Вы находитесь на странице: 1из 11

MAWARIS

A.Mawaris Dalam Islam

1.Pengertian
Menurut bahasa mawaris adalah bentuk jama’ dari kata mirosun, yang berarti hal
warisan. Sedangkan menurut istilah adalah perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan orang meninggal
duniakepadaorangainyangmasihhidup.
Ilmu yang mempelajari hal waris lebih populer disebut faroid, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang siapa yang mendapaatkan warisan, siapa yang tidak
mendapatkan, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli
waris,danbagaimanacarpembagiannya.

Dalil Naqli :

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 12:


“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun
2. Syarat Waris

1. Meninggalnya Muwarrits

a. Meninggal secara hakiki

Meninggal secara hakiki adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa


seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur kehidupan telah lepas
dari jasad seseorang.

b. Meninggal secara hukum

Meninggal secara hukum adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan


telah meninggal dunia, meski jasadnya tidak ditemukan.

Misalnya, seorang yang hilang di dalam medan perang, atau hilang saat
bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan kecil kemungkinannya
masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang bersangkutan telah
telah meninggal dunia.

Bagi Waris Sebelum Meninggal

Ada fenomena yang terjadi di masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris


sebelum muwarritsnya meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah
yang membagi-bagi.

Padahal dalam hukum waris Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta
warisan, manakala seorang muwarrits belum lagi meninggal dunia.

Seorang tidak mungkin membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya


sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia masih hidup segar bugar.

Sebab syarat utama dari masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu,
yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang
tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya
kepada keturunannya.

Bila hal tersebut dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah
(pemberian), bukan warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada
aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh menghibahkan harta
miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.

Tapi konsekuensinya, harta yang sudah dihibahkan itu sudah pindah


kepemilikan. Bila seseorang telah menghibahkan harta kepada anaknya,
maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi pemiliknya, sebab harta itu
sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila kepemilikan itu
ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan perubahan surat
kepemilikannya.

Misalnya seorang ayah menghibahkan sebidang tanah berikut rumah


kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah surat kepemilikan
tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya,
berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu,
dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih
hidup.

Sedangkan bila si ayah masih ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu
selama hidupnya, tapi berpikir untuk memberikannya dengan jumlah yang
dikehendakinya kepada anaknya setelah kematiannya, maka hal itu
namanya washiyat.

Dalam hukum Islam, seorang ahli waris seperti anak tidak boleh menerima
washiat berupa harta dari ayahnya (pewaris), sebab Rasulullah SAw
bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli waris. Maka bila hal itu
dilakukan juga, hukumnya haram.

Jadi yang dibenarkan hanya dua kemungkinan, yaitu harta diberikan


ketika ayah masih hidup dan namanya hibah. Atau diberikan setelah dia
meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi secara warisan, aturan
pembagiannya telah baku sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik harta, tidak lagi
berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli warisnya.
Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal
dunia.

2. Hidupnya Ahli Waris

Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia.

Ini adalah syarat yang kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan
haruslah masih hidup secara hakiki ketika pewaris meninggal dunia.

Seorang anak yang telah meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan
mendapatkan warisan. Meski anak itu telah punya istri dan anak. Istri dan
anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mereka.
Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek.

Jalan keluar dari masalah ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan
washiyah wajibah, yaitu si kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar
cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan warisan
melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk
mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan
mereka.

Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah
menghibahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab
dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya
akan tidak mendapat apa-apa.

Dan jika ada dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling
mewarisi meninggal dalam satu peristiwa –atau dalam keadaan yang
berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal– maka
di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki
ketika masih hidup.

Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-
sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau
tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang
tidak dapat saling mewarisi.

3. Ahli Waris Diketahui

Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi
mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada
masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-
dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.

Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah


saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai
saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-
masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan
karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ‘ashabah, ada yang terhalang
hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.

Sebab-sebab Adanya Hak Waris

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

3.1. Kerabat hakiki

Yaitu hubungan yang ada ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup
tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.

Demikian juga dengan kasus dimana seorang kakek yang telah punya anak
yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu menjelang ajal, si kakek
menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan anak, maka anak
tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si kakek
lainnya.

3.2. Pernikahan

Yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki
dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya.

Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini


hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan
hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya
pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang
menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.

Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak


memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski mereka tinggap serumah.
Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka
pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.

3.3. Al-Wala

Yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-’itqi dan
wala an-ni’mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan
budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-’itqi.

Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan


dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT
menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik
adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Namun di zaman sekarang ini, seiring dengan sudah tidak berlaku lagi
sistem perbudakan di tengah peradaban manusia, sebab yang terakhir ini
nyaris tidak lagi terjadi.
hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu penghalang yang
menggugurkan seluruh hak waris seseorang.

Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah,


terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris
saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris
seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.

Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap


hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya,
penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan
sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan
(anak).

Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya


mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat
menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.

Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-
hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah
hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam
pengertian hujub nuQShan.

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman

Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman.
Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris.
Keenam orang tersebut adalah :

1. Anak kandung laki-laki

2. Anak kandung perempuan

3. Ayah

4. Ibu

5. Suami

6. Istri

Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya,
maka mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang
antara mereka dengan almarhum yang wafat.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman


Ada 16 orang yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas
terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Mereka ini mungkin mendapat
warisan tapi mungkin juga terhalang sehingga tidak mendapatkan warisan.

2. Sebab-sebab Seseorang Mendapatkan Harta Waris.


a. Nasab atau adanya hubungan darah atau keturunan (Q.S. An Nisa’ {4} : 7).
b. Mushoharoh, yaitu adanya ikatan pernikahan yang sah. Misalnya suami atau
istri.
c. Al Wala’ yaitu seseorang yang memerdekakan budak.
Sabda Rasul :
Artinya : Sesungguhnya hak wala’ (kekerabataan) itu untuk orang yang
memerdekakan ( H.R. Bukhori Muslim).
d. Hubungan sesama Muslim, yaitu jika yang meninggal tidak memiliki ahli waris
sebagaimana yang telah ditentukan oleh syari’ah.

3. Hal-hal Dapat Membatalkan Hak Waris Seseorang.


a. Pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapatkan bagian
harta pusaka dari orang yang dibunuhnya. Sabda Rasul :

Artinya : Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya
(H.R. Nasai’i )
b. Hamba sahaya ( Status budak). Firman Allah :
Artinya :….. seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatupun ………..( Q.S. An Nahl {16} : 75) .
c. Berbeda agama ( kafir ). Rasulullah bersabda yang artinya : “ Tidak mewarisi
orang Islam akan orang yang bukan Islam. Demikian pula orang yang bukan
Islam tidak dapat mewarisi orang Islam” ( H.R. Jama’ah ).

4. Ahli Waris
Secara keseluruhan ahli waris yang mendapatkan harta pusaka ada 25 orang, yang
terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
a. Pihak laki-laki :
1). Anak lakilaki
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Ayah
4). Kakek dari pihak ayah
5). Saudara laki-laki sekandung
6). Saudara laki-laki seayah
7). Saudara laki-laki seibu
8).. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ( keponakan)
9). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
10). Saudara laki-laki ayah yang sekandung ( paman )
11). Saudara laki-laki ayah se ayah
12). Anak lai-laki saudara ayah yang laki-laki sekandung
13). Anak laki-laki saudara ayah yang laki-laki seayah
14). Suami
15). Lali-laki yang memerdekakan budak.

Jika lima belas orang tersebut di atas masih ada semuanya, yang diprioritaskan
ada tiga , yaitu ;
1). Ayah,
2) Anak laki-laki
3) Suami.

b. Pihak Perempuan :
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek dari pihak ayah
5) Nenenk diri pihak ibu
6) Saudara perempuan sekandung
7) Saudara peremmpuan seayah
8) Saudara peremouan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak

Jika Sepuluh orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan ada lima yaitu :
1). Istri
2). Anak perempuan
3). Cucu perempuan dari anak laki-laki
4). Saudara perempuan sekandung

Jika dua 25 orang masih ada semua, maka yang diprioritaskan adalah sebagai
perikut :
1). Ibu
2). Ayah
3). Anak laki-laki
4). Anak perempuan
5). Suami atau istri

5. Pembagian Ahli Waris.


a. Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (Furudhul Muqoddaroh)
Bagian-bagian waris yang telah ditentukan oleh Al Qur’an adlah : 1/2, 1/4, 1/8,
2/3, 1/3, 1/6.
6. Ahli waris yang mendapatkan 1/2 adalah :
a). Anak perempuan, apa bila sendirian tidak bersama saudara.
b). Saudara perempuan tungal yang sekandung
c). Cucu perempuan, jika tidak ada anak perempuan
d). Suami, Jika tidak ada anak atau cucu.
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1//4. yaitu :
a). Suami, jika ada anak atau cucu
b). Istri, jika tidak ada anak atau cucu.
3. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 adalah ;
Istri, jika suami meninggalkan anak atau cucu.
4. Ahli waris yang mendapatkan bagian 2/3 adalah :
a). Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.
b). Dua cucu perempuan atau lebi dari anak laki-laki, jika tidak ada anak
perempuan.
c). Dua saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d). Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah, jika tidak ada saudara
perempuan yang sekandung.
5. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/3 adalah :
a). Ibu, apabila yang meniggal tidak meninggalka anka atau cucu dari anak laki-
laki dan tidak ada saudara.
b). Dua orang saudara atau lebih, dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun
perempuan.
6. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6 adalah :
a). Ibu, apabila yang meninggal mempuanyai anak atau cucu dari anak laki-laki
atau saudara lebih dari satu.
b). Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
c). Nenek, jika yang meninggal sudah tidak ada Ibu
d). Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, jika
bersama anak perempuan.
b. Ahli waris ashobah
Ahli waris ashobah adalah ahli waris yang memperoleh bagian berdasarkan sisa
harta pusaka setelah dibagikan ahli waris yang lain. Ahli waris ashobah dapat
menghabiskan semua sisa harta pusaka. Ashobah dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Ashobah binafsih, yaitu ahli waris yang mejadi ashobah dengan sendirinya, yaitu
:
a). Anak laki-laki
b). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c). Ayah
d). Kakek dari pihak ayah
e). Saudara laki-laki sekandung
f). Saudara laki-laki seayah
g). Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h). Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
i). Paman sekandung dari ayah
j). Panan seayah dari ayah
k). Anak laki-laki sekandung dari ayah
l). Anak laki-laki paman seayah dari ayah
2. Ashobah bil ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah karena sebab ahli waris
yang lain mereka adalah :
1). Anak perempuan, jika bersama saudara laki-laki.
2). Cucu perempuan, jika bersama cucu laki-laki
3). Saudara perempuan sekandung , jika bersama saudara laki-laki.
4). Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah
3. Ashobah Ma’al ghoiri, ahli waris yang menjadi ashobah jika bersama ahli waris
yang lain, yaitu :
a). Saudara perempuan sekandung seorang atau lebih, jika bersama anak atau
cucu perempuan.
b). Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika bersama anak atau cucu
perempuan yang seayah.
Contoh perhitungan waris .
Pak Ali meninggal dunia, Ia meninggalkan ahli waris , seorang istri, Ibu, Ayah,
satu anak laki-laki, dua anak perempuan dan tiga orang saudara laki-laki. Harta
peninggalannya Rp. 12. 400.000,-, hutang sebelum meninggal Rp. 100.000,-,
wasiat Rp. 100.000,- dan biaya perawatan jenazah Rp. 200.000,- . Berapa bagian
masing-masing?
Jawab :
Harta peninggalan Rp. 14.400.000,-
Kewajiban yang dikeluarkan :
1. Hutang Rp. 100.000,-
2. Wasiyat Rp. 100.000,-
3. Biaya perawatan Rp. 200.000,-
Jumlah Rp. 400.000,-
Harta waris Rp. 14.400 – Rp. 400.000 = Rp. 12.000.000,-
Ahli waris :
1. Istri = 1/8
2. Ibu = 1/6
3. Ayah = 1/6
4. Anak Laki-laki = Ashobah binafsih
5. Anak perempuan = Ashobah bil ghoiri
6. Saudara laki-laki = mahjub
a. Istri 1/8 =3/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 1500.000,-
b. Ayah 1/6 =4/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 2.000.000,-
c. Ibu 1/6 =4/24 x Rp. 12.000.000 =Rp. 2.000.000,-

Jumlah =Rp. 5.500.000,-

Sisa =Rp. 12.000.000 – Rp. 5.500.000,- =Rp. 6.500.000,-


Anak laki-laki = 2:1 = 2/3 x 6.500.000,- =Rp. 4.333.000
Anak perempuan 1/3 x 6.500.000 =Rp. 2.166.000
B. Hukum Waris Adat dan Hukum Positif
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat erat hubungannya dengan sifat dan bentuk kekeluargaan. Di
Indonesia terdapat tiga bentuk kekeluargaan yaitu :
a. Patrilinial, yaitu jalur keturunan ada pihak laki-laki. Oleh karena itu hak waris
pun hanya berlaku phak laki-laki saja. Sistem ini berlaku pada masyarakat
daerah Batak, Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Matrilinial, yaitu jalur keturunan ada pada pihak perempuan atau ibu. Karena
itu yang berhak atas waris pun hanya anak perempuan. Sisitem ini berlaku pada
masyarakat Minagkabau
c. Parental, yaitu jalur keturunan ada antara aqyah dan ibu punya peran yang
sama. Karena itu warisasan pun laki-laki maupun perempuan memperoleh
bagiannya. Sistem ini berlaku sebagian besar masyarakat Indonesia.

2. Hukum waris positif


Di Indonesia ada dua sistem penyelesaian waris, yaitu pertama, menggunakan
KUH Perdata, Buku I dari pasal 830 hingga pasal 1130.Kewenangannya ada pada
Pengadilan Negeri. Kedua,UU No. 7 th. 1989. Undang-undang ini khususnya
berlaku bagi umat Islam dalam menyelesaikan pewarisan. Wewenagnya ada di
pihak Pengadilan Agama. Adapun peranan Pengadilan Agama adalah :
a. Menentukan para ahli waris
b. Menentukan harta peniggalan
c. Menentukan bagian masing-masingahli waris
d. Pelaksana dalam pembagian harta peninggalan tersebut.
Pada dasarnya sebagian pasal Undang-undang No. 7 tahun 1989 , merupakan
implementasi dari hukum Islam, misalnya :
a. Bab III Pasal 176 – 182, tentang ketentuan para ahli waris ( dzawil furud ).
b. Pasal 173.3 Bab II, terhalangnya hal waris bagi pembunuh untuk menerima
harta waris dari yang terbunuh.
c. Pasal 171 Bab I, Jika orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, maka
harta bendanya masuk ke Baitul Mal dan dipergunakan untuk kepentinga umat Islam.

Вам также может понравиться