat kami perlukan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembacanya. Kritik dan saran tetap kami harapkan guna perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini untuk tahap selanjutnya.

Samarinda, 29 September 2018

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.


Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang
berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan
luar tubuh, seperti di dalam Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya
menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia
harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makan
bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu
berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, bebrbangsa dan bernegara.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya
merupakan pelestarian nilai-nilai keagaman dan budaya bangsa (Kholifah,
2016).

Menua atau menjadi tua adalah suatu jeadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa, dan tua. (Nugroho
dalam Kholifah, 2006).

Proses penuaan tersebut berpengaruh pada perubahan semua sistem


dalam tubuh termasuk pada sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal
terdiri dari sistem muskulus dan skeletal. Perubahan tersebut berdampak
pada penurunan fungsi tubuh yang akan berlanjut pada penurunan fungsi
tubuh secara keseluruhan sehingga kegiatan sehari-hari dapat terganggu.
Perubahan umum yang terjadi pada sistem muskuloskeletal berupa
sarkopenia (kehilangan massa dan fungsi otot) dan osteopenia atau
osteoporosis (kehilangan massa tulang) pada usia lanjut ketika tidak diobati
akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar untuk populasi
lansia dan dapat mengakibatkan hilangnya kemandirian di kemudian hari
( Colón, et al., 2018). Selain itu, beberapa kondisi patologis dapat muncul
seperti artritis yang mencakup osteoarthritis (OA), polymyalgia rheumatica
(PMR), rheumatoid arthritis (RA), dan gout serta osteoporosis (Tabloski,
2014; Touhy & Jett, 2014). Penyakit-penyakit di atas dapat memperburuk
kondisi lansia bahkan sampai mengganggu aktivitas fisik rutin yang biasa
dilakukan oleh lansia.

Perubahan fisiologis dan patolgis pada sistem muskuloskeletal lansia


seharusnya dapat diantisipasi sedari dini agar proses penuansaan yang
berakibat pada perubahan fisiologiss dan patologis tidak menimbulkan
dampak yang lebih besar Dengan bertambahnya jumlah lansia muncul juga
peningkatan penyakit dan kondisi ini umumnya mempengaruhi populasi
tersebut. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas perubahan
fisiologis dan patologis pada lansia khususnya pada sistem muskuloskeletal
yang dikaji dari berbagai sumber literatur

Nyeri muskuloskeletal adalah penyakit sendi degeneratif dimana terjadi


kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan
dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan sendi-sendi yang
besar yang menanggung secara klinis osteoartritis ditandai dengan nyeri,
deformitas, pembesaran sendi dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan
dan sendi besar. Seringkali berhubungan dengan trauma maupun
mikrotrauma yang berulang-ulang, obesitas, stress oleh beban tubuh dan
penyakit-penyakit sendi lainnya. Perubahan yang terjadi pada tubuh manusia
sejalan dengan makin meningkatnya usia. Perubahan ini terjadi sejak awal
kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh.
(Mujianto dalam Simanjuntak, 2013)

Adanya gangguang pada sistem muskuloskeletal dapat mengakibatkan


perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang
menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Di daerah urban,
dilaporkan bahwa keluhan nyeri otot sendi-tulang (gangguan sistem
muskuloskeletal) merupakan keluhan terbanyak pada usia lanjut. Sebagian
besar masyarakat (dan bahkan beberapa dokter) memiliki anggapan yang
keliru bahwa semua nyeri sendi diakibatkan oleh penyakit rematik atau asam
urat. Penyakit lain yang sering dianggap secara sah sebagai penyebab nyeri
sendir adalah kolestrol, osteoporosis, dan bahkan “flu tulang” (

Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan


diperkirakan akan meningkat menajdi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih
dari 80 juta jiwa di tahun 2050. tahun 2050, satu dari empat penduduk
Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan pendudukan
lansia dibandingkan bayi atau balita. (Kholifah, 2016).

Proses penuaan tersebut berpengaruh pada perubahan semua sistem


dalam tubuh termasuk pada sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal
terdiri dari sistem muskulus dan skeletal. Beberapa perubahan yang terjadi
pada sistem muskuluskeletal lansia mencakup perubahan anatomi dan
fisiologis.

1.2 TUJUAN

1.2.1 TUJUAN UMUM


1.2.2 TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui definisi sistem muskuloskeletal

2. Untuk mengetahui perubahan- perubahan pada sistem


muskuloskeletal.

3. Untuk mengertahui masalah kesehatan penyakit sistem


muskuloskeletal pada lansia.

4. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Osteoporosis pada


lansia.
BAB 2

SISTEM MUSKULOSKELETAL PADA LANSIA

2.1 PENGERTIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot, dan struktur


pendukung lainnya (tendon, ligamen, fasia, dan bursae). pertumbuhan dan
perkembangan struktur ini terjadi selama masa kanak-kanak dan remaja.

2.1.1 TULANG

struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25%


berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. kesehatan dan
fungsi sistem muskuloskeletal sangat bergantung pada sistem tubuh
yang lain. Struktur tulang memberi perlindungan terhadap organ
vital, termasuk otak, jantung, dan paru. Kerangka tulang merupakan
kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh. Otot yang
melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak.

Pembagian skeletal, yaitu :

1. Axial skeleton terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher,


tengkorak, kolumna vertebrae, tulang iga, tulang hioid strenum.

2. Apendikular skeleton terdiri dari :

a. Kerangka tulang lengan dan kaki

b. Ekstermitas atas (skapula, klavikula, humerus, ulna, radial)


dan tangan (karpal, metakarpal, falang).

c. Ekstermitas bawah (tulang pelvik, femur, patela, tibia,


fibula) dan kaki (tarsal, metatarsal, falang)

2.1.2 JENIS TULANG


Ada empat jenis tulang, yaitu tulang panjang, tulang pendek,
tulang pipih, dan tulang tidak beraturan.

1. Tulang panjang

Tulang panjang (mis. femur, humerus) bentuknya silindris


dan berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas
tulang kompakta, dengan kedua ujungnya berbentuk bulat
(epifisis) tersusun atas tulang kanselus. Tulang diafisis memiliki
lapisan luas berupa tulang kompakta yang mengelilingi sebuah
rongga tengah yang disebut kanal medula yang mengandung
sumsung kuning. Sumsum kuning terdiri lemak dan pembuluh
darah, tetapi suplai darah atau eritrositnya tidak begitu banyak.
Tulang epifisis terdiri dari tulang spongiosa yang mengandung
sumsum merah yang isinya sama seperti sumsum kuning dan
dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Bagian luar
tulang panjang dilapisi jaringan fibrosa kuat yang disebut
periosteum. Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang
menembus tulang.

2. Tulang pendek

Tulang pendek (mis. falang, karpal) bentuknya hampir


sama dengan tulang panjang, tetapi bagian distal lebih kecil
daripada bagian proksimal, serta berukuran pendek dan kecil.

3. Tulang pipih

Tulang pipih (mis. sternum, kepala, skapula, panggul)


bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembuluh darah, dan
melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. Tulang pipih
terdiri atas dua lapisan tulang kompakta dan dibagian tengahnya
terdapat lapisan spongiosa. Tulang ini juga dilapisi oleh
periosteum yang dilewati oleh dua kelompok pembuluh darah
menembus tulang untuk menyuplai tulang kompkta dan tulang
spongiosa.

4. Tulang tidak beraturan

Tulang tidak beraturan (mis. vertebra, telinga tengah)


mempunyai bentuk yang unik sesuai dengan fungsinya. Tulang
tidak beraturan terdiri dari tulang spongiosa yang dibungkus
oleh selapis tipis tulang kompakta. Tulang ini diselubungi
periosteum-kecuali pada permukaan sendinya-seperti tulang
pipih. Periosteum ini memberi dua kelompok pembuluh darah
untuk menyuplai tulang kompakta dan spongiosa

5. Tulang sesamoid

Tulang sesamoid (mis. patela) merupakan tulang kecil yang


terletak disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian,
berkembang bersama tendon dan jaringan fasia.

2.1.3 STRUKTUR TULANG

Tulang tersusun oleh jaringan tulang kompakta (kortikal) dan


kanselus (trabekular atau spongiosa). tulang kompakta secara
makroskopis terlihat padat. Akan tetapi, jika diperiksa dengan
mikroskop terdiri dari sistem Havers. Sistem Havers terdiri dari
kanal Havers. Sebuah kanal Havers mengandung pembuluh darah,
saraf, dan pembuluh limfe, lamela (lempengan tulang yang
mengelilingi kanal sentral), kaluna (ruang diantara lamela yang
mengandung sel-sel tulang atau osteosit dan saluran limfe), dan
kanalikuli (saluran kecil yang menghubungkan lakuna dan kanl
sentral). Saluran ini mengandung pembuluh limfe yang membawa
nutrien dan oksigen ke osteosit.

Tulang kanselus juga keras seperti tulang kompakta, tetapi


secara makroskopis terlihat berlubang-lubang (spons). Jika dilihat
dengan mikroskop kanal Havers, tulang kanselus terlihat lebih besar
dan mengandung lebih sedikit lamela. Sel-sel penyusun tulang
terdiri dari :

1. Osteoblas berfungsi menghasilkan jaringan osteosid dan


menyekresi sejumlah besar fosfatase alkali yang beperan
penting dalam pengendapan kalsium dan fosfat ke dalam
matriks tulang.

2. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai


lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.

3. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan


mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Sel-sel ini
menghasilkan enzim proteolitik yang memecah matriks dan
beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga
kalsium dan fosfat terlepas ke dalam darah.

2.1.4 SENDI

Pergerakan tidak mungkin terjadi jika kelenturan dalam


rangka tulang tidak ada. Kelenturan dimungkinkan oleh adanya
persendian. Sendi adalah suatu ruangan, tempat satu atau dua
tulang berada saling berdekatan. Fungsi utama sendi adalah
memberi pergerakan dan fleksibilitas dalam tubuh. Bentuk
persendian di tetapkan berdasarkan jumlah dan tipe
pergerakannya, sedangkan klasifikasi sendi berdasarkan pada
jumlah pergerakan yang dilakukan.

Menurut kalasifikasinya, sendi terdiri dari :

1. Sendi sinartrosis (sendi tidak bergerak sama sekali).


contohnya, sutura tulang tengkorak.

2. Sendi amfiartrosis (sendi bergerak terbatas). contohnya


pelvik, simfisis, dan tibia.
3. Sendi diartrosis/sinovial (sendi bergerak bebas). contohnya
siku, lutut, dan pergelangan tangan.

2.2 PERUBAHAN-PERUBAHAN PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang, sendi,


dan otot. Sistem tersebut paling erat kaitannya dengan mobilitas fisik
individu. Seiring bertambahnya usia, terdapat berbagai perubahan yang
terjadi pada sistem musculoskeletal yang terdiri dari tulang, otot, sendi, dan
saraf.
2.2.1 Perubahan Fisiologis Tulang

Sistem skeletal pada manusia tersusun dari 206 tulang termasuk


dengan sendi yang menghubungkan antar keduanya. Kerangka yang
dibentuk dari susunan tulang tersebut sangat kuat namun relatif
ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah memberikan bentuk
dan dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, sistem ini juga
berperan untuk melindungi tubuh, misalnya tulang tengkorak yang
melindungi otak dan mata, tulang rusuk yang melindungi jantung,
serta tulang belakang yang melindungi sumsum tulang belakang.
Struktur pada kerangka ini juga terdapat tendon otot yang
mendukung adanya pergerakan (Mauk, 2006).
Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal
tetapi terus melakukan remodeling sepanjang kehidupan. Menurut
Colón, et al. (2018) secara umum, perubahan fisiologis pada tulang
lansia adalah kehilangan kandungan mineral tulang. keadaan
tersebut bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian
terjatuh. Selain itu, terjadi juga penurunan massa tulang atau disebut
dengan osteopenia. Jika tidak ditangani segara osteopenia bisa
berlanjut menjadi osteoporosis yang ditandai dengan karakteristik
berkuranganya kepadatan tulang dan meningkatkan laju kehilangan
tulang.
Perubahan-perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012)
antara lain:
1. Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang
diperlukan untuk remodeling)
2. Arbsorbsi kalsium berkurang
3. Meningkatnya hormon serum paratiroid;
4. Gangguan regulasi dari aktivitas osteoblast;
5. Gangguan formasi tulang sekunder untuk mengurangi produksi
osteoblastik dari matriks tulang; dan
6. Menurunnya estrogen pada wanita dan testosterone pada laki-laki

2.2.2 Perubahan Fisiologis Otot


Selain tulang, otot yang dikontrol oleh neuron motorik secara
langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari. Perubahan fisilogis
pada otot yang terjadi pada lansia disajikan dalam tabel berikut
( Colón, et al., 2018).
Perubahan Efek Fungsional
Peningkatan variabilitas dalam Peningkatan heterogenitas jarak kapiler,
ukuran serat otot karena kapiler dapat hanya terletak di tepi
serat berdampak negatif terhadap
oksigenasi jaringan
Kehilangan massa otot Penurunan kekuatan dan tenaga
Serabut otot (fiber) tipe II Terjatuh
menurun
Infiltrasi lemak Kerapuhan atau otot melemah
Secara keseluruhan akibat dari perubahan kondisi otot yang
berhubungan dengan bertambahnya usia disebut sarkopenia. Sarkopenia
adalah kehilangan masa, kekuatan dan ketahanan otot (Miller, 2012).
2.2.3 Perubahan pada Sendi dan Jaringan Ikat
Proses degeneratif memengaruhi tendon, ligamen, cairan
synovial. Perubahan-perubahan yang terjadi pada sendi meliputi :
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek
Sendi Menurunnya viskositas Menurunnya perlindungan
cairan synovial ketika bergerak (Miller,
2012).
 Erosi tulang (Miller, Menghambat
2012). pertumbuhan tulang
 Mengecilnya kartilago (Miller, 2012).
 Degenerasi gen dan sel Penurunan elastisitas,
elastin. fleksibilitas, stabilitas, dan
 Ligamen memendek imobilitas (Kurnianto,
 Fragmentasi struktur 2015).
fibrosa di jaringan ikat.
 Pembentukan jaringan
parut di kapsul sendi
dan jaringan ikat
(Miller, 2012).
Penurunan kapasitas Gangguan fleksi dan
gerakan, seperti: penurunan ekstensi sehingga kegiatan
rentang gerak pada lengan
atas, fleksi punggung
bawah, rotasi eksternal
pinggul, fleksi lutut, dan
dorsofleksi kaki (Miller,
2012). sehari-hari menjadi
terhambat.
Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen pada
jaringan penyambung meningkat secara progresif (Stanley, et. al.,
2007). Efek perubahan pada sendi ini adalah gangguan fleksi dan
ekstensi, penurunan fleksibilitas struktur berserat, berkurang
perlindungan dari kekuatan gerakan, erosi tulang, berkurangnya
kemampuan jaringan ikat (Miller, 2012), inflamasi, nyeri, penurunan
mobilitas sendi, dan deformitas (Stanley, et. al., 2007).

2.3 MASALAH KESEHATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL PADA


LANSIA

2.3.1 Osteoporosis

Osteoporosis merupakan penyakit skeletal istemik yang ditandai


dengan berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan
tulang yang berakibat pada menurunnya kekuatan tulang (Tabloski,
2014). Kekuatan tulang mencerminkan kepadatan dan kualitas
tulang. Kepadatan dan kualitas tulang merupakan kedua hal yang
berbeda. Kepadatan tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang
terdapat di dalam tulang. Sementara, kualitas tulang dipengaruhi
oleh mikroarsitektur tulang, bone turnover, dan akumulasi
kerusakan pada tulang (Tabloski, 2014). Sehingga, apabila individu
menderita osteoporosis dimana hal tersebut dapat menurunkan
kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan memiliki risiko
tinggi terjadinya fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015).
Individu yang mengalami osteoporosis umumnya tidak
menimbulkan tanda dan gejala apapun selain adanya patah tulang
(Tabloski, 2014).
Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang
sering terjadi pada lansia, jenis kelamin yang sering terjadi pada
wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat keluarga yang memiliki
osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang dan
atau kurangnya konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis
dapat juga diakibatkan karna konsumsi alkohol berlebih, rokok,
stress, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Wanita
memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal ini diakibatkan oleh
tulang pada wanita memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding
laki-laki, penurunan kadar estrogen saat menopause secara cepat
mengakibatkan kerapuhan tulang secara cepat pula, dan wanita
mungkin juga kehilangan massa tulang saat masa reproduksi atau
laktasi (Tabloski, 2014). Selain itu, risiko tinggi osteoporosis terjadi
pula pada lansia.
Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi
terjadinya osteoporosis diakibatkan oleh penuaan yang membuat
berkurangnya massa tulang melalui perubahan hormon dan disfungsi
osteoblast terkait usia. Pada lansia perempuan, perubahan hormon
terjadi saat setelah menopause yang mengakibatkan menurunnya
kadar estrogen (Sihombing et al, 2012). Padahal, estrogen memiliki
peran penting untuk remodelling tulang dan menghambat terjadinya
resorpsi tulang oleh osteoblast sehingga, menghambat kerapuhan
tulang (Sihombing et al, 2012). Sementara itu, pada lansia laki-laki
terjadi juga perubahan hormon yaitu menurunnya kadar steroid
seksual yang mengakibatkan peningkatan pada kortisol oleh kelenjar
adrenal. Efek yang terjadi apabila terdapat peningkatan sekresi
kortisol ialah akan terjadinya kelebihan hormon glukokortikoid. Hal
ini akan memicu kerusakan tulang, karena hormon glukokortiokoid
yang berlebih dapat mengganggu fungsi dari osteoblast (Amelio &
Isaiya, 2015). Namun, walaupun begitu pada lansia dapat terjadi
pula disfungsi dari osteoblast. Amelio dan Isaiya (2015)
menjelaskan bahwa disfungsi osteoblast diakibatkan oleh
menurunnya kemampuan sel mesenchymal stem untuk
berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel mesenchymal
stem yang menurun merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada
lansia.
Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan
mineral tulang. Hal ini dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat
diukur secara langsung. Menurut Tabloski (2014) pengukuran
kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi sebanyak 70%
mengenai kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian
densinometri tulang dengan menggunakan energi x-ray
absorptiometry (DXA, DEXA) yang perhitungan scorenya
dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada di
rentang -1 sampai -2,5 Standar Deviasi (SD) hal ini menandakan
osteopenia. Namun, jika T-score lebih rendah dari -2,5 SD maka
kondisi tersebut dinamakan osteoporosis (Miller, 2012). Pengkajian
lain yang dapat perawat lakukan ialah assessment faktor risiko
osteoporosis seperti gaya hidup, diet, dan aktivitas fisik (Miller,
2012).
Penatalaksanaan pada lansia dengan osteoporosis dapat melalui
terapi farmakologi dan non farmakologi. Pada terapi farmakologi
dapat diberikan suplemen vitamin D untuk membantu
menambahkan asupan kalsium. Namun, suplemen kalsium dapat
memperburuk kondisi konstipasi pada lansia (Touhy & Jett, 2014).
Oleh karena itu, perawat perlu memberikan cairan tambahan jika
tidak ada kontraindikasi, atau pelunak feses. Terapi lain yang dapat
diberikan ialah terapi Selective Estrogen Receptor Modulators
(SERMs) yang merupakan pengganti terapi estrogen (Touhy & Jett,
2014). Hal ini dikarenakan terapi estrogen walaupun dapat
meingkatkan massa tulang namun juga dapat meningkatkan risiko
kanker payudara, kanker usus besar, dan penyakit jantung. Pada
terapi SERMs dinilai memiliki risiko kanker yang kecil. Terapi
medis lain ialah kalsitonin yang berfungsi untuk memperlambat
pengeroposan tulang dan meningkatkan mineral tulang pada wanita
setelah menopause (Touhy & Jett, 2014).
Terapi selanjutnya ialah nonfarmakologi diantaranya
mengurangi konsumsi alkohol, kurangi konsumsi rokok, dan
melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit seperti berjalan, aerobik,
menari (Touhy & Jett, 2014). Selain itu, lansia juga disarankan
untuk diet tinggi kalsium dengan mengonsumsi dairy product, tofu,
jus jeruk, roti, dan sayuran hijau. Bagi wanita yang di atas 50 tahun
dan pria yang di atas 70 tahun, asupan kalsium yang disarankan
setiap harinya ialah 1200 mg/day (Touhy & Jett, 2014). Perawat
juga perlu melakukan edukasi kepada lansia terkait medikasi
osteoporosis dan risiko jatuh. Perawat dapat memberikan informasi
tentang penggunaan sepatu yang ukurannya sesuai, penggunaan
handrails, menghindari berjalan di tempat yang kurang terang, dan
menghindari mengangkat beban berat. Pada keluarga pun perawat
dapat memberikan edukasi terkait home safety, pastikan karpet tidak
longgar dan tidak ada kabel listrik (Touhy & Jett, 2014).
2.3.2 Arthritis
Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis
merupakan sekelompok kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi
ini menyebabkan kerusakan sendi, biasanya mengakibatkan rasa
sakit dan kekakuan. Arthritis dapat mempengaruhi banyak bagian
yang berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di dalam tubuh
(Arthritis Care, 2016). Secara umum, arthritis dikenal dengan
rematik.
2.3.2.1 Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative
yang menyerang sendi dan otot, tendon dan ligament yang
melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit, bengkak dan
gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor
resiko yang dapat menyebabkan terjadinya osteoarthritis
yaitu penambahan usia, obesitas, riwayat keluarga, dan
memiliki trauma sendi.
Osteoarthritis terjadi dimana lapisan kartilago normal
yang lembut dan ulet menjadi tipis dan rusak, berlubang,
kasar dan rapuh. Hal ini menyebabkan ruang sendi
menyempit dan akhirnya tulang-tulang sendi bergesekan,
menyebabkan kerusakan, rasa sakit, bengkak dan kesulitan
bergerak. Tulang dibawah kartilago menebal dan melebar
keluar. Dalam beberapa kasus, osteofit dapat terbentuk di
tepi luar sendi, dan menyebabkan sendi terlihat menonjol.
Membran sinoval dan kapsul sendi menebal, dan ruang
sendi menyempit yang dapat menyebabkan peningkatakan
jumlah cairan dalam sendi dan dapat membengkak
(Arthritis Care, 2016).
Osteoarthritis biasanya terjadi secara bertahap selama
beberapa tahun dan mempengaruhi beberapa sendi.
Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu tangan,
lutut, pinggul, kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang
terjadi pada masalah ini biasanya akan hilang dengan
aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas dapat
menyebabkan rasa sakit yang hilang dengan istirahat.
Kekakuan yang paling tinggi terjadi pada pagi hari, karena
tidak digunakan selama tidur dan bisa diselesaikan selama
30 menit. Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka
akan muncul sakit saat istirahat dan melibatkan banyak
sendi atau mungkin akan terjadi ketidakstabilan dan
krepitasi yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi
kerusakan sendi (Touhy & Jett, 2014).
Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan
penggantian sambungan (artroplasi). Kebanyakan
perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang ditujukan
untuk kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang
dilakukan yaitu bertujuan untuk meminimalkan efek dari
radang sendi dan untuk mengurangi gejala, terutama rasa
sakit. Banyak obat yang digunakan untuk membantu
mengelola nyeri sendi seperti analgesic, obat anti-inflamasi
non-steroid, steroid. Selain menggunakan obat-obatan, ada
beberapa cara yang sering digunakan untuk mengurangi
rasa sakit yaitu dengan teknik relaksasi, memijat, olahraga
juga dapat membantu meredakan rasa tidak nyaman dan
rasa sakit bagi banyak orang (Touhy & Jett, 2014).
Mencapai dan memepertahankan berat badan ideal juga
dapat meringankan ketegangan pada sendi yang menahan
berat badan.
2.3.2.2 Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang
disebabkan karena inflamasi sendi pada sendi (Arthritis
Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan gangguan
sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi
ketika tubuh menciptakan peradangan pada persendiannya
sendiri yang tidak di perlukan dan bersifat merusak dirinya
sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang
melapisi kapsul sendi, selubung tendon dan bursae menjadi
meradang. Sendi yang meradang kemudian menjadi kaku,
nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan merasa lelah atau
mengalami kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis.
Menurut Arthritis Research UK (2014) rasa sakit yang
diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena dua hal
yaitu ujung saraf yang teriritasi oleh bahan kimia yang
dihasilkan oleh peradangan dan kapsul sendi meregang
karena pembengkakan. Ketika inflamasi berkurang, kapsul
sendi tetap meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal,
hal ini disebabkan karena sendi menjadi tidak stabil dan
dapat menyebabkan posisi yang salah.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan rheumatoid
arthritis yaitu faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup.
Karena gangguan ini merupakan gangguan autoimun,
sesuatu yang bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan
sistem imun juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya
rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti merokok, banyak
konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu
faktor risiko (Arthritis Research UK, 2014). Gejala yang
sering muncul pada pasien ini yaitu kekakuan sendi dan
nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat,
malaise dan demam yang sesekali tidak di rasakan.
Gangguan ini dapat terjadi secara bertahap selama beberapa
bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan
kerusakan progresif pada sendi. Pengobatan yang diberikan
kepada pasien rheumatoid arthritis yaitu menggunakan obat
modifikasi antirheumatic (DMARDs), obat ini harus
diberikan dengan hati-hati karena berpotensi beracun.
Perawatan yang dilakukan juga bersifat paliatif untuk
kenyamanan pasien serta diberikan dukungan khusus
kepada pasien dan merubah gaya hidup pasien (Touhy &
Jett, 2014)
2.3.2.3 Gout
Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi
yang ditandai dengan adanya inflamasi pada sendi akibat
akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett, 2014). Kadar
asam urat dalam tubuh ditentukan dari keseimbangan antara
produksinya baik melalui asupan purin dalam diet atau
produksi endogen dan ekskresi ginjal. Menurut Ragab et al
(2017), gout merupakan penyakit sistemik yang dihasilkan
dari pengendapan kristal Monosodium Urat (MSU) dalam
jaringan. MSU dapat disimpan disemua jaringan terutama
di dalam sendi yang nantinya akan membentuk tophi.
Asam urat merupakan produk sampingan dari purin
yang disintesis dari makanan yang dikonsumsi (Touhy &
Jett, 2014). Purin merupakan salah satu komponen utama
dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin.
Purin akan terkonversi menjadi asam urat yang normalnya
dapat difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urin.
Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan
tubuh (Ragab et al, 2017). Namun, dalam kondisi patologis
yaitu ketika terjadi kenaikan asam urat diatas 6,8 mg/dL,
maka akan terjadi deposisi asam urat di jaringan. Asam urat
tersebut akan kehilangan proton dan akan menjadi ion urat
yang kemudian mengikat natrium dan berkembang menjadi
kristal MSU (Ragab et al, 2017). Walaupun demikian,
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH cairan sinovial,
konsentrasi air, tingkat elektrolit, dan komponen sinovial
lainnya seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab et al,
2017).
Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan
manifestasi klinis pada penderita gout. Pada tahap akut,
pengendapan kristal MSU dapat mengakibatkan nyeri akut,
pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian sendi
yang nyeri (Tabloski, 2014). Hal ini diakibatkan oleh
proses inflamasi dari sel darah putih yang bermigrasi ke
sendi untuk membantu menghilangkan MSU. Sementara,
pada tahap kronik atau yang biasa disebut dengan gout
thopaceous dimulai dari paling cepat 3 tahun atau paling
lambat 40 tahun setelah serangan akut. Individu akan
mengalami nyeri sendi yang persisten dan kaku sendi pada
pagi hari (Tabloski, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan
sulitnya individu untuk menggerakan tangan dan kakinya
sehingga, Ia akan menjadi sulit untuk melakukan mobilisasi.
Pada lansia umumnya jarang terjadi serangan yang akut
namun, gout akan terlihat sebagai manifestasi arthritis yang
kronik dengan kumpulan tophi pada jari-jari kaki, jari-jari
tangan, siku, dan lutut (Tabloski, 2014).
Salah satu kondisi yang mengakibatkan terjadinya gout
ialah hyperuricemia. Namun, Ragab et al (2017)
mengungkapkan bahwa banyak individu yang menderita
hyperuricemia tidak berlanjut menjadi gout atau
membentuk kristal asam urat. Hanya 5% individu yang
memiliki nilai asam urat diatas 9 mg/dL yang menderita
gout (Ragab et al, 2017). Faktor predisposisi lain yang
mengakibatkan gout ialah kelainan genetik metabolisme
purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin
yang berlebih. Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik,
mengurangi asupan makanan purin pun tidak
mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al,
2017). Faktor lain yang berkontribusi pada gout ialah
konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet tinggi purin,
obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic,
aspirin, cyclosporine, dan ledovopa (Touhy & Jett, 2014)
Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah
identifikasi kristal MSU melalui aspirasi cairan sinovial
(Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan dilihat
menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel
dapat bertahan selama 24 jam dalam penyimpanan pada
suhu 4˚C, namun hal ini dapat memungkinkan hilangnya
kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan
sedini mungkin dan waktu terbaik ialah 6 jam setelah
sampel diambil (Ragab et al, 2017). Analisis lebih lanjut
mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut,
leukositik cairan sinovial dapat melebihi 50.000 sel/μL.
Pengkajian lain juga dapat menggunakan urin 24 jam untuk
mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al, 2017). Adanya
asam urat melebihi 800m/24 jam, dapat mengindikasikan
gout. Selain itu, pengkajian lain juga dapat melalui
Ultrasound, Conventional Radiography, dan Double
Countour Sign (DCT).
Penatalaksanaan medis untuk gout bertujuan untuk
mencegah serangan, mencegah penyebaran penyakit, dan
mencegah perkembangan gout menjadi kronis. Obat-obatan
yang diberikan untuk menurunkan produksi asam urat
misalnya allopurinol, colchicine (Touhy & Jett, 2014).
Dapat juga diberikan obat untuk meningkatkan ekskresi
asam urat itu sendiri misalnya probenecid. Peran perawat
untuk pengobatan individu dengan gout ialah memastikan
intake cairan adekuat yaitu 2L/hari (jika tidak ada
kontraindikasi) agar asam urat dapat di ekskresi melalui
ginjal (Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu
memberikan edukasi terkait efek samping obat, tidak terjadi
serangan berulang dengan edukasi untuk menghindari
makanan yang dapat meningkatkan asam urat seperti jeroan,
daging merah, sarden, jamur, kacang-kacangan, dan kerang
(Touhy & Jett, 2014)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS

3.1 PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan dalam pengkajian riwayat keperawatan, perawat
perlu mengindentifkasi adanya :

a. Rasa nyeri/sakit tulang punggung (bagian bawah) leher, dan


pinggang

b. berat badan menurun

c. Biasanya diatas 45tahun

d. Jenis kelamin pada wanita

e. Pola latihan dan aktivitas

f. Keadaan nutrisi (mis,kurang vitamin D dan C,serta kalsium)

g. Merokok,mengonsumsi alkohol dan kafein

h. Adanya penyakit endokrin; diabetes melitus, hipertiroid,


hiperparatiroid, Sindrom Cushing, akromegali, hipogonadisme

2. Pemeriksaan fisik :

a. Lakukan penekanan pada tulang punggung terdapat nyeri tekanan


atau nyeri pergerakan

b. Periksa mobilita pasien

c. Amati posisi pasien yang nampak membungkuk

3. Riwayat psikososial. Penyakit yang sering terjadi pada wanita, biasanya


sering timbul kecemasan, takut mekakukan aktivitas ,dan perubahan
konsp diri. Perawatan perlu mengkaji masalah-masalah psikologis yang
timbul akbiat proses ketuaan dan efek penykit yang menyertainya.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan untuk pasien
oscoeporosis yang mengalami fraktur vertebra spontan sebagian berikut :

1. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan proses penyakit

2. Gangguan konsep diri perubahan citra tubuh dan harga diri yang
berhubungan dengan proses penyakit.

3. Nyeri yang berhubungan dengan fraktur dan spasme otot

4. Risiko cedera(fraktur) yang berhubungan dengan tulang osteoporosis

5. Kurang pengetahuan tentang keperawatan dirumah.


3.3 INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Intervensi dan implementasi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan diagnosa yang ditemukan, seperti yang digunakan
pada tabel hlm 77-79

Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi

Hambatan mobilitas fisik Dapat meningkatkan mobilitas 1. Gunakan matras dengan tempat tidur papan untuk
dan aktivitas fisik. membantu memperbaiki posisi tulang belakang.

2. Bantu pasien menggunakan alat bantu walker atau tongkat.

3. Bantu dan ajarkan latihan ROM setiap 4 jam untuk


meningkatkan fungsi persendian dan mencegah kontraktur.

4. Anjurkan menggunakan brace punggung atau korset, pasien


perlu dilatih menggunakannya dan jelaskan tujuannya.

5. Kolaborasi dalam pemberian analgesik, esterogen, kalsium


dan vitamin D.

6. Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam memantau


kadar kalium.
Gangguan konsep diri Dapat menggunakan koping yang 1. Bantu pasien mengekpresikan perasaan dan dengarkan
positif dengan penuh perhatian. Perhatian sungguh-sungguh dapat
meyakinkan pasien bahwa perawat bersedia membantu
mengatasi masalahnya dan akan tercipta hubungan yang
harmonis sehingga timbul koordinasi.

2. Klarifikasi jika terjadi kesalahpahaman tentang proses


penyakit dan pengobatan yang telah diberikan. Klarifikasi
ini dapat meningkatkan koordinasi pasien selama
perawatan.
3. Bantu pasien mengidentifikasi pengalaman masa lalu yang
menimbulkan kesuksesan atau kebanggaan saat itu. Ini
dapat membantu upaya mengenal diri dan menerima diri
kembali.

4. Identifikasi bersama pasien tentang alternatif pemecahan


masalah yang positif. Hal ini akan dapat mengembalikan
rasa percaya diri.

5. Bantu untuk meningkatkan komunikasi dengan keluarga


dan teman.

Nyeri yang berhubungan Nyeri reda 1. Anjurkan istirahat ditempat tidur dengan posisi telentang
dngan fraktur dan spasme atau miring.
otot
2. Atur posisi lutut fleksi, meningkatkan rasa nyaman dengan
merelaksasi otot.

3. Kompres hangat intermiten dan pijat punggung dapat


memperbaiki relaksasi otot.

4. Anjurkan posisi tubuh yang baik dan ajarkan mekanika


tubuh.

5. Gunakan korset/brace punggung, saat pasien turun dari


tempat tidur.

6. Kolaborasi dalam pemberian analgesik untuk mengurangi


nyeri.

1. Anjurkan melakukan aktivitas fisik untuk memperkuat


otot, mencegah atrofi, dan memperlambat demineralisasi

Resiko cedera (fraktur) Cedera tidak terjadi tulang progesif.

yang berhubungan dengan 2. Latihan isometrik dapat digunakan untuk memperkuat otot
tulang osteoporosis batang tubuh.

3. Anjurkan pasien untuk berjalan, mekanika tubuh yang


baik, dan postur tubuh yang baik.

4. Hindari aktivitas membungkuk mendadak, melengok, dan


mengangkat beban lama.
5. Lakukan aktivitas diluar ruangan dan dibawah sinar
matahari untuk memperbaiki kemampuan tubuh
menghasilkan vitamin D.

1. Jelaskan pentingnya diet yang tepat, latihan, dan aktivitas


fisik yang sesuai, serta istirahat yang cukup.

2. Jelaskan penggunaan obat serta efek samping obat yang

Kurang pengetahuan diberikan secara detail.

Memahami osteoporosis dan 3. Jelaskan pentingnya lingkungan yang aman. Misalnya

program pengobatan lantai tidak licin, tangga menggunakan pegangan untuk


menghindari jatuh.

4. Anjurkan mengurangi kafein, alkohol, dan merokok.

5. Jelaskan pentingnya perawatan lanjutan.


4.3 Evaluasi Keperawatan
Setelah dilkaukan intervensi keperawatan diharapakan:

1. Aktivitas dan mobilitas fisik terpenuhi

a. Melakukan ROM secara teratur

b. Menggunakan alat bantu saat aktivitas

c. Menggunakan brad/korset saat aktivitas

2. Koping pasien positif

a. Mengekspresikan perasaan

b. Memilih alternatif pemecahan masalah

c. Meningkatkan komunitas

3. Nyeri berkurang/hilang

a. Mengalami peredaan nyeri saat istirahat

b. Mengalami ketidaknyamanan minimal selamaaktivitas sehari-hari

c. Menunjukkan berkuarangnyanyeri tekanan pada tempat fraktur


4. Tidak terjadi cedera

a. Mempertahankan postur tubuh yang baik.

b. Menggunakan mekanika tubuh yang baik.

c. Latihan isometrik.

d. Berpatisipasi dalam aktivitas diluar rumah.

e. Mnghindari aktivitas yang menimbulkan cedera.

5. Mendapatkan pengetahuan mengenai osteoporosis dan program pengobatan

a. Menyebutkan hubungan asupan kalsium dan latihan fisik terhadap massa tulang.

b. Mengkonsumsi kalsium dengan jumlah yang mencukupi.

c. Meningkatkan latihan fisik.

d. Mengetahui waktu perawatan lanjutan.


BAB 4
PEMBAHASAN

Вам также может понравиться

  • SAP Batuk Efektif
    SAP Batuk Efektif
    Документ7 страниц
    SAP Batuk Efektif
    adinda
    Оценок пока нет
  • Etika Batuk
    Etika Batuk
    Документ10 страниц
    Etika Batuk
    adinda
    Оценок пока нет
  • Gadar II Stroke
    Gadar II Stroke
    Документ29 страниц
    Gadar II Stroke
    adinda
    Оценок пока нет
  • Diabetes Mellitus
    Diabetes Mellitus
    Документ11 страниц
    Diabetes Mellitus
    adinda
    Оценок пока нет
  • Etika Batuk
    Etika Batuk
    Документ11 страниц
    Etika Batuk
    adinda
    Оценок пока нет
  • Diabetes Mellitus
    Diabetes Mellitus
    Документ11 страниц
    Diabetes Mellitus
    adinda
    Оценок пока нет
  • Ibd Sistem Imun
    Ibd Sistem Imun
    Документ14 страниц
    Ibd Sistem Imun
    adinda
    Оценок пока нет
  • Budaya Kerokan
    Budaya Kerokan
    Документ8 страниц
    Budaya Kerokan
    adinda
    Оценок пока нет
  • Jiwa
    Jiwa
    Документ14 страниц
    Jiwa
    adinda
    Оценок пока нет
  • Timbnag Terima
    Timbnag Terima
    Документ9 страниц
    Timbnag Terima
    adinda
    Оценок пока нет
  • Timbnag Terima
    Timbnag Terima
    Документ9 страниц
    Timbnag Terima
    adinda
    Оценок пока нет
  • Tugas Andi
    Tugas Andi
    Документ18 страниц
    Tugas Andi
    adinda
    Оценок пока нет
  • Kisi Kisi-1
    Kisi Kisi-1
    Документ2 страницы
    Kisi Kisi-1
    adinda
    Оценок пока нет
  • Materi 1
    Materi 1
    Документ12 страниц
    Materi 1
    adinda
    Оценок пока нет
  • Tugas Andi
    Tugas Andi
    Документ18 страниц
    Tugas Andi
    adinda
    Оценок пока нет
  • Bacaan Shalat
    Bacaan Shalat
    Документ8 страниц
    Bacaan Shalat
    adinda
    Оценок пока нет
  • SATUAN ACARA PENYULUHAN Batuk Efektif
    SATUAN ACARA PENYULUHAN Batuk Efektif
    Документ9 страниц
    SATUAN ACARA PENYULUHAN Batuk Efektif
    Vita Rahayu
    Оценок пока нет
  • Tugas Andi
    Tugas Andi
    Документ4 страницы
    Tugas Andi
    adinda
    Оценок пока нет