Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
net/publication/326439020
CITATIONS READS
0 171
1 author:
Shahdevi Nandar
Brawijaya University
33 PUBLICATIONS 7 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Shahdevi Nandar on 17 July 2018.
EMERGENCY ON NEUROMUSKULAR
PENDAHULUAN
Manifestasi sistemik dari penyakit autoimun (AD, autoimmune disease) dapat menjadi sangat
berat bahkan berakibat kematian. Dari semua pasien dengan penyakit autoimun yang masuk ke
rumah sakit mayoritas memiliki penyakit imun reumatologi dan hampir 25% dari mereka
membutuhkan rawat inap. Kemudian 1/3 dari 25% tersebut memerlukan perawatan di ICU.
Dari laporan tentang angka kematian di ICU menunjukkan bahwa angka kematian pasien
dengan penyakit autoimun mencapai 55%. Selain peningkatan resiko kematian juga
dipengaruhi dari dengan gangguan kognitif persisten yang dapat memberikan dampak negatif
terhadap kualitas dan kemampuan hidup pasien penyakit autoimun yang telah keluar dari
perawatan ICU dalam melanjutkan aktivitas sehari-hari.1
Pasien dengan penyakit autoimun ini biasanya mempunyai banyak faktor resiko yang dapat
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas di rumah sakit dan kebanyakan harus di rawat
di ICU dengan manifestasi yang cukup menyulitkan team perawatan di ICU. Selain itu
dilaporkan dari tahun 1996 sampai 2003, 7%-42% pasien dengan penyakit autoimun baru
diketahui atau didiagnosa setelah dirawat di ICU. Hal ini membenarkan asumsi kami bahwa
kondisi autoimun harus selalu dipertimbangkan pada pasien yang dirawat di ICU agar segera
mendapat pengobatan yang hurusnya di berikan dan dapat memperburuk kondisi pasien. 1
Penyebab terbanyak pasien dengan penyakit autoimun di rawat di ICU adalah termasuk disini
reaksi dari penyakit autoimun, timbulnya manifestasi autoimun, infeksi karena kondisi
immunosuppresif, efek ikutan dari obat, dan kondisi kegawatan akut yang tidak disebabkan
oleh penyakit autoimun namun memperberat kondisinya. Infeksi merupakan penyebab paling
utama perawatan di ICU sesuai dengan penelitian sebelumnya, disusul dengan gangguan
respirasi (seperti perdarahan alveolar yang diffus, ILD (interstitial lung disease), pneumonia)
dan reaksi akut dari penyakit autoimun itu sendiri. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa
perbandingan tiap penyakit autoimun dengan penyebab perawatan di ICU secara statistik
berubah. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan gejala manifestasinya bervariasi antara yang
satu dengan yang lain. Pada kasus infeksi, SLE (systemic lupus erythematosus) lebih sering
terpengaruh, mengindikasikan bahwa pasien SLE lebih rawan terkena infeksi daripada pasien
dengan penyakit autoimun yang lain, hal ini disebabakan oleh karena penyakitnya sendiri,
pengobatan immunosupresif atau keduanya. Gangguan pernafasan lebih sering pada penyakit
autoimun yang mengenai neuromuskular. Reaksi seperti yang disebabkan karena infeksi secara
signifikan lebih sering pada SLE dan hal ini didukung fakta bahwa SLE bermanifestasi sistemik
yang lebih meningkatkan resiko kematian dibanding penyakit autoimun yang menyerang organ
spesifik. Pada tabel 1 memperlihatkan penyakit autoimun yang masuk ICU dan mortalitasnya,
pada tabel 2 menjelaskan beberapa penyakit saraf yang berhubungan dengan autoimun. 1
Tabel 1. Penyakit autoimun yang dirawat di ICU.1
Rata2 ICU-
n Tahun Diagnosis Mortalitas
Referensi Tahun umur mortalitas
(sampel) diteliti autoimun (n) index
(tahun) (%)
RA (60)
Vasculitis (39)
SAPS
SLE (37) 33
Godeau et al. 1997 n=181 57 12 (mean: 14)
SSc (13)
PM/DM (13)
Miscellane (19)
SLE (12) APACHE II
SLE/APS (2) (mean: 15.3;
n=29 RA (3) survivors:
Cavallasca et 55
2010 (31 admissions) 46 7 RA/APS (1) 10;
al
SSc (3) nonsurvivors
DM/PM (2) : 19.64)
Vasculitis (6)
Dhar et al. 2007 n=76 56.1 20 GBS (76) 5
APACHE II
Wu et al. 2009 n=33 53.7 7 MG (33) 6.1
(mean: 12.3)
Onyekwulu et
2010 n=11 29 13 MG (11) 27.3
al.
Tabel 2. Kondisi atau penyebab penyakit yang mendapat indikasi perawatan ICU. 1
Tabel 3. Penyakit neurologi yang umum ditemukan pada unit intesif atau anestesi.2
Penyakit sel kornu anterior Penyakit motor neuron
Kelainan saraf perifer Sindroma Guillain-Barre
Lambert Eaton myasthenic syndrome
Kelainan neuromuscular junction Botulisme
Miastenia gravis
Distrofi otot
Kelainan otot
Sindrom miotonik
PMN adalah suatu kondisi progresif yang penyebabnya tidak diketahui yang dikarakteristikkan
dengan degenerasi saraf motori di korteks motor, inti batang otak dan sel kornu anterior pada
medula spinalis. Prevalensinya 6/100.000 populasi dengan puncak umur adalah 50-70 tahun
dan laki-laki paling banyak terkena dibanding perempuan. 90% kematian terjadi dalam 5 tahun
setelah diagnosa. Gejalanya bervariasi. Pada variasi lower motor neuron, pasien umumnya
merasa lemah, atropi,dan fasikulasi pada otot kecil di tangan. Pada tipe upper motor neuron
dikarakteristikkan dengan kelemahan spastik pada ekstremitas. Reflek pada semua bentuk
cenderung meningkat. Disfungsi otot pernafasan dan bulbar adalah umum terjadi dan
pneumonia spirasi yang paling sering menyebabkan kematian.2
Masalah anestesi berhubungan dengan penurunan fungsi dari bulbar dan otot pernafasan
dengan resiko tinggi untuk aspirasi paru, respon hiperkalemia terlihat pada suxamethonium
dan kesulitan dalam penghentian ventilasi mekanik. Pasien dengan kelemahan otot pernafasan
yang sangat parah akan dimanajemen dengan domiciliary non invasif ventilator. 2
Definisi
GBS adalah sindroma neuropati perifer akut yang menyebabkan degenerasi saraf dari distal ke
proksimal. Istilah GBS sering dianggap sama dengan polyradiculoneuropathy demielinasi
inflamasi akut (AIDP), Tetapi dengan meningkatnya jumlah kasus yang ditemukan selama
beberapa dekade terakhir, varian penyakit GBS menjadi berkembang termasuk varian aksonal
dan varian terbatas seperti sindrom Miller Fisher (MFS). Diagnosa dari GBS adalah dengan
ditemukannya gejala-gejala tambahan yaitu mati rasa, parestesia, kelemahan, nyeri pada
ektremitas atau kombinasi dari gejala-gejala ini. Gambaran utamanya adalah kelemahan
tungkai progresif bilateral dan simetris dan kelemahan ini berlangsung dalam 12 jam hingga
28 hari sebelum masa plateu. Pasien pada umumnya memiliki hiporefleksia yang menyeluruh
atau arefleksia. Riwayat gejala infeksi saluran pernapasan atau diare juga tidak jarang terjadi 2
hari hingga 6 minggu sebelum onset.3
Klasifikasi
Terdapat dua Kelasifikasi pada GBS berdasarkan gambaran histologi yang ditemukan yaitu
subtipe neuropati demielinasi dan neuropati aksonal. Kelasifikasi ini berdasarkan pada studi
terhadap konduksi saraf dan juga terdapat perbedaan distribusi geografis yang nyata
berdasarkan Kelasifikasi ini. Di Eropa dan Amerika Barat, GBS demielinasi terjadi lebih dari
90% kasus sedangkan di Cina, Jepang, Banglades, dan Meksiko, frekuensi GBS aksonal
mencapai 30-65% dan GBS demielinisasi berkisar antara 22-46%.4
Pada beberapa kasus GBS aksonal, serangan sistem imun hanya terbatas pada motor akson
yang mengendalikan aktivitas otot. Yang disebut sebagai neuropati aksonal motorik akut
(AMAN). GBS tipe ini menyebabkan kelemahan saja, tanpa ada pengaruh terhadap sensasi dan
tidak mengalami progresi kepada degenerasi aksonal. GBS tipe inilah yang sering terjadi
mengikuti infeksi oleh C. Jejuni dan disertai dengan munculnya sindroma Miller Fisher.4
Ketika GBS aksonal mempengaruhi baik fungsi sensorik maupun motorik, maka ini disebut
sebagai neuropati motorik dan sensorik akut (AMSAN). Pada neuropati motorik-sensorik
aksonal ini, terdapat partisipasi nyata dari serabut sensorik.4
Maka dari itu GBS merupakan suatu kumpulan berbagai kelainan yaitu AMAN, AMSAN,
AIDP, Miller Fisher Syndrome (MFS) dan varian lain yang jarang muncul. Sebagian besar
pasien dengan kasus MFS memiliki bukti infeksi pada 1-3 minggu sebelum oftalmoplegi
maupun ataksia. MFS pada akhirnya akan menimbulkan manifestasi berupa oftalmoplegi dan
ataksia diakibatkan oleh adanya aktivasi antibodi anti GQ1b dan anti GT1a, pada MFS dengan
target nervus okulomotorius dan bulbaris yang diketahui memiliki gangliosida dengan densitas
GQ1b dan GT1a yang tinggi.4
Selain sebagai suatu sindroma, GBS juga dikatakan sebagai penyakit autoimun. Sistem imun
didesain untuk melawan agen invasif dari luar tubuh terutama bakteri dan virus. Sistem imun
juga melakukan mekanisme penting untuk penyelamatan dari kerusakan sel host. Namun pada
suatu kondisi tertentu maka sistem imun dapat bekerja secara sebaliknya dengan menyerang
sel host seperti yang terjadi pada GBS. Sel imun yang bertanggung jawab terhadap serangan
dari luar adalah sel darah putih (limfosit) atau disebut sebagai sel inflamasi. 5
Ini merupakan suatu tanda khas yang muncul pada penyakit autoimun melalui mekanisme
antibodi antigangliosida. Gangliosida, yang terdiri dari seramid dan melekat pada satu atau
lebih gula (heksos) dan mengandung asam sialik (N-acetylneuraminic acid) yang terhubung
dengan bagian tengah dari oligosakarida, merupakan komponen penting dari saraf perifer.5
Demielinasi dapat terjadi sepanjang saraf, khususnya akar saraf proksimal dan saraf
intramuskular bagian distal dimana pada lokasi saraf-saraf ini sawar darah saraf diketahui
lemah sehingga manifestasi awal yang muncul pada pasien adalah kelemahan pada anggota
gerak bagian distal. Sedangkan autoantibodi IgG terhadap GM1 dan GD1a berhubungan
dengan neuropati akson motor akut tanpa adanya demielinasi polineuropati akut. Terdapat
skala yang digunakan untuk menentukan berat ringannya GBS berdasarkan gejala klinis yang
muncul pada pasien.3
Skala Penjelasan
0 Sehat
1 Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
2 Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3 Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed/chair bound)
5 Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian
Etiologi dari GBS adalah infeksi oleh campylobacter jejuni, cytomegalovirus, mycoplasma
pneumonia, atau virus influenza. Infeksi oleh berbagai agen tersebut dapat menginisiasi proses
inflamasi pada seseorang yang akhirnya akan menimbulkan GBS. C. jejuni dikatakan sebagai
agen penyebab GBS tersering di wilayah Asia yang juga diikuti oleh gambaran khas sindroma
Miller Fisher.6
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gangguan pada saraf kranialis III, V, VI, IX, X, XII. Pada
hasil pemeriksaan motorik didapatkan kelemahan yang bersifat ascending, progresif, dan
simetris. Didapatkan penurunan reflek fisiologis, tonus serta tidak dijumpai adanya reflek
patologis. Sedangkan pada pemeriksaan sensoris tidak dijumpai perubahan yang bermakna.7
Penatalaksanaan
Pasien yang telah terdiagnosis dengan Guillain-Barre Syndromeharus segera dirawat di rumah
sakit untuk mendapatkan monitoring ketat hingga sudah dipastikan bahwa penyakit tersebut
sudah memasuki periode plateu atau perbaikan. Hal ini penting mengingat progresifitas dari
pnyakit ini dapat berlangsung dengan cepat ( hitungan jam hingga hari). Progrsifitas yang terus
berlanjut dapat menyebabkan kegawatan neuromuscular dengan derajat kelumpuhan yang
parah, respirasi yang tidak adekuat (gagal nafas), dan gangguan sistem autonom dengan
komplikasi cardiovaskular.7
Diagnosis dini dan pengobatan yang segera untuk penderita GBS sangatlah penting untuk
prognosis jangka panjang, terutama untuk pasien dengan tanda tanda klinis yang buruk seperti
usia tua, GBS dengan progresifitas cepat, dan diare. 7
Penatalaksanaan di IGD
Perawatan pada departemen gawat darurat meliputi jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
(ABC). Pemberian oksigen dan ventilasi serta pemasangan jalur intravena merupakan
pertolongan awal yang dibtuhkan. Selain itu diperlukan monitoring untuk tanda tanda aritmia
jantung. Intubasi diperlukan pada pasien dengan gejala gagal nafas. Indikator untuk pemasagan
intubasi meliputi :
• Hipoksia
• Penurunan fungsi pernafasan yang cepat
• Refleks batuk yang lemah
• Dugaan aspirasi
Pada umunya intubasi diperlukan saat FVC kurang dari 15ml/kg. Pada pasien dengan
penurunan NIF hingga -30 cmH2O perlu dilakukan monitoring ketat untuk tanda awal gagal
nafas.9 Pasien perlu dimonitor ketat untuk perubahan pada tekanan darah, denyut nadi, dan
aritmia. Pengobatan untuk takikardia jarang diperlukan, sedangakn untuk pasien dengan
bradikardia dapat diberikan atropin.9 Pasien GBS memiliki ganggaun pada sistem otonom
sehingga untuk mengontrol penigkatan tekanan darah obat obatan yang bersifat short-acting
seperti short acting beta-blocker dan sodium nitroprusside lebih diutamakan. Pada pasien
dengan hipotensi biasanya memberikan respon yang baik dengan pemberian cairan intravena
dan posisi supinasi. Pemberian temporary pacing diperlukan pada pasien dengan heart block
derajat 2 dan 3.9
Pasien dirawat di ICU apabila memiliki gangguan pada sistem otonom, gangguan FVC kurang
dari 20 ml/kg, atau kelumpuhan yang parah pada bulbus . Pasien dengan tanda klinis gangguan
pernafasan juga harus segera dirawat di ICU. Penyebab kematian terbanyak pada pasien GBS
berhubungan dengan gagal nafas dan disfungsi sistem otonom. 10
• Terapi pernafasan
Monitoring terhadap tanda gagal nafas, kelemahan bulbar, dan kesulitan dalam menelan
membantu untuk mengantisipasi munculnya komplikasi. Selain itu posisi pasien yang
tepat juga berperan untuk membantu mengoptimalkan fungsi ekspansi paru dan sekresi
sekret paru untuk membersihkan jalan nafas . Pemeriksaan secara berkala terhadap
status ventilasi diperlukan diantaranya ialah kapasitas vital paru dan saturasi oksigen.
Bantuan nafas diperlukan saat FEVC kurang dari 18 ml/kg atau saat ada penurunan
saturasi oksigen (PO2 < 70 mmHg). Trakeostomi diperlukan pada pasien yang
mengalami gagal nafas, terutama bila memerlukan bantuan ventilasi mikanik lebih dari
2 minggu.
• Monitoring jantung
Monitoring ketat pada denyut nadi, tekanan darah dan aritmia membantu untuk deteksi
awal terhadap kondisi mengancam jiwa. Penggunaan obat-obatan antihipertensi dan
vasoaktif secara hati hati diperlukan pada pasien dengan sistem otonom yang tidak
stabil . Perubahan hemodinamik pada pasien yang berhubungan dengan disfungsi sistim
otonom bersifat sementara, dan pasien jarang memerlukan pengobatan jangka panjang
untuk mengobati tekanan darah dan masalah jantung.
• Nutrisi
nutrisi secara enteral dan parenteral dibutuhkan pasien dengan ventilator untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan kalori. Pada pasien dengan disfagia yang parah juga
diperlukan manipluasi diet untuk mencegah aspirasi dan resiko pneumonia.
• Pencegahan infeksi
Resiko sepsi dapat dikurangi dengan meminimalisir penggunaan sedasi, melakukan
fisioterapi, dan penggunaan ventilasi mekanis bertekanan positif.
• Pencegahan trombus, dekubitus dan kontraktur
Pencegahan komplikasi sekunder dari imobilitas jangka panjang juga diperlukan.
LWMH dan obat pencegah trombus lainnya pada pasien yang mengalami imobilisasi
dapat mencegah DVT dan pulmo emboli. Selain itu pencegahan kontraktur dan
dekubitus memerlukan pengaturan posisi, perubahan posisi secara teratur, dan latihan
luas gerak sendi (ROM) setiap hari.
• Penatalaksanaan pada gangguan pada kandung kemih dan usus besar
Meskipun gangguan pada kandung kemih dan usus besar merupaka gejala yang
sementara, penatalaksanaan pada gangguan ini penting untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut. Manajemen awal ialah melakukan evakuasi dan pencegahan overdistensi
dari kandung kemih. Selain itu diperlukan untuk melakukan monitoring infeksi
sekunder pada saluran kemih.
• Penatalaksanaan status mental
Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan GBS biasanya mengalami perubahan status
mental seperti halusinasi, delusi, dan gangguan tidur. Gangguan ini sering dikaitkan
dengan gangguan sistem otonom dan sering kali muncul pada pasien dengan gejala
yang lebih berat. Gejala gejala ini akan hilang dengan sendirinya saat pasien sembuh.
Gangguan psikiatrik dan psikologi lain seperti depresi dan kecemasan sering kali
muncul. Untuk itu diperlukan adanya edukasi, konseling , dan pengobatan pada pasien-
pasien ini untuk membantu mereka menyesuaikan dan memperbaiki diri dari disabilitas
yang dialaminya.10
Fisioterapi dan rehabilitasi
Tujuan dari terapi ini ialah untuk mengurangi defisit fungsi dan disabilitas yang dikarenakan
oleh GBS. Pada fase awal pasien memerlukan latihan luas gerak sendi dan pengaturan posisi
tubuh untuk mencegah atropi otot dan kontraktur. Pada tahap selanjutnya pelatihan kekuatan
motorik dapat mulai dilakukan diantaranya latihan isotonik, isometrik, dan isokinetik. Setelah
itu pasien dilatih untuk meningkatkan kemampuan mobilitas seperti perpindahan di atas
ranjang, ambulasi, dan peregerakan. Intensitas dari latihan perlu diperhatikan agar tidak
berlebihan. Karena pelatihan yang berlebihan dapat menimbulkan efek yang bersifat paradoks
dan mengakibatkan kelemahan pada otot. 11
Latihan berbicara juga diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berbicara dan
kemampuan menelan . Latihan ini khususnya ditujukan pada pasien yang memiliki kelemahan
orofaring yang signifikan sehingga mengalami kesulitan menelan den berbicara.11
Terapi Farmakologi
1. Immunoterapi
Penggantian plasma darah (plasmaferesis) yang dilakukan selama 10 hari (2 minggu
awal) dapat membantu dalam mengeleminasi auto antibodi, kompleks imun, dan
komponen sitotoksik dari dalam serum , serta dapat mempercepat waktu penyembuhan
sebanyak 50%. Dosis empiris yang digunakan ialah 5 kali penggantian plasma dalam
periode 2 minggu , dengan total penggantian 5 kali volum plasma total.12
Selain itu, GBS dapat pula diterapi menggunakan IVIG. Pengobatan menggunakan
IVIG lebih mudah untuk diimplementasikan dan lebih aman daripada penggantian
plasma. IVIG merupakan terapi pilihan pada penderita yang mengalami gangguan
hemodinamik, dan gangguan pergerakan. Imuno globulin berperan dalam menetralisir
patogenik antibodi dan menghambat aktivasi komplemen yang dimediasi oleh
autoantibodi. Dengan demikian IVIG dapat mengurangi kerusakan nervus dan
mempercepat perbaikan klinis. Standar terapi menggunakan IVIG ialah 0,4 g/kg berat
badan selama 5 hari.
Kombinasi dari plasmaferesis dan IVIG belum menunjukkan hasil yang lebih baik
ataupun mempercepat kesembuhan pasien. Hal ini disebabkan bahwa secara teoritis bila
IVIG diberikan terlebih dahulu baru kemudian dilakukan plasmaferesis, maka
imunoglobulin yang masuk akan ikut terbuang. 12 Pilihan terapi lainnya ialah
penggunaan penghambat komplemen seperti eculizumab.12
2. Kortikosteroid
kortikosteroid tidak efektif sebagai monoterapi untuk GBS. Penggunaan
metilprednison intravena tidak menunjukkan keuntungan yang signifikan namun juga
tidak menimbulkan bahaya untuk pasien. Kombinasi methylprednison dan IVIG dapat
mempercepat kesembuhan, namun tidak memberikan dampak yang signifikan pada
hasil jangka panjang.13
3. Analgesik
Pengobatan untuk rasa nyeri diperlukan untuk pasien dengan GBS. Pengobatan ini
diawali dengan pemberian NSAID atau asetaminopen, dengan kombinasi obat-obatan
golongan narkotik. Penggunaan obat-obatan golongan narkotik perlu dipertimbangkan
dengan baik karena pasien dengan GBS memiliki resiko untuk menderita ileus dan
pemberian narkotik dapat memperparah keadaan tersebut. Pengobatan lain untuk
mengatasi nyeri diantaranya ialah tricyclic antidepresan dan beberapa obat anti kejang.
Obat-obatan ini dapat mengurangi keluhan dysesthesia.13
4. Immune adsorption
Immune adsorption merupakan alternatif pemngobatan untuk GBS. Tidak seperti
penggantian plasma (plasmaferesis) immuno adsorption tidak memerlukan produk
darah manusia untuk menggantikan cairan, dengan demikian mengurangi resiko untuk
terjadinya infeksi dan reaksi alergi. Immuno adsorption dapat menyingkirkan
imunoglobulin tanpa menyebabkan tubuh kehilangan albumin. Dengan demikian
pasien tidak memerlukan tranfusi albumin ataupun FFP.14
5. Pencegahan tromboemboli
Ttromboemboli pada pembuluh darah vena merupakan sequele yang paling sering
terjadi pada paralisis ektrimitas. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya DVT atau
emboli pulmonum bervariasi dari 4 hingga 67 hari setelah onset gejala. Profilaksis
dengan cara melakukan kompresi pada ektremitas ( memakai stocking ) serta pemberian
LMWH secara subcutan dapat mengurangi insiden tromboemboli vena.13
Komplikasi
• Komplikasi dari pemasangan ventilator seperti pneumonia, sepsis, dan ARDS (acute
respiratory distress syndrome).
• Komplikasi dari paralisis ekstrimitas dalam jangka panjang seperti tromboemboli
• Komplikasi dari gangguan sistem otonom yaitu aritmia yang dapat mengakibatkan
menyebabkan henti jantung.
• Komplikasi atau sequele dari kerusakan nervus seperti kelemahan yang menetap,
arefleksia, gangguan keseimbangan dan sensoris.15
Prognosis
Progresifitas yang cepat dari kelemahan tubuh memiliki hubungan yang kuat dengan prognosis
yang buruk. Rata rata amplitudo CMAP (compound muscle action potential) yang lebih rendah
dari 20% dari nilai bawah pada pemeriksaan elektrofisiologi merupakan faktor prediktor untuk
status fungsional yang buruk. Selain itu peningkatan enolase dan protein S-100b pada CSF
berhubungan dengan panjangnya durasi dari penyakit. Pada pemeriksaan serologis
peningkatan IGM anti-GM1 pada waktu yang lama merupakan prediktor dari recovery yang
lambat. Relaps seringkali terjadi ada pasien yang terlambat mendapat pengobatan, dan pasien
yang menderita episode penyakit lebih lama.16
Edukasi
Pasien dan keluarga dari penderita GBS perlu diedukasi mengenai penyakit GBS, proses
penyakit, dan cara untuk mengantisipasinya. GBS merupakan penyakit yang memiliki dampak
panjang pada kesehatan fisik dan psikologis dari pasien. Mengedukasi keluarga dan melatih
mereka dalam merawat pasien GBS dapat mencegah komplikasi pada stadium awal penyakit
dan membantu keluarga untuk mendampingi pasien dalam tahap pemulihan pada stadium
rehabilitasi.17
MYASTHENIA GRAVIS
Neuromuscular junction (NMJ) adalah regio antara motor neuron dan sel otot yang berfungsi
dalam mengirimkan transmisi sinyal dari otak yang memerintahkan otot untuk berkontraksi
atau berelaksasi. NMJ juga dapat mengalami gangguan yang mengakibatkan kerusakan,
malfungsi atau ketidak adaannya satu atau lebih protein kunci dalam transmisi
neurormuskular.18
Gangguan pada transmisi neuromuskular yang paling banyak terjadi adalah Myasthenia
Gravis. Penyebab tersering dari Myasthenia gravis adalah autoimun dan penyebab kedua
adalah genetik.19 Prevalensi Myasthenia Gravis di Inggris, diperkirakan terjadi pada 15 dari
100.000 orang dengan insiden 1.1/100.000 populasi pertahun di Inggris.20 Di Indonesia
menurut data Yayasan Myasthenia gravis Indonesia (YMGI 2010) terdapat 226 penderita
Myasthenia gravis di seluruh Indonesia, 22 diantaranya sudah meninggal dunia dan 7 remisi
obat atau waktu tidak kambuh penyakit atau rehat minum obat.21
Myasthenia gravis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa, maupun lansia. Wanita lebih sering
menderita Myasthenia gravis dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang
menderita miastenia gravis adalah 6:4. Pada wanita, miastenia gravis tampak pada usia 15-35
tahun, sedangkan pria sering terjadi pada usia 40 tahun.22 Akibat fatal dari miastenia gravis
yaitu kematian. Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan karena miastenia gravis ini juga dapat menyerang otot dada dan pernapasan.23
Myasthenia Gravis merupakan penyakit yang jarang terjadi. Tetapi merupakan gangguan pada
neuromuscular junction yang terbanyak yang ada di Amerika serikat diperkirakan inisiden
Myasthenia Gravis adalah 2 dari 1000.000 prevalensi yang ada. Demografi terjadinya
Myasthenia Gravis berhubungan dengan umur, jenis kelamin dan ras. Penyakit ini dapat
terjadi pada berbagai usia. Tetapi penyakit ini lebih tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan laki-laki. Rasio perbandingan wanita dan
laki-laki yang menderita penyakit ini adalah 6:4 . pada wanita, penyakit ini tampak pada usia
yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada laki-laki, penyakit ini sering terjadi
pada usia 42 tahun. Berdasarkan data epidemiologi kejadian Myasthenia gravis ada dua puncak
yaitu pada wanita umur 10 -40 tahun dan laki-laki antara umur 50-75 tahun.26,27 Ras yang sering
menderita penyakit ini adalah Asian.26
Beberapa penyebab lain dari penyakit ini adalah human leukocyte antigen (HLA) yang dimiliki
oleh wanita dan beberapa orang, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit autoimun
pada tubuh. Hal ini dapat menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dan insiden pada
Myasthenia gravis.29,30
Beberapa obat dapat memicu timbulnya gejala eksaserbasi akut dari Myasthenia gravis, seperti
antibiotik aminoglikosida, polimiksin, siprofloksasin, eritrmisin, and ampisilin. Penisilamin
menginduksi miastenia secara nyata dengan meningkatkan titer antibodi anti AChR pada 90%
kasus. Obat lain pemicu mistenia adalah beta adrenergic receptor blocking agents contohnya
propanolol dan oxprenolol, lithium, magnesium, procainamide, verapamil, quinidine
chloroquine prednisone, timolol antikolinergik, dan neuromuskular blocking agents seperti
curare dan vecuronium. 29,30
Kelasifikasi Myastenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board (MSAB)
of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA):
Kelas I kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih normal
Kelas II kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat kelemahnnya
Kelas IIa mempengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot oropheringeal
Kelas IIb mempengaruhi otot-otot pheringeal dan pernafasan juga ekstermitas
Kelas III kelemahan sedang otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada otot okuler
Kelas IIIa memepengaruhi ekstermitas, sedikit mempengaruhi otot-otot pharyngeal
Kelas IIIb mempengaruhi otot-otot pharyngeal dan pernafasan juga ekstermitas
Kelas IV kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot okuler
Kelas IVa mempengaruhi ekstermitas, sedikit pengaruh pada otot-otot oropharingeal
Kelas IVb terutama mempengaruhi otot-otot pernafasan dan oropharingeal juga ekstermitas
Kelas V pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operatif)
Faktor kedua, adanya ikatan antibodi dengan AChRs paska sinap akan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan
ikatan pada membran paska sinap, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakanuntuk insersi resptor-reseptor acethylcoline yang baru disintesis.31
Faktor yang ketiga adalah ikatan silang acethylcoline receptor paska sinap dengan antibodi
anti-reseptor asetilkolin akan memacu aktivasi serum komplemen, menyebabkan kerusakan
sekunder membran pasca sinap. Konsekuensi dari kerusakan komplemen, yang bertahun-
tahun, memban paska sinap kehilangan invaginasi dan menjadi struktur yang simplified. Pada
kasus kronis yang berat membran paska sinap mengalami penurunan 2/3 molekul AchR dari
normal menyebabkan proses depolarisasi menurun dan kontrasi otot tidak terjadi. 31
Manifestasi Klinis
Myasthenia gravis dikarakteristikan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot
ragkadankelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Pasien akan merasa
ototnyasangat lemah bertambah berat sesudah aktivitas, dan berkurang atau menghilang
setelahberisitirahat, siang hari lebih berat daripada pagi hari. Gejala klinis yang sering
dikeluhkan pertama kali adalah kelemahan pada otot ekstraokular.32
Walaupun pada Myasthenia gravis otot levator palpebral jelas lumpuh, nau ada kalanya otot-
ototoular masih bergerak noral. Tetapi ada tahapan lanjut kelumpuhan otot ocular kedua belah
sisi akan melengkapi ptosis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi,diikuti kelemahan pada
fleksi dan ekstensi kepala. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga pasien susah menutup mulut. Selain itu dapat pula timbul kelemahandari otot faring,
lidah, palatum mole, dan laring yang menimbulkan kesukaran menelan dan berbicara. Paresis
dari palatum molle akan menimbulkan suara sengau dan sering tersedak bila minum air. 32
Berdasarkan anamnesis pasien akan mengeluhkan adanya kelemahan otot wajah bilateral
menyebabkan timbulnya a mask like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horisontal.
Terdapat juga kelemahan otot bulbar.33
Pemeriksaan fisik pada Myasthenia gravis kelemahan otot-otot palatum yang menyebabkan
suara pasien seperti bernafas dihidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair kehidung pasien. Pasien juga mengalami kesulitan dalam
mengunyah serta menelan makanan. Sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan
pasien tersedak adan batuk saat minum. Terdapat kelemahan otot-otot rahang menyebabkan
pasien sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu pasien harus terus ditopang dengan
tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi
serta ekstensi leher.33
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-
jari tangan seringkali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada eksterimitas bawah, seringkali terjadi kelemahan serta melakukan dorsofleksi
jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.33
Penegakan diagnosis tes myasthenia gravis dilakukan tes klinik sederhana seperti tes pita
suara, tes Wartenberg, dan beberapa tes farmakologis yaitu uji tensilon dan uji prostigmin. Pada
tes pita suara pasien ditugaskan menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaraya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Pasien menjadi anartris
dan afonis. Tes Wartenberg dilakukan dengan cara pasien diminta memandang obyek diatas
bidang antara kedua bola mata, lama kelamaan akan terjadi ptosis. Tes yang lain adalah pasien
diminta mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah suara pasien menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka pasien disuruh berisitirahat.
Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi
(fluktuatif). Uji tensilon (edrhophonium chloride) dengan cara menyuntikan 2mg tensilon
secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikan lagi sebanyak 8mg tensilon secara
intravena. Setelah penyuntikan tensilon diperhaikan kelopak mata utnuk mengetahui terjadinya
ptosis. Jika ptosis disebabkan oleh myasthenia gravis maka ptosis akan membaik. Selanjutnya
adalah uji prostigmin (neostigmin) disuntikan 3cc atau 1,5 mg prostigmin metilsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan benar
disebabkan oleh Myasthenia gravis maka gejala-gejala seperti ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan membaik.33
Pemeriksaan laboratorium terdiri dari anti asetilkolin reseptor antibodi (+), antistriated
muscle (+), anti muscle specific kinase (MusK) antibodies(+). Pemeriksaan imaging, foto
thorak AP – Lateral dan CT Scan untuk mengetahui timoma, serta MRI.33
Pemeriksaan neurodiagnostik untuk mengevaluasi defek pada transmisi neuromuskular melalui
pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) yang menunjukan tidak terdapatnya suatu
potensial aksi. Pemeriksaan single fiber Electromyography (SFEMG) untuk mendeteksi suatu
jitter (variabilitas pada interval interopotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.33
History
• Diplopia, ptosis, weakness
• Weakness in characteristic distribution
• Fluctuation and fatigue : worse with repeated activity, improved by rest
• Effects of previous treatments
Physical examination
• Ptosis, diplopia
• Motor power survey: quantitative tesing of muscle strength
• Forward arm abduction time (5min)
• Vital capacity
• Absence of other neurologic signs
Laboratory tesing
• Anti-AChR radiommunoassay: 85% positive in generalized MG; 50% in ocular
MG; definite diagnosis If positive; negative result does not exclude MG
• 40% of AChR antibodi-negative patients with generalized MG have anti-MuSK
antibodies.
• Repetitive nerve stimulation; decrement of >15% at 3Hz: highly probable
• Single-fibre electromyography: blocking and jitter, with normal fibre density;
confirmatory, but not specific
• Edrophonium chloride (Tensilon) 2mg + 8mg IV; highly probable diagnosis if
unequivocally positive
• For ocular or cranial MG; exclude intracranial lesions by CT or MRI
Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit selain myasthenia gravis, antara lain meningitis bakterialis (tuberkulosa atau luetika),
infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, aneurisma di sirkulus arterius wilisii, paralisis
paska difteri, dan pseudoptosis pada trachoma. Jika terdapat diplopia transien maka
kemungkinan suatu sklerosis multiplek. Diagnosis banding lain adalah sindrom Eaton Lambert
(Lambert Eaton syndrome ), amyotropc lateral sclerosis, basilar artery thrombosis, brainstem
gliomas, cavernosus sinus syndromes, dermatomyositis, sarcoidosis dan neuropathy, thyroid
disease, oculopharyngeal muscular dystrophy, dan brainstem syndromes. 34
Airway
Membuka jalan napas dengan penyedotan cairan setelah memposisikan rahang dan lidah.
Memberikan oksigen aliran tinggi, dan mengukur saturasi oksigen oleh pulse oksimetri. Jika
pernapasan tetap tidak memadai, ventilasi oleh bag-valve mask sambil mempersiapkan untuk
intubasi. Pada pasien tanpa refleks muntah, dapat dibantu dengan jalan nafas oral.34
Intubasi
Pengukuran ABG harus diperoleh jika ada kecurigaan kegagalan pernafasan. Intubasi
dianjurkan dengan penurunan status pernapasan, FVC kurang dari 15 mL / kg, PaO2 kurang
dari 60 mm Hg dan PaCO2 lebih besar dari 50 mm Hg. Asupan oral harus dihentikan , dan
intubasi juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan aspirasi atau kelemahan otot
orofaringeal yang signifikan.34
Prognosis telah meningkat dengan baik sebagai hasil dari kemajuan dalam pengobatan; hampir
semua pasien myasthenia gravis dapat dikembalikan ke kehidupan yang produktif penuh
dengan terapi. Perawatan yang paling berguna untuk myasthenia gravis termasuk obat
antikolinesterase, agen imunosupresif, timektomi, dan plasmapheresis atau imunoglobulin
intravena (IVIg).
Obat antikolinesterase
Timektomi
Dua masalah terpisah harus dibedakan: (1) operasi pengangkatan timoma, dan (2) timektomi
sebagai pengobatan untuk myasthenia gravis. Operasi pengangkatan dari timoma adalah
diperlukan karena kemungkinan penyebaran tumor lokal, meskipun kebanyakan timoma
adalah jinak secara histologis. Dengan tidak adanya tumor, bukti yang ada menunjukkan bahwa
sampai 85% dari pasien mengalami perbaikan setelah timektomi; dari ini, 35% mencapai
remisi. Namun, perbaikan biasanya tertunda selama berbulan-bulan sampai bertahun.
Keuntungan dari timektomi adalah bahwa ia menawarkan kemungkinan jangka panjang yang
menguntungkan, dalam beberapa kasus mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk
melanjutkan pengobatan. Mengingat pada potensi manfaat dan risiko diabaikan di tangan-
tangan terampil, timektomi telah memperoleh penerimaan luas dalam pengobatan myasthenia
gravis. Adalah kesepakatan yang timektomi harus dilakukan pada semua pasien dengan
myasthenia gravis umum dengan usia antara pubertas dan setidaknya 55 tahun. Apakah
timektomi harus direkomendasikan pada anak-anak, orang dewasa > 55 tahun, dan pada pasien
dengan kelemahan terbatas pada otot mata masih menjadi bahan perdebatan. Ada juga bukti
bahwa pasien dengan MuSK antibodi-positif myasthenia gravis mungkin tidak berespon pada
timektomi. Timektomi harus dilakukan di rumah sakit di mana ia dilakukan secara teratur dan
di mana staf berpengalaman dalam managemen pra-dan paska operasi, anestesi, dan teknik
bedah total timektomi. 34
Imunosupresi
Imunosupresi menggunakan glukokortikoid, azathioprine, dan obat lain efektif pada hampir
semua pasien dengan myasthenia gravis. Pilihan obat atau perawatan imunomodulator lainnya
harus dipandu oleh manfaat relatif dan risiko untuk pasien individu dan urgensi perawatan. Ini
sangat membantu untuk mengembangkan rencana perawatan berdasarkan jangka pendek,
jangka sedang, dan tujuan jangka panjang. Sebagai contoh, jika perbaikan segera sangat
penting baik karena beratnya kelemahan atau karena kebutuhan pasien untuk kembali ke
aktivitas secepat mungkin, IVIg harus diberikan atau plasmapheresis harus dilakukan. Untuk
jangka sedang, glukokortikoid dan siklosporin atau tacrolimus umumnya menghasilkan
perbaikan klinis dalam jangka waktu 1-3 bulan. Manfaat efek dari azathioprine dan
mycophenolate mofetil biasanya dimulai setelah berbulan-bulan (sampai satu tahun), tetapi
obat ini memiliki kelebihan untuk pengobatan jangka panjang pasien dengan myasthenia
gravis. Untuk pasien sesekali dengan myasthenia gravis yang refrakter terhadap pengobatan
yang optimal dengan agen imunosupresif konvensional, dosis tinggi siklofosfamid dapat
menyebabkan long lasting (mungkin permanen) diuntungkan oleh "reboot" sistem kekebalan
tubuh. Pada dosis tinggi, siklofosfamid menghilangkan limfosit matang, tapi prekursor
hematopoietik (sel induk) dibiarkan, karena mereka mengekspresikan dehidrogenase enzim
aldehida, yang menghidrolisis siklofosfamid. Saat ini, prosedur ini disediakan untuk pasien
refrakter dan harus diberikan hanya di fasilitas sepenuhnya kenal dengan pendekatan ini. 34
Glukokortikoid
Plasmapheresis telah digunakan sebagai terapi di myasthenia gravis. Plasma, yang berisi
antibodi patogen, yang dipisahkan secara mekanis dari sel-sel darah, yang dikembalikan ke
pasien. Plasmapheresis menghasilkan pengurangan jangka pendek antibodi anti-AChR, dengan
perbaikan klinis pada banyak pasien. Hal ini berguna sebagai bijaksana sementara pada pasien
terkena dampak serius atau untuk membaiki kondisi pasien sebelum operasi (misalnya,
timektomi). Indikasi untuk penggunaan IVIg adalah sama dengan yang untuk pertukaran
plasma: untuk menghasilkan perbaikan yang cepat untuk membantu pasien melalui periode
kelemahan miasthenik atau sebelum operasi. Ini memiliki kelebihan yang tidak memerlukan
peralatan khusus atau akses vena besar. Dosis umum adalah 2 g/kg, yang biasanya diberikan
selama 5 hari (400 mg/kg per hari). Jika ditoleransi, jalannya IVIg dapat dipersingkat untuk
mengelola seluruh dosis selama 3 hari. Peningkatan terjadi pada 70% pasien, mulai selama
pengobatan, atau dalam seminggu, dan terus selama berminggu-minggu untuk beberapa bulan.
Mekanisme kerja IVIg tidak diketahui; pengobatan tidak berpengaruh pada jumlah antibodi
AchR beredar yang terukur. Efek samping umumnya tidak serius tetapi termasuk sakit kepala,
kelebihan cairan, dan jarang meningitis aseptik atau gagal ginjal.IVIg harus jarang digunakan
sebagai pengobatan jangka panjang di tempat terapi imunosupresif rasional berhasil.34
DISTROFI OTOT
Distrofi otot merupakan sekelompok penyakit otot herediter yang jarang yang disebabkan oleh
absen atau defisiensi distrofin, protein esensial otot untuk struktur dan fungsi otot normal.
Distrofi otot yang paling umum adalah distrofi otot Duchenne yang berkaitan dengan sex yang
memiliki dampak pada 1 dari 3500 laki-laki lahir hidupr. Kelemahan otot progresif biasanya
menyebabkan kematian dari gagarl nafas pada remaja akhir.2 Kelemahan otot-otot respirasi
umumnya bersama dengan kyphoscoliosis menghasilkan gangguan ventilasi, klirens sputum
dan gagal nafas. Keterlibatan jantung sering disertai kardiomiopati dan defek konduksi.
Penggunaan suxamethonium dapat menyebabkan rhabdomiolisis, hiperkalemi dan
mioglobinuria. Disamping itu, hipertermi malignan dapat terjadi dengan penggunaan agen
anestesi volatil jangka panjang dan banyak ahli menganjurkan anestesi regional lain atau
anestesi intravena.2
Sindrom Miotonik
Sindrom miotonik adalah sekelompok penyakit otot yang ditandai dengan kontraksi otot terus
menerus (miotonia) diikuti dengan kontraksi. Hal ini disebabkan abnormalitas kanal fisiologi
sodium/klorida pada otot skeletal. Sindrom paling sering adalah distrofi miotonik yang tidak
seperti sekelompok lain, adalah penyakit sistemik. 2
Gambaran Klinis
Distrofi miotonik dengan insiden 1 dari 20.000 populasi dan pasien antara usia 15 dan 40 tahun.
Gambarannya meliputi miotonia, kardiomiopati dan kelainan konduksi jantung, gagal otot
pernafasan dan defek kontrol sentral pernafasan, retardasi mental, katarak, botak daerah frontal,
ptosis, gangguan tiroid dan fungsi bulbar buruk.2
Pertimbangan Anestesi
BOTULISME
Ada beberapa jenis Clostridium botulinum yang memiliki neurotoksin dan memproduksi
penyakit yang dikenal sebagaibotulisme. C. botulinum ditemukan di dalam tanah dan berada
dalam spora yang tahan terhadap suhu sampai 120 ° C. Ia tumbuh subur dalam kondisi anaerob
dan basa. Racun itu sendiri labil terhadap panas. Ada 8 racun unik yang dikenal (A, B, C1, C2,
D, E, F, dan G). Yang terpenting di pediatri adalah yang infantil dan yang ditularkan melalui
makanan. Bentuk yang menular dari makanan terdiri dari toksin dan umumnya terkait dengan
jenis A, B, atau E, dengan A memproduksi penyakit paling parah. Bentuk infantil dikaitkan
dengan konsumsi organisme yang berkoloni di saluran pencernaan dan sebagian besar terdiri
dari tipe A dan B. Dalam kedua kasus itu, dengan toksin yang berjalan melewati aliran darah,
ia memiliki afinitas untuk ujung saraf kolinergik perifer dan saraf kranial dan berikatan
ireversibel. Kemudian ada blok presinaptik dari pelepasan asetilkolin melalui pembelahan
protein esensial, yang menyebabkan disfungsi otonom dan kelumpuhan otot rangka. Rata-rata,
di Amerika Serikat, ada 24 kasus botulisme yang menular dari makanan dan71 kasus botulisme
infantil per tahun.8
Riwayat Infantil
Kebanyakan bayi yang terkena botulisme lebih muda dari6 bulan, meskipun telah dilaporkan
ada pada pasien usia beberapa hari hingga 12 bulan. Mungkin ada atau tidak riwayat konsumsi
madu, di mana spora ada pada sekitar 25% dari produknya. Rute ini diduga di sekitar 15%
kasus. Tinggal di lingkungan yang berdebu, seperti selama renovasi rumah, menempatkan bayi
dalam resiko. Spora tertelan dan kemudian tumbuh di saluran usus bayi. Anak-anak kurang
dari 1 tahun kekurangan flora bakteri pelindung dan asam empedu yang menetralkan
clostridium. Sebagian besar anak-anak dibawa ke tenaga medis karena kelemahan total,
konstipasi, atau menyusu buruk dan penurunan makan. Tangisan lemah mungkin juga
dilaporkan oleh pengasuh.8
Ketika bayi dibawa ke IGD karena makan yang buruk dan kelemahan, ada banyak etiologi
dalam diferensial diagnosis, paling sering sepsis, ingesti, dan meningitis. Salah satu ciri kunci
yang membedakan dari botulisme adalah anak-anak ini bisa mempertahankan tingkat normal
kesadaran kecuali mereka secara signifikan mengalami dehidrasi atau hipoglikemik karena
makan yang buruk. Selain hipotonia umum dan lag kepala, saraf kranial sering
terpengaruh. Ini akan bermanifestasi sebagai kelemahan wajah, ptosis, gerakan otot
ekstraokular dan reaksi pupil berkurang, dan menyusui dan menangis buruk. Refleks bisa
berkurang, dan penurunan tonus sfingter sering ditemui. Penting untuk memperoleh data ini,
terutama di bayi sangat mudadi mana penyakit begitu bertahap sampai seseorang harus
menyingkirkan atrofi otot tulang belakang. Atrofi otot tulang belakangharus tdak
mempengaruhi otot ekstraokular dan sfingter.8
Diagnosa
Sangat penting uji laboratorium dikirim sesegera mungkin jika penyakit ini dicurigai. Sampel
tinja harus dikirim untuk cek spora C. Botulinum (meskipun pernah diisolasi dari beberapa bayi
yang sehat) dan serum dikirim untuk toksin botulinum. Jika varietas yang menular lewat
makanan dicurigai, makanan bisa diperiksa juga. Jika ada penundaan lebih besar dari 2 hari
setelah infeksi dalam mengirimkan serum, atau lebih besar dari 3 hari dalam mengirimkan tinja,
sensitivitas untuk tes positif turun menjadi 30% sampai 36%. Studi transmisi neuromuskuler
sesekali dilakukan untuk membedakan kelemahan dari neuromuscular junction (seperti yang
ditemukan di botulisme) dari penyakit saraf perifer (seperti GBS). Dengan tingkat yang cepat
dari stimulasi saraf, respon yang dicetuskan meningkatkan amplitudo, menunjukkan defek
presinaptik. Sensasi harus normal. Amplitudo kecil dari aksi potensial yang ditimbulkan sering
terlihat pada elektromyogram (EMG). Penyakit lain yang mempengaruhi hubungan
neuromuskuler adalah Lambert-Eaton, yang biasanya dicurigai pada orang dewasa dengan
risiko seperti proses paraneoplastik. 8
Varian
Untuk penyakit yang ditularkan melalui makanan, penyebab terkait adalah makanan kaleng
rumahan dengan ikan, sayuran, kentang, bawang putih, bawang, dan salsa. Kebanyakan pasien
datang dalam 2 sampai 36 jam setelah konsumsi dengan kelemahan otot okulobulbar dan
mengeluh penglihatan kabur, diplopia, dan kesulitan berbicara. Pasien mungkin melaporkan
konstipasisetelah mengalami penyakit diare, mulut kering, dan retensi urin. Pada pemeriksaan,
kita harus memeriksa hipotensi ortostatik. Pasien akanmengalami ptosis, oftalmoplegia,
dysarthria, dan kelemahan lidah. Pupil menunjukkan dilatasi pada kurang dari setengah dari
anak-anak yang terkena. Biasanya ada pola kelemahan descenden, dimulai pada ekstremitas
atas. Refleks harus ada, untuk membedakan penyakit ini dari GBS dan varian MF. Jika MF
sangat dicurigai, CSF harus dikirim untuk memeriksa peningkatan protein. Selain mengirim
antibodi untuk membantu membedakan botulisme dari jenis GBS dan penyakit faring-serviks-
brakialis, penting untuk menyingkirkan difteri. Meskipun sebagian besar anak-anak di Amerika
Serikat telah diimunisasi lengkap, difteri masih ada di daerah lain di dunia. Pasien yang terkena
akan mengalami sakit tenggorokan dan eksudat tonsil keabu-abuan. Sekali lagi, paralisis kutu,
harus ada dalam diferensial, dan kulit kepala, khususnya, harus diperiksa. 8
Morbiditas
Pengobatan
Pengobatan dari bentuk infantil dan penularan melalui makanan dari botulisme sangat berbeda.
Pada kedua kasus, jika penyakit ini sangat dicurigai, kita tidak boleh menunggu konfirmasi
laboratorium sebelum memulai pengobatan. Demikian pula, dalam semua kasus, perawatan
suportif adalah yang paling penting. Pasien dengan tanda-tanda gangguan pernapasan harus
secara elektif diintubasi. Pemantauan disfungsi otonom dan pernapasan harus dilakukan di unit
perawatan intensif.8
Pada mereka dengan penyakit karena makanan, kumbah lambung bisa dicoba jika konsumsi
yang diimplikasikan adalah baru-baru ini. Botulisme antitoksin memiliki antibodi untuk tipe
A, B, dan E. Partikel-partikel ini menetralisir toksin yang belum berikatan pada ujung saraf.
Jika diberikan lebih awal, hal ini bisa sangat efektif dalam menghentikan perkembangan
penyakit dan telah terbukti untuk mempersingkat durasi dukungan ventilasi. Karena ini adalah
toksinkuda, terdapat reaksi hipersensitivitas pada sampai dengan 9% dari resipien. Waktu
paruh dari produk ini adalah 5 sampai 8 hari.8
Untuk bayi dengan dugaan botulisme, pengobatannya adalah imunoglobulin botulisme
manusia (BIG bayi atau BIG-IV). Produk ini, yang terlisensi pada tahun 2003, diperoleh dari
plasma donor yang diimunisasi dengan toksoid botulinum terhadap jenis A, B, C, D, dan E.
Meskipun waktu paruh BIG bayi adalah 28 hari, ia memiliki kemampuan untuk menetralisir
racun selama 6 bulan atau lebih. Ini adalah penting karena banyak antibiotik digunakan untuk
mengobati penyakit bayi umum seperti otitis dapat terus menerus melisiskan spora dan
melepaskan toksin ke dalam usus. Ada banyak alasan mengapa antitoksin kuda tidak digunakan
pada bayi. Risiko tinggi penyakit serum dan anafilaksis, waktu paruh pendek, dan potensi
hipersensitivitas seumur hidup terhadap produk kuda membuat pengobatan ini tidak dapat
diterima untuk bayi. Pengobatan dini dengan BIG bayi menurunkan waktu tinggal di rumah
sakit dalam sebuah penelitian 2004 sebanyak lebih dari 3 minggu dan menurunkan waktu
tinggal di ICU dan ventilasi hampir 3 minggu. Manfaat lainnya adalah waktu yang lebih
singkat dari nutrisi parenteral total atau pemberian makan melalui nasogastrik lebih dari 6
minggu dan menghemat biaya rumah sakit lebih dari $ 88.000 per pasien.8
Prognosis
Pada kedua jenis botulism, hasilnya sebagian besar terkait dengan tingkat gangguan
pernapasan. Dalam sebuah penelitian terhadap bayi di New York City yang dirawat di rumah
sakit untuk botulisme, tingkat kematian kurang dari 1%. Pada orang dewasa dengan penyakit
melalui makanan, tingkat kematian adalah sampai 9%, dan hal ini mungkin dikarenakan
ventilasi yang berkepanjangan dan komplikasinya. Biasanya, pemulihan adalah sempurna,
meskipun dapat membutuhkan mingguan hingga bulanan untuk membentuk ujung lempeng
baru. Gejala disautonomik dapat bertahan lebih lama.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Quintero OL, Rojas-Villarraga A, Mantilla RD, Anaya JM. Autoimmune diseases in the
intensive care unit. An update. Autoimmun Rev. 2013 Jan;12(3):380-95.
2. Ram K, Nicholas PH. Neuromuscular disorders: relevance to anaesthesia and intensive
care. Anaesthesia & Intensive Care Medicine. 2011 June;12(6):229–232.
3. Yuki N, Hartung HP. Guillain Barre Syndrome. N Engl J Med. 2012 Jun; 366(24):2294-
304.
4. Burns, Ted M, MD. Guillain Barre Syndrome, Semin Neurol 2008; 28(2) :152-167
5. Mengjing HA, Gordon S. Weakness (Guillain–Barré Syndrome) in Emergency
Neurology. Sprunger. 2013:p211-234.
6. Ashbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic criteria for Guillain-Barré
syndrome. Ann Neurol Suppl. 1990. S21-S24.
7. Andary, MT. Guillain Barre Syndrome. Online.
Tersedia:http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview#showall (14
September 2014).
8. Rana AQ and Morren JA. Neurological Emergencies in Clinical Practice. Springer. 2013.
9. McGillicuddy DC, Walker O, Shapiro NI, Edlow JA. Guillain-Barré syndrome in the
emergency department. AnnEmerg Med. 2006;47(4):390-3.
10. Edward Manno. Emergency Management in Neurocritical Care. Wiley-Blackwell. 2012
11. Gupta A, Taly AB, Srivastava A, Murali T. Guillain-Barre Syndrome – rehabilitation
outcome, residual deficits and requirement of lower limb orthosis for locomotion at 1 year
follow-up. DisabilRehabil. 2010;32(23):1897-902.
12. Raphaël JC, Chevret S, Hughes RA, Annane D. Plasma exchange for Guillain-Barré
syndrome. Cochrane Database Syst Rev. Jul 11 2012;7:CD001798.
13. Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA. Corticosteroids for Guillain-
Barrésyndrome.Cochrane Database Syst Rev. Feb 17 2010;CD001446.
14. Galldiks N, Dohmen C, Neveling M, Fink GR, Haupt WF. Selective immune adsorption
treatment of severe GuillainBarré syndrome in the intensive care unit. Neurocrit Care. Dec
2009;11(3):317-21.
15. Dornonville de la Cour C, Jakobsen J. Residual neuropathy in long-term population-based
follow-up of Guillain-Barré syndrome. Neurology. Jan 25 2005;64(2):246-53.
16. Khan F, Pallant JF, Ng L, Bhasker A. Factors associated with long-term functional
outcomes and psychological sequelae in Guillain-Barre syndrome. J Neurol. Dec
2010;257(12):2024-31
17. Bernsen RA, de Jager AE, van der Meché FG, Suurmeijer TP.How Guillain-Barre patients
experience their functioning after 1 year. ActaNeurol Scand. Jul 2005;112(1):51-6.
18. Engel AG, Ohno K. Congenital myasthenic syndromes. Adv Neurol. 2002;88:203–15.
19. James FH. Myasthenia Gravis Foundation of America Reviewed by the MGFA's Medical
Advisory Board. June 2010.
20. Robertson NP, Deans J, Compston DA. Myasthenia gravis: a population based
epidemiological study in Cambridgeshire, England. J Neurol Neurosurg
Psychiatry1998;65:492–6.
21. Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia. Myasthenia Gravis. Diakses 23 Juli 2015.
http://www.mgindonesia.org/myasthenia-gravis.html
22. Smeltzer S, & Bare B. Buku Ajar Medikal Keperawatan Bedah Brunner & Suddarth. EGC.
Jakarta. 2002.
23. Putra, S. Miastenia gravis. Jember: Universitas Jember. 2009.
24. Yazdi YF. Response to Plasmapheresis in Myasthenia Gravis Patients : 22 Cases Report.
Rom. J. Intern. Med. 2012:245-247.
25. Devin M. Ocular Myasthenia Gravis. North American: Division of Neuro-Ophthalmology
Brigham and Women’s Hospital Harvard Medical School. 2011
26. Keesey JC. Clinical evaluation and management of myasthenia gravis. Muscle Nerve. Apr
2004;29(4):484-505
27. Saperstein DS, Barohn RJ. Management of myasthenia gravis. Semin Neurol. Mar
2004;24(1):41-8.
28. Gajdos P, Chevret S, Toyka K. Intravenous immunoglobulin for myasthenia
gravis.Cochrane Database Syst Rev. Jan 23 2008;CD002277
29. Keller DM. Late-Onset Myasthenia Gravis Linked to Higher Cancer Risk. Medscape
Medical News [serial online]. Jul 2 2013;Accessed Jul 17 2013. Available at
http://www.medscape.com/viewarticle/807276.
30. Liu CJ, Chang YS, Teng CJ, et al. Risk of extrathymic cancer in patients with myasthenia
gravis in Taiwan: a nationwide population-based study. Eur J Neurol. May
2012;19(5):746-51.
31. Howard, J. Myasthenia gravis, a summary. Retrieved March 2008, from
ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myathenia gravis.htm: ninds.nih.gov
32. Dewanto G. Panduan praktis diagnosa dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC. 2009.
33. Rezania et al. Neuromuscular disorders and acute respiratory failure : Diagnosis dan
management. Neuro Clin. 2012;30:161-185
34. Fauci et al. Harrisons Neurology in Clincal Medicine. The McGraw-Hill Companies. 2010.