Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1.Pengertian
Menurut bahasa mawaris adalah bentuk jama’ dari kata mirosun, yang berarti hal
warisan. Sedangkan menurut istilah adalah perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan orang meninggal
duniakepadaorangainyangmasihhidup.
Ilmu yang mempelajari hal waris lebih populer disebut faroid, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang siapa yang mendapaatkan warisan, siapa yang tidak
mendapatkan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli
waris,danbagaimanacarpembagiannya.
Dalil Naqli :
1. Meninggalnya Muwarrits
Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat
bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya
masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah
telah meninggal dunia.
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta
warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.
Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu,
yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang
tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya
kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah
(pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada
aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta
miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu
selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang
dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu
namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima
washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw
bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu
dilakukan juga, hukumnya haram.
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan
haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan
mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan
anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka.
Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan
washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar
cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan
melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk
mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan
mereka.
Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah
menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab
dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya
akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling
mewarisi meninggal dalam satu peristiwa –atau dalam keadaan yang
berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal– maka
di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki
ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-
sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau
tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang
tidak dapat saling mewarisi.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi
mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-
dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup
tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak
yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek
menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak
tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek
lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki
dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya.
3.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-’itqi dan
wala an-ni’mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan
budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-’itqi.
Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi
sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini
nyaris tidak lagi terjadi.
hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu penghalang yang
menggugurkan seluruh hak waris seseorang.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-
hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah
hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam
pengertian hujub nuQShan.
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman.
Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris.
Keenam orang tersebut adalah :
3. Ayah
4. Ibu
5. Suami
6. Istri
Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya,
maka mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang
antara mereka dengan almarhum yang wafat.
Artinya : Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya
(H.R. Nasai’i )
b. Hamba sahaya ( Status budak). Firman Allah :
Artinya :….. seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatupun ………..( Q.S. An Nahl {16} : 75) .
c. Berbeda agama ( kafir ). Rasulullah bersabda yang artinya : “ Tidak mewarisi
orang Islam akan orang yang bukan Islam. Demikian pula orang yang bukan
Islam tidak dapat mewarisi orang Islam” ( H.R. Jama’ah ).
4. Ahli Waris
Secara keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang
terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a. Pihak laki-laki :
1). Anak lakilaki
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Ayah
4). Kakek dari pihak ayah
5). Saudara laki-laki sekandung
6). Saudara laki-laki seayah
7). Saudara laki-laki seibu
8).. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
9). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10). Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
11). Saudara laki-laki ayah se ayah
12). Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
13). Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
14). Suami
15). Lali-laki yang memerdekakan budak.
Jika lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan
ada tiga , yaitu ;
1). Ayah,
2) Anak laki-laki
3) Suami.
b. Pihak Perempuan :
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek dari pihak ayah
5) Nenenk diri pihak ibu
6) Saudara perempuan sekandung
7) Saudara peremmpuan seayah
8) Saudara peremouan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak
Jika Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
1). Istri
2). Anak perempuan
3). Cucu perempuan dari anak laki-laki
4). Saudara perempuan sekandung
Jika dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai
perikut :
1). Ibu
2). Ayah
3). Anak laki-laki
4). Anak perempuan
5). Suami atau istri