Вы находитесь на странице: 1из 3

BPJS Kesehatan Cabut Tiga Peraturannya tentang Layanan Persalinan,

Katarak dan Fisioterapi

Beberapa bulan lalu, Juli 2018, BPJS Kesehatan menerbitkan Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan Kesehatan yang mengatur penyesuaian manfaat tiga jenis layanan
kesehatan yakni layanan persalinan dengan bayi lahir sehat, layanan katarak serta
pelayanan rehabilitasi medik/ fisioterapi. Terbitnya ketiga peraturan tersebut menuai
polemik diberbagai stake holder kesehatan maupun fasilitas kesehatan. Setelah melalui
polemik dan pro kontra yang cukup panjang, tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan
Kesehatan BPJS Kesehatan yang kabarnya dianggap telah membatasi manfaat layanan
pada jenis layanan rehabilitasi medik/fisioterapi, persalinan dengan bayi lahir sehat dan
pelayanan katarak akhirnya dicabut dengan terbitnya Peraturan Direktur Jaminan
Pelayanan Kesehatan Nomor 12 tahun 2018 tentang Pencabutan Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 tanggal 29 November 2018.

Tiga Peraturan kontroversial Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS


Kesehatan Nomor 2,3 dan 5 tahun 2018 yang mengatur ketentuan tentang penjaminan
pelayanan kesehatan pada persalinan bayi lahir sehat, pelayanan katarak dan rehabilitasi
medik diketahui berbuntut panjang karena memicu kritik dan protes dari beberapa
organisasi profesi kesehatan maupun asosiasi fasilitas kesehatan, salah satunya
memunculkan polemik pada layanan Poli Fisioterapi di Rumah Sakit. Akibatnya, Ikatan
Fisioterapi Indonesia (IFI) sebagai wadah organisasi profesi Fisioterapi merespon dengan
mengintruksikan penghentian layanan fisioterapi terkait terbitnya Peraturan Direktur
Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 5 yang mengharuskan layanan fisioterapi
melalui Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR), dimana Dokter
Spesialis tersebut dinilai masih langka sehingga menyulitkan beberapa rumah sakit untuk
memberikan layanan fisioterapi kepada pasien peserta JKN. Peraturan tersebut juga
dinilai oleh IFI tidak sesuai dengan standar profesi Fisioterapi sehingga berdampak pada
ketidakjelasan payung hukum layanan fisioterapi di rumah sakit. Disisi lain bahwa
layanan fisioterapi sejatinya memiliki angka kunjungan signifikan di rumah sakit.
Pelayanan Fisioterapi di butuhkan oleh pasien pasca menderita Stroke. Penanganan upaya
rehabilitasi pasien pasca serangan stroke membutuhkan latihan fisik untuk
mengembalikan fungsi gerak tubuh. Profesi kesehatan yang memang kompetensinya
memberikan penanganan rehabilitasi medik berupa latihan fisik kepada pasien pasca
stroke adalah Profesi Fisioterapis.
Pasca terbitnya Peraturan Direktur Jaminan pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan
tersebut, diketahui beberapa rumah sakit menghentikan sementara layanan fisioterapi
terutama pada pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau yang lebih umum
dikenal sebagai pasien BPJS. Terkait ketiga peraturan tersebut, Kementerian Kesehatan
RI melalui Suratnya Nomor HK.07.01/I/3557/2018 tertanggal 18 Juli 2018 meminta agar
pihak BPJS Kesehatan menunda pemberlakuan ketiga peraturan BPJS Kesehatan tersebut
hingga dibahas lebih lanjut bersama stake holder terkait. Persatuan Rumah Sakit Se-
Indonesia (PERSI) juga mengajukan keberatan terhadap pemberlakuan peraturan tersebut
dengan Press Release PERSI tanggal 8 Agustus 2018, dimana PERSI menganggap bahwa
ketiga peraturan tersebut dapa berakibat mengurangi manfaat program JKN, merugikan
masyarakat, dan dapat mengganggu upaya peningkatan mutu layanan kesehatan kepada
masyarakat. Oleh karenanya PERSI bahkan mengajukan permintaan pembatalan terhadap
pemberlakuan ketiga peraturan Direktur Jaminan pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan
tersebut karena .

Senada dengan PERSI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai wadah organisasi profesi
dokter juga menggelar Press Conference pada 2 Agustus 2018 yang pada intinya juga
mengajukan permintaan pembatalan ketiga peraturan Direktur Jaminan Pelayanan
Kesehatan BPJS Kesehatan tersebut karena dinilai merugikan masyarakat, mengurangi
mutu layanan kesehatan kepada masyarakat.

Polemik berlanjut hingga Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR RI, tanggal 27 agustus
2018, dimana DPR RI memerintahkan BPJS Kesehatan agar mencabut Peraturan
Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan
Pelayanan Katarak dalam Program JKN, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan
Kesehatan Nomor 3 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi
Lahir Sehat, serta Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 tahun 2018
tentang Penjaminan Rehabilitasi Medik. Komisi IX DPR RI juga mengintruksikan agar
Kementerian Kesehatan RI, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS Kesehatan
untuk selalu melibatkan Organisasi Profesi dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan dalam setiap
pembahasan peraturan dan kebijakan terkait Pelaksanaan Program JKN.

Pro kontra Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan tersebut
berakhir dengan diterimanya gugatan permohonan Uji Materi dari Perkumpulan Dokter
Indonesia Bersatu (PDIB) tertanggal 15 agustus 2018. Hasil Uji Materi memutuskan
bahwa ketiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan
dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Keputusan Mahkamah Agung tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 58 P/HUM/2018. Atas dasar Putusan Mahkamah Agung, maka BPJS
Kesehatan mencabut Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2,3 dan 5
tahun 2018 dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan
Nomor 12 Tahun 2018. Moga program JKN kedepannya dapat lebih memberikan input
positif dalam meningkatkan layanan kesehatan kepada masyarakat guna terwujudnya
derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (As).

Вам также может понравиться