Вы находитесь на странице: 1из 39

Manajemen Cairan dan Transfusi

Konsep Kunci
1. Meskipun waktu paruh intravaskuler larutan kristaloid antara 20-30 menit,
sebagian besar larutan koloid memiliki waktu paruh intravascular antara 3
sampai 6 jam.
2. Secara umum, pasien dengan nilai hematokrit normal sebaiknya hanya
ditransfusi bila kehilangan darah lebih dari 10-20% volume darahnya.
Kuncinya adalah kondisi medis pasien dan prosedur pembedahan.
3. Reaksi transfusi tersering disebabkan oleh inkompabilitas ABO; antibodi-
alamiah-didapat dapat bereaksi melawan antigen (asing) dari transfusi,
mengaktifasi komplemen, dan menyebabkan hemolisis intravaskuler.
4. Pada pasien yang teranestesi, suatu reaksi hemolisis akut bermanifestasi
sebagai peningkatan suhu, takikardi tanpa penyebab yang lain, hipotensi,
hemoglobinuria, dan perdarahan difus pada lapangan operasi.
5. Transfusi produk darah yang mengandung leukosit tampak menjadi
imunosupresif.
6. Pasien yang imunocompromise dan imunosupresi (misal pada infant
prematur dan resipien transplantasi organ) sangat rentan terhadap infeksi
cytomegalovirus (CMV) yang berat melalui transfusi. Beberapa pasien
seharusnya hanya menerima unit yang negative CMV.
7. Penyebab perdarahan terbanyak setelah transfusi darah masif adalah
trombositopenia dilusional.
8. Hipokalsemia yang signifikan secara klinis, menyebabkan depresi kardial,
tapi tidak terjadi pada kebanyakan pasien normal kecuali kecepatan
transfusi lebih dari 1 U per 5 menit.
9. Abnormalitas asam-basa konsisten terbanyak setelah transfusi darah masif
adalah alkalosis metabolic postoperative.
Semua pasien kecuali pasien yang menjalani operasi bedah minor memerlukan
akses vena dan terapi cairan intravena. Beberapa pasien mebutuhkan transfusi
darah ataupun komponen darah. Rumatan volume intravascular normal sangat
penting dalam masa perioperatif. Anesthesiologist harus dapat menghitung
volume intravascular secara akurat dan mengganti setiap cairan atau deficit
elektrolit dan kehilangan yang akan terjadi. Kesalahan dalam mengganti cairan
akan mengakibatkan morbiditas bahkan kematian.

Evaluasi volume intravaskuler


Evaluasi klinis dan pemeriksaan volume intravaskuler harus dapat dipercaya,
karena pengukuran volume cairan kompartemen tidak dapat dihitung secara
langsung. Volume intravaskuler dapat dihitung dengan pemeriksaan fisik maupun
laboratoris atau dengan bantuan teknik pemantauan hemodinamik yang
berpengalaman. Tanpa memperhatikan metode yang sering digunakan, evaluasi
serial penting untuk menkonfirmasi impresi awal dan menentukan terapi cairan.
Selain itu, sehasusnya modalitas komplementer atau modalitas yang lain, karena
parameternya merupakan parameter tidak langsung, penghitungan volume yang
tidak spesifik; kebenaran setiap parameter dapat salah, dan oleh karena itu,
membahayakan.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan preoperative yang paling dapat
dipercaya. Tanda yang tidak dapat dihitung untuk hipovolemia (Tabel 29-1)
termasuk turgor kulit, hidrasi membran mukosa, kekuatan pulsasi perifer, denyut
jantung istirahat dan tekanan darah dan perubahan (ortostatik) dari posisi supinasi
ke posisi duduk atau berdiri, dan laju kecepatan urin. Sayangnya, kebanyakan obat
yang digunakan saat anestesi, seperti pada efek fisiologis stress operasi,
menghalangi tanda ini dan membuatnya sulit dipercaya pada periode segera
postoperative. Pada masa intraoperatif, kekuatan pulsasi perifer (arteri radialis
atau dorsalis pedis), laju kecepatan urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon
tekanan darah terhadap ventilasi tekanan positif dan vasodilatasi atau efek
negative inotropik anestesi, sering digunakan.
Edema pitting-presacral pada pasien tirah baring atau pretibial pada pasien
rawat jalan-dan peningkatan laju urin merupakan tanda hipervolemia pada pasien
dengan fungsi kardial, renal dan hepatik yang normal. Tanda lambat dari
hipervolemia termasuk takikardi, pulmonary crackles, wheezing, sianosis, dan
merah muda, sekresi pulmo yang berbusa.
EVALUASI LABORATORIS
Beberapa hasil pengukuran laboratorium telah digunakan untuk mengetahui
volume intravaskuler dan perfusi jaringan yang adekuat. Hasil pengukuran
laboratorium ini termasuk nilai hematokrit serial, pH darah arterial, berat jenis
spesifik atau osmolalitas urin, konsentrasi natrium atau klorida urin, kadar natrium
serum, dan kreatinin serum sampai nilai rasio urea nitrogen dalam darah (blood
urea nitrogen/BUN). Hasil pengukuran ini hanya merupakan pengukuran secara
tidak langsung dari volume intravaskuler dan seringkali tidak dapat dipercaya
dalam masa intraoperatif karena hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai variabel
lain dan hasil yang didapatkan sering terlambat. Tanda-tanda dehidrasi secara
laboratoris meliputi peningkatan hematokrit, kondisi asidosis metabolic yang
progresif, berat jenis urin yang lebih besar dari 1,010; kadar natrium urin kurang
dari 10 mEq/L, osmolalitas urin lebih dari 450 mOsm/kg, hipernatremia, dan rasio
BUN-kreatinin lebih dari 10:1. Hanya tanda gambaran radiografi berupa
peningkatan vaskularisasi pulmoner dan penanda intersisial (garis Kerly “B”) atau
infiltrat alveoli difus yang dapat dipercaya sebagai pengukuran volume yang
overload.
PENGUKURAN HEMODINAMIK
Pengawasan hemodinamik didiskusikan pada bab 6. Pengawasan tekanan vena
sentral merupakan indikasi pada pasien dengan fungsi jantung dan paru yang
normal pada keadaan status volume sulit dinilai atau diperiksa dengan rata-rata
yang lain atau ketika diperlukan penanganan yang cepat atau utama. Pembacaan
nilai tekanan vena sentral harus diinterpretasikan dalam suatu setting pandangan
klinis. Nilai yang rendah (< 5 mm Hg) mungkin merupakan nilai normal sampai
terdapat dengan tanda-tanda hipovolemik yang lain. Selain itu, respon terhadap
bolus cairan (250 mL) sama pentingnya dengan: suatu peningkatan kecil (1-2 mm
Hg) yang dapat mengindikasikan kebutuhan cairan lagi, di mana peningkatan
yang besar (>5 mm Hg) menggambarkan kebutuhan kecepatan yang lebih lambat
dari pemberian cairan dan reevaluasi status volume. Pembacaan tekanan vena
sentral lebih dari 12 mm Hg menggambarkan suatu keadaan hipervolemia dengan
ketiadaan disfungsi ventrikel kanan, peningkatan tekanan intratoraks, atau
penyakit jantung restriktif.
Tabel 29-1. Tanda-tanda kehilangan cairan (hipovolemia)
Kehilangan cairan (Digambarkan dalam persentase berat
badan)
Tanda 5% 10% 15%
Membran mukosa Kering Sangat kering Pecah-pecah
(parched)
Sensorium Normal Letargi Obtunded
Perubahan Tidak ada Ada Jelas
ortostatik
Denyut jantung >15 kali per menit ↑
Tekanan darah >10 mm Hg ↓
Laju urin Sedikit menurun Menurun Jelas menurun
Nadi Normal atau Meningkat >100 Meningkat jelas
meningkat kali per menit >120 kali per menit
Tekanan darah Normal Sedikit menurun Menurun
dengan variasi
respiratorik

Pengawasan tekanan arteri pulmoner penting bila tekanan vena sentral tidak
berkorelasi dengan hasil pemeriksaan klinis atau bila pasien memiliki disfungsi
ventrikel primer atau sekunder; biasanya berkaitan dengan penyakit pulmoner atau
penyakit ventrikel kiri, berturut-turut. Pembacaan nilai tekanan oklusi arteri
pulmoner (pulmonary artery occlusion pressure/POAP) kurang dari 8 mm Hg
menindikasikan adanya hipovolemia dengan konfirmasi tanda-tanda klinis;
bagaimanapun nilai kurang dari 15 mm Hg mungkin berkaitan dengan
hipovolemia relatif pada pasien dengan kompliansi ventricular yang jelek.
Pengukuran nilai POAP lebih dari 18 mm Hg menggambarkan suatu peningkatan
volume dan kelebihan volume ventrikel kiri. Keberadaan penyakit katup mitral
(terutama stenosis mitral), stenosis aorta yang berat, atau miksoma atrium kiri
atau trombus mengubah hubungan antara POAP dan volume akhir diastolic
ventrikel kiri (lihat bab 6, 19, 20, dan 21). Peningkatan tekanan intratoraks dan
tekanan jalan nafas pulmoner juga menggambarkan suatu kesalahan;
konsekuensinya, semua pengukuran tekanan harus selalu diukur saat akhir
ekspirasi dan diinterpretasikan dalam suatu konteks klinik.
Teknik terbaru untuk mengukur volume ventricular dengan transesofageal
ekokardiografi atau dengan radioisotope lebih akurat tapi saat ini belum
digunakan secara luas.

CAIRAN INTRAVENA
Terapi cairan intravena terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Larutan kristaloid merupakan suatu larutan aquous dengan berat
molekul ion rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan koloid
merupakan suatu larutan dengan kandungan zat-zat dengan berat molekul yang
besar seperti protein atau polimer glukosa yang besar. Larutan koloid
mempertahankan tekanan onkotik plasma (lihat Bab 28) dan paling lama bertahan
dalam intravaskuler, di mana larutan kristaloid akan cepat menjadi seimbang dan
terdistribusi ke rongga ekstraseluler.
Penggunaan koloid versus kristaloid bagi pasien bedah saat ini masih
menjadi kontroversi. Para pndukung koloid beragurmen bahwa dengan
mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif untuk mengisi
volume intravaskuler normal dan kardiak output. Para pendukung kristaloid, di
sisi yang lain, menyatakan bahwa larutan kristaloid dalam jumlah yang cukup
sama efektifnya untuk mempertahankan volume intravaskuler. Pendapat bahwa
koloid dapat meningkatkan edema pulmonum pada pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapiler pulmoner tidak ditemukan, karena tekanan onkotik
intersisial pulmoner pararel denga plasma (lihat Bab 22). Beberapa generalisasi
yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
(1) Kristaloid, bilamana diberikan dalam jumlah yang cukup, memiliki
efektifitas yang sama dengan koloid dalam mengisi volume
intravaskuler.
(2) Mengganti kekurangan volume intravaskuler dengan kristaloid secara
umum membutuhkan tiga sampai emapt kali jumlah yang diperlukan
dibandingkan dengan koloid.
(3) Kebanyakan pasien bedah memiliki defisit cairan ekstraseluler lebih
banyak daripada defisit cairan intravaskuler.
(4) Defisit volume intravaskuler yang berat dapat dikoreksi dengan cepat
dengan menggunakan cairan koloid.
(5) Pemberian kristaloid dalam jumlah besar (>4-5 L) dengan cepat
memiliki frekuensi (yang berkaitan dengan) edema jaringan yang
signifikan yang lebih besar.
Beberapa bukti menunjukkan-tapi tidak membuktikan-bahwa jaringan yang
mengalami edema dapat mengalami gangguan transport oksigen, penyembuhan
jaringan, dan kembalinya fugsi usus setelah operasi mayor.
LARUTAN KRISTALOID
Kristaloid harus dianggap sebagai suatu cairan resuitasi awal pada pasien dengan
perdarahan dan syok septik pada pasien dengan luka bakar, cedera kepala untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral, dan pada pasien dengan plasmaparesis
dan reseksi hepar. Jika 3-4 L kristaloid diberikan, dan respon hemodinamik
innadekuat, koloid harus diberikan.
Tersedia berbagai variasi larutan (Tabel 29-2). Larutan dipilih sesuai dengan
tipe cairan yang hilang yang harus diganti. Untuk kehilangan cairan primer yang
berhubungan dengan penggantian air dengan larutan hipotonik, disebut juga
sebagai larutan tipe rumatan. Jika kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit,
disebut sebagai cairan tipe penganti. Glukosa tersedia dalam beberapa jenis
larutan untuk mempertahankan tonisitas atau untuk mencegah ketosis dan
hipoglikemia karena puasa. Anak-anak terbukti hipoglikemia (< 50 mg/dL)
setelah menjalani 4 sampai 8 jam puasa. Wanita lebih cenderung mengalami
hipoglikemia setelah menjalani puasa yang panjang (> 24 jam) daripada laki-laki.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif merupakan cairan
isotonik, umumnya digunakan larutan tipe pengganti. Cairan yang paling umum
digunakan adalah carian Ringer’s Laktat. Meskipun cairan tersebut sedikit
hipotonik, pemberian 100 mL cairan bebas per liter dan pemeliharaan natrium
serum yang lebih rendah dari 130 mEq/L, larutan Ringer’s Laktat secara umum
memiliki efek terhadap komposisi cairan ektraseluler dan merupakan larutan yang
paling fisiologis ketika volume yang besar sangat diperlukan. Laktat dalam
larutan ini akan dikonversi oleh hati menjadi bikarbonat. Ketika diberikan dalam
jumlah yang besar, larutan salin normal akan menyebabkan asidosis hiperkloremik
dilusional karena kandungan natrium dan kloridanya yang tinggi (154mEq/L):
konsentrasi bikarbonat plasma menurun sedangkan konsentrasi klorida meningkat.
Larutan salin normal lebih sering digunakan pada keadaan alkalosis metabolik
hipokloremik dan untuk mengencerkan packed red blood cells pada transfusi.
Dekstrosa lima persen dalam air (D5W) digunakan untuk mengganti defisit air
murni dan sebagai cairan rumatan pada pasien dengan restriksi natrium. Larutan
salin 3% hipertonus digunakan pada terapi hiponatremik simptomatik berat (lihat
Bab 28). Tiga sampai 7,5% larutan salin disarankan untuk digunakan pada
resuitasi pasien dengan syok hipovolemik. Larutan-larutan ini harus diberikan
secara pelan (lebik baik melalui kateter vena sentral) karena larutan-larutan ini
dapat menyebabkan hemolisis.
LARUTAN KOLOID
Aktifitas osmotik pada substansi dengan berat molekul yang besar pada koloid
mempertahankan larutan ini berada dalam ruang intravaskuler. Meskipun waktu
paruh intravaskuler larutan kristaloid 20-30 menit, kebanyakan larutan koloid
memiliki waktu paruh intravaskuler 3 sampai 6 jam. Biaya yang diperlukan dan
komplikasi yang terjadi sehubungan dengan pemeliharaan yang menggunakan
larutan koloid meminimalisir penggunaannya. Secara umum indikasi penggunaan
larutan koloid meliputi (1) resuitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan
intravaskuler yang berat (misal syok akibat perdarahan) sebelum adanya transfusi
darah, dan (2) resuitasi cairan pada pasien dengan hipoalbuminemia berat atau
kondisi dengan kehilangan protein dalam jumlah besar seperti pada pasien dengan
luka bakar. Pada pasien dengan luka bakar, koloid sebaiknya juga
dipertimbangkan pada cedera lebih dari 30% luas permukaan tubuh atau bila lebih
dari 3-4 L kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam pasca cedera.
Sebagian besar anak-anak juga menggunakan larutan koloid bersamaan
dengan kristaloid bila penggantian cairan memerlukan lebih dari 3-4 L carian
sebelum transfusi. Hal tersebut dengan catatan bahwa larutan-larutan ini telah
disiapkan dalam bentuk salin normal (Cl-145-154 mEq/L) dan juga dapat
menyebabkan asidosis metabolik huiperkloremik (sama dengan di atas).
Beberapa larutan koloid umum digunakan. Semuanya merupakan turunan
dari plasma protein atau glukosa polimer sintetik dan disediakan dalam bentuk
larutan elektrolit isotonik.
Darah-turunan koloid termasuk albumin (larutan 5% dan 25%) dan fraksi
protein plasma (5%). Keduanya dipanaskan sampai 600C minimal selama 10 jam
untuk meminimalisir resiko penularan hepatitis dan penyakit menular virus. Fraksi
protein plasma mengandung globulin-α dan β sebagai tambahan pada albumin dan
kadang menyebabkan reaksi hipotensif. Reaksi ini merupaklan reaksi alergi
alamiah dan melibatkan aktifator prekalikrein.
Koloid sintetik meliputi dextrose starch dan gelatins. Gelatins berhubungan
dengan reaksi alergi yang dimediasi oleh histamin dan tidak tersedia di Amerika
Serikat. Dekstran tersedia dalam sediaan dextran 70 (Macrodex) dan dextran 40
(Rheomacrodex), yang memiliki rata-rata berat molekul 70.000 dan 40.000.
Meskipun dekstran 70 lebih baik sebagai plasma ekspander dibandingkan dengan
dextran 40, dekstran 40 meningkatkan laju darah pada microsirkulasi, diduga
dengan cara menurunkan viskositas darah. Efek antiplatelet juga telah dijelaskan
terdapat pada dextran. Dextran juga dapat bersifat antigenik, dan baik reaksi
anafilaktoid ringan atau berat dan reaksi anafilaktik juga telah disebutkan. Dextran
1 (Promit) dapat diberikan sebelum dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah
reaksi anafilaktik yang berat, hal tersebut terjadi karena hapten berikatan dengan
antibodi dextran apapun yang beredar.
Hetastarch (hydoksietil starch) tersedia dalam larutan 6% dengan rata-rata
berat molekul 450.000. Molekul yang kecil dieliminasi oleh ginjal, di mana
molekul yang besar harus dipecah terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch jauh
lebih efektif sebagai plasma ekspander dan tidak lebih mahal dari albumin. Dan
lagi, hetastarch bersifat nonantigenik, dan jarang terjadi reaksi anafilaktoid. Studi
koagulasi dan waktu perdarahan secara umum tidak signifikan setelah infus 0,5-
1,0 L. Pasien dengan transplantasi ginjal yang menjadi lebih buruk setelah infus
hetastarch masih kontroversial. Tidak jauh berbeda, masih terdapat kontroversi
mengenai penggunaan hetastarch pada pasien dengan cardiopulmonary bypass.
Pentastarch, larutan starch dengan berat molekul yang lebih rendah, lebih jarang
menyebabkan reaksi yang merugikan dan mungkin akan mengganti kedudukan
hetastarch.

 TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

Terapi cairan perioperatif meliputi penggantian defisit cairan yang terjadi


sebelumya, kehialngan normal (memerlukan rumatan), dan kehilangan karena
luka pembedahan termasuk kehilanga darah.
KEBUTUHAN RUMATAN NORMAL
Tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat
sebagai akibat dari pembentukan urin yang terus-menerus, sekresi gastrointestinal,
pengeluaran keringat, dan kehilangan cairan yang tidak terlihat dari paru-paru dan
kulit. Estimasi kebutuhan cairan rumatan normal dapat dilihat pada Tabel 29-3.
Tabel 29-3. Estimasi kebutuhan1 cairan rumatan normal
Berat badan Jumlah
10 kg pertama 4 mL/kg BB/jam
10-20 kg berikutnya Tambah 2mL/kg BB/jam
Untuk setiap kg di atas 20 kg Tambah 1 mL/kg BB/jam
1
Contoh: berapa kebutuhan cairan anak dengan berat badan 25 kg? Jawab: 40+20+5=65 mL/jam
Tabel 29-2. Komposisi larutan kristaloid
Larutan Toksisitas Na+ Cl- K+ Ca2+ Mg2+ Glukosa Laktat HCO3- Asetat Glukonat
(mOsm/L) (mEq/ (mEq/ (mEq/ (mEq/ (mEq/ (g/L) (mEq/ (mEq/ (mEq/ (mEq/L)
L) L) L) L) L) L) L) L)
Dekstrosa 5% Hipo (253) 50
dalam air (D5W)
Sali Norml (NS) Iso (308) 154 154
D5 ¼ NS Iso (355) 38,5 38,5 50
D5 ½ NS Hiper (432) 77 77 50

D5 NS Hiper (586) 154 154 50

Injeksi Ringer Iso (273) 130 109 4 3 28


Laktat (RL)
D5RL Hiper (525) 130 109 4 3 50 28

½ NS Hipo (154) 77 77
3% S Hiper 513 513
(1026)
5% S Hiper 855 855
(1710)
7,5% NaHCO3 Hiper 893 893
(1786)
Plasmaliyte Iso (294) 140 98 5 3 27 23
KEHILANGAN CAIRAN SEBELUMNYA
Pasien yang akan menjalani operasi, pada malam sebelumnya telah puasa tanpa
asupan cairan sama sekali akan mengalami defisit cairan selama durante operasi.
Jumlah defisit yang terjadi dapat diperkirakan dengan mengkalikan jumlah
kebutuhan rumatan normal dengan lama puasa. Untuk orang dengan berat badan
70 kg yang menjalani puasa selama 8 jam, rata-rata jumlah defisit cairan yang
terjadi (40+20+50) mL/jam x 8 jam, atau 880 mL. (Pada kenyataannya, defisit ini
akan lebih kecil karena konservasi dari ginjal).
Kehilangan cairan yang abnormal akan berpengaruh terhadap defisit pre-
operatif. Perdarahan pre-operatif, muntah, diuresis, dan diare adalah kehilangan
cairan yang sering berkontribusi. Kehilangan yang tersembunyi (distribusi nyata;
lihat di bawah) seperti sekuestrasi cairan yang diakibatkan oleh trauma pada
jaringan atau infeksi atau ascites merupakan kehilangan yang substansial.
Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terlihat diakibatkan oleh hiperventilasi,
demam, dan berkeringat.
Tabel 29-4. Komposisi elektolit cairan tubuh
Cairan Na+ K+ Cl- HCO3-
(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
Keringat 30-50 5 45-55
Saliva 2-40 10-30 6-30 30
Cairan lambung
Asiditas tinggi 10-30 5-40 80-150
Asiditas rendah 70-140 5-40 55-95 5-25
Sekresi pankreas 115-180 5 55-95 60-110
Sekresi empedu 130-160 5 90-120 30-40
Cairan illeum 40-135 5-30 20-90 20-30
Feses diare 20-160 10-40 30-120 30-50
KEHILANGAN CAIRAN SELAMA PEMBEDAHAN
Kehilangan darah
Salah satu tugas yang paling penting dan sulit bagi seorang anesthesiologist adalah
melakukan pemantauan terus-menerus dan memperkirakan kehilangan darah. Meskipun
hasil perkiraan jumlah kehilangan darah dikaburkan oleh perdarahan yang tersembunyi
dari luka atau dari kain-kain pembedahan, ketepatan sangat penting untuk menentukan
terapi cairan dan transfusi.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan jumlah kehilangan
darah adalah dengan menghitung jumlah darah yang terkumpul di kontainer suction
bedah dan melihat jumlah darah pada spons bedah dan alas laparotomi (“laps”). Sebuah
spons bedah dapat menampung ± 10 mL darah, sedang sebuah “laps” dapat menampung
100-120 mL darah. Perkiraan yang lebih akurat adalah dengan menimbang spons dan
laps sebelum dan sesudah digunakan (terutama pada prosedur pediatrik). Penggunaan
larutan untuk irigasi menyulitkan perhitungan perkiraaan, tapi penggunaannya (larutan
untuk irigasi) seharusnya dicatat dan beberapa usaha sebagai kompensasi. Hematokrit
atau konsentrasi hemoglobin serial mencerminkan rasio sel-sel darah terhadap plasma,
tidak terkecuali kehilangan darah; selain itu, pertukaran cairan yang cepat dan
penggantian intravena mempengaruhi perhitungan. Hematokrit bermakna untuk prosedur
yang lama atau ketika estimasi sulit dilakukan.
Kehilangan cairan yang lain
Banyak prosedur bedah yang sangat berkaitan dengan kehilangan cairan selain darah.
Seperti kehilangan karena evaporasi dan redistribusi internal dari cairan tubuh.
Kehilangan karena evaporasi merupakan kehilangan yang paling nyata pada luka yang
besar dan permukaan yang secara langsung terbuka dan durasi proses pembedahan.
Redistribusi cairan internal-sering disebut sebagai “ruang ketiga”-dapat
menyebabkan pertukaran cairan yang masif dan deplesi intravascular yang berat. Jaringan
yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi (seperti pada trauma luka bakar, cedera
yang luas, diseksi pembedahan, atau peritonitis) dapat mengumpulkan cairan dalam
jumlah besar pada rongga intersisial dan dapat mentranslokasikan cairan melewati
permukaan serosa (ascites) atau ke dalam lumen usus. Akibatnya adalah peningkatan
pasti komponen nonfungsional dari kompartemen ekstraseluler, cairan ini tidak dapat
seimbang dengan sisa kompartemen. Perpindahan cairan ini tidak dapat dicegah dengan
restriksi cairan dan pengeluaran cairan ekstraseluler fungsional dan kompartemen cairan
intraseluler. Disfungsi seluler merupakan akibat dari hipoksia yang menyebabkan
peningkatan volume cairan intraseluler, juga dapat mengeluarkan kompartemen
ekstraseluler fungsional. Pada akhirnya, kehilangan cairan limfatik yang signifikan dapat
terjadi saat diseksi retroperitoneal yang akstensif.

PENGGANTIAN CAIRAN INTRAOPERATIF


Terapi cairan intraoperatif seharusnya meliputi suplai kebutuhan cairan dasar dan
penggantian deficit preoperative residual sebagaimana kehilangan intraoperatif (darah,
redistribusi cairan, dan evaporasi). Pemilihan tipe larutan intravena tergantung pada
prosedur operatif dan perkiraan kehilangan darah. Untuk prosedur dengan kehilangan
darah minimal dan perpindahan cairan, larutan rumatan merupakan pilihan. Untuk semua
prosedur yang lain, umumnya digunakan larutan Ringer Laktat atau cairan, meskipun
hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumatan.
Mengganti Kehilangan Darah
Idealnya, kehilangan darah harus digantikan oleh larutan kristaloid atau koloid untuk
mempertahankan volume intravaskuler (normovolemia) sampai anemia yang berbahaya
memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan resiko transfusi. Pada keadaan
tersebut, kehilangan darah lebih lanjut akan digantikan oleh transfusi sel darah merah
untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit) pada level tersebut.
Untuk kebanyakan pasien, nilai korespondensi untuk hemoglobin antara 7 sampai 8 g/dL
(atau hematokrit 21-24%).
Konsentrasi hemoglobin di bawah 7 g/dL, kardiak output istirahat meningkat untuk
mempertahankan pengantaran oksigen yang normal. Umumnya digunakan kadar 10 g/dL
untuk pasien yang lebih tua dan pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmoner yang
signifikan. Batas yang lebih tinggi dapat digunakan bila terdapat perdarahan cepat yang
berlangsung terus-menerus.
Pada prakteknya, sebagian besar klinisi memberikan larutan Ringer Laktat tiga
sampai empat kali volume darah yang hilang, atau koloid dengan perbandingan 1:1,
sampai saat untuk transfusi. Pada saat itu, darah digantikan unit per unit sebanyak jumlah
darah yang hilang, dengan packed red blood cells.
Tabel.29-5. Rata-rata volume darah
Umur Volume darah
Neonatus
Prematur 95 mL/kg
Aterm 85 mL/kg
Infant 80 mL/kg
Dewasa
Laki-laki 75 mL/kg
Wanita 65 mL/kg

Saat untuk transfusi dapat ditentukan pada saat preoperative dari nilai hematokrit
dan estimasi volume darah (Tabel 29-5). Pasien dengan nilai hematokrit normal
umumnya hanya boleh ditransfusi bila kehilangan darah lebih dari 10-20% volume
darahnya. Saat yang tepat berdasarkan pada kondisi medis pasien dan prosedur
pembedahan. Jumlah kehilangan darah bila hematokrit turun sampai 30% dapat dihitung
dengan cara sebagai berikut:
(1) Perkirakan volume darah dari Tabel 29-5.
(2) Perkirakan volume sel darah merah (VSDM) dari hematokrit preoperative
(VSDMpreop).
(3) Perkirakan VSDM pada hematokrit 30% (VSDM30%) yang mengasumsikan
volume darah VSDMhilang = VSDMpreop – VSDM30%.
(4) Kehilangan darah yang dibolehkan = VSDMhilang x 3
CONTOH
Seorang perempuan dengan berat badan 85 kg memiliki nilai hematokrit preoperative
35%. Berapa banyak darah yang hilang bila nilai hematokritnya mencapai nilai 30%?
Perkiraan volume darah = 65 mL.kg x 85 kg = 5525 mL
VSDM35% = 5525 x 35% = 1934 mL
VSDM30% = 5525 x 30% = 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30% = 193 – 1658 = 276 mL
Kehilangan darah yang dibolehkan = 3 x 276 mL = 828 mL.
Sampai saat itu, transfusi hanya boleh dipertimbangkan bila kehilangan darah pada
pasien ini lebih dari 800 mL. Peningkatan transfusi tidak direkomendasikan sampai nilai
hematokrit 24% (hemoglobin < 8 g/dL), tapi bila diperlukan pada jumlah kehilangan
darah tertentu dan kondisi komormid, misal, penyakit jantung di mana transfusi dapat
diindikasikan hanya bila terdapat perdarahan sebanyak 800 mL.

Tabel 29-6. Cairan yang hilang saat pembedahan akibat redistribusi dan evaporasi
Derajat Trauma Jaringan Kebutuhan Cairan Tambahan
Minimal (misal hernioraphy) 0-2 mL/kg
Moderat (misal kolesistektomi) 2- 4 mL/kg
Berat (misal reseksi usus) 4-8 mL/kg

Pedoman lain yang umum digunakan dan bermanfaat adalah: (1) satu unit sel darah
merah akan meningkatkan 1 g/dL hemoglobin dan 2-3% hematokrit (pada dewasa); dan
(2) transfusi 10 mL/kg sel darah merah akan meningkatkan konsentrasi hemoglobin 3
g/dL dan hematokrit 10%.
Mengganti Cairan yang Hilang karena Reditribusi Cairan dan Evaporasi
Karena kehilangan cairan berhubungan langsung dengan ukuran luka dan diseksi
pembedahan yang luas dan manipulasi pembedahan, prosedur dapat diklasifikasikan
berdasarkan derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat dilihat pada
Tabel 29-6, trauma jaringan minimal, moderat atau berat. Nilai-nilai ini hanya merupakan
panduan, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi antara satu pasien dengan pasien
yang lainnya.

 TRANSFUSI
KELOMPOK DARAH
Membran sel darah merah manusia diperkirakan memiliki paling sedikit 300 determinan
antigenik yang berbeda. Sedikitnya terdapat 20 sistem penggolongan antigen darah yang
terpisah yang diketahui; ekspresi setiap antigen tersebut di bawah kendali genetic dari
lokus kromosom yang terpisah. Untungnya, hanya sistem ABO dan Rh yang penting
dalam transfusi darah mayor. Setiap individu memproduksi antibody (alloantibodi) untuk
alel yang tidak mereka miliki pada setiap system. Seperti antibody yang bertanggung
jawab untuk reaksi transfusi yang serius. Antibodi dapat terbentuk secara “alamiah” atau
sebagai respon atas sensitisasi dari transfusi sebelumnya atau kehamilan.
Sistem ABO
Secara sederhana, lokus kromososm untuk system ini menghasilkan dua alel: A dan B.
Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang dapat mengubah permukaan
glikoprotein sel, membentuk suatu antigen yang berbeda. (Pada kenyataannya, terdapat
berbagai varian A dan B) Kebanyakan semua individu yang tidak memiliki A atau B
secara “alamiah” memproduksi antibody (terutama immunoglobulin M (IgM) untuk
melawan antigen-antigen tersebut (Tabel 29-7) pada tahun pertama kehidupan. Antigen H
adalah prekursor structural dari system ABO tapi dihasilkan oleh lokus kromosom yang
berbeda. Tidak adanya antigen H (genotip hh, disebut juga sebagai fenotip Bombay)
mencegah ekspresi gen A dan B; individu dengan keadaan yang sangat jarang ini akan
memiliki antibody anti-A, anti-B, dan anti-H.
Sistem Rh
Sistem Rh dikodekan oleh dua gen yang berada pada kromosom 1. Terdapat sekitar 46
antigen terkait Rh, namun pada kebanyakan keadaan klinis, terdapat lima antigen utama
(D, C, c, E dan e) dan mereka sesuai dengan jumlah antibody untuk banyak jaringan yang
meliputi system Rh. Secara sederhana, hanya kehadiran atau ketiadaan alel yang paling
umum dan paling imunologik, antigen D, yang menentukan. Hampir 80-85% populasi
orang kulit putih memiliki antigen D. Individu yang tidak memiliki alel ini disebut
sebagai Rh-negatif dan biasanya membentuk antibody yang melawan antigen D hanya
bila sebelumnya telah terpapar (Rh-positif) dari transfusi atau kehamilan (ibu Rh-negatif
melahirkan seorang bayi Rh-positif).
Sistem lain
Sistem yang lain termasuk antigen Lewis, P, Ii, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg,
Sid, Carrtright, YK, dan Chido Rodgers. Untungnya, dengan beberapa pengecualian
(Kell, Kidd, Duffy, dan S), aloantibodi yang melawan system ini jarang menimbulkan
reaksi hemolisis yang serius.

TES KOMPABILITAS
Tujuan tes kompabilitas adalah untuk memprediksikan dan untuk mencegah reaksi
antigen-antibodi akibat transfusi sel darah merah. Darah donor dan resipien ditentukan
tipenya dan dicek apakah terdapat antibody yang tidak cocok.

Tabel 29-7. Pengelompokan darah ABO


Tipe Antibodi yang terjadi secara Insidens1
alamiah di dalam serum
A Anti-A 45%
B Anti-B 8%
AB - 4%
O Anti-A, Anti-B 43%
1
Jumlah berdasarkan orang-orang keturunan Eropa barat

Tes ABO-Rh
Reaksi transfusi yang paling berat adalah karena inkompabilitas ABO; antibody didapat
secara alami dapat bereaksi melawan antigen (asing) yang ditransfusikan, mengaktifasi
komplemen, dan menyebabkan hemolisis intravaskular. Sel darah merah pasien dites
dengan serum yang diketahui memiliki antibody yang melawan A dan B untuk
menentukan golongan darah. Karena kebanyakan prevalensi universal dari antibodi alami
ABO, konfirmasi golongan darah kemudian dibuat dari tes serum pasien yang melawan
sel darah merah dengan tipe antigen yang diketahui.
Sel darah merah pasien juga dites dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh.
Bila subjek adalah Rh-negatif, adanya antibody anti-D dicek dengan mencampur serum
pasien melawan sel darah merah Rh-positif. Probabilitas terbentuknya antibody anti-D
setelah paparan pertama terhadap antigen Rh adalah 50-70%.
Crossmatching
Suatu crossmatch menyerupai transfusi: sel donor dicampur dengan serum resipien.
Crossmatching memiliki tiga fungsi: (1) mengkonfirmasi tipe ABO dan Rh (kurang dari 5
menit), (2) mendeteksi adanya antibody terhadap system grup darah yang lain, dan (3)
mendeteksi antibody pada titer yang rendah atau yang tidak meng-aglutinasi dengan
mudah. Dua yang terakhir memerlukan waktu paling sedikit 45 menit.
Skrining Antibodi
Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi adanya antibody dalam serum yang paling sering
berkaitan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Tes ini (disebut juga sebagai tes Coombs
indirek) membutuhkan waktu 45 termasuk mencampur serum subjek dengan sel darah
merah yang diketahui komposisi antigeniknya; bila terdapat antibody yang spesifik,
mereka akan membungkus membran sel darah merah, dan penambahan suatu antibody
anti-globulin akan menyebabkan anglutinasi sel darah merah. Skrining secara rutin
dilakukan pada semua donor darah dan mungkin dilakukan pada resipien yang potensial
dari crossmatch (lihat bawah).
Tipe dan Crossmatch versus Tipe dan Skrining
Insidens reaksi hemolisis yang serius setelah transfusi ABO dan Rh yang kompatibel
dengan skrining negative tapi tanpa crossmatch kurang dari 1%. Crossmatch,
bagaimanapun, menjamin keamanan yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang
jarang yang tidak selalu dites melalui skrining. Crossmatch saat ini hanya dilakukan pada
prosedur operasi elektif dengan probalibilitas transfusi yang tinggi. Karena waktu yang
diperlukan, (45 menit) jika kedua penggolongan sebelumnya dan prosedur skrining telah
didokumentasikan, beberapa pusat telah memulai computer cossmatching –tidak terdapat
crossmatch yang terkinil.
Jadwal Maksimum Permintaan Darah untuk Pembedahan
Sebagian besar rumah sakit memiliki daftar yang paling sering digunakan untuk operasi
dan jumlah maksimal unit yang dapat dilakukan crossmatch preoperatif. Seperti
pencegahan yang tidak perlu, crossmatch darah yang berlebihan. Daftar biasanya dibuat
berdasarkan pengalaman institusi masing-masing. Suatu crossmatch-untuk-transfusi
dengan rasio kurang dari 2,5:1 dapat diterima. Hanya satu penggolongan dan skrining
yang dilakukan bila insidens transfusi pada prosedur tersebut kurang dari 10%. Jika
diperlukan transfusi, dilakukan crossmatch. Crossmatch boleh diakukan pada pasien
dengan anemia dan pasien dengan penyakit koagualusi.

TRANSFUSI EMERGENSI
Ketika seorang pasien tidak ada harapan, kebutuhan transfusi meningkat sebelum
melengkapi pemeriksaan crossmatch, skrining, atau bahkan golongan darah. Jika
golongan darah pasien telah diketahui crossmatch yang dipersingkat, memerlukan waktu
kurang dari 5 menit kemudian dikonfirmasi dengan tes kompabilitas ABO. Jika golongan
darah pasien tidak diketahui dengan pasti dan transfusi harus segera diberikan, golongan
darah Rh-negatif (donor universal) dapat digunakan.
PRAKTIK BANK DARAH
Darah donor telah dilakukan skrining untuk menyingkirkan kondisi medis yang mungkin
dapat menimbulkan efek merugikan bagi donor maupun resipien. Nilai hematokrit telah
ditentukan, dan jika lebih besar dari 37% untuk donor alogenik atau 32% untuk donor
autolog diambil, digolongkan, dilakukan skrining untuk antibody dan dilakukan tes untuk
hepatitis B, hepatitis C, sifilis, human T cell leukemia virus-1 (HTLV-1) dan HTLV-2, dan
human immunodeficiency virus (HIV)-1 dan HIV-2. Sebagian besar pusat melakukan tes
asam nukleat RNA virus untuk mendeteksi hepatits B, hepatitis C dan virus HIV, dan saat
ini sedang dikembangkan tes untuk mendeteksi virus West Nile. Ada beberapa tes
sensitifitas yang ekstrim, dan tes tersebut harus dipersempit bahkan lebih jauh rentang
virus positif tapi hasil tes negative.
Setelah darah diambil, ditambahkan suatu larutan antikoagulan-preservatif.
Larutan yang paling umum digunakan adalah CPDA-1, yang mengandung sitrat sebagai
antikoagulan (yang mengikat kalsium), fosfat sebagai buffer, dekstrosa sebagai sumber
energy sel, dan adenosine sebagai precursor untuk sintesis adenosine tri fosfat (ATP).
CPDA-1 dapat digunakan untuk menyimpan darah selama 35 hari, setelah viabilitas sel
darah merah menurun dengan cepat. Pilihan lain, menggunakan AS-1 (Adsol) atau AS-3
(Nutricol) dapat memperpanjang waktu hingga 6 minggu.
Semua unit yang diambil dipisahkan sesuai komponen masing-masing, sesuai
namanya, sel darah merah, platelet, dan plasma. Ketika dipusingkan, satu unit darah akan
menghasilkan sekitar 250 mL packed red cells (hematokrit 70%); dengan penambahan
larutan normal salin bahan pengawet, volme sebuah unit packed red cells dapat mencapai
350 mL. Sel darah merah normalnya disimpan pada suhu 1-60C. Sel darah merah dapat
dibekukan dalam larutan gliserol hipertonis sampai 10 tahun. Teknik tersebut sering
digunakan untuk penyimpanan darah dengan fenotip yang jarang.
Supernatan dipusingkan untuk mendapatkan platelet dan plasma. Unit platelet
mengandung 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20-24 0C untuk 5 hari.
Supernatan plasma harus diproses lebih lanjut dan dibekukan untuk fresh frozen plasma;
pembekuan yang cepat mencegah inaktifasi factor-faktor koagulasi yang labil (V dan
VIII). Pencairan yang lambat dari fresh frozen plasma menghasilkan suatu presipitat
gelatin (kriopresipitat) yang mengandung Faktor VIII dan fibrinogen dalam konsentrasi
tinggi. Setelah dipisahkan, kriopresipitat ini dapat dibekukan untuk penyimpanan. Satu
unit darah menghasilkan kurang lebih 200 mL plasma, yang dibekukan untuk
penyimpanan; setelah pencairan, harus ditransfusikan dalam 24 jam. Platelet dapat
diperoleh dengan cara lain seperti plateletferesis otomatis, yang kandungannya ekuivalen
dengan 6 unit regular dari seorang pasien.

PRAKTEK TRANSFUSI INTRAOPERATIF


Packed Red Blood Cells
Transfusi darah sebaiknya diberikan dalam bentuk packed red cells, yang memungkinkan
utilisasi optimal sumber bank darah. Packed red cells ideal untuk pasien yang
memerlukan sel darah merah tapi tidak memerlukan penggantian volume (misal pada
pasien dengan anemia dengan gagal jantung kongestif kompensatif). Pasien bedah
membutuhkan volume seperti membutuhkan sel darah merah; kristaloid dapat diberikan
(lewat infus) secara simultan melalui jalur intravena yang lain untuk penggantian volume.
Sebelum transfusi, seharusnya slip bank darah setiap unit dan gelang identitas
pasien diperiksa dengan hati-hati. Tubing transfusi sebaiknya mengandung filter 170-µm
untuk menyaring bekuan atau debris. Ukuran serupa digunakan untuk menyaring leukosit
untuk mencegah demam karena reaksi transfusi pada pasien yang tersentisisasi (lihat di
bawah). Darah untuk transfusi intraoperatif sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu
sampai 370C selama transfusi, terutama jika lebih dari 2-3 unit akan ditransfusikan;
kegagalan untuk melakukan hal tersebut dapat menyebabkan hipotermia yang berat. Efek
lain hipotermia dan kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang rendah pada darah yang
disimpan dapat menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi hemoglobin-oksigen
(lihat Bab 22) dan, secara teoritis, menyebabkan hipoksia jaringan. Penghangat darah
sebaiknya digunakan untuk mempertahankan suhu darah > 300C meskipun laju transfusi
mencapai 150 mL/menit.
Fresh Frozen Plasma
Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma, termasuk semua factor
pembekuan darah. Transfusi FFP diindikasikan pada terapi defisiensi factor tertentu,
terapi reversal warfarin, dan koreksi koagulopati yang berhubungan dengan penyakit hati.
Setiap unit FFP secara umum meningkatkan kadar factor pembekuan 2-3% pada pasien
dewasa. Dosis terapi awal biasanya 10-15 mL/kg. Target terapi adalah 30% konsentrasi
factor koagulasi normal.
FFP juga dapat digunakan pada pasien yang menerima transfusi darah masif (lihat
bawah) dan pasien dengan perdarahan yang terus-menerus yang memerlukan transfusi
platelet. Pasien dengan defisiensi antitrombin III atau trombotik trombositopenia purpura
juga dapat diberikan transfusi FFP.
Setiap unit FFP memiliki resiko infeksi yang sama dengan whole blood. Sebagai
tambahan, kadang pasien dapat tersensitisasi oleh plasma protein. Unit ABO-yang
kompatibel secara umum seharusnya diberikan tapi tidak diperintahkan. Sama dengan sel
darah merah, FFP harus diberikan setelah dihangatkan sampai 370C sebelum transfusi.
Platelet
Transfusi platelet seharusnya diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau dengan
disfungsi platelet dengan perdarahan. Transfusi platelet profilaksis juga diindikasikan
pada pasien dengan jumlah platelet 10.000-20.000 x 10 9/L karena meningkatkan resiko
perdarahan spontan.
Jumlah platelet kurang dari 50.000 x 109/L berhubungan dengan peningkatan
resiko kehilangan darah selama operasi. Pasien dengan trombositopenia yang menjalani
prosedur pembedahan yang invasive sebaiknya mendapatkan transfusi platelet profilaksis
preoperative untuk meningkatkan jumlah platelet hingga mendekati jumlah 100.000 x
109/L.
Setiap unit platelet diharapkan dapat meningkatkan jumlah 10.000-20.000 x
109/L. Kandungan unit plateletpharesis sama dengan kandungan enam regular, donor unit
tunggal (di atas). Peningkatan yang lebih rendah dapat diharapkan pada pasien dengan
riwayat transfusi platelet sebelumnya. Disfungsi platelet juga dapat meningkatkan
perdarahan karena pembedahan meskipun jumlah platelet normal dan dapat didiagnosa
preoperative dengan menghitung waktu perdarahan. Transfusi platelet juga dapat
diindikasikan pada pasien dengan disfungsi platelet dan peningkatan perdarahan karena
pembedahan.
Tanfusi platelet dengan ABO-kompatibel dapat dipertimbangkan tapi tidak
diperlukan. Platelet yang ditransfusi umumnya hanya bertahan 1-7 hari setelah transfusi.
Kompabilitas ABO dapat meningkatkan daya tahan platelet. Sensitisasi Rh dapat terjadi
pada resipien Rh-negatif sehubungan dengan adanya beberapa sel darah merah pada unit
platelet Rh-postif. Selain itu, antibody anti-A atau anti-B dalam 70 mL plasma dalam
setiap unit platelet dapat menyebabkan reaksi hemolitik melawan sel darah merah
resipien ketika unit platelet dengan inkompabilitas ABO dalam jumlah besar diberikan.
Pemberian imunoglobuin Rh pada individu Rh-negatif dapat memberikan perlindungan
terhadap sensitisasi Rh setelah transfusi platelet Rh-positif. Pasien yang membentuk
antibody melawan antigen HLA (dipresentasikan pada limfosit dalam konsentrat platelet)
atau antigen platelet spesifik yang memerlukan kompabilitas HLA atau unit donor
tunggal. Penggunaan plateletpharesis dapat menurunkan sensititisasi.
Transfusi granulosit
Transfusi granulosit, diperoleh dari leukopheresis, dapat diindikasikan pada pasien
dengan neutropenia dengan infeksi bacterial yang tidak respon terhadap antibiotic.
Granulosit yang ditransfusikan memiliki waktu beredar yang sangat pendek, sehingga
transfusi 106 granulosit harian sering dilakukan. Iradiasi unit ini akan menurunkan
insidens reaksi jaringan-versus-pejamu, kerusakan endotel pulmonum, dan masalah lain
yang terkait dengan transfusi leukosit (lihat bawah), tapi dapat mempengaruhi fungsi
granulosit yang merugikan. Kemampuan filgastrim (granlosit colony-stimulating factor,
atau G-CSF) dan sagramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, atau
GM-CSF) telah banyak berkurang pada penggunaan transfusi granulosit.

 KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH


KOMPLIKASI IMUNOLOGIS
Komplikasi imunologis setelah transfusi secara primer merupakan hasil dari sensitisasi
resipien oleh sel darah merah donor, sel darah putih, platelet, atau protein plasma. Jarang
sel-sel atau serum yang ditransfusikan menyebabkan respon imun melawan resipien.
1. Reaksi hemolitik
Reaksi hemolitik biasanya meliputi destruksi spesifik sel-sel darah merah yang
ditransfusikan oleh antibody resipien. Atau, yang lebih jarang, hemolisis sel darah merah
resipien terjadi sebagai akibat dari antibody sel darah merah yang berasal dari transfusi.
Unit konsentrat platelet, FFP, konsentrat factor-faktor koagulasi, atau kriopresipitat yang
inkompatibel dapat mengandung sejumlah kecil alloantibody anti-A atau anti-B (atau
keduanya). Transfusi dalam jumlah unit yang besar dapat menyebabkan hemolisis
intravaskuler. Reaksi hemolitik secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam reaksi akut
(intravaskuler) atau lambat (ekstravaskuler).
Reaksi Hemolitik Akut
Hemolisis intravaskuler biasanya terjadi sehubungan dengan inkompabilitas ABO dan
dilaporkan frekuensinya dalam transfusi mendekati 1:38.000. Penyebab yang paling
umum adalah misidentifikasi pasien, specimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini
biasanya berat. Resiko reaksi hemolitik yang fatal kurang lebih 1 dalam 100.000
transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi menggigil, demam, mual, dan nyeri
dada serta nyeri di daerah pinggang. Pada pasien yang teranestesi, manifestasi suatu
reaksi hemolitik akut berupa peningkatan suhu, takikardia, hipotensi, hemoglobinuria
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan menimbulkan perdarahan di lapangan operasi.
Koagulasi intravaskuler diseminata, syok, dan gagal ginjal dapat berkembang secara
cepat. Kegawatan reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah inkompatibel
yang diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi seteah pemberian infuse 10-15 mL darah
yang inkompaibel.
Manajemen reaksi hemolitik dapat dirangkum sebagai berikut:
(1) Ketika terdapat suspek reaksi hemolitik (meski hanya satu kali), transfusi harus
segera dihentikan.
(2) Slip unit darah dan gelang identitas pasien harus dicek ulang.
(3) Darah harus diambil untuk mengidentifiaksi hemoglobin dalam plasma,
mengulang tes kompabilitas, dan menentukan studi koagulasi dan jumlah platelet.
(4) Sebuah kateter urin harus dimasukkan, dan kadar hemoglobin urin harus dicek.
(5) Diuresis osmotic dengan manitol dan cairan intravena harus segera dimulai
(6) Pada keadaan kehilangan darah yang cepat, platelet dan FFP merupakan indikasi.
Reaksi Hemolitik Lambat
Suatu reaksi hemolitik yang lambat-disebut juga sebagai hemolisis ekstravaskler-
umumnya ringan dan disebabkan oleh antibodi terhadap antigen non-D system Rh atau
terhadap alel asing dari system lain seperti antigen Kell, Duffy, atau Kidd. Mengikuti
suatu transfusi ABO dan Rh-D yang kompatibel, pasien memiliki kemungkinan 1-1,6%
untuk membentuk antibody yang melawan antigen asing pada system yang lain. Seiring
berjalannya waktu jumlah antibody yang telah dibentuk menjadi signifikan (dalam
beberapa minggu atau beberapa bulan), sel darah merah yang ditransfusikan akan
dibersihkan dari sirkulasi. Kemudian setelah itu, titer antibody akan menurun dan
menjadi tidak terdeteksi. Paparan kembali dengan antigen yang sama selama transfusi sel
darah merah berikutnya, bagaimanapun, akan memicu suatu respon antibody secara
anamnestik yang melawan antigen asing. Fenomena ini tampak lebih nyata pada system
antigen Kidd. Reaksi hemolitik dapat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala
tersebut biasanya ringan, seperti malaise yang menetap, ikterik, dan demam. Hematokrit
pasien secara khas jatuh atau meningkat pada transfusi dan tidak terdapat perdarahan.
Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam serum merupakan hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosis reaksi hemolitik lambat yang dimediasi antibody dapat difasilitasi oleh
tes antiglobulin (Coombs). Tes Coombs direk mendeteksi adanya antibody pada membran
sel darah merah. Pada keaadaan ini, bagaimanapun, tes tidak dapat membedakan antara
antibody resipien yang membungkus sel darah merah donor dan antibody donor yang
membungkus sel darah merah resipien. Hal ini membutuhkan suatu pemeriksaan ulang
specimen pretransfusi yang detil dari donor dan resipien.
Penatalaksaan reaksi hemolitik lambat adalah terapi suportif. Frekuensi reaksi
hemolitik lambat diperkirakan mencapai 1:12.000 transfusi. Kehamilan (paparan terhadap
sel darah merah fetus) juga dapat bertanggung jawab terhadap pembentukan aloantibodi
terhadap sel darah merah.
2. Reaksi Imun Nonhemolitik
Reaksi Imun Nonhemolitik merupakan sensitisasi resipien terhadap sel darah putih,
platelet, atau protein plasma donor.
Reaksi demam
Sensitisasi sel darah putih atau platelet memiliki manifestasi yang khas berupa suatu
reaksi demam. Beberapa reaksi yang relatif sering muncul (1-3% dari episode transfusi)
dan diketahui dengan peningkatan suhu tanpa bukti adanya hemolisis. Pasien dengan
riwayat reaksi demam yang berulang harus hanya mendapatkan transfusi sel darah merah
yang miskin leukosit. Transfusi sel darah merah dapat dibuat menjadi miskin leukosit
dengan cara pemusingan, filtrasi, atau teknik pembekuan yang lambat.
Reaksi urtikarial
Reaksi urtikarial biasanya ditandai dengan eritema, gatal-gatal dengan bintik merah yang
bengkak, dan gatal tanpa demam. Reaksi ini relatif sering (1% transfusi) dan dianggap
merupakan sensitisasi pasien terhadap protein plasma yang ditransfusikan. Reaksi
urtikarial dapat ditangani dengan obat antihistamin (H1 dan mungkin H2 bloker) dan
steroid.
Reaksi anafilaktik
Reaksi anafilaktik jarang terjadi (mendekati 1 dalam 150.000 transfusi). Reaksi yang
berat ini dapat terjadi meski hanya setelah beberapa milliliter darah diberikan, terutama
pada pasien defisiensi Ig-A dengan antbodi anti-IgA yang menerima transfusi darah yang
mengandung Ig-A. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan mendekati 1:6.000-8.000 pada
populasi umum. Beberapa reaksi memerlukan terapi dengan epinefrin, cairan,
kortikosteroid, dan H1 dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA harus menerima
washed unit packed red cells, deglyserolized frozen red cells, atau darah yang bebas IgA.
Edema Pulmoner Nonkardiogenik
Suatu sindrom trauma akut paru (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI])
merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada transfusi darah (<1:10.000). Hal tersebut
berkaitan dengan transfusi antileukosit atau antibody anti-HLA yang berinteraksi dengan
sel darah putih pasien dan menyebabkan agregasi sel darah putih pasien pada sirkulasi
pulmoner. Kerusakan membran alveoli/kapiler memacu sindrom tersebut. Atau dengan
cara lain, transfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin pasien. Terapi
awal pada TRALI mirip dengan penanganan pada sindroma distress respirasi akut
(ARDS) (lihat Bab 49), tapi dapat teratasi dalam 12-48 jam dengan terapi suportif.
Penyakit Jaringan-Versus-Pejamu
Tipe reaksi ini dapat terlihat pada pasien yang imunokompromise. Produk-produk sel
darah mengandung limfosit yang mampu menimbulkan respon imun pada pejamu yang
compromise. Penggunaan filter leukosit khusus tidak dapat mencegah penyakit jaringan-
versus-pejamu, iradiasi (1500-3000 cGy) pada transfusi sel darah merah, granulosit, dan
platelet mengaktifasi limfosit secara efektif tanpa mencegah efikasi transfusi.
Purpura Posttransfusi
Trombositopenia yang berat jarang terjadi setelah transfusi dan berkaitan dengan
pembentukan aloantibodi platelet. Untuk alasan yang tidak diketahui, antibody ini juga
menghancurkan platelet pasien sendiri. Jumlah platelet menurun secara khas dengan
cepat satu minggu setelah transfusi. Umumnya direkomendasikan plasmaferesis.
Supresi imun
Transfusi produk darah mengandung leukosit imunosupresif. Hal ini sangat jelas pada
resipien transplastasi ginjal, yang menerima transfusi darah preoperative menunjukkan
peningkatan penerimaan jaringan. Beberapa studi menunjukkan rekurensi pertumbuhan
maligna lebih mungkin terjadi pada pasien yang menerima transfusi darah selama
operasi. Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa transfusi leukosit allogenik dapat
mengaktifasi virus laten pada resipien. Terakhir, transfusi darah dapat meningkatkan
insiden infeksi serius setelah pembedahan atau trauma.
KOMPLIKASI INFEKSI
Infeksi Viral
A. HEPATITIS
Sampai tes rutin untuk virus hepatitis dilakukan, insidensi hepatitis setelah transfusi darah
7-10%. Sedikitnya 90% dari kasus ini merupakan virus hepatitis C. Insidens hepatitis
posttransfusi berkisar antara 1:63.000 sampai 1:1.600.000; 75% dari kasus ini anikterik,
dan paling sedikit 50% berkembang menjadi penyakit hepar kronis. Selain itu, dari
kelompok yang terakhir ini, paling sedikit 10-20% berkembang menjadi sirosis.
B. ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)
Virus yang bertanggungjawab untuk penyakit ini adalah, HIV-1, menular melalui
transfusi darah. Semua darah dilakukan tes untuk mengetahui ada atau tidaknya antibody
HIV-1 dan HIV-2. Permintaan tes asam nukleat oleh Food and Drug Administration
(FDA) mempersempit jendela hingga kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko
penularan HIV melalui transfusi sampai 1:1.900.000 transfusi.
C. INFEKSI VIRAL YANG LAIN
Cytomegalovirus (CMV) dan Eipstein-Barr virus biasanya menyebabkan kesakitan yang
asimptomatik atau sistemik ringan. Sayangnya, pada beberapa individu dapat
berkembang menjadi karier infeksius yang asimptomatik; sel darah putih dalam unit
darah dari donor memiliki kemampuan untuk menularkan kedua virus tersebut. Pada
pasien yang imunokopromise dan imunosupresif (misal pada infant premature dan
resipien transplantasi organ) sangat suseptibel terhadap infeksi CMV yang berat melalui
transfusi. Idealnya, beberapa pasien hanya boleh menerima unit CMV-negatif.
Bagaimanapun, studi terkini megindikasikan bahwa resiko transmisi CMV melalui
transfusi produk darah dengan pengurangan leukosit sebanding dengan unit CMV-
negatif. Oleh karena itu, memberikan unit dengan leukosit yang dikurangi secara klinis
tepat untuk pasien seperti itu. Human T cell lymfhotropic viruses I dan II (HTLV-1 dan
HTLV-2) merupakan virus leukemia dan limfoma, berturut-turut, telah dilaporkan
ditularkan melalui transfusi darah; pembentukannya juga berkaitan dengan mielopati.
Transmisi parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi konsentrat factor koagulasi dan
dapat menyebabkan peningkatan aplastik sementara pada pejamu imunokompromis.
Penggunaan filterleukosit khusus mengurangi tapi tidak mengeliminasi insidens
komplikasi ini.
Infeksi Parasit
Penyakit parasitik dapat ditransmisikan oleh transfusi, termasuk malaria, toxoplasmosis,
dan penyakit Chaga’s. Untungnya, kasus seperti ini sangat jarang.
Infeksi bacterial
Kontaminasi bakterial produk darah merupakan penyebab sekunder kematian yang
berhubungan dengan transfusi. Prevalensi kultur positif kantong darah berkisar dari
1/2000 untuk produk platelet sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis terkait
dengan transfusi darah berkisar antara 1/25.000 untuk platelet sampai 1/250.000 untuk
pRBC. Jumlah ini relatif besar bila dibandigkan dengan resiko HIV atau hepatitis, yang
berkisar antara 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococcus) dan gram-negatif
(Yersinia dan Citrobacter) dapat mengkontaminasi transfusi darah dan penyakit menular
dengan jarang. Untuk menghindari kemungkinan kontaminasi bacterial yang signifikan,
produk darah harus diberikan dalam waktu 4 jam atau lebih cepat. Penyakit bakterial
spesifik ditularkan oleh transfusi darah dari donor termasuk sifilis, brucellosis,
salmonelosis, yersiniosis, dan berbagai variasi rickettsiosis.
TANFUSI DARAH MASIF
Transfusi darah masif secara umum didefinisikan sebagai sebagai kebutuhan transfusi
satu atau dua kali volume darah pasien. Untuk sebagian besar pasien dewasa, hal tersebut
sama dengan 10-20 unit.
Koagulopati
Penyebab perdarahan yang paling sering setelah transfusi darah masif adalah
trombositopenia dilusional. Dilusi klinis yang signifikan dari factor koagulasi jarang
ditemukan sebelumnya pada pasien normal. Studi koagulasi dan jumlah platelet, harus
dapat dilakukan, idealnya untuk menentukan transfusi platelet dan FFP. Analisis
viskoelastik dari whole blood clotting (tromboelastografi dan analisis Sonoclot) juga
dapat digunakan.
Toksisitas Sitrat
Ikatan kalsium oleh bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat bermakna setelah transfusi
darah atau produk darah dalam jumlah yang besar. Hipokalsemia yang signifikan secara
klinis, dapat menyebabkan depresi kardial yang tidak terjadi pada pasien normal kecuali
transfusi melebihi 1U setiap 5 menit. Karena metabolisme primer sitrat di hepar, pasien
dengan penyakit hati atau disfungsi hati (dan mungkin pada pasien hipotermia) mungkin
memerlukan infus kalsium selama transfusi masif.
Hipotermia
Transfusi darah masif merupakan suatu indikasi absolut untuk menghangatkan semua
produk darah dan cairan intravena sesuai suhu tubuh normal. Aritmia ventrikular yang
progresif kemudian menjadi fibrilasi sering terjadi pada temperatur mendekati 30 0C.
Hipotermia dapat menghambat resuitasi kardial. Penggunaan infus yang cepat dengan
pertimbangan tranfer panas yang sangat efisien telah ditandai dapat menurunkan insidensi
hipotermia terkait dengan transfusi.
Keseimbangan Asam-Basa
Meskipun darah yang disimpan memiliki antikoagulan asam sitrat dan akumulasi
metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat), asidosis metabolik yang
bermakna yang berkaitan dengan transfusi tidak sering ditemukan. Sebagian besar
abnormalitas asam-basa yang konsisten setelah transfusi darah masif merupakan alkalosis
metabolik postoperatif. Sekali perfusi normal telah didapatkan, setiap asidosis metabolik
secara tipikal teratasi, dan alkalosis metabolik yang progresif sebagai sitrat dan laktat
pada transfusi dan resuitasi cairan dikonversi menjadi bikarbonat oleh hati.
Konsentrasi Potasium Serum
Konsentrasi potasium ekstraseluler pada darah yang disimpan meningkat dengan kontstan
seiring dengan berjalannya waktu. Jumlah potasium ekstraseluler yang ditransfusikan dari
tiap unit kurang dari 4 mEq per unit. Hiperkalemia dapat berkembang sesuai umur darah
ketika ditransfusikan dengan kecepatan lebih dari 100 mL/menit. Terapi hiperkalemia
didiskusikan pada Bab 28. Hipokalemia umumnya dialami pada masa postoperatif,
terutama yang berkaitan dengan alkalosis metabolik (lihat Bab 28 dan 30).

 STRATEGI ALTERNATIF UNTUK MANAJEMEN KEHILANGAN DARAH


SELAMA PEMBEDAHAN
TRANSFUSI AUTOLOG
Pasien yang sedang mengalami prosedur pembedahan dengan probabilitas tinggi untuk
transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan pada saat operasi.
Pengambilan biasanya dimulai 4-5 minggu sebelum prosedur. Pasien diperbolehkan
mendonorkan satu unit sepanjang nilai hematokritnya paling sedikit 34% atau
hemoglobin paling sedikit 11 g/dL. Batas minimal 72 jam diperlukan antara waktu donasi
untuk memastikan bahwa volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan
terapi eritropoetin rekombinan (400 U setiap minggu), biasanya paling sedikit dapat
diambil tiga sampai empat unit sebelum operasi. Beberapa studi menyebutkan bahwa
transfusi darah autolog tidak memberikan efek yang merugikan pada pasien yang sedang
menjalani operasi untuk kanker. Meskipun transfusi autolog tampaknya mengurangi
resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidak sepenuhnya terbebas dari bahaya
tersebut. Resiko tersebut termasuk reaksi imunologikal yang berhubungan dengan
kesalahan dalam pengambilan dan labeling, kontaminasi, dan penyimpan yang tidak
memadai. Reaksi alergi seharusnya dapat terjadi terhadap alergen (misal etilen oksida)
yang memisahkan darah dari perlengkapan pengambilan dan penyimpanan. Pengambilan
darah autolog preoperatif telah digunakan dalam frekuensi yang menurun.
PENYIMPANAN DARAH DAN REINFUS
Teknik ini digunakan selama rekonstruktif jantung dan vaskular mayor dan operasi
ortopedi (lihat Bab 21). Darah diaspirasi intraoperatif bersamaan dengan antikoagulan
(heparin) ke dalam penampung. Setelah darah diambil dalam jumlah yang cukup, sel
darah merah dikonsentrasikan dan dicuci untuk menghilangkan debris dan antikoagulan
dan kemudian di-reinfus pada pasien. Konsetrasi hematokrit yang biasanya harus dimiliki
adalah 50-60%. Agar dapat digunakan dengan efektif, teknik ini memerlukan kehilangan
darah lebih dari 1000-1500 mL. Kontraindikasi meliputi kontaminasi septik dari luka dan
mungkin tumor maligna, penelitian mengenai kemungkinan adanya reinfus sel-sel
maligna melalui teknik ini belum dibuktikan. Saat ini, sistem yang lebih mudah
memperbolehkan reinfusi darah tanpa sentrifugasi.
HEMODILUSI NORMOVOLEMIK
Hemodilusi normovolemik akut terjadi bila konsentrasi sel darah merah menurun, total
sel darah merah yang hilang berkurang ketika sel darah merah dilepaskan dalam jumlah
besar; selain itu, kardiak output tetap normal karena volume intravaskuler dipertahankan.
Darah hanya dipindahkan beberapa saat sebelum operasi dari kateter intravena yang besar
dan digantikan oleh kristaloid dan koloid seperti pada pasien dengan normovolemik tapi
nilai hematokrit 21-25%. Darah yang dipindahkan disimpan dalam suatu kantong CPD
pada suhu ruangan (sampai 6 jam) untuk mempertahankan fungsi platelet; darah
diberikan kembali pada pasien setelah kehilangan darah atau segera bila diperlukan.
TRANSFUSI DONOR LANGSUNG
Pasien dapat meminta donor dari anggota keluarga atau teman yang diketahui ABO
kompatibel. Sebagian besar bank darah tidak menyukai praktik ini dan umumnya
memerlukan donasi paling sedikit 7 hari sebelum operasi untuk proses donasi darah dan
konfirmasi kompabilitas. Studi yang membandingkan keamanan unit donor-langsung
dengan unit donor acak mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan di antara keduanya,
atau bahwa unit bank darah lebih aman.

DISKUSI KASUS:
SEORANG PASIEN DENGAN PENYAKIT SEL BULAN SABIT
Seorang perempuan hitam 24 tahun dengan riwayat anemia bulan sabit herediter
mengeluh nyeri abdomen dan dijadwalkan untuk operasi kolesistektomi. Pasien
menganggap bahwa ia mungkin mengidap anemia sel bulan sabit.

Apakah yang dimaksud dengan anemia sel bulan sabit?


Anemia bulan sabit adalah suatu anemia hemolitik herediter akibat abnormalitas formasi
hemoglobin (HbS). HbS secara struktural merupakan turunan dari hemoglobin normal
dewasa (HbA) hanya terdapat subtitusi valin pada asam glutamat pada posisi keenam
dari rantai β. Secara fungsional, sickle hemoglobin memiliki afinitas yang lebih rendah
terhadap oksigen (P50 = 31 mmHg) sebagaimana kelarutannya. Pada deoksigenasi, HbS
terpolimerasi dan terpresipitat dalam sel darah merah, menyebabkan mereka menjadi
berbentuk sickle (seperti bulan sabit). Pasien memproduksi hemoglobin fetal (HbF)
dalam jumlah yang bervariasi (2-20%). Hal tersebut tampak seperti sel-sel dengan
jumlah HbF yang banyak yang dengan suatu cara terlindung dari proses pembentukan
struktur bulan sabit. Pembentukan dan destruksi yang terus menerus dari sel bulan sabit
yang ireversibel memicu anemia. Hematokrit 18-30% karena hemolisis ekstravaskuler.
Umur sel darah merah berkurang sampai 10-15 hari, dibandingkan dengan individu
normal di mana umur sel darah merah mencapai 120 hari.

Apa perbedaan antara anemia sel bulan sabit dengan sel bulan sabit bawaan?
Ketika defek genetik hemoglobin dewasa baik maternal maupun paternal (No.11)
diturunkan pada kromosom, pasien adalah HbS homozigot dan memiliki anemia sel
bulan sabit (HbSS). Ketika hanya satu kromosom yang memiliki gen sel bulan sabit,
pasien heterozigot dan memiliki sel bulan sabit bawaan (HbAS). Pasien dengan sel bulan
sabit bawaan menghasilkan jumlah HbA (55-60%) dan HbS (35-40%) yang bervariasi.
Tidak seperti pasien dengan HbSS, mereka umumnya tidak anemis, asimptomatik, dan
memiliki umur hidup yang normal. Sickling hanya terjadi pada hipoksemia yang ekstrim
atau pada status low-flow. Sickling terutama terjadi pada medula renal; walaupun,
banyak pasien dengan sel bulan sabit bawaan memiliki gangguan kemampuan
pemekatan ginjal. Beberapa pasien dengan HbAS telah dilaporkan memiliki infark
medula renal, lien, dan pulmomer.
Bagaimana prevalensi gen sel bulan sabit pada orang Amerika kulit hitam?
Anemia sel bulan sabit merupakan penyakit primer keturunan Afrika Tengah hitam.
Mendekati 0,2-0,5% orang Amerika berkulit hitam adalah homozigot gen sel bulan sabit
dan 8-10% adalah heterozigot. Anemia sel bulan sabit lebih jarang ditemukan pada
pasien keturunan Mediterania.

Bagaimanakah patofisiologinya?
Kondisi pembentukan deoksihemoglonin-misal hipoksmia, asidosis, hipertonisitas atau
dehidrasi intraseluler, meningkatkan kadar 2,3-DPG, atau peningkatan temperatur-
dapat menggumpalkan sickling pada pasien dengan HbSS. Hipotermia juga dapat
mengganggu karena berkaitan dengan vasokonstriksi (lihat bawah). Polimerasi
intraseluler HbS mengubah sel darah merah, membuat mereka kurang lentur dan”lebih
lengket”, dan meningkatkan viskositas darah. Sickling awalnya dapat reversibel tapi
seringkali menjadi ireversibel pada beberapa sel. Pembentukan agregasi sel darah
merah dalam kapiler dapat menyumbat mikrosirkulasi pada jaringan. Suatu cycle yang
lengket ditemukan pada stasis sirkulasi yang memicu hopiksia lokal, yang akan
menyebabkan sickling kembali.

Gejala-gejala apa saja yang biasanya tampak pada pasien dengan anemia sel bulan
sabit?
Gejala pada pasien dengan HbSS umumnya pertama kali muncul pada masa infant,
ketika kadar hemoglobin fetal (HbF) menurun. Penyakit ditandai dengan krisis akut
episodik dan kronik dan gambaran yang progresif (Tabel 29-8). Anak-anak menunjukkan
hambatan pertumbuhan dan infeksi berulang. Infark lien yang berulang memicu atrofi
lien dan asplenisme fungsional saat masa adolesens. Pasien biasanya meninggal karena
infeksi berulang atau gagal ginjal. Krisis sering diperparah dengan infeksi, cuaca
dingin, dehidrasi atau bentuk lain dari stres. Krisis dapat dibagi menjadi tiga tipe:
1. Krisis vasooklusif: Tergantung pada pembuluh darah yang terlibat, episode akut
ini dapat menyebabkan infark mikro atau makro. Secara klinis, hal tersebut
muncul sebagai nyeri abdomen, dada, punggung atau persendian. Membedakan
antara nyeri abdomen akibat pembedahan dan non pembedahan sulit.
Kebanyakan pasien membentuk batu empedu pigmen pada masa dewasa, dan
banyak yang muncul dengan kolesistitis akut. Fenomena vasooklusif pada
pembuluh darah yang lebih besar dapat menyebabkan trombosis yang
menyebabkan infark di lien, otak, pulmober, hepar, ginjal, dan yang lebih jarang,
infark miokard.
2. Krisis aplastik: anemia yang sangat berat (Hb 2-3 g/dL) dapat terjadi dengan
cepat ketika produksi sel darah merah di sumsum tulang kelelahan dan
tersupresi. Infeksi dan defisiensi folat memiliki peranan penting. Beberapa pasien
juga berkembang menjadi leukopenia.
3. Krisis sekuetrasi lien: penumpukan darah tiba-tiba di lien dapat terjadi pada
infant dan anak kecil dan dapat menyebabkan hipotensi yang mengancam nyawa.
Diduga mekanismenya adalah oklusi partial atau komplit drainase vena dari lien.

Tabel 29-8. Manifestasi anemia bulan sabit.


Neurogikal
Stroke
Perdarahan subarachnoid
Koma
Kejang
Vaskular
Perdarahan vitreus
Infark retina
Retinopati proliferatif
Ablasio retina
Pulmoner
Increased pulmonaru shunting
Pleuritis
Infeksi pulmoner yang berulang
Infark pulmoner
Kardiovaskuler
Gagal jantung kongestif
Korpulmonale
Perikarditis
Infark miokard
Gastrointestinal
Kolelitiasis (batu pigmen)
Kolesistitis
Infark hepar
Abses hepar
Fibrosis hepar
Hematologikal
Anemia
Anemia aplastik
Infeksi berulang
Infark lien
Sekuestrasi lien
Asplenia fungsional
Genitourinaria
Hematuria
Nekrosis papiler ginjal
Gangguan kemampuan pemekatan ginjal (isosthenuria)
Sindroma nefrotik
Insufisiensi renal
Gagal ginjal
Priapismus
Tulang
Sinovitis
Artritis
Nekrosis aseptik kaput femur
Infark tulang pendek pada tangan dan kaki (daktilitis)
Vetebrae bikonkaf (”mulut ikan”)
Osteomielitis
Kulit
Ulkus kronik

Bagaimana mendiagnosa anemia sel bulan sabit?


Sel darah merah pada pasien dengan anemia sel bulan sabit setelah pemberian reagen
konsumsi oksigen (metabisulfit) atau larutan hipertonis (tes kelarutan). Diperlukan
konfirmasi dengan elektroforesis hemoglobin.

Apa jalan terbaik untuk mempersiapkan pasien dengan anemia sel bulan sabit
untuk operasi?
Persiapan preoperatif yang optimal harus dilakukan pada semua pasien yang akan
menjalani proses pembedahan. Pasien harus terhidrasi, infeksi harus sudah dikontrol,
dan konsentrasi hemoglobin harus berada dalam kadar yang dapat diterima. Terapi
transfusi preoperatif harus tergantung pada setiap individu pasien dan prosedur
pembedahan. Transfusi tukar parsial sebelum prosedur bedah mayor biasanya
disarankan. Tidak seperti transfusi yang sederhana, transfusi tukar menurunkan
viskositas darah. Hal tersebut juga meningkatkan kapasitas untuk membawa oksigen dan
menurunkan sickling. Target transfusi umumnya untuk mencapai kadar hematokrit 35-
40% dengan 40-50% hemoglobin normal (HbA1). Walaupun keuntungan transfusi tukar
pada pasien yang teranestesi baru diketahui, hal ini dengan jelas membantu pasien dari
krisis.

Adakah pertimbangan intraoperatif khusus?


Kondisi yang memungkinkan peningkatan desaturasi hemoglobin atau status low-flow
harus dihindari. Setiap usaha harus dilakukan untuk menghindari hipotermia dan
hipertermia, asidosis, dan bahkan derajat ringan dari hipoksemia, hipotensi, atau
hipovolemia. Hidrasi dalam jumlah yang besar dan relatif tinggi (>50%) dapat
dipertimbangkan tekanan oksigen tinggi. Mekanisme kompensasi utama pada pasien ini
adalah peningkatan kardiak output, yang harus dipertahankan intraoperatif.
Pemantauan tekanan vena sentral atau tekanan arteri pulmoner dengan saturasi oksigen
vena mungkin bermanfaat pada pasien ini. Alkalosis ringan dapat membantu
menghindari sikcling, tapi derajat sedang alkalosis respiratorik dapat menimbulkan efek
yang merugikan terhadap aliran darah ke otak. Banyak klinisi yang juga menghindari
penggunaan torniquet. Penetilian tidak dapat mendukung atau menolak penggunaan
teknik anestesi regional maupun general apapun.

Adakah pertimbangan khusus postoperatif?


Prinsip periode postoperatif sama dengan prisnsip yang digunakan pada masa
intraoperatif. Kebanyakan kematian perioperatif terjadi pada periode postoperatif.
Hipoksemia dan komplikasi pulmoner merupakan faktor resiko utama. Suplementasi
oksigen, kontrol rasa nyeri yang optimal, fisioterapi pulmoner, dan mobilisasi dini dapat
dipertimbangkan untuk menghindari komplikasi-komplikasi tersebut.

Apakah terdapat signifikansi anemia sel bulan sabit dan thalassemia pada pasien
yang sama?
Kombinasi HbS dan thalassemia, terbanyak sickle β-thalassemia, memiliki suatu
variabel dan efek yang tidak terduga pada derajat keparahan penyakit. Secara umum,
kombinasi lebih ringan terdapat pada pasien keturunan kulit hitam daripada pasien
keturunan Mediterania.

Bagaimana patofisiologi thalassemia?


Thalassemia merupakan suatu penyakit gangguan produksi satu atau lebih subunit
normal hemoglobin yang diturunkan. Pasien dengan thalassemia dapat memproduksi
HbA normal tapi memiliki jumlah produksi rantai α atau β yang berkurang. Beratnya
gangguan ini tergantung pada subunit yang dipengaruhi dan di mana gangguan produksi
hemoglobin tersebut. Gejala dapat tidak muncul atau berat. Pasien dengan thalassemia-
α jumlah subunit- α yang dihasilkan berkurang, sedangkan pada pasien dengan
thalassemia-β jumlah produksi subunit-β berkurang. Pembentukan hemoglobin dengan
komposisi subunit yang abnormal dapat mengubah membran sel darah merah dan
menimbulkan hemolisis dalam derajat yang bervariasi dan merupakan hematopoeisis
yang tidak efektif. Hematopoesis yang tidak efektif dapat menyebabkan hipertofi sumsum
tulang dan seringkali menyebabkan tulang yang abnormal. Hipertrofi maxila dapat
menyulitkan intubasi tracheal. Thalassemia lebih sering terjadi pada pasien dari
keturunan Asia Tenggara, Afrika, Mediterania, dan Indian.

Apakah yang dimaksud dengan penyakit hemoglobin C?


Subtitusi lisin untuk asam glutamat pada posisi 6 pada subunit-β menyebabkan
hemoglobin C (HbC). Hampir 0,05% orang Amerika berkulit hitam membawa gen HbC.
Pada pasien homozigot HbC umumnya hanya terdapat anemia hemolitik ringan dan
splenomegali. Mereka jarang berkembang menjadi komplikasi yang bermakna. Tendensi
HbC untuk mengkristal pada lingkungan yang hipertonis mungkin bertanggung jawab
untuk hemolisis dan memproduksi sel target pada preparat apur darah tepi.

Apa signifikansi genotip HbSC?


Hampir mendekati 0,1% orang Amerika berkulit hitam heterozigot HbS dan HbC (HbSC)
secara bersamaan. Pasien-pasien ini mengalami anemia ringan sampai sedang.
Beberapa pasien merasakan krisis nyeri, infark lien, dan disfungsi hepar. Manifestasi
pada mata yang berkaitan dengan penyakit HbSS merupakan tanda yang utama dan
mencolok. Perempuan dengan HbSC memiliki resiko komplikasi yang tinggi selama
trisemester ketiga kehamilan dan persalinan.

Apakah yang dimaksud dengan hemoglobin E?


Hemoglobin E merupakan hasil dari subtitusi tunggal pada rantai-β dan merupakan
variasi kedua yang paling sering ditemukan di dunia. Hal ini paling sering terdapat pada
pasien dari Asia Tenggara. Meskipun afinitas ikatan oksigen normal, subtitusi
mengganggu produksi rantai-β (mirip dengan thalassemia-β). Pasien homozigot ditandai
dengan mikrositosis dan sel target yang mencolok, tapi tidak selalu anemia dan jarang
terdapat manifestasi yang lain.

Apa signifikansi hematologik defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase?


Sel darah merah secara normal dilindungi dari agen-agen oksidasi. Kelompok sulfihiril
pada hemoglobin dilindungi oleh glutation yang tereduksi. Hal ini diregenerasi oleh
NADPH (reduksi nikotinamid adenin dinukleotida fosfat), yang diregenerasi sendiri oleh
metabolisme glukosa pada lintas heksosa monofosfat. Glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G6PD) merupakan suatu enzim yang penting pada jalur ini. Gangguan pada jalur ini
menyebabkan jumlah glutation ter-reduksi yang inadekuat, yang potensial menyebabkan
oksidasi dan presipitasi hemoglobin dalam sel-sel darah merah (tampak sebagai badan
Heinz) dan hemolisis.

Tabel 29-9. Obat-obatan yang dihindari pada pasien dengan defisiensi G6PD1
Obat-obatan yang dapat menyebabkan hemolisis
Sulfonamid
Obat antimalaria
Nitrofurantoin
Asam nalidiksat
Probenesid
Asam aminosalisilat
Fenasetin
Asetanilid
Asam askorbat (dalam jumlah yang besar)
Vitamin K
Metilen blue
Quinin2
Quinidin3
Kloramfenikol
Penisilinamin
Dimercaprol
Obat lain
Prilocain
Nitroprusid
1
G6PD, glukosa-6-fosfat dehidrogenase
2
Mungkin aman pada pasien dengan varian A
3
Harus dihindari karena potensial menyebabkan methemoglobinemia
Abnormalitas pada G6PD relatif sering. Terdapat lebih dari 400 varian.
Tergantung pada signifikansi fungsional abnormalitas enzim, manifestasi klinik dapat
berupa variabel yang tidak tampak. Sampai 15% pria Amerika berkulit hitam memiliki
varian A yang signifikan seara klinis. Variansi sekunder sering terdapat pada individu
keturunan Mediterania timur, dan varian ketiga sering terdapat pada orang-orang
keturunan China. Karena lokus enzim tersebut terdapat pada kromosom X, abnormalitas
tersebut merupakan bawaan X-linked, dengan pria yang terpengaruh secara primer.
Seiring umur sel darah merah, aktifitas G6PD menurun secara normal. Konsekeunsinya,
penuaan sel darah merah sangat suseptibel terhadap oksidasi. Kerusakan ini ditandai
dengan akselerasi pada pasien dengan varian Mediteran, tapi hanya moderat pada
pasien dengan dengan varian A. Kebanyakan pasien tidak khas anemis tapi dapat
berkembang menjadi hemolisis setelah stres oksidatif seperti infeksi viral atau bakterial
atau asupan beberapa obat (Tabel 29-9). Hemolisis juga dapat dipresipitasi oleh asidosis
metabolik. Episode hemolisis dapat berupa hemoglobinuria dan hipotensi. Hal tersebut
biasanya dapat hilang sendiri karena hanya populasi sel yang lebih tua yang
dihancurkan. Varian Mediterania mungkin berhubungan dengan beberapa derajat
anemia hemolitik kronis, dan beberapa pasien sangat sensitif terhadap fava beans.
Penanganan penyakit ini adalah pencegahan primer. Pengukuran fungsi renal
(lihat atas) diindikasikan pada pasien yang berkembang menjadi hemoglobinuria.

Вам также может понравиться