Вы находитесь на странице: 1из 44

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pendengaran sebagai salah satu indera, memegang peranan yang sangat


penting karena perkembangan bicara sebagai komponen utama komunikasi pada
manusia yang sangat tergantung pada fungsi pendengaran. Gangguan
pendengaran merupakan defisit sensorik yang paling sering pada populasi
manusia, mempengaruhi lebih dari 250 juta orang di dunia.

Menurut ISO gangguan pendengaran terjadi jika kehilangan pendengaran


lebih dari 40 dB pada orang dewasa (15 tahun atau lebih) dan pada anak-anak (0-
14 tahun) lebih dari 30 dB.

Berdasarkan data WHO pada tahun 2012 terdapat 360 juta jiwa di dunia
menderita gangguan pendengaran (5,3% populasi di dunia). Diantaranya 328 juta
(91%) dari itu adalah orang dewasa (183 juta laki-laki dan 145 juta perempuan).
Dan 32 (9%) juta lainnya adalah anak-anak. Data prevalensi tersebut yang
mengalami gangguan pendengaran pada anak-anak yang terbanyak adalah di asia
selatan, asia pasifik dan afrika. Sekitar sepertiga yang menderita gangguan
pendengaran yaitu usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi dari gangguan pendengaran
pada dewasa sampai usia 65 tahun yang terbesar adalah di asia selatan, asia
pasifik dan afrika.

Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gangguan


pendengaran secara nasional sebesar 2,6% dengan prevalensi tertinggi terdapat di
Nusa Tenggara Timur (3,7%) sedangkan yang terendah di Banten (1,6%). Dalam
riskesdes 2013 diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada
kelompok umur 75 tahun keatas (36,6), disusul oleh kelompok umur 65-74 tahun
2

(17,1%). Angka prevalensi terkecil erada pada kelompok 5-14 tahun dan 15-24
tahun (masing-masing 0,8%).

Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan


cenderung sedikit lebih tinggi daripada laki-laki (2,8%; 2,4%), begitu juga
prevalensi ketulian prevalensi perempuan 0,10% dan laki-laki 0,09%.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami mengenai anatomi telinga,
fisiologi pendengaran, epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis,
penatalaksanaan dan komplikasi gangguan pendengaran

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


3

Auris (telinga) dibedakan atas bagian luar, tengah dan dalam.auris berfungsi
ganda; untuk keseimbangan dan untuk pendengaran. Membrane tympanica
memisahkan auris eksterna dan auris media atau cavum timpani. Tuba auditiva
menghubungkan auris media dengan nasopharynx.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga


2.1.1 Auris Eksterna

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus
acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga
terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi mengumpulkan
gelombang suara, sedangkan liang telinga menghantarkan suara menuju
membrana timpani (Moore, 2013).

Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3 cm. Sepertiga


bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak mengandung kelenjar
serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang
dengan sedikit serumen (Moore, 2013).
4

Gambar 2.2 Membran timpani

Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell)


yang terdiri dari dua lapisan,yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit
liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah
membran timpani disebut pars tensa (membran propria) yang memiliki satu
lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat
elastin (Moore, 2013).

2.1.2 Auris Media

Telinga tengah berbentuk kubus cavum timpani, tuba eustachius, dan


tulang pendengaran. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida
(membran Shrapnell) yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan luar
merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh
sel kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut pars tensa
(membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin (Moore, 2013).
5

Gambar 2.3 Tulang pendengaran

Tulang pendengaran terdiri atas maleus, inkus, dan stapes yang


tersusun dari luar ke dalam seperti rantai yang bersambung dari membrana
timpani menuju rongga telinga dalam (Pearce, 2008). Prosesus longus maleus
melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian. Tuba eustachius menghubungkan daerah nasofaring dengan
telinga tengah (Moore, 2013).

Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang


terletak di belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya
disebut antrum mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah.
Infeksi dapat menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum
mastoideus yang dapat menyebabkan mastoiditis (Moore, 2013).

2.1.3 Auris Interna


6

Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus,
duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi
oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar
diisi oleh trabekula (susunannya menyerupai spons) (Pearce, 2008).

Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau


puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala vestibuli
(sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala vestibuli
dan skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis) (Sherwood L.,
2013). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa dengan konsentrasi

K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi endolimfa

dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Hal ini penting untuk
pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut membrana vestibularis
(Reissner’s Membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrana
basilaris. Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung organel-
organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti
terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3000 sel dan tiga baris sel
rambut luar yang berisi 12000 sel. Ujung saraf aferen dan eferen menempel
pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat
stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung
datar, dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan
disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus
(Moore, 2013).

Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian, yaitu:
nervus vestibular (keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran). Serabut-
serabut saraf vestibular bergerak menuju nukleus vestibularis yang berada pada
titik pertemuan antara pons dan medula oblongata, kemudian menuju
cerebelum. Sedangkan, serabut saraf nervus kokhlear mula-mula dipancarkan
7

kepada sebuah nukleus khusus yang berada tepat dibelakang thalamus,


kemudian dipancarkan lagi menuju pusat penerima akhir dalam korteks otak
yang terletak pada bagian bawah lobus temporalis (Moore, 2013)

2.2 Fisiologi pendengaran

Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran telinga


luar kemudian membrane timpani bergetar sewaktu terkena getaran suara.
Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-
seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keuar
masuk seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga tengah memindahkan
geraka bergetar membrane timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini
dipermudah oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, incus, dan stapes) yang
berjalan melintasi telinga tengah. Ketika membrane timpani bergetar sebagai
respon terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak
dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut juga
bergerak dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut
dari membrane timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap
gerakan yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang suara semula.
Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan.
Tekanan tambahan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan cairan koklea
(Sherwood, 2012).

Gerakan cairan didalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval


mengikuti dua jalur: (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada membrane
vestibularis ke depan kemudian mengelilingi helikotrema menuju membrane
basilaris yang akan menyebabkan jendela bundar menonjol keluar dan kedalam
rongga telinga tengah untuk mengompensasi peningktan tekanan, dan (2) “jalan
pintas” dari skala vestibule melalui membrane basilaris ke skala timpani.
Perbedaan kedua jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui membrane
basilaris menyebabkan membrane ini bergetar secara sinkron dengan gelombang
tekanan (Tortora dan Derrickson, 2009).
8

Organ corti menumpang pada membrane basilaris, sehngga sel-sel rambut


juga bergerak naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Rambut-rambut
tersebut akan membengkok kedepan dan kebelakang sewaktu membrane basilaris
menggeser posisinya pada membrane tektorial sehinga menyebabkan saluran-
saluran ion gerbang mekanis terbukan dan tertutup secara bergantian. Hal ni
mnegakibatkan perubahan otensial berjenjang di reseptor, yang menimbulkan
perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga terjadi perubahan
pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Gelombang suara
diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang di persepsikan sebagai sensasi suara
(Sherwood, 2012).

Gambar 2.4 Transmisi Gelombang Suara

2.2.1 Mekanisme Pendengaran

Gelombang bunyi merupakan suatu gelombang getaran udara yang

timbul akibat getaran suatu obyek. Bunyi yang didengar oleh setiap orang muda
antara 20 dan 20.000 siklus per detik. Akan tetapi, batasan bunyi sangat
9

tergantung pada intensitas. Bila intesitas kekerasan 60 desibel di bawah 1


dyne/cm2 tingkat tekanan bunyi, rentang bunyi menjadi 500 sampai 5000 siklus
per detik. Pada orang yang lebih tua rentang frekuensi yang bisa didengarnya
akan menurun dari pada saat seseorang berusia muda, frekuensi pada orang
yang lebih tua menjadi 50 sampai 8000 siklus perdetik atau kurang (Guyton,
2012).

Kekerasan bunyi ditentukan oleh sistem pendengaran yang melalui tiga


cara. Cara yang pertama di mana ketika bunyi menjadi keras, amplitudo getaran
membran basiler dan sel-sel rambut menjadi meningkat sehingga akan
mengeksitasi ujung saraf dengan lebih cepat. Kedua, ketika amplitudo getaran
meningkat akan menyebabkan sel-sel rambut yang terletak di pinggir bagian
membran basilar yang beresonansi menjadi terangsang sehinga menyebabkan
penjumlahan spasial implus menjadi transmisi yang melalui banyak serabut
saraf. Ketiga, sel-sel rambut luar tidak akan terangsang secara bermakna sampai
dengan getaran membran basiler mencapai intensitas yang tinggi dan
perangsangan sel-sel ini tampaknya yang menggambarkan pada sistem saraf
bahwa tersebut sangat keras (Guyton, 2012).

Jaras persarafan pendengaran utama menunjukan bahwa serabut saraf dari


ganglion spiralis Corti memasuki nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang
terletak pada bagian atas medulla. Serabut sinaps akan berjalan ke nukleus
olivarius superior kemudian akan berjalan ke atas melalui lemnikus lateralis.
Dari lemnikus lateralis ada beberapa serabut yang berakhir di lemnikus lateralis
dan sebagian besar lagi berjalan ke kolikus inferior di mana tempat semua atau
hampir semua serabut pendengaran bersinaps. Jaras berjalan dari kolikus
inferior ke nukleus genikulum medial, kemudian jaras berlanjut melalui radiasio
auditorius ke korteks auditorik yang terutama terletak pada girus superior lobus
temporalis. (Guyton, 2012).
10

Gambar 2.5 Mekanisme Jaras Pendengaran


Pada batang otak terjadi persilangan antara kedua jaras di dalam korpus
trapezoid dalam komisura di antara dua inti lemniskus lateralis dan dalam
komnisura yang menghubungkan dua kolikulus inferior. Adanya serabut
kolateral dari traktus auditorius berjalan langsung ke dalam sistem aktivasi
retikuler di batang otak. Pada sistem ini akan mengaktivasi seluruh sistem saraf
untuk memberikan respon terhadap bunyi yang keras. Kolateral lain yang
menuju ke vermis serebelum juga akan di aktivasikan seketika jika ada bunyi
keras yang timbul mendadak. Orientasi spasial dengan derajat tinggi akan
dipertahankan oleh traktus serabut yang berasal dari koklea sampai ke korteks
(Guyton, 2012).

2.3 Gangguan pendengaran


11

2.3.1 Definisi

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total


untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian
gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran,
yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan, gangguan pendengaran sedang
dan gangguan pendengaran berat.

2.3.2 Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran

Tabel 1. Klasifikasi derjat gangguan pendengaran menurut International


Standard Organization (ISO) dan American Standard association (ASA)

Derajat Gangguan Pendengaran ISO ASA


Pendengaran Normal 10-25 dB 10-15 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang-Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat Lebih dari 90 dB Lebih dari 80 dB

2.3.3 Etiologi Gangguan Pendengaran

1. Robekan pada gendang telinga, lesi pada tulang pendengaran, atau


imobilisasi alat konduksi, misalnya disebabkan oleh infeksi purulen di
telinga tengah akan menghambat transmisi ke fenestra vestibule. Selain itu,
bila terdapat lubang di gendang telinga, fenestra koklea tidak akan lagi
terlindungi. Hal ini menyebabkan tuli telinga tengah. Sementara konduksi
melalui udara terganggu, konduksi tulang masih tetap normal.
2. Sel rambut dapat rusak oleh tekanan suara (akibat terpapar oleh suara yang
terlalu keas untuk jangka waktu yang terlalu lama) dan iskemia. Untunglah
karena kandungan glikogen yang tinggi, sel rambut dapat bertahan terhadap
iskemia untuk waktu singkat melalui glikolisis anaerob. Sel rambut juga
dapat dirusak oleh obat tertentu, seperti antibiotik aminoglikosida dan agen
kemoterapeutik sisplatin, yang melalui stria vaskularis akan terakumulasi di
12

endolimfe. Hal ini menyebabkan tuli telinga dalam yang akan sama-sama
mempengaruhi konduksi udara dan tulang. Ambang pendengaran dan
perpindahan komponen aktif membrane basilar akan dipengaruhi sehingga
kemampuan untuk membedakan berbagai nada frekuensi yang lebih tinggi
terganggu. Akhirnya, depolarisasi sel rambut dalam yang tidak adekuat
dapat mneghasilkan sensasi suara yang tidak biasa dan mengganggu (tinitus
subyektif) hal ini juga dapat disebabkan oleh eksitasi neuron yang tidak
adekuat pada jaras pendengaran atau korteks auditorik.
3. Kekakuan membrane basiler akan mnegganggu mikromekanis sehingga
mungkin berperan dalam ketulian pada usia lanjut

4. Tuli telinga dalam dapat juga disebabkan oleh sekresi endolimfe yang
abnormal. Jadi, loop diuretics pada dosis tinggi tidak hanya menghambat
kotranspor Na+-K+-2Cl- ginjal, tetapi juga dipendengaran. Selain itu,
kelainan genetik (jarang) pada kanal K+ di lumen juga telah diketahui
menyebabkan hal tersebut. Kanal K+ yang terdiri dari subunit (isK/KVLQTI),
yang juga diekspresikan di jantung (juga pada organ lain), berperan dalam
proses repolarisasi. Defek KVLQTI atau IsK tidak hanya menyebabkan
ketulian, tetapi juga perlambatan repolarisasi miokardium (interval QT
memanjang [sindrom Jervell, Large-Nielsen]). Gangguan penyerapan
endolimfe juga dapat menyebabkan tuli. Ruan endolimfe menjadi menonjol
keluar sehingga mengganggu hubungan antara sel rambut dan membrane
tektorial (edema endolimfe). Akhirnya, peningkatan permeabilitas antara
ruang endolimfe dan perilimfe mungkin berperan dalam penyakit Meniere,
yang ditandai oleh serangan tuli dan vertigo.

2.3.4 Jenis Gangguan Pendengaran

Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu tuli konduktif, tuli


sendorineural dan campuran. Menurut Center for Disease Control and
Prevention pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah didalam
telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorieural
13

terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Sedangkan,


tuli campuran disebabkan oleh kombinasi dari tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Menurut WHO-SEARO (South East Asia Regional Office)
Intercountry Meeting (Colombo, 2002) faktor penyebab gangguan pendengaran
adalah otitis media supuratif kronik (OMSK), tuli sejak lahir, pemakaian obat
ototoksik, paparan bising dan serumen prop.

1. Tuli sensorineural
Menurut Centers of Disease Control and Prevention (CDC) (2011), tuli
sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang terjadi akibat adanya
gangguan pada sepanjang telinga bagian dalam ataupun gangguan pada
sepanjang telinga bagian dalam ataupun gangguan pada fungsi saraf
pendengaran. Tuli sensorineural dapat dibagi menjadi tuli sensorineural
koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.
Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (congenital),
labirinitis (oleh bakteri/virus), intoksikasi obat streptomisin, kanamisin,
neomisin, kina, asetosal atau alkohol. Selain itu, tuli sensorineural juga
dapat disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis,
trauma akustik, dan pajanan bising.
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik,
tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan
otak, dan sebagainya.

Patofisiologi

Perjalanan penyakit dari tuli sensorineural disebabkan oleh beberapa


hal sesuai dengan etiologi yang sudah disebutkan diatas. Pada tuli
sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam),
nervus VIII atau di pusat pendengaran. Sel rambut dapat dirusak oleh
tekanan udara akibat terpapar oleh suara yang terlalu keras untuk jangka
waktu yang lama dan iskemia. Kandungan glikogen yang tinggi membuat
sel rambut dapat bertahan terhadap iskemia melalui glikolisis anaerob.
14

a. Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik


Definisi
Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang
terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Ganggu-an yang
terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli
sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara,
atau tidak dapat diubah dan permanen.
Etiologi
Mengkonsumsi obat-obatan yang memiliki sifat ototoksik seperti
antibiotik aminoglikosid selama 14 hari baik diminum ataupun melalui
suntikan akan dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran
(Kusumawati, 2012). Ototoksik adalah gangguan pendengaran yang
terjadi akibat efek samping dari konsumsi obat-obatan.
Beratnya gangguan pendengaran yang terjadi sebanding dengan
lama pemakaian, jenis obat dan jumlah obat yang diberikan serta kondisi
ginjal. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh penggunaan obat
yang bersifat ototoksik tidak dapat diobati maka sangat penting
dilakukan proses pencegahan ataupun penanggulangan seperti
menghentikan konsumsi obat yang bersifat ototoksik dan melakukan
rehabilitasi dengan menggunakan alat bantu dengar.
Patofisiologi
Sel rambut juga dapat dirusak oleh obat-obatan, seperti antibiotik
aminoglikosida dan agen kemoterapeutik cisplatin, yang melalui stria
vaskularis akan terakumulasi di endolimfe. Hal ini yang menyebabkan
tuli telinga dalam yang nantinya mempengaruhi konduksi udara dan
tulang. Ambang pendengaran dan perpindahan komponen aktif membran
basilar akan terpengaruh sehingga kemampuan untuk membedakan
berbagai nada frekuensi yang tinggi menjadi terganggu. Akhirnya,
depolarisasi sel rambut dalam tidak adekuat dapat menghasilkan sensasi
suara yang tidak biasa dan mengganggu (tinitus subyektif). Hal ini bisa
juga disebabkan oleh eksitasi neuron yang tidak adekuat pada jaras
pendengaran atau korteks auditorik.
Gejala klinis
15

Gejala pertama dari toksisitas adalah timbulnya tinnitus nada tinggi. Jika
pemakaian tidak dihentikan, gangguan pendengaran dapat terjadi setelah
beberapa hari. Suara mendenging ini dapat bertahan selama beberapa
hari hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena persepsi
suara dalam rentang frekuensi tinggi (diluar pembicaraan normal)
merupakan yang pertama hilang, maka individu yang terganggu
terkadang tidak sadar akan kesulitas ini, dan tidak akan dapat terdeteksi
kecuali dilakukan pemeriksaan audiometri.
Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan
pendengaran hingga pada suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada
frekuensi 3000 Hz- 4000Hz. Monitoring fungsi pendengaran penting
pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau pada pasien yang
mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis normal
(Chamber, 2007).
Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah
pengobatan selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran
akibat pemakaian obat ototoksik bersifat sensorineural. Antibiotika yang
bersifat ototoksik mempunyai ciri-ciri penurunan tajam untuk frekuensi
tinggi pada audiogram, sedangkan diuretic menghasilkan gambaran
audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak jarang
terdapat pula gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi
pandangan, terutama setelah perubahan posisi (Soetirto, 2001).
Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati.
Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada
telinga dalam setelah dilakukan pemeriksaan audiometri, maka
pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat
ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah,
dan lamanya pengobatan.
Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal,
renal, serta sifat obat itu sendiri juga mempengaruhi kemunculan gejala
ototoksik.
16

Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi


antara lain dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training,
belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat.
Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan
implan koklea.
b. Tuli Akibat Bising
Definisi
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak
dikehendaki. Dari definisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu
sangat subyektif, tergantung dari masing-masing individu, waktu dan
tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi. Cacat
pendengaran akibat kerja (occupational deafness/noise induced hearing
loss) adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang
yang bersifat permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang
disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan tempat kerja. Dalam
lingkungan industri, semakin tinggi intensitas kebisingan dan semakin
lama waktu pemaparan kebisingan yang dialami oleh para pekerja,
semakin berat gangguan pendengaran yang ditimbulkan pada para
pekerja tersebut.
Etiologi
1. Intensitas kebisingan
2. Frekwensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
Patofisiologi
Tuli akibat bising mempengaruhi organ corti di koklea terutama sel-
sel rambut. Daerah pertama yang terkena adalah sel-sel rambut luar yang
menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan
intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi
kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan
bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banya
17

kerusakan seperti hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali


terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel
rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi
intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang
juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut,
dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dijumpai di nucleus
pendengaran pada batang otak.

Gejala klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam
berbicara (speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada
frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan
membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara
bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali.
Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang
sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman
pendengaran dan konsentrasi.
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise
induced hearing loss) adalah :
1. Bersifat sensorineural
2. Hampir selalu bilateral
3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing
loss). Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.
4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi
penurunanpendengaran yang signifikan.
5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000,
4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada
frekwensi 4000Hz.
6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000,
4000 dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 –
15 tahun.
7. Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditory), bising yang
berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh
18

terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur


sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.

Penatalaksanaan

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan


kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat
dipergunakan alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga (ear
plugs), tutup telinga (ear muffs) dan pelindung kepala (helmet).

Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat
menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah
mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan
biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar (ABD). Apabila
pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai
ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan
psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya. Latihan
pendengaran (auditory training) juga dapat dilakukan agar pasien dapat
menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu
dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota
badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.

2. Tuli konduktif
Terjadi pada 8% dari seluruh kejadian gangguan pendengaran.
disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna, membran
timpani, atau telinga tengah sehingga terjadi gangguan transmisi suara
secara mekanik. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60 dB
karena dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hataran melalui tulang)
bila intensitasnya tinggi. Pada gangguan jenis ini, transmisi gelombang
19

suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan
karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan
tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak
ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran
nervus vestibulokoklearis (N.VIII).
Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.
Kelainan telinga luar meyebabkan tuli konduktif adalah otalgia, atresia liang
telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumkripta, otitis eksterna
maligna, dan osteoma liang telinga. Kelainan telinga tengah yang
menyebabkan tuli konduktif adalah sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, dan dislokasi tulang
pendengaran.
Etiologi
a. Dermatitis kronik pada telinga luar
b. Liang telinga sempit
c. Produksi serumen terlalu banyak dan kental
d. Terdorongnya serumen ke lubang lebih dalam (karena kebiasaan
mengorek telinga)
Patofisiologi
Impaksi serumen (sumbatan oleh serumen yang keras)
Telinga luar  dalam kulit kanal auditoris eksterna  glandula serumenosa
 sekresi substansi lilin  serumen  tertimbun  kanalis eksternus 
menumpuk  menutup hantaran suara lewat udara  reseptor gagal
menerima suara  tuli konduktif
Gejala klinis
Gejala yang umumnya dirasakan penderita penyakit impaksi serumen,
antara lain:
-Pendengaran berkurang karena telinga tersumbat
-Rasa nyeri apabila serumen menekan keras membatu dan
menekan dinding telinga
20

-Vertigo dan tinnitus bila serumen menekan membrane timpani

Penatalaksanaan
Serumen dapat dilunakkan dengan meneteskan beberapa tetes
gliserin hangat, minyak mineral, atau hidrogen peroksida perbandingan
setengah selama 30 menit sebelum pengangkatan. Bahan seruminolitik,
seperti peroksida dalam gliseril (Debrox) atau Cerumenex juga tersedia;
namun, senyawa ini dapat menyebabkan reaksi alergi dalam bentuk
dermatitis. Pemakaian larutan ini dua sampai tiga kali sehari selama
beberapa hari biasanya sudah mencukupi untuk memudahkan pengangkatan
impaksi. Bila impaksi serumen tak dapat dilepaskan dengan cara ini, dapat
diangkat oleh petugas perawatan kesehatan dengan instrumen khusus seperti
kuret serumen dan pengisap aural yang menggunakan mikroskop binokuler
untuk pembesaran.
Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan
menyebabkan gatal-gatal, nyeri serta tuli yang bersifat sementara dan dokter
akan membuang serumen tersebut dengan cara menyemburnya secara
perlahan dengan menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi jika dari telinga
keluar nanah, terjadi perforasi gendang telinga atau terdapat infeksi telinga
yang berulang, maka irigasi tidak dapat dilakukan karena air bisa masuk ke
telinga tengah dan kemungkinan akan memperburuk infeksi. Pada keadaan
ini, serumen dibuang dengan menggunakan alat yang tumpul atau dengan
alat penghisap. Biasanya tidak digunakan pelarut serumen karena bisa
menimbulkan iritasi atau reaksi alergi pada kulit saluran telinga dan tidak
mampu melarutkan serumen secara adekuat.
Adapun cara-cara untuk mengeluarkan serumen yang menumpuk di
liang telinga, antara lain:
21

a. Serumen yang lembek/ cair dibersihkan dengan kapas yang


dililitkan pada aplikator (pelilit). Membersihkannya pun jangan
terlampau dalam. Cukup 1/3 luar liang telinga saja.
b. Jangan terlalu sering membersihkan telinga. Cukup seminggu
sekali.
c. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret.
d. Serumen yang sangat keras (membatu), dilembekkan terlebih
dahulu dengan karbogliserin 10%, 3 x 5 tetes sehari, selama 3 – 5 hari,
setelah itu dikeluarkan dengan pengait atau kuret dan bila perlu
dilakukan irigasi telinga dengan air yang suhunya sesuai dengan suhu
tubuh.
e. Serumen yang terlalu dalam dan mendekati membran timpani
dikeluarkan dengan cara mengirigasi liang telinga dengan menggunakan
air hangat bersuhu 37 oC agar tidak menimbulkan vertigo karena
terangsangnya vestibuler.
f. Jika terdapat perforasi atau riwayat perforasi tidak boleh
diirigasi
g. Saat membersihkan, gunakan gerakan mengorek keluar,
bukan gerakan mendorong ke dalam.
h. Bila kotoran terasa penuh dan banyak, sebaiknya minta
bantuan dokter spesialis. Usahakan tidak membersihkan secara mandiri.
Selain kita tidak tahu seberapa dalam mengorek liang telinga, mungkin
kotoran justru akan semakin terdorong ke dalam.
i. Disarankan mengunjungi dokter setidaknya enam bulan
sekali untuk memeriksakan kesehatan telinga

3. Tuli Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran
jenis konduksi dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula
gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya
22

otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan


sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran
jenis sensorineural. Lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran
(misalnya presbikusis), kemudian terkena otitis media. Kedua gangguan
tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat
sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, Hendarmin,
dan Bashiruddin, 2007).
2.4 Diagnosis gangguan pendengaran
Menurut AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery), langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli
sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala,
pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian atau
hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural, atau
campuran. Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran
timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang
menghantarkan gelombang suara ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural
disebabkan oleh adanya abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan struktur lain
yang mengolah impuls neural ke korteks auditorik di otak (Bashiruddin, Soetirto,
2007).

Tuli konduktif dan tuli sensorineural memerlukan penanganan yang sangat


berbeda. Sebagai contoh, tuli konduktif yang terjadi akibat impaksi serumen dapat
ditangani dengan evakuasi serumen, lain halnya dengan penanganan pada tuli
sensorineural yang lebih kompleks karena penyebabnya sering tidak diketahui
(Stacler, 2012).

1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian


(berlangsung tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil),
persepsi subjektif pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian
(unilateral atau bilateral). Selain itu, ditanyakan juga gejala yang menyertai
23

seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia,


otorea, nyeri kepala, keluhan neurologis, dan keluhan sistemik lainnya.
Riwayat trauma, konsumsi obat-obat ototoksik, operasi dan penyakit
sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap kebisingan, serta faktor
predisposisi lain yang penting juga perlu ditanyakan. (Bashiruddin,
Soetirto, 2007).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi saluran telinga dan


membran timpani untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
Penyebab tuli konduktif berupa impaksi serumen, otitis media, benda asing,
perforasi membran timpani, otitis eksterna yang menyebabkan edema
saluran telinga, otosklerosis, trauma, dan kolesteatoma. Sebagian besar
kondisi ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak,
pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu
mendapatkan hasil normal. Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan
neurologis juga dilakukan, terutama pada pasien dengan tuli mendadak
bilateral, tuli mendadak dengan episode rekuren, dan tuli mendadak dengan
defisit neurologis fokal, untuk mencari kelainan serta penyakit penyerta
lainnya (Bashiruddin, Soetirto, 2007).

3. Hum Test dan Tes Penala

Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan hum test dan tes penala untuk
membantu klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural
sebelum dilakukan pemeriksaan audiometri. Pada hum test, pasien diminta
bersenandung dan kemudian memberitahu apakah suara didengar lebih
keras di satu telinga atau sama di keduanya. Pada tuli konduktif, suara akan
terdengar lebih keras pada telinga yang sakit, sebaliknya pada tuli
sensorineural suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang sehat.
Menurut AAO-HNS guideline, tes penala dapat digunakan untuk
24

konfirmasi temuan audiometri. Tes penala berupa tes Weber dan tes Rinne
dilakukan dengan alat bantu garpu tala 256 Hz atau 512 Hz juga melihat
ada tidaknya lateralisasi ke salah satu sisi telinga (Bashiruddin, Soetirto,
2007).

Tabel 2. Derajat Penurunan Pendengaran Menurut WHO


25

Gambar 2.6 Pemeriksaan Rinne dan Webber

4. Pemeriksaan Audiometri

Pemeriksaan audiometri bertujuan untuk mengetahui derajat ketulian secara


kuantitatif dan mengetahui keadaan fungsi pendengaran secara kualitatif
(pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensoneural dan tuli campuran).
Pemeriksaan audiometri diawali dengan menempatkan pasien pada ruangan
kedap suara, selanjutnya pasien akan mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh
audiogram melalui earphone. Pasien harus memberi tanda saat mulai mendengar
26

bunyi dan saat bunyi tersebut menghilang. Cara membaca hasil audiometri adalah
dengan melihat grafik yang dihasilkan. Grafik Air Conductor (AC) untuk
menunjukan hantaran udara, sedangkan grafik Bone Conductor (BC) untuk
melihat hantaran tulang. Telinga kiri ditandai dengan warna biru, sedangkan
telinga kanan ditandai dengan warna merah.

Derajat ketulian dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher,


adapun rumus dari indeks Fletcher yaitu: Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz +
AD 1.000 Hz + AD 2.000 Hz + AD 4.000 Hz (Soepardi, dkk., 2012). Derajat
pendengaran seseorang yang masih berada diantara 0 sampai dengan 25 dBA
dikatagorikan normal, 26 sampai 40 dBA dikatagorikan sebagai penurunan
gangguan pendengaran ringan, 41 sampai 55 dBA dikatagorikan sebagai
penurunan gangguan pendengaran sedang, 56 sampai 70 dBA dikatagorikan
sebagai tuli sedang berat, 71 sampai 90 dBA dikatagorikan sebagai tuli berat dan
jika lebih dari 90 dBA maka dikategorikan sebagai tuli sangat berat.

Jika dilihat berdasarkan hasil grafik audiogram, seseorang dikatagorikan


normal apabila konduksi udara lebih bagus dari konduksi tulang. Hal ini dapat
teridentifikasi apabila grafik BC berimpit dengan grafik AC dan AC serta BC
sama atau kurang dari 25 dBA.
27

Gambar 2.7 Interpretasi Audiometri Normal

Gangguan pendengaran konduktif dapat teridentifikasi jika grafik AC turun


lebih dari 25 dBA dan BC normal atau kurang dari 25 dBA. Kondisi gangguan
pendengaran konduktif terjadi jika konduksi tulang lebih baik dari konduksi
udara.
28

INCLUDEPICTURE "http://www.aafp.org/afp/2013/0101/hi-
res/afp20130101p41-f1.gif" \* MERGEFORMATINET

Gambar 2.8 Tuli Konduktif pada telinga kanan

Kemudian, seseorang dikatakan gangguan pendengaran sensorineural jika


konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang. Letak grafik pada penderita
gangguan sensorineural adalah grafik BC berimpit dengan grafik AC, namun
kedua grafik turun lebih dari 25 dBA. Sedangkan gangguan pendengaran
campuran terjadi jika grafik BC turun lebih dari 25 dBA dan AC turun lebih besar
dari BC (Soepardi, dkk., 2012).
29

INCLUDEPICTURE "http://www.aafp.org/afp/2013/0101/hi-res/afp20130101p41-
f3.gif" \* MERGEFORMATINET

Gambar 2.9 Gangguan Pendengaran sensorineural akibat bising

5. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan


riwayat pasien serta kemungkinan etiologi. Pemeriksaan laboratorium rutin
tidak spesifik tidak direkomendasikan sebab jarang terbukti membantu
menentukan etiologi tuli mendadak.

6. Pemeriksaan auditory brainstem response (ABR)

Pemeriksaan auditory brainstem response (ABR) dapat memberikan


informasi tambahan mengenai sistem auditorik. Pemeriksaan ABR ini
berguna mengevaluasi kemungkinan etiologi retrokoklea dan dapat
digunakan untuk menetapkan ambang batas pendengaran pada pasien yang
sulit diperiksa, seperti anak-anak, orang tua, dan malingerers. Pemeriksaan
30

ABR memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi lesi retrokoklea, tetapi


terbatas hanya untuk mendeteksi vestibular schwannoma yang berukuran
lebih dari 1 cm. Sensitivitas ABR untuk mendeteksi vestibular
schwannoma ukuran kecil sekitar 8-42% saat ini menurun bila
dibandingkan dengan akurasi diagnostik pencitraan resonansi magnetik
(MRI).

Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI merupakan baku emas diagnosis vestibular


schwannoma. Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium dinilai memiliki sensitivitas
tinggi dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas retrokoklea,
seperti neoplasma, stroke, atau penyakit demielinisasi. Pada pasien dengan alat
pacu jantung, implant logam, dan klaustrofobia, yang menjadi kontraindikasi
pemeriksaan MRI, dapat dilakukan alternatif lain berupa pemeriksaan tomografi
komputer (CT Scan), pemeriksaan ABR, atau keduanya. Kedua pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas lebih rendah dibandingkan MRI dalam mendeteksi kelainan
retrokoklea.

2.5 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran

Kortikosteroid sistemik

Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade infl amasi


kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang dimodifi kasi oleh terapi steroid.
Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena,
dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam
meningkatkan aliran darah koklea (Stachler, 2012).

Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison oral yang
direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60
mg/hari selama 10-14 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan
metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Sebuah data yang representatif
31

menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti


tapering off 10 mg setiap dua hari (Stachler, 2012).

Efek samping prednison meliputi insomnia, dizziness, kenaikan berat


badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif, dan hiperglikemia.
Efek samping lain yang cukup berat, tetapi jarang ditemukan, yakni pankreatitis,
perdarahan, hipertensi, katarak, miopati, infeksi oportunistik, osteoporosis, dan
osteonekrosis. Oleh sebab itu, untuk meminimalkan risiko, pasien dengan kondisi
medis sistemik, seperti insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), diabetes
tidak terkontrol, hipertensi labil, tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak
disarankan diberi terapi kortikosteroid sistemik (Stachler, 2012).

Kortikosteroid Intratimpani

Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani


sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada
pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. Terapi
kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif untuk pasien diabetes yang
tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik. Steroid diberikan dengan sebuah
jarum melalui membran timpani atau ditempatkan di telinga tengah melalui
tabung timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar
melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam (Stachler, 2012).

Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid


konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping
sistemik minimal. Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan
mendemonstrasikan kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi
terapi steroid intratimpani. Sebuah studi mengenai terapi kombinasi
kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan
hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifi kan. Namun, studi lainnya tidak
menghasilkan perbedaan pemulihan pendengaran antara terapi kombinasi
32

kortikosteroid oral dan intratimoani dengan terapi kortikosteroid oral saja


(Battaglia, 2008).

Steroid intratimpani yang biasa diberikan adalah deksametason atau


metilprednisolon. Konsentrasi kortikosteroid yang di-gunakan bervariasi,
sebagian besar studi menganjurkan deksametason 10-24 mg/mL dan
metilprednisolon 30 mg/mL atau lebih. Efek samping terapi intratimpani yang
harus diantisipasi adalah efek lokal, seperti otalgia, dizziness, vertigo, perforasi
membran timpani, atau infeksi (otitis media).

Terapi oksigen hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam kasus
tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1
ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi
koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan
tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka
terhadap keadaan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek
yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik,
peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta
mengurangi hipoksia dan edema. Terapi ini memiliki efek samping berupa
kerusakan pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan tekanan, miopia yang
memburuk sementara, klaustrofobia, dan keracunan oksigen. Dalam sebuah studi
terhadap 80 pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%)
mengalami barotrauma pada telinga atau sinus.

Alat Bantu Mendengar (ABM)

Alat Bantu Mendengar (ABM) adalah alat elektronik yang biasanya


dipakai di belakang telinga dalam lubang telinga. ABM membuat suara terdengar
lebih keras, jadi seseorang yang mengalami gangguan pendengaran dapat
mendengar, berkomunikasi dan berpartisipasi lebih aktif dalam kehidupan
kesehariannya. Alat ini terdiri dari 3 komponen utama: mikrophone, amplifier
33

dan speaker. ABM menerima suara melalui mikrophone yang mengubah sinyal
suara menjadi sinyal listrik kemudian mengirimkannya ke amplifier. Amplifier
meningkatkan kekuatan sinyal listrik dan mengirimkannya ke telinga pemakai
ABM melalui speaker.

ABM terutama berguna untuk memperbaiki pendengaran dan pemahaman


bicara orang yang mengalami gangguan pendengaran pada bagian luar, tengah
dan dalam telinga. Kerusakan pendengaran pada telinga bagian dalam disebut
dengan gangguan dengar saraf atau sensorineural hearing loss dan kerusakan
bagian telinga tengah dan luar disebut dengan gangguan dengar konduktif atau
conductive hearing loss. Kerusakan pada telinga bisa disebabkan oleh penyakit,
penuaan, kecelakaan atau bekerja lama pada daerah dengan kebisingan yang
sangat tinggi.

Suara yang sudah dikeraskan oleh ABM masuk melalui telinga luar,
tengah dan dalam. Proses selanjutnya suara menyebabkan vibrasi pada telinga
tengah dan dalam. Hair cells atau biasa disebut dengan rambut saraf pendengaran
yang masih baik akan mendeteksi vibrasi yang paling besar dan mengubahnya
menjadi sinyal saraf yang kemudian diteruskan ke otak. Semakin rusak rambut
saraf pendengaran, maka semakin parah kondisi pendengaran pendengar dan
ABM dengan penguatan yang besar dibutuhkan untuk membangunkan rambut
saraf pendengaran. Akan tetapi, akan ada batasan kekuatan pengerasan yang
dikeluarkan oleh ABM. Bahkan jika rambut saraf pendengaran terlalu parah
kerusakannya dan ABM pun sudah tidak bisa memberikan penguatan yang
memadai, dalam situasi ini mungkin ABM tidak bisa membantu lagi.

Beberapa model Alat Bantu Dengar (ABM) yang ada di pasaran. Model
ABM didasarkan pada bagaimana ABM tersebut diletakkan serta penguatan yang
dibutuhkan. Umumnya ABM diletakkan dibelakang telinga dan dalam lubang
telinga.
34

1. Alat Bantu Dengar Hantaran Udara


Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga
dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka.
Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan

Gambar 2.11 Alat Bantu Dengar yang Dipasang Di Badan


Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang
paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan
dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga.
Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena pemakaiannya
lebih mudah dan tidak mudah rusak. Cara kerja alat ini sama dengan alat
bantu dengar yang lain. Tetapi yang membedakan adalah amplifier dan
mikrofon pada alat ini bisa ditaruh di saku berbentuk kotak biasanya,dan
dihubungkan dengan kabel ke telinga.

Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena


pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak.

Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Belakang Telinga


35

Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai


berat. Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang
lain misalnya BTE.

CROS (contralateral routing of signals)


Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi
pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga
yang tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada telinga yang berfungsi
melalui sebuah kabel atau sebuah transmiter radio berukuran mini.
Dengan alat ini, penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang
tidak berfungsi.

INCLUDEPICTURE "http://cdn.hearingreview.com/hearingr/2014/06/Kukfigure-

2.jpg" \* MERGEFORMATINET

Gambar 2.12 CROS (contralateral routing of signals)

BICROS (bilateral CROS)

Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penuruna fungsi


pendengaran yang ringan, maka suara dari kedua telinga bias diperkeras
dengan alat ini.
36

INCLUDEPICTURE "https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcQsqXWl5EXkhh0102vq55kUMMZzSbm3nAmbM7iJ7GPh9szPxuEFNw"

\* MERGEFORMATINET

Gambar CROS (contralateral routing of signals) dan


BICROS (bilateral CROS)
2. Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat
bantu dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran
telinga atau jika dari telinganya keluar cairan (otore). Alat ini dipasang di
kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita elastis.
Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat
bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang belakang telinga.
37

Gambar 2.12 Alat Bantu Dengar Hantaran


Tulang

Hearing aid atau alat bantu pendengaran pada saat ini tersedia dalam beberapa
jenis. Tipe yang terbaik untuk dipilih tergantung pada tingkat kehilangan
pendengaran, bentuk telinga, gaya hidup dan kebutuhan akan pendengaran.
Setelah mengevaluasi tingkat pendengaran, seorang ahli THT dapat menolong
kita untuk menentukan pilihan yang tepat. Berikut ada empat jenis alat bantu
pendengaran :

1. Behind the ear (BTE)


Jenis alat bantu pendengaran ini diletakkan di belakang telinga dan dikaitkan
di bagian atas daun telinga. Alat ini ditahan oleh bentuk telinga sesuai dengan
kanal telinga sehingga suara dari alat bantu pendengaran ini diteruskan ke
gendang telinga. Jenis ini mudah untuk dimanipulasi dan segala tipe
rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Seluruh hearing aid, tanpa
memperhatikan jenisnya, dibuat dengan bagian dasar yang sama. Pada
Hearing Aid jenis BTE,seperti yang ditunjukkan dibawah ini, anda dapat
mengamati mikrofon, tone hook, volume control, saklar on/off,dan baterai.
Mikrofon mengambil suara - suara dari sekitarnya dan mengirimnya ke
prosessor yang memperkuat sinyal tersebut. Hearing Aid akan memperkuat
beberapa frekuensi dari suara yang masuk lebih dari berbagai ketergantungan
atas kehilangan pendengaran anak anda. Ahli suara anda menggunakan
hearing aid's tone controls untuk menghasilkan penguatan suara yang sesuai
untuk kehilangan pendengaran pada anak anda.
Setelah suara tersebut diperkuat, kemudian suara tersebut diarahkan
melalui hearing aid tone hook ke sebuah earmold yang mana dibuat
berdasarkan kebiasaan untuk setiap anak. Tone hook adalah sebuah
lempengan plastic kecil yang terkait diatas dan belakang telinga bagian luar
pada anak (pinna). Earmold mempengaruhi hearing aid dalam telinga anak
dan mengarahkan suara dari hearing aid ke dalam kanal telinga. Earmolds
terbuat dari bahan materi lunak setelah sebuah cetakan diambil dari telinga
anak anda. Earmolds dibuat tersendiri untuk setiap anak dan dipaskan dengan
38

sempit dalam kanal telinga. Selama seorang bayi tumbuh, earmolds perlu
untuk diganti sesuai pada bentuk dasar.

Gambar 2.13 Behind The Ear

2. In-the-ear (ITE)
ABM yang dipasangkan dalam telinga bagian luar dan digunakan
untuk penurunan pendengaran ringan sampai dengan berat. Beberapa ITE
dilengkapi dengan fitur seperti telecoil. Telecoil adalah magnet lilitan magnet
yang berfimgsi untuk menangkap suara melaiui melaiui lilitan magnet
tersebut bukan melalul mikrophon. Fitur ini memberikan kemudahan pemakai
afat bantu mendengar untuk berbicara melaiui telephon. Telecoil juga
berfungsi untuk menangkap suara yang dikeluarkan oleh induction loop
system. ITE umumnya tidak digunakan oleh anak-anak dan orangtua.
39

Gambar 2.14 In The Ear Hearing Aid


3. In The Canal (ITC)
Jenis ini diletakkan di dalam saluran kanal telinga dan tidak terlalu tampak
kelihatan dibandingkan dengan jenis BTE ataupun ITE. Karena bentuknya
yang lebih kecil sehingga jenis ini pasti lebih sukar untuk dimodifikasi dan
tidak semua tipe rangkaian dapat pas untuk model ini.

4. Completely-in-the-Canal (CIC)
Jenis alat bantu dengar yang satu ini dipasang jauh di dalam saluran kanal
telinga dan umumnya tidak dapat dilihat. Karena bentuknya yang begitu kecil
sehingga tidak semua tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Jenis ini
40

sangat sesuai untuk penderita yang amat parah. Pada dasarnya cara kerja alat
pendengaran ini sama dengan jenis BTE melainkan letaknya saja yang
berbeda.

Gambar 2.16 Completely In The Canal

5. Bone Anchored Hearing Aids (BAHA)

Jenis alat bantu dengar tipe ini dipasang permanen di dalam kulit di
belakang telinga, yaitu sebuat lempeng titanium dan prossesor. Prinsip
kerjanya yaitu lempeng titanium menerima rangsang dari luar kemudian
diolah di prosessor dan dilanjutkan ke telinga bagian dalam melalui tulang.
41

Gambar 2.17 BAHA

6. Cochlear implant
Cochlear implant adalah alat pendengaran buatan yang dirancang
untuk menghasilkan sensasi pendengaran yang berguna yang secara elektrikal
merangsang saraf - saraf dalam pusat telinga. The cochlear implant dirancang
untuk simpangan bagian – bagian rusak dari bagian dalam telinga dan
mengirim rangsangan listrik secara langsung ke saraf pendengar dimana
rangsangan tersebut kemudian ditafsirkan sebagai suara oleh otak. Alat ini
menyediakan kemampuan untuk sensasi pendengaran yang berguna dan
memperbaiki kemampuan berkomunikasi bagi orang yang kehilangan
pendengaran yang parah. Cochlear implants adalah sebuah pilihan penting
bagi individu yang memperoleh sedikit atau tidak ada keuntungan dari sebuah
hearing aid konvensional. Prinsip kerja dari cochlear implant :

1. Gelombang suara masuk pada mikrofon yang ditempatkan pada


headpiece.
2. Suara dikirim ke speech processor melalui sebuah kabel tipis yang
menghubungkan headpiece ke speech processor.
3. The speech processor mengubah suara tersebut menjadi sebuah sinyal
khusus yang dapat ditafsirkan oleh otak. Perubahan ini diselesaikan
dengan suatu program yang disebut speech processing strategies.
4. Sinyal khusus tersebut dikirim kembali melalui kabel yang sama ke
headpiece dan dikirim melewati kulit melalui gelombang radio ke alat
yang ditanam tersebut.
5. Sinyal tersebut berjalan melalui barisan elektroda di dalam pusat telinga
dan merangsang saraf pendengaran.
42

6. Saraf pendengaran kemudian mengirim sinyal – sinyal listrik ke otak


dimana sinyal – sinyal listrik tersebut ditafsirkan sebagai suara.

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk


mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan
pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari
gangguan pendengaran ringan, gangguan pendengaran sedang dan gangguan
pendengaran berat. Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu tuli konduktif, tuli
sendorineural dan campuran. Menurut Center for Disease Control and Prevention
pada gangguan pendengaran konduktif terdapat masalah didalam telinga luar atau
tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran sensorieural terdapat masalah di
telinga bagian dalam dan saraf pendengaran. Sedangkan, tuli campuran disebabkan
oleh kombinasi dari tuli konduktif dan tuli sensorineural. Menurut WHO-SEARO
(South East Asia Regional Office) Intercountry Meeting (Colombo, 2002) faktor
penyebab gangguan pendengaran adalah otitis media supuratif kronik (OMSK), tuli
sejak lahir, pemakaian obat ototoksik, paparan bising dan serumen prop.

Menurut AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck


Surgery), langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli
43

sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala,
pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian atau hearing
loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural, atau campuran. Tuli
konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran timpani, rongga udara
telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang menghantarkan gelombang
suara ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural disebabkan oleh adanya
abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan struktur lain yang mengolah impuls neural
ke korteks auditorik di otak.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. 2014. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC

Bashiruddin J, Soetirto I. Tuli mendadak. In: Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.

Battaglia A, Burchette R, Cueva R. Combination therapy (intratympanic


dexamethasone + high-dose prednisone taper) for the treatment of idiopathic
sudden sensorineural hearing loss. Otol Neurotol. 2008;29(4):453-60.

Moore, Keith L. 2013. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta. Hipokrates.

National Institute of Deafness and Communication Disorders. Sudden Deafness.


2003. http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/Pages/sudden.aspx.

Rauch SD. Clinical practice: Idiopathic sudden sensorineural hearing loss. N Engl J
Med. 2008;359:833-40.

Sherwood, lauralee. 2012. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta. EGC.
44

Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs DM,
et al. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of
the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;146:S1.
World Health Organization. http://www.who.int/pbd/deafness/WHO_GE_HL.pdf
prevalensi deafness and hearing loss. Februari 2017

Вам также может понравиться