Вы находитесь на странице: 1из 8

Peran Ayah Mendidik Anak dalam Perspektif Al-Qur’an : Upaya Konstruktif

Menciptakan Generasi Emas tahun 2045

A. Pendahuluan

Indonesia saat ini menempati posisi ketiga di dunia sebagai negara Fatherless
Country. Julukan “Negeri tanpa Ayah” ini lahir berdasarakan penelitian pada 33 provinsi di
Indonesia sejak tahun 2008-2012 yang menunjukkan betapa kecilnya peran ayah dalam
pengasuhan dan pendidikan anak1.

Peran ayah dalam kenyataannya, kerap dianggap sebagai pemenuh kebutuhan material
belaka dan pendidikan mentalitas spiritual anak sepenuhnya diserahkan kepada ibu.
Sementara dalam Islam........................................... Commented [e1]: Cari ayat yg menjelaskan pembagian peran
mendidik anak itu mejadi tangghung jawab bersama.

kebutuhan anak untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik harus didukung
oleh pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani yang seimbang. Pengabaian terhadap
keseimabangan ini berakibat pada hilangna figur seorang ayah bagi anak-anak dalam
pembentukan karakter dan mentalitas anak di kemudian hari.

Peran ayah yang dikonstruksi demikian terus berlangsung dari waktu ke waktu, tanpa
disadari terbangun sebuah pemahaman keliru yang seakan-akan membenarkan bahwa
pembagian peran tersebut memang seperti itu adanya. Pola pikir seperti inilah yang terus
berkembang di masyarakat kita sehingga bangsa ini terus bergerak menuju fatherless country.
Oleh karena itu, perlu bagi setiap ayah untuk menyadari bagaimana idealnya fungsi dan
posisi mereka dalam pendidikan anak.

Untuk konteks permasalahan di atas, Al-Qur’an telah menunjukkan bagaimana


seharusnya peran seorang ayah dalam mendidik anaknya. Para Nabi dan orang-orang shalih
di masa lampau telah mencontohkan adanya hubungan emosional antara seorang ayah dan
anak. Bukti-bukti tersebut telah direkam secara gamblang dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Commented [e2]: Harus ada paragraf yg cukup tentang
bagaimana Islam bicara mengenai peran ayah.....

Bercermin dari pergeseran peran seperti tersebut di atas, perlu kiranya menguatkan
kembali tentang kewajiban pendidikan anak bagi seorang ayah. Disamping itu, model

1
The Jakarta Post
interaksi ayah-anak yang telah dipraktikkan oleh para Nabi dan orang-orang shalih dahulu
mesti dijadikan referensi bagi para ayah untuk dapat mempraktikkannya kembali pada saat
ini. Dengan demikian, akan muncul alternatif bagi seorang ayah untuk sebaik mungkin dapat
mencurahkan perhatian mendidik anak di tengah perannya yang lain yakni mencari nafkah. Commented [e3]: Harus sejalan dengan pernyataan/kata qura,,
hadis /pendapat dll.

Dengan demikian, melalui tulisan ini harapannya peran ayah dalam tarbiyyatul aulad Commented [e4]: Berdasarkan uraian di atas maka
memunculkan sejumlah pertanyaan diantaranya adalah: 1.
terrivitalisasi, sehingga pendidikan anak dalam keluarga semakin menuju sempurna. Ketika Bagaimana bertanggung jawab orang tua thd pendidikan anak? 2.
bagaimanana posisi ayah dalam pendidikan anak berdasarkan
mentalitas anak yang terbangun dari keluarga sudah baik, maka kondisi generasi muda di perspektif Islam? Bagaimana korelasi peran ayah dalam melahirkan
generasi emas . Tawarannya: Bagaimana upaya konstruktif dalam
mencipatakan generasi emeas tahun 2045?
negara kita juga akan terselamatkan.
Commented [e5]: Adapaun manfaat dari tulisan ini.....trus
secara teoritik tulisan ini didukung oleh teori....apa, secara
metodologi tulisan akan mengumpulkan ayat2 hadis..pendapat
ulama dan kajian-kajian keislaman kontemporer yang terkait
B. Tanggung Jawab Ayah Mendidik Anak dengan tema ini.

Dalam Islam, kepribadian orang tua sangat berpengaruh pada pembentukan karakter
anak. Orang tua adalah gambaran pertama yang akan ditiru anak dalam berperilaku. Anak
akan merefleksi apa yang dicontohkan oleh orang tuanya dimana saat itu mereka belum
mendapatkan bentukan apapun dari lingkungan luar. Mengenai hal ini Rasulullah SAW
bersabda :

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Majusi, dan Nasrani.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang tua menjadi basis pendidikan pertama
seseorang setelah ia lahir. Islam yang menggagas konsep fitrah menjelaskan bahwa setiap
anak yang lahir, dasarnya sudah dibekali dengan potensi kebaikan. Potensi itu akan terus
berkembang jika sang anak mendapatkan nilai-nilai kebaikan kembali dari lingkungannya,
terutama orang tua. Karena peran penting itu, orang tua sepatutnya memperhatikan dengan
seksama keteladanan dan pendidikan yang diberikan kepada anak.

Dalam Al-Qur’an, tanggung jawab mendidik anak disebutkan secara eksplisit dalam
bentuk perintah menjaga keluarga. Allah memerintahkan agar setiap orang mukmin menjaga
keluarganya dari siksa api neraka. Sebagaimana firman-Nya :
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan redaksi, “Bertakwalah kepada Allah dan
berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada Allah.” Adapun Adh-Dhahak dan
Muqatil bin Hayyan menafsirkan ayat di atas, “Setiap muslim berkewajiban menjaga
keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya mengenai berbagai hal yang diwajibkan dan
dilarang Allah SWT.” Pandangan para mufassir ini menunjukkan ayat tersebut berbicara
kewajiban orang tua mendidik anak.

Pada dasarnya, tanggung jawab pendidikan anak ditujukan bagi setiap orang tua,
namun penekanannya lebih ditujukan kepada sosok ayah. Objek yang di perintah dalam QS.
At-Tahrim ayat 6 adalah anfusakum ‫( أنفسكم‬diri-diri kalian). Jika diuraikan lebih spesifik,
‘diri-diri kalian’ yang dimaksud ialah setiap laki-laki yang bertanggung jawab atas
keluarganya, termasuk seorang suami terhadap istrinya, ayah terhadap anaknya, saudara laki-
laki kepada saudarinya, maupun paman kepada perwaliannya.

Seorang ayah menjadi salah satu golongan laki-laki yang diembankan tugas mendidik
anak karena mengingat posisinya sebagai pemimpin keluarga. Dalam hadits disebutkan
bahwa “....seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya...”. Ayat dan hadits tersebut mempertegas
tanggung jawab seorang ayah agar tidak abai terhadap tugasnya sebagai pemimpin serta
pendidik bagi istri dan anak-anaknya agar senantiasa berada dalam syariat Allah, di samping
tugasnya sebagai pencar nafkah.

Sejalan dengan apa yang diperintahkan dalam Al-Qur'an, peranan seorang ayah dalam
mendidik anak kembali digencarkan dewasa ini. Dampak buruk akibat pasifnya peran ayah
dalam pendidikan anak mulai disadari bahayanya bagi pembentukan karakter anak. Ayah
yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik dalam pola asuh anak akan memberikan
beberapa dampak negatif seperti : pertama, kaburnya identitas dan peran seksual anak.
Kedua, gangguan psikologis seperti kurangnya keterampilan memecahkan masalah.

Adanya peran khas seorang ayah yang dibutuhkan dalam perkembangan psikologinya,
membuat seorang anak memerlukan figur ibu dan ayah sekaligus secara komplementatif. Pola
pengasuhan ibu yang cenderung hati-hati akan diseimbangkan oleh ayah yang bersikap lebih
santai, lugas, dan fleksibel dalam pendidikan anak. Jika ibu memerankan sosok yang
memberikan perlindungan dan keteraturan, ayah membantu anak bereksplorasi dan menyukai
tantangan.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan dibutuhkan bagi anak laki-laki maupun


perempuan. Bagi anak laki-laki, ayah dapat menajdi contoh yang baik baginya untuk belajar
bagaimana berkata, bersikap, berperilaku, dan berpikir sebagai seorang laki-laki. Melalui
ayah, anak laki-laki belajar cara bergaul, memimpin, menyelesaikan masalah,
mempertahankan pendapat, hingga cara memperlakukan perempuan. Kedekatan ayah dengan
anak laki-laki akan mengurangi peluang anak terjebak dalam kenakalan remaja.

Sementara bagi anak perempuan, ayah berperan sebagai tempat belajar kekuatan,
ketegaran, kerunututan berpikir, dan pengendalian emosi. Anak yang tumbuh dengan
perhatian ayahnya akan memiliki konsep diri yang merasa layak untu dihormati. Kelak, anak
perempuan yang memiliki kedekatan dengan sang ayah akan pandai menghargai diri dan
terhindar dari hubungan yang tidak sehat dengan laki-laki.

Uraian di atas menegaskan bahwa wajib bagi seorang ayah berpartisipasi penuh dalam
pendidikan anak dalam keluarga. Pendidikan tersebut tidak cukup jika hanya diserahkan
kepada sosok ibu. Karena ada nilai-nilai yang tidak didapati dari seorang ibu, maka
kontribusi aktif ayah begitu dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan karakter anak yang
ideal.

Dengan memahami urgensi dan tanggung jawab besar tersebut, tugas seorang ayah
dalam rumah tangga tidak lagi dipandang sebagai pencari nafkah belaka, namun juga menjadi
figur yang membimbing dan mengarahkan perilaku sang anak.

C. Pendidikan Anak berbasis Ayah dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak hanya memberi petunjuk umum tentang tanggung jawab mendidik
anak sebagaimana dalam surat At-Tahrim ayat 6, namun lebih jauh lagi, Allah telah
menyajikan contoh-contoh konkret interaksi pendidikan anak melalui kisah-kisah para
Anbiya dan orang-orang shalih.
Ada 17 dialog orang tua dengan anak di dalam Al-Qur'an yang tersebar di 9 surat.
Lebih rincinya, dialog ayah dengan anak dengan jumlah yang paling banyak, yakni terdapat
di 14 tempat. Adapun dialog ibu dengan anak sebanyak 2 tempat, dan dialog kedua orang tua
dengan anak (tanpa nama) sebanyak 1 tempat. Lokusnya ???
........ di antaranya kurikulum prioritas, proses belajar internalisasi, imitasi, serta pola
asuh demokratis.

1. Kurikulum Prioritas (Q.S Luqman ayat 13-19)

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran
kepadanya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersektukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang
tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau
tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-
Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan.”
“(Luqman berkata), “Wahai anakku, sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya
(balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti.
Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah
berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membanggakan diri.
Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-
buruk suara ialah suara keledai.”
Untuk mencapai tujuan pendidikan akhlak dalam keluarga, seoarang ayah
memerlukan penguasaan materi dan program yang cocok untuk disampaikan kepada anak.
Seorang ayah harus memiliki skala prioritas pendidikan yang akan diajarkan kepada anaknya.
Materi pendidikan akhlak yang disampaikan setidaknya mencakup dua hal utama yakni
memperkuat hubungan vertikal terhadap Allah SWT dan memperbaiki hubungan horizontal
kepada sesama manusia sebagaimana yang terkandung dalam dialog edukasi Luqman dengan
anaknya.
Dari Q.S Luqman ayat 13-19 di atas menunjukkan bahwa pendidikan pertama yang
harus dikenalkan kepada anak adalah tauhid. Materi ini merupakan asas utama dan menjadi
dasar bagi pendidikan di segi lainnya. Anak yang mempercayai Keesaan Allah akan memiliki
optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Bila keyakinan ini mantap tertancap, sekian
banyak sifat buruk akan mampu dihindari. Di samping itu, penekanan tentang
Kemahakuasaan Allah akan selalu mendorong seseorang untuk selalu sadar akan kehadiran
Allah yang selalu mengawasi.
Selanjutnya, pendidikan kedua yang menjadi prioritas ialah akhlak kepada sesama
manusia. Dalam ayat di atas, perilaku terpuji kepada sesama dimulai dengan memperbaiki
bakti kepada orang tua. Manusia yang paling berhak diikuti dan paling utama bagi seorang
anak berbuat baik adalah orang tua, hal ini dikarenakan jasa orang tua yang begitu besar
sebagaimana digambarkan dalam ayat 14. Selanjutnya
Setelah ajaran berbakti kepada kedua orang tua, seorang anak juga dituntut untuk
pandai bersosialisasi dengan masyarakat. Dalam kisah Luqman, anjuran tersebut dibahasakan
dengan perintah amar ma’ruf nahy munkar. Anak-anak harus dibiasakan untuk ikut
berpartisipasi dalam kegiatan konstruktif bagi perbaikan masyarakat.
Di samping dua nilai fundamental di atas, kurikulum pendidikan Luqman juga
memuat nasihat-nasihat agar anak selalu berperilaku terpuji. Di akhir-akhir dialog terdapat
pesan-pesan bagi anak agar memiliki sifat yang sabar, hidup sederhana, tidak angkuh, dan
tidak berperilaku hura-hura.
Adapun tujuan dari semua pendidikan tersebut adalah agar anak mempunyai karakter
yang luhur sesuai tuntutan Allah. Dengan karakter yang kuat dan keshalihan yang tinggi,
anak diharapkan siap dengan segala kondisi lingkungan dan teguh terhadap pemikiran-
pemikiran yang menyimpang.
2. Metode Internalisasi dan Imitasi (Q.S Al-Baqarah : 126-128)

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya
berdo’a), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri
kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan
terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang
akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada
mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Ayat di atas mendeskripsikan bagaimana Nabi Ibrahim menerapkan proses
internalisasi dan imitasi dalam mendidik Ismail. Internalisasi adalah proses pendidikan
dengan jalan terlibat secara aktif dalam mentransfer nilai-nilai yang baik saat bersama anak,
sehingga terjadi proses imitasi, yaitu anak bisa meniru mengerjakan sesuatu berdasarkan apa
yang mereka lihat. Transfer nilai yang dilakukan Ibrahim dilakukan dengan melibatkan
Ismail dalam kerja dan beribadah bersama, yaitu meninggikan pondasi Ka’bah serta
memanjatkan doa dihadapannya.
Seorang ayah perlu meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan bersama anak.
Momen tersebut bisa dengan makan bersama, bekerja bersama, atau bahkan melalui ibadah
bersama. Kegiatan yang dilakukan bersama anak menjadi sarana yang sangat baik untuk
berkomunikasi dan menanamkan nilai kebaikan. Di samping menasehati anak dengan ucapan,
seorang ayah juga bisa menampilkan secara utuh gambaran nilai yang diajarkan melalui
perbuatan nyata (dakwah bil hal). Hal ini akan membuat anak akan lebih mudah menggugu
dan meniru apa yang diajarkan ayah.

3. Pola Asuh Demokratis (Q.S : Ash-Shaffat ayat 102 )

”Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim)
berkata, “Wahai anakku ! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah bagaimana pendapatmu ?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah
apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; In syaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang yang sabar.”
Memilih pola asuh yang tepat dalam mendidik anak akan menjadikan tujuan
pendidikan tercapai dengan baik. Menurut Hurlock, Hardy dan Heyes, ada tiga pola asuh
orang tua : (1) pola asuh otoriter, yaitu orang tua membuat semua keputusan dan anak harus
tunduk dan patuh; (2) pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak
untuk berbuat; dan (3) pola asuh demokratis, dengan ciri orang tua mendorong anak untuk
membicarakan apa yang ia inginkan.
Nabi Ibrahim telah mencontohkan bahwa pola asuh terbaik terhadap sang anak
ditempuh dengan cara yang demokratis. Dalam Q.S Ash-Shaffat ayat 102 telah digambarkan
secara gamblang bagaimana Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan Ismail dalam memutuskan
pelaksanaan perintah menyembelih Ismail. Meskipun perintah tersebut merupakan perintah
Allah, Nabi Ibrahim tidak mengambil keputusan sepihak, namun Ismail diberi peluang untuk
mengemukakan pendapatnya. Nabi Ibrahim mengetahui bahwa Ismail akan patuh, namun
tetap saja didiskusikan terlebih dulu agar setiap keputusan yang diambil atas dasar kerelaan.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, pola asuh demokratis merupakan
pendekatan yang paling ideal dalam mendidik karakter anak. Penelitian yang dilakukan oleh
Baumrind menunjukkan pola asuh demokratis lebih mendukung perkembangan anak
terutama dalam kemandirian dan tanggung jawab.

D. Peran Ayah dalam Mencipatkan Generasi Emas.

Вам также может понравиться