Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hak Perwalian Nikah Terhadap Anak Luar Kawin di Tinjau dari


Hukum Islam

1.1. Anak akibat perkawinan yang sah (anak sah) dan Anak Luar Kawin
(anak tidak sah)

Anak yang diharapkan oleh agama islam hanyalah anak dari hasil

pernikahan yang sah. Untuk itu, anak yang dilahirkan setiap muslim harus

anak yang menjadi akibat perkawinan yang sah. Anak sah dalam islam

adalah anak yang lahir minimal enam bulan setelah pernikahan ayah

ibunya yang merupakan akibat pernikahan tersebut. Ini merujuk saat

terjadinya konsepsi janin sebagai titik awal kejadian anak (manusia).

Tegasnya, anak sah adalah anak yang terlahir sebagai akibat perkawinan

sah.1

Definisi anak sah itu ditentukan pada saat terjadinya konsep si janin dalam

kandungan (rahim) ibunya. Maka titik tolak penentuan keabsahan anak

didasarkan saat terjadinya konsepsi anak dalam rahim. Selanjutnya, saat

konsepsi janin itulah awal terjadinya kehamilan. Untuk itu, pengertian

anak sah harus didasarkan pada permulaan seorang ibu itu mengandung.

1
Musthofa Rahman, “Anak luar kawin status dan Implikasinya”, Atmaja, Jakarta, 2003
Hal.53

30
Konsep awal terjadinya kehamilan dalam islam sangat jelas. Al Quran

memberikan petunjuk bahwa batas minimal usia janin dalam kandungan

adalah enam bulan.

Ali Alfandi memberi pengertian anak sah adalah seorang anak yang lahir

didalam suatu perkawinan. Sedangkan menurut Subekti seorang anak sah

(wetting kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah

antara ayah dan ibunya. Sedangkan Istilah anak luar kawin oleh ma‟luf

didefinisikan sebagai anak yang dilahirkan oleh ibunya dari hubungan

tidak sah dan secara yuridis tidak dihubungkan nasabnya kepada suami.2

Batasan anak luar kawin itu berkaitan erat dengan pernikahan ayah dan

ibunya. Selain itu, keabsahan seorang anak itu didasarkan pada saat

terjadinya konsepsi (pembuahan) janin dalam rahim seorang ibu yang

mengandungnya. Maka batasan atau pengertian anak luar kawin

menyangkut dua hal pokok: pertama, pernikahan ayah ibunya, dan kedua,

saat terjadinya konsepsi janin dalam kandungan. Pernyataan ini sesuai

dengan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

Anak yang sah adalah :


a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut.

2
Ibid, hal.44

31
1.2. Status dan Kedudukan Anak Luar kawin

Istilah status itu hampir sama dengan terma kedudukan. Secara literal, kata

status berarti kedudukan. Namun dalam kamus webster, kata status

diartikan: “condition or position with regard to law” (kondisi, posisi,

kedudukan berkenaan dengan hukum). Terma status selalu berkaitan

dengan masalah hukum. Sedangkan dalam kamus bahasa indonesia, kata

status berarti “keadaan, tingkatan organisasi, badan atau negara, dsb”.

Adapun kata kedudukan adalah “keadaan dibawah mana seseorang itu

hidup menunjukkan kepada suatu hubungan kekeluargaan tertentu”. Maka

status anak sah dimaksudkan sebagai pandangan hukum terhadap anak sah.

Sedangkan kedudukan anak sah menunjukkan hubungan kekerabatan atau

kekeluargaan.3

Kedudukan anak dalam islam sangat tinggi dan mulia. Al Quran

menjelaskan bahwa ALLAH SWT memuliakan manusia, yaitu dalam Al

Quran surat Al-Isra ayat 70 yang artinya:

“Dan Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam; dan Kami


telah beri mereka menggunakan berbagai-bagai kenderaan di darat dan di
laut; dan Kami telah memberikan rezeki kepada mereka dari benda-benda
Yang baik-baik serta Kami telah lebihkan mereka Dengan selebih-
lebihnya atas banyak makhluk-makhluk Yang telah Kami ciptakan.”

Islam juga memposisikan anak sebagai perhiasan dunia.

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-


amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. al-Kahfi [18]: 46)

3
Ibid, hal.62

32
Secara alamiah anak-anak memang selalu berhajat kepada hal-hal yang

mengandung kasih sayang, lemah lembut dan belas kasihan. Bahkan bisa

dikatakan dalam rumah tangga tanpa adanya anak akan terasa kurang

bahagia, karena adanya anak mengenakkan mata saat memandangnya, dan

menetramkan hati saat bermain dengannya, karena memang ada hubungan

lahir dan batin antara seorang anak dengan orang tua.

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan Jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
(QS. al-Furqan: 74)

Dalam pasal 28 B UUDNRI Tahun 1945 mengamanahkan bahwa “setiap

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Begitu juga

dalam Pasal 26 UUDNRI Tahun 1945 disebutkan bahwa “Yang menjadi

warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa lain

yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara”

Dalam pasal ini jelas menyebutkan bahwa semua anak yang dilahirkan

memiliki hak yang sama sebagai warga indonesia, yaitu memiliki hak

hidup, tumbuh dan berkembang, dan juga berhak untuk dilindungi semua

hak-haknya dari ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.

Dalam UU Perlindungan anak juga menyebutkan, “Setiap anak berhak

untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

33
KH Abdullah Gymnastiar dalam tulisannya “Belajar Memahami Anak-

anak” mengatakan bahwa anak merupakan amanah Allah yang harus kita

didik agar menjadi anak saleh yang dapat membantu orang tuanya menjadi

ahli surga. Bukankah selain ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah, doa

anak yang saleh merupakan amalan yang tidak akan putus walaupun kita

wafat kelak? Memang tidak mudah hanya sekadar mewujudkan cita-cita

ini, kalau apa yang kita berikan kepada anak hanya berupa teori-teori

hidup belaka.4

Semua anak yang dilahirkan pada hakikatnya adalah fitrah, sebagaimana

dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

“Setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah”.

sehingga sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang harus didapat dan

dijalankannya. Anak yang dilahirkan diluar kawinpun memiliki hak dan

kewajiban sebagai manusia yang sama-sama harus dilindungi. Anak zina

yang terlahir didunia bukanlah sebagai manusia yang hina, karena anak

zinapun adalah manusia. Dalam Al Quran sudah disebutkan bahwa Allah

SWT menjadikan manusia dalam keadaan bentuk yang paling baik

dibandingkan dengan mahluk lainnya. Allah menjelaskan dalam Al Quran

Surat At-Tin Ayat 4 yang artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia Dalam bentuk Yang


sebaik-baiknya (dan berkelengkapan sesuai Dengan keadaannya).”

4
http://tentang-pernikahan.com/article

34
Oleh karenanya setiap manusia yang terlahir kedunia ini memiliki hak-hak

kemanusiaan untuk mendapatkan jaminan hukum sesuai dengan statusnya.

Hal ini sejalan dengan konvensi hak-hak anak, yaitu non diskriminasi,

kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup,

dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan terhadap hak-hak anak sesuai dengan kedudukannya itulah

yang bisa dijadikan dasar untuk memberikan hak-hak anak secara

proporsional berdasarkan status keabsahannya. Hanya saja , hak-hak yang

dimiliki anak luar kawin berbeda dengan anak yang dilahirkan akibat

perkawinan yang sah (anak sah).

Dalam ajaran agama islam, anak sah itu memiliki hubungan keperdataan

dengan orang tuanya, baik dengan ibu maupun ayahnya. Hubungan itu

berlanjut terus sampai pada kakek ataupun nenek dari orang tuanya

tersebut sampai terus garis lurus keatas. Hubungan keperdataan ini bisa

berupa hak dan kewajiban. Hak-hak itu sudah ada sejak anak masih dalam

kandungan seperti berupa fasilitas agar anak yang dikandungnya bisa lahir

dengan selamat. Hak inipun ada walaupun terhadap janin yang dihasilkan

dari perbuatan zina atau anak hasil hubungan luar kawin juga mendapatkan

perlindungan. Sehingga hak anak selama masih dalam kandungan sampai

selesai menyusu dengan ibunya memiliki hak yang sama antara anak sah

dan anak luar kawin. Namun hak keperdataan terhadap keduanya berbeda,

karena ada proses awal yang berbeda diantara keduanya, seperti yang telah

dijelaskan diatas. Dalam ajaran agama islam, orang tua memiliki

35
kewajiban memberikan hak anak secara total, itulah sebabnya perhatian

terhadap anak dan pemenuhan hak-hak mereka menjadi hal yang sangat

penting. Hak-hak ini dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syariah, antara

lain5:

a) Hak hidup.

Anak memiliki hak hidup, sejak dalam kandungan. Untuk itu Islam

mewajibkan seorang ibu memelihara janin dalam kandungannya dan

mengharamkan aborsi bagi janin yang telah ditetapkan hak hidupnya. Hak

hidup pada anak juga dapat dilihat ketika Islam mengatur penangguhan

hukuman pada wanita hamil. Allah SWT berfirman:

“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan.


Kamilah yang akan memberi mereka rezeki dan juga kalian.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar”.
(QS al-Isra’ [17]: 31).

b) Hak mendapatkan nama yang baik.

Islam menganjurkan para orangtua untuk memberikan nama yang baik

untuk anaknya, yakni nama yang memberikan identitas Islam, harapan

serta doa kebaikan bagi mereka. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu

hari seseorang bertanya kepada Rasullulah saw., “Ya Rasullulah, apakah

hak anakku dariku?” Nabi saw. menjawab, “Engkau membaguskan nama

dan pendidikannya, kemudian menempatkannya di tempat yang baik.”

5
Faqih ar-Rafa’i , “Anak Adalah Amanah Dari Allah Swt”, http://anis-
khilafah.blogspot.com/2010/06/anak-adalah-amanah-dari-allah-swt.html

36
Rasullulah saw. juga bersabda, “Baguskanlah namamu karena dengan

nama itu kamu akan di panggil pada Hari Kiamat nanti.” (HR Abu Dawud

dan Ibnu Hibban)

c) Hak penyusuan (radha‟ah).

“Anak berhak mendapatkan penyusuan selama dua tahun”

(QS al-Baqarah [2]: 233).

Jika ibu tidak mampu menyusui karena kelemahannya atau bercerai

dengan ayah si anak kemudian menikah lagi dengan suami lain sehingga

terkendala dalam memberikan ASI maka Islam mensyariatkan kebolehan

ayah untuk mengupah wanita lain menyusui anaknya.

(Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).

d) Hak pengasuhan (hadhanah).

Anak juga berhak mendapatkan pengasuhan yang baik. Islam mengatur

hak pengasuhan sekaligus kewajiban pada pihak tertentu. Dalam hal ini

adalah pihak ibu yang lebih utama dalam pengasuhan ini. Rasullulah saw.

pernah ditemui seorang wanita, ia berkata, “Wahai Rasullulah,

sesungguhnya anakku dulu dikandung dalam perutku; susuku sebagai

pemberinya minum dan pangkuanku menjadi buaiannya. Ayahnya telah

menceraikanku, tetapi ia hendak mengambilnya dariku.” Kemudian

Rasullulah bersabda, “Engkau lebih berhak kepadanya selama engkau

belum menikah lagi.”

37
e) Hak mendapatkan kasih sayang.

Anak berhak menerima kasih sayang dari orangtuanya dan orang-orang

dewasa di sekitarnya. Rasullulah saw. memberikan keteladanan bagaimana

mengasihi anak-anak. Sabda Rasullulah saw., “Orang yang paling baik di

antara kalian adalah yang paling penyayang kepada keluarganya.”

f) Hak mendapatkan perlindungan dan nafkah dalam keluarga.

Ketika Islam memberikan kepemimpinan kepada seorang ayah di dalam

keluarga, saat itulah anggota keluarga yang lain, termasuk anak di

dalamnya, mendapatkan hak perlindungan dan nafkah dalam keluarga.

Allah SWT berfirman:

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan

cara yang makruf” (QS al-Baqarah [2]: 233).

g) Hak pendidikan dalam keluarga.

Rasullulah saw. mengajarkan betapa besarnya tanggung jawab orangtua

dalam pendidikan anak. Beliau bersabda, “Tidaklah seorang anak yang

lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanya yang

menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Muslim).

h) Hak mendapatkan kebutuhan pokok sebagai warga negara.

Sebagai warga negara, anak juga mendapatkan haknya akan kebutuhan

pokok yang dijamin pemenuhannya oleh negara kepada seluruh warga

negara. Kebutuhan itu meliputi: pendidikan di sekolah, pelayanan

kesehatan dan keamanan. Hal ini merupakan pelaksanaan kewajiban

negara kepada rakyatnya, sebagaimana sabda Rasullulah saw., “Imam

38
(pemimpin, kepala negara) adalah bagaikan penggembala; ia akan dimintai

pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR Ahmad, asy-Syaikhan, at-

Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Ibnu Umar).

Dengan pemenuhan hak-hak anak oleh setiap pihak yang bertanggung

jawab, maka anak-anak akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi

generasi berkualitas.

1.3. Faktor-faktor penyebab terjadinya anak luar kawin

Terjadinya anak luar kawin disebabkan oleh beberapa faktor, karena ada

akibat sudah pasti ada penyebabnya. Penyebab terjadinya anak luar kawin

adakalanya muncul dari diri para pelaku perzinahan itu sendiri, dan

adakalanya terjadi karena didorong oleh faktor-faktor yang ada disekitar

para pelaku perzinahan. Intinya, penyebab terjadinya perzinahan yang

menimbulkan kelahiran anak luar kawin disebabkan faktor internal dan

faktor eksternal.

1.3.1. Faktor intern

Kepribadian seseorang memiliki semacam dinamika yang unsurnya

secara aktif ikut mempengaruhi aktifitas seseorang. Unsur-unsur tersebut

adalah6:

1) Energi rohaniah (psychis energy) yang berfungsi sebagai pengatur


aktifitas rohaniah seperti berpikir, mengingat, mengamati, dan
sebagainya.
2) Naluri, yang berfungsi sebagai pengatur kebutuhan primer seperti
makan, minum, dan seks. Sumber naluri adalah kebutuhan jasmani

6
Jalaluddin, “Psikologi Agama”, PT. Raja Gravindo, Jakarta, 2012, hal 217-218

39
dan gerak hati. Berbeda dengan energi rohaniah, maka naluri
mempunyai sumber (pendorong), maksud, dan tujuan.
3) Ego (aku sadar), yang berfungsi untuk meredakan ketegangan
dalam diri dengan cara melakukan aktifitas penyesuaian
dorongan-dorongan yang ada dengan kenyataan objektif (realitas).
Ego memiliki kesadaran untuk menyelaraskan dorongan yang baik
dan buruk hingga tidak terjadi kegelisahan atau ketegangan batin.
4) Super ego, yang berfungsi sebagai pemberi ganjaran batin baik
berupa penghargaan (rasa puas, senang, berhasil) maupun berupa
hukuman (rasa bersalah, berdosa, menyesal). Penghargaan batin
diperankan oleh ego ideal, sedangkan hukuman batin dilakukan
oleh hati nurani.

Keempat unsur yang mempengaruhi kepribadian seseorang tersebut dapat

berjalan dengan baik pada tiap-tiap individu manusia apabila ajaran

agama yang dianutnya tertanam dengan baik sejak kecil. Pendidikan

agama yang dimulai sedari kecil, akan tertanam kuat ketika dia dewasa.

Seperti halnya tanaman yang ditanam melalui biji, ketika besar akan

tumbuh dengan kuat, karena akar-akar yang dihasilkan tumbuh dengan

sempurna. Berbeda dengan tanaman yang ditanam setelah besar, seperti

mencangkok, maka ketika tumbuh akan mudah goyah dan bisa jadi akan

tumbang ketika diterpa angin yang kencang. Begitu juga manusia,

manusia yang diajarkan agama dimulai ketika dia sudah besar akan

mudah goyah dan mudah terpengaruh oleh lingkungan dimana dia

tinggal.

Ajaran agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai sistem nilai

yang memuat norma-norma tertentu. Salah satu fungsi agama adalah

sebagi social control, para penganut agama sesuai dengan ajaran agama

yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik

40
secara pribadi maupun secara kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya

dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi

sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok, karena:

a. Agama secara instasi, merupakan norma bagi pengikutnya.

b. Agama secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang

bersifat profetis (wahyu, kenabian).7

Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam

bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang

dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam

kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas. Ajaran

agama tidak mungkin mengarah pada perbuatan yang merugikan, atau

perbuatan-perbuatan yang tidak berguna apalagi merendahkan

martabatnya.

Ajaran agama berisi nilai-nilai ajaran moral yang berkaitan dengan

pembentukan sifat-sifat yang luhur. Sikap keagamaan yang menyimpang

bisa termanifestasikan dalam pelanggaran terhadap nilai-nilai moral

ataupun norma-norma agama. Perilaku penyimpangan ini disebut sebagai

tindakan amoral. Bahkan bisa meningkat ketindakan yang mengarah

kepada “permainan moral” (moral games), yang didalamnya batas baik

buruk, benar salah, pantas-tidak pantas dibuat jadi samar. Kecendrungan

ini akan menggiring pada situasi imoralitas (Yasir Amir Piliang, Kompas,

21 November 2005). Yasir menyebutnya sebagai moralitas minimalis.

7
Ibid, hal. 326-327

41
Indikatornya, yang pertama berupa tindakan melanggar atau melawan

moral (a-morality), dengan melakukan aneka tindakan yang jahat, tak

pantas atau tak arif. Seperti melakukan pemerkosaan untuk pemenuhan

nafsunya, memakai narkoba dan lain-lain. Kedua, tindakan

“mempermainkan” prinsip atau nilai-nilai moral itu sendiri (immorality),

dengan cara memutar balikkan atau mempermainkan batas-batas moral

antara baik/jahat, benar/salah, atau pantas/tak pantas. Seperti orang.8

Berangkat dari pemahaman ini pelaku perzinahan yang mengakibatkan

terjadinya anak luar kawin dapat digolongkan sebagai pribadi yang

terjangkit moralitas minimalis, karena kedua indikator moralitas

minimalis sudah terpenuhi. Pelaku perzinahan merupakan orang-orang

yang melanggar moral agama, padahal dalam agama islam sudah jelas

dan tegas bahwa perbuatan zina dilarang dan diancam dengan hukuman

yang sangat berat. Batas-batas norma agama islam juga telah

dipermainkan oleh mereka yang melakukan perzinahan atau hubungan

diluar kawin, karena mereka sebenarnya sudah mengetahui larangan

melakukan hubungan badan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah.

Orang-orang yang melakukan perzinahan mereka telah rela

mengorbankan unsur moral, nilai, norma yang ada dalam dirinya hanya

karena kesenangan yang hanya sesaat. Kesadaran diri mereka telah

ditundukkan oleh dorongan naluriah yang salah.

8
Ibid, hal. 275

42
Pelaku perzinahan, baik perbuatan suka sama suka ataupun yang

dilakukan karena paksaan seperti pelaku pemerkosaan bisa dikatakan

sebagai manusia yang telah kehilangan nurani dan kepekaan sosialnya,

karena melakukan perkosaan merusak martabat orang lain dan

mengahncurkan kepercayaan dirinya. Perangkat indranya telah

kehilangan fungsinya, dan nuraninya sudah dinonaktifkan. Ketika dalam

keadaan seperti itu sistem nilai, baik tatanan moral maupun agama sudah

tercabut dari dirinya. Dalam terminologi Al Quran kondisi seperti itu

diungkapkan: “mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya

untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi)

tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan

mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk

mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,

bahkan mereka lebih sesat lagi”. (QS Al-A‟rof:179)

1.3.2. Faktor ekstern

Banyak persoalan yang melatarbelakangi terjadinya kehamilan

diluar perkawinan, mulai dari sebab-sebab yang berasal dari

faktor lingkungan, pendidikan, kemapanan ekonomi dan

kemapanan sosial, maupun yang berasal dari dalam lingkup

keluarga sendiri, namun menjadi faktor mempengaruhi secara

43
langsung terhadap terjadinya hubungan seksual diluar

perkawinan.9

1.3.2.1. Lingkungan

Faktor lingkungan, diantaranya:

1) Orang tua

Kurangnya perhatian khusus dari orang tua untuk dapat

memberikan pendidikan seks yang baik dan benar. Dimana

dalam hal ini orang tua bersikap tidak terbuka terhadap anak

bahkan cenderung membuat jarak de ngan anak dalam masalah

seksual.

2) Teman, tetangga dan media

Pergaulan yang salah serta penyampaian dan penyalahgunaan

dari media elektronik yang salah dapat membuat para remaja

berpikiran bahwa seks bukanlah hal yang tabu lagi tapi

merupakan sesuatu yang lazim.10

Lingkungan tempat dimana manusia tinggal merupakan faktor

yang pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan

kepribadian tiap-tiap individu. Lingkungan yang baik dapat

menuntun manusia itu ikut menjadi baik. Begitu juga

sebaliknya, lingkungan yang tidak baik bisa mendorong dirinya

9
http://balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Sutinah.pdf
10
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2010/Artikel_105051
07.pdf

44
masuk dalam komunitas yang tidak baik juga. Contohnya

seseorang yang tinggal dalam lingkungan yang jauh dari kesan

agamis, penuh dengan hidup hura-hura, free sex, tentu lambat

laun orang tersebut bisa terbawa dalam kejelekan itu semua,

kecuali jika ada pedoman yang kuat dalam dirinya untuk bisa

bertahan dalam lingkungan yang buruk sekalipun, seperti

pemahaman agama yang mendalam dan mumpuni.

1.3.2.2. Kemapanan Ekonomi

Kemapanan ekonomi juga merupakan faktor yang pengaruhnya

hampir sama besarnya dengan faktor lingkungan. Uang

walaupun tidak bernyawa tapi membawa dampak yang besar

bagi manusia. Bahkan sebagian manusia rela melakukan apa

saja karena kepepet tidak punya uang, seperti mencuri dan lain

sebagainya. TKW yang berada diluar negri juga karena mereka

ingin mencari uang, padahal tidak jarang sebab istri menjadi

TKW suami dirumah melakukan perselingkuhan, persetubuhan

diluar kawin, menggauli anak kandungnya sendiri dan lain-lain,

karena kebutuhan seks merupakan kebutuhan primer. Pada saat

seperti inilah naluri manusia dituntut bekerja dengan baik, dan

juga unsur ego seseorang sangat diperlukan untuk bisa

menyelaraskan antara dorongan naluri seperti kebutuhan seks

dengan kesadaran (akal).

45
Nabi Muhammad SAW menyatakan “Hati-hati dengan benihmu, sebab

sifat akan menurun”. Kebenaran sinyalemen Nabi Muhammad SAW

tersebut telah dibuktikan oleh kajian biologi. Dalam biologi dikenal unsur

Gen (Yunani: gennao = menurunkan, meneruuskan) yang terdapat pada

kromosan yang merupakan pembawa sifat keturunan dari ayah dan ibu.

Gen itu sendiri terbentuk dari molekul yang disebut deoxcyd ribonecleit

acid (DNA), dalam DNA terkandung kode-kode pembawa sifat.

Aslinya kode-kode yang tersusun dalam DNA ini sesuai dengan fitrah

manusia. Kode-kode dimaksud mengandung unsur-unsur fitrah yang suci,

yakni benar, baik, dan indah. Dengan demikian, berdasarkan fitrahnya,

manusia menyenangi segala sesuatu yang baik, indah, dan benar.

Walaupun manusia itu berbuat sesuatu yang salah, sebenarnya hatinya

tetap menghukumi kalau itu salah, karena hati sebenarnya tidak akan bisa

menerima sesuatu yang sebenarnya salah, itulah fitrah manusia. Sebagai

mahluk ciptaan, manusia terdorong untuk mengabdikan diri kepada

penciptanya, seperti melakukan semua perinyahNYA dan meninggalkan

semua yang dilarang olehNYA. Kode-kode DNA ini akan terpelihara

keutuhan dan keasliannya apabila yang dikonsumsi adalah sesuatu yang

benar-benar sesuai dengan kriteria sang Pencipta, yaitu halal dan Thoyyib.

Rosulullah SAW mengingatkan : “siapa yang mengkonsumsi makanan

halal, maka seluruh anggotanya akan taat, baik disadari atau tidak.

Siapa yang mengkonsumsi makanan haram, maka seluruh anggotanya

akan maksiat (tidak taat), baik disadari atau tidak”. Kesimpulannya

46
makanan yang dikonsumsi juga memberikan dampak terhadap

pembentukan karakter dan tingkah laku (akhlak) tiap-tiap individu.

1.4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin dalam Perwalian

Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya nikah

menurut hukum islam, wali nikah merupakan hal yang sangat penting dan

menentukan, bahkan menurut madzhab imam Syafi‟i tidak sah nikah tanpa

adanya wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi pengantin

laki-laki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut.

Berdasarkan wawancara dengan pengasuh pondok pesantren Al Yasir

Jekulo Kudus yaitu beliau KH. Saiq Mahin, dikatakan bahwa: “sampai

kenopo anak wedok nek ameh nikah kudu ono waline, kerono

dikhawatirno wong wedok diselehno sak enggon-enggon. Wali wateke wis

mesti welas karo wedok sing diwaleni (anaknya). Nek ora ono waline,

wong wedok biso digampangke (diremehkan), padahal wong wedok

berhak oleh bojo lanang sing kufu (sepadan)”.

Dari penjelasan diatas menyebutkan bahwa intinya dengan adanya wali

bagi seorang perempuan adalah untuk mencegah agar seorang perempuan

tidak diremehkan oleh laki-laki yang ingin menikahinya, dan dengan

adanya wali juga seorang perempuan bisa lebih terjaga untuk mendapatkan

laki-laki yang sepadan dengan dirinya, karena seorang wali sudah pasti

sayang dan ingin anak yang diwalinya hidup bahagia, dan juga seorang

47
perempuan berhak untuk mendapatkan laki-laki yang sepadan dengan

dirinya. Artinya, jika perempuan itu wanita yang baik, dia berhak untuk

mendapatkan laki-laki yang baik juga.

Dalil wajibnya wali bagi seorang wanita menurut madzhab Syafi‟i adalah

ayat Al Quran dibawah ini:

Dan nikahilah orang-orang yang sendirian diantara kamu , dan orang-


orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba sahayamu yang perempuan. (Q S AN Nur ayat 32).
Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita musyrik dengan wanita-
wanita mukmin, sebelum mereka beriman. (Q S Al Baqoroh ayat 221)

Kedua ayat Al Quran tersebut ditujukan kepada wali , mereka diminta

menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan orang-orang yang tidak

beristri. Disatu pihak melarang wali itu menikahkan laki-laki muslim

dengan wanita non muslim, begitu juga sebaliknya.

Dan juga Hadist rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad

dan Al Tarmidzi berasal dari Siti Aisyah (istri Rosulullah) berbunyi seperti

dibawah ini :

Barang siapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak seizin


walinya, nilahnya itu batal”
Dalam hadits Rosulullah tersebut terlihat bahwa seorang perempuan yang

hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa wali ,

nikah itua batal menurut hukum islam atau nikahnya tidak sah.

Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal,
batal, batal (tiga kali kata-kata batal) itu diucapkan oleh rosulullah untuk

48
menguatkan kebatalan nikah tanpa izin wali pihak perempuan (berasal
dari istri Rosulullah: Siti Aisyah)
Apabila mereka berselisih paham tentang wali , maka wali nikah bagi
wanita itu adalah “sultan” atau wali Hakim, begitupun apabila bagi
wanita itu tidak ada wali sama sekali. (Rawahul Abu Daud, Al Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil.
Sedangkan Menurut imam Hanafi nikah (perkawinan) itu tidak merupakan

syarat harus pakai wali.

Menurut madzhab imam Hanafi wali bagi calon pengantin perempuan

adalah hukumnya sunnah. Akan tetapi madzhab hanafi tetap

mengharuskan laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan harus

sekufu (sepadan) dengan perempuan yang hendak dinikahi. Imam Hanafi

mengambil dalil yaitu:

Apabila suami mentalaq istrinya (istri-istri) sesudah talak yang kedua ,


maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga dia (perempuan)
itu menikahi calon suami mereka yang baru. QS Al Baqoroh Ayat 230
Apabila kamu menttalaq istri-istrinya , lalu habis masa iddahnya
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan
calon suaminya. (QS Al Baqoroh Ayat 232)
Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dan
anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya, sedangkkan izinnya adalah
diamnya (rawahul jama’ah ahli hadits, kecuali bukhori. Diriwayatkan
juga oleh Abu Daud dan Al Nasai).
Kompilasi Hukum Islam yang menjadi rujukan menikah bagi orang-orang

islam di Indonesia juga mewajibkan adanya wali bagi perempuan yang

hendak menikah.

Disebutkan dalam Pasal 19 KHI, yaitu: Wali nikah dalam perkawinan


merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya.

49
Oleh karena itu seluruh penduduk indonesia yang beragama islam wajib

menta‟atinya, karena apabila ulil amri (pemerintah) memerintahkan

sesuatu yang tidak bertentangan dengan syari‟at agama islam dan ada

mashlahat (kebaikan) didalamnya maka wajib dita‟ati perintah tersebut.

“Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rosul (Nya),
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemuadian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rosul (sunnahnya). Jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya”11.
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang disebabkan karena

perkosaan atau sebab lainnya, maka nasabnya hanya bersambung pada ibu

yang melahirkannya dan keluarga dari pihak ibunya saja, dalam artian

seluruh hukum keperdataan semuanya hanya bisa dihubungkan dengan

pihak ibu yang melahirkannya dan tidak ada hubungan keperdataan

dengan laki-laki yang menghamili ibunya, bahkan jika yang memperkosa

tidak memiliki hubungan darah dengan yang diperkosa (ayah, saudara atau

lainnya) maka menurut madzhab imam syafi‟i laki-laki yang

memperkosanya boleh menikahi anak yang dilahirkan oleh perempuan

yang diperkosanya itu, akan tetapi hukumnya makruh. Sampai kenapa

madzhab imam syafi‟i membolehkan laki-laki pelaku perkosaan menikahi

anak luar kawinnya atau anak zinanya, tetapi tidak sebaliknya bagi si ibu

yang melahirkan anak luar kawinnya tidak boleh dia nikahi, karena anak

perempuan yang keluar dari laki-laki yang melakukan hubungan luar

kawin adalah hanya berupa air mani (sperma) yang menjijikkan,

11
QS. An-Nisa, Ayat 59

50
sedangkan anak yang keluar dari seorang perempuan yang melakukan

hubungan luar kawin adalah berupa manusia yang sempurna 12. Sedangkan

madzhab Hanafi hukumnya haram menikahi anak yang zinanya walaupun

yang memerkosa dengan orang yang diperkosa tidak ada hubungan nasab.

Apabila yang memperkosanya itu masih memiliki hubungan nasab seperti

ayah, kakek, paman dan lainnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal

39 KHI, yaitu:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang


wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke
atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke
bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke
bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Menurut madzhab syafi‟iah barulah seorang laki-laki diharamkan

menikahi wanita yang dihamilinya dan menikahi anak yang dilahirkan dari

wanita yang dihamilinya tadi, karena ada sebab lain yang mencegahnya,

12
Hasyiah Ibrahim Al Bajuri, Juz 2, hal. 216

51
bukan karena anak tersebut hasil dari zina tapi karena perempuan yang

dizinahi adalah masih dalam nasabnya atau masih satu nasab.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab hawasyi juz 7 hal 349, “bahwasannya

anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah (zina), maka diharamkan

bagi wanita yang melahirkan anak luar kawin menikahi anak luar

kawinnya sendiri, begitu juga hukum keharaman ini berlaku kepada

seluruh mahram dari ibu yang melahirkan anak zina itu. Bahkan

keharaman ini juga berlaku kepada laki-laki yang menzinahi saudari

kandungnya sendiri, kemudian saudari kandungnya itu melahirkan seorang

anak, maka anak luar kawin itu diharamkan untuk dinikahi laki-laki yang

menzinahi ibunya, alasan keharaman ini dikarenakan anak yang dilahirkan

diluar perkawinan itu adalah anak saudari kandungnya sendiri”13

Apabila seorang wanita hamil diluar perkawinan dan kemudian dinikahi

oleh seorang laki-laki baik laki-laki itu memang benar-benar yang

menghamilinya ataupun bukan, maka nasab anak tersebut ketika lahir

dilihat dari jarak perkawinan keduanya (perkawinan wanita yang hamil

dan laki-laki yang menikahinya), yaitu apabila anak tersebut dilahirkan

lebih dari 6 bulan setelah perkawinan dan ada kemungkinan terjadi

persetubuhan diantara mereka setelah terjadi akad nikah maka anak yang

dilahirkan tersebut bernasab kepada laki-laki yang menikahi wanita yang

hamil tadi. Tetapi apabila jarak perkawinan dengan dilahirkannya anak

13
Abdul Hamid As Syarwani dan Ahmad Bin Qosim Al „ubady, “Hawasyi”, Juz 7, hal.
349

52
kurang dari enam bulan, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada

laki-laki yang menikahi wanita yang hamil tadi. Dengan artian anak

tersebut hanya bisa dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya yang

melahirkannya saja, dan seluruh urusan keperdataan tidak ada

hubungannya dengan laki-laki yang menikahi ibunya tadi. Anak yang

dilahirkan kurang dari enam bulan ini merupakan anak zina atau anak luar

kawin, dan hukumnya seperti halnya wanita lain terhadap laki-laki yang

menikahi ibunya tadi, kecuali jika dari pernikahan ibunya itu sudah terjadi

persetubuhan, maka anak tersebut walaupun anak zina tetap tidak bisa

dinikahi oleh laki-laki yang menkahi ibunya.

Oleh karena itu, jika anak yang dilahirkan diluar perkawinan tersebut

berjenis kelamin perempuan dan ketika dewasa menghendaki menikah dia

tidak bisa mendatangkan wali urutan pertama, yaitu wali nasab ataupun

urutan kedua dan ketiga. Padahal wali merupakan rukun yang harus

dipenuhi oleh calon pengantin wanita ketika hendak melakukan

perkawinan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 14 KHI yang berbunyi:

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :


a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.

53
karena wali nasab itu diambilkan dari pihak ayah dan keluarga ayah,

sebagaimana urutan wali nasab yang telah penulis uraikan dalam BAB II.

Maka ketika anak luar kawin tersebut hendak menikah yang menjadi

walinya adalah wali hakim.

Wali hakim yaitu sebagaimana dijeaskan dalam pasal 1 huruf b Kompilasi

Hukum Islam: Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan

kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Ini senada dengan yang dikatakan beliau KH. Saiq Mahin : “anak zino
(anak luar kawin) waline hakim, dalile hadits kanjeng Nabi

Berbeda dengan anak luar kawin, yaitu anak yang dilahirkan karena Wathi

syubhat (persetubuhan yang samar) . wathi syubhat ada 3 (tiga) macam :

a) Syubhat Fa’il, seperti halnya seseorang yang menyetubuhi

perempuan lain karena dikira istrinya.

b) Syubhat Mahal, seperti menyetubuhi budak perempuan yang

dimiliki oleh orang banyak.

c) Syubhat Thoriq, yaitu menikah dengan cara yang diperselisihkan

para ulama. Seperti menikahi perempuan dengan madzhab Hanafiah yang

tidak menggunakan wali, sedangkan menurut syafi‟iah wali itu menjadi

rukunnya nikah yang harus dipenuhi.

54
Walaupun persetubuhan antara laki-laki dan perempuan itu tidak ada

pernikahan jika sampai melahirkan anak, maka anak tersebut tetap

dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi perempuan itu, karena

wathi syubhat menetapkan nasab dan iddah. Oleh karena itu, laki-laki yang

wathi syubhat tidak boleh menikahi ibu dari perempuan yang di wathi

syubhat ataupun anak yang dilahirkan dari wathi syubhat. Akan tetapi

walaupun wathi syubhat menetapkan nasab dan iddah, si laki-laki yang

wathi syubhat tetap diharamkan melihat dan menyentuh ibu dari

perempuan yang diwathi syubhat dan anak yang dilahirkan akibat dari

wathi syubhat, dikarenakan wathi syubhat tidak menyebabkan mahram14.

Apabila anak hasil dari wahti syubhat tersebut perempuan dan

menghendaki menikah, maka yang menjadi walinya adalah laki-laki yang

menyetubuhi ibunya secara syubhat.

2. Hak Mewaris Bagi Anak Luar Kawin di Tinjau dari Hukum Islam

2.1. Golongan Ahli Waris:

1) Ashchabul Furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya

tertentu, yaitu 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, atau 1/8.

Para ahli faroidh membedakan ashchabul-furudh kedalam dua

macam, yaitu ashchabul-furudh is-sababiyyah dan ashchabul-

furudh in-nasabiyyah.

14
Sayyid Abi Bakar Bin Sayyid Muhammad Syatho ad Dimyathi Al Mishry, “Hasyiah
I’anatut Tholibin”, Juz 3, hal. 293

55
Ashchabul-furudh is-sababiyyah adalah golongan ahli waris

sebagai akibat adanya ikatan perkawinan dengan si pewaris.

Golongan ini yaitu janda atau duda dari yang meninggal.

Ashchabul-furudh in-nasabiyyah adalah golongan ahli waris

sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si pewaris.

Termasuk dalam golongan ini adalah:

a. Leluhur perempuan: Ibu dan nenek terus keatas


b. Leluhur laki-laki: Bapak dan kakek terus keatas
c. Keturunan perempuan: Anak perempuan dan cucu
perempuan pancar laki-laki
d. Saudara seibu: Saudara perempuan seibu dan saudara laki-
laki seibu dan
e. Saudara sekandung/sebapak: Saudara perempuan sekandung
dan saudara perempuan sebapak.
2) Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak

tertentu, tetapi mendapatkan ushubah (sisa) dari ashchabl-furudh

atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashchabul-furudh.

Para ahli faraidh membedakan ashabah kedalam tiga macam, yaitu

ashabah binafsih, ashabah bil-ghoir, dan ashabah ma’al-ghoir.

Ashabah binnafish adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan

dengan simati tanpa diselingi orang perempuan, yaitu:

a. Leluhur laki-laki: bapak dan kakek


b. Keturunan laki-laki: anak laki-laki dan cucu laki-laki; dan
c. Saudara sekandung/sebapak: saudara laki-laki
sekandung/sebapak.

56
Ashabah bil-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan

orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama

menerima ushubah , yaitu:

a. Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-


laki;
b. Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki; dan
c. Saudara perempuan sekandung/sebapak yang mewaris
bersama dengan saudara laki-laki sekandung/sebapak.

Ashabah ma’al-ghair adalah kerabat perempuan yang memerlukan

orang lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak

berserikat dalam menerima ushubah, yaitu saudara perempuan

sekandung dan saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama

anak perempuan atau cucu perempuan.

3) Dzawil-arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk

golongan pertama dan kedua.

Dzawil arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk

golongan ashchabul furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini

baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan

diatas.15

15
HR. Otje Salman, “Hukum Waris Islam”, PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, Hal.
51-53

57
2.2. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Luar Kawin dalam

Mewaris

Sudah dijelaskan diatas, bahwa semua manusia yang dilahirkan kedunia

ini adalah mahluk yang mulia, baik itu yang dilahirkan sebagai anak sah,

anak wathi syubhat, ataupun anak zina. Sesungguhnya yang patut

disalahkan adalah perbuatan orangtuanya yang menyebabkan

kelahirannya, merekalah yang menyebabkan seorang anak itu bisa terlahir

menjadi anak luar kawin atau anak zina. Berlatar belakang dari itu maka

anak yang terlahir didunia ini semuanya memiliki hak-hak yang harus

diperolehnya, walaupun memang hak-hak diantara mereka (anak sah,

anak wathi syubhat, dan anak zina) berbeda beda terutama dalam hal

mewaris yang menjadi fokus kajian penulis. Anak sah sudah jelas dia bisa

mewaris dari semua sudut, baik dari sudut ibu dan keluarga ibunya,

ataupun dari sudut ayah dan keluarga ayahnya. Dalam artian, anak sah

memiliki secara penuh dan sempurna dalam hal mewaris, kecuali jika ada

penghalang yang menyebabkan dia tidak bisa mewaris. Seperti yang

dijelaskan dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim


yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau


menganiaya berat para pewaris;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan


bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

58
Berbeda dengan anak sah yaitu anak yang dilahirkan dari wathi syubhat,

anak ini bisa mewaris dari kedua sudut, yaitu dari pihak ibu yang

melahirkannya dan juga dari pihak laki-laki yang telah berwathi syubhat

dengan ibunya, begitu juga sebaliknya, yaitu ayah bisa mewarisi dari anak

wathi syubhat tadi, tapi hanya sebatas anak itu saja, bapak wathi syubhat

tidak bisa saling mewaris dengan ibu dari anak wathi syubhat tersebut.

Contohnya seperti ketika terjadi syubhatul Fai’l, yaitu:

Seumpamanya ada laki-laki yang menyetubuhi perempuan, yang dia kira

bahwa perempuan itu adalah istrinya sendiri, begitu juga sebaliknya yaitu

siperempuan mengira bahwa laki-laki yang menyetubuhinya itu adalah

suaminya sendiri. kemudian setelah terjadi persetubuhan barulah mereka

tau bahwa diantara mereka terjadi salah pengertian, dan jika dari hubungan

syubhat ini menyebabkan kehamilan dan sampai melahirkan anak, maka

anak yang lahir dari wathi syubhat ini bernasab kepada laki-laki yang

menyetubuhi ibunya secara syubhat tadi. Dan jika bapak wathi syubhat ini

meninggal maka anak hasil dari wathi syubhat ikut mewaris.

Contohnya:

Zaid yang beristrikan Zaidah memiliki 2 (dua) orang anak, yaitu Zubed

dan Zubedah. Kemudian Zaid melakukan wathi syubhat dengan Marni,

dan dari wathi syubhat itu simarni melahirkan anak perempuan yang diberi

nama Munah. Kemudian setelah beberapa tahun Zaid meninggal dunia dan

meninggalkan harta 240 juta rupiah. Dari contoh kisah ini maka ahli

59
warisnya adalah jandanya Zaid yaitu Zaidah dan dua orang anaknya dari

perkawinannya dengan Zaidah, yaitu Zubed dan Zubedah, dan ditambah

satu yaitu anak dari wathi syubhatnya dengan Marni yaitu Munah. Dan

bagian warisan masing-masing ahli waris tersebut adalah:

Keterangan:

Ahli waris dari Zaid adalah Zaidah (istri Zaid) yang mendapatkan bagian

1/8 karena pewaris meninggalkan anak, yaitu Zubed, Zubedah, dan Munah

(anak dari wathi syubhatnya pewaris). Masing-masing anak mendapatkan

bagian: Zubed mendapat bagian ashobah, dan 2 orang anak perempuan

juga mendapatkan bagian ashobah karena bersama anak laki-laki yaitu

Zubed. Oleh karena bagian ahli waris adalah 1/8 maka asal masalah yang

bisa menjadi pembagi dari bagian ahli waris tersebut yaitu 8.

Rumus pembagian tirkah (harta pusaka/harta peninggalan) yaitu:

Bagian Warisan x Harta Pusaka


Asal Masalah

Asal masalah : 8

Zaidah = 1/8 bagian x 8 = 1

Karena asal masalah 8, dan Istri/janda mendapatkan 1 bagian, maka masih

tersisa 7 bagian. Kemudian 7 bagian ini dibagikan kepada ahli waris lain

yaitu 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki. Tapi harus

diingat, bahwa bagian laki-laki 2 banding 1 dengan bagian orang

perempuan. Oleh sebab itu, sisa bagian yang 7 tadi dibagi 4. Dengan

60
rincian 2 orang perempuan bagiannya 2 (1 perempuan mendapat 1 bagian),

dan 1 orang anak laki-laki bagiannya 2.

Zubedah+Munah (2) = Ashobah


7 : 4 = 1,75 bagian
Zubed (2) = Ashobah
Jadi Zubed mendapat bagian 2 x 1,75 = 3,5 bagian, sedangkan Zubedah

dan Munah masing-masing mendapatkan 1,75 bagian.

Maka bagian harta masing-masing ahli waris adalah :


Harta pusaka Rp. 240 juta
Zaidah = 1 x 240 juta = Rp 30.000.000
8
Zubedah = 1,75 x 240 Juta = Rp 52.500.000
8
Munah = 1,75 x 30 Juta = Rp 52.500.000
8
Zaid = 3,5 x 30 juta = Rp 105.000.000 +
8
Jumlah = Rp 240.000.000
Sedangkan anak luar kawin seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa dia

hanya bernasab kepada ibu dan keluarga ibunya. Oleh karena itu, anak luar

kawin hanya bisa mewaris kepada ibu dan keluarga ibunya.

Sebagaimana dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:


Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Anak luar kawin tidak bisa mewaris dari pihak bapak dan keluarga bapak,

begitu juga sebaliknya. Antara anak luar kawin dengan ayah yang

menghamili ibunya tanpa ikatan perkawinan yang sah tidak ada hubungan

61
mahram, sehingga tidak menimbulkan hubungan nasab. Sebab tidak ada

hubungan nasab maka diantara mereka tidak bisa saling mewarisi.

Akan tetapi anak luar kawin yang dilahirkan melalui hubungan luar kawin

antara perempuan dan laki-laki yang masih memiliki hubungan nasab,

diantara mereka juga sesuai hukum awal tetap tidak bisa saling mewarisi,

tetapi anak tersebut bisa mewaris dari sisi yang lain, bisa mewaris disini

bukan karena laki-laki yang mengahmili ibunya tadi sebagai ayah dari

anak itu melainkan karena antara ibu yang melahirkan anak luar kawin

dengan laki-laki yang menghamilinya masih ada hubungan nasab. Seperti

salah satu contoh hubungan luar kawin antara mereka yang masih

memiliki hubungan nasab yaitu antara bapak kandung yang menghamili

anak perempuannya sendiri, ketika anak perempuannya ini hamil

kemudian melahirkan anak, maka anak luar kawin tersebut tidak bernasab

kepada bapak yang menghamili ibunya, melainkan hanya bernasab kepada

ibu yang melahirkannya dan keluarga dari pihak ibunya saja. Sedangkan

bisa mewaris dari laki-laki yang menghamili ibunya tadi karena laki-laki

itu masih senasab dengan ibu anak tersebut (ayah kandung), oleh

karenanya anak luar kawin tersebut statusnya sebagai cucu dari laki-laki

yang menghamili ibunya tadi, dan ibu yang melahirkan anak luar kawin

tersebut statusnya tetap sebagai anak dari laki-laki yang menghamilinya

(ayah kandungnya sendiri).

Misalnya :

62
Jahil memiliki putri bernama Salmah, karena istri dari Jahil yang bernama

Imah menjadi TKW dihongkong dengan kontrak kerja selama 3 tahun,

maka entah kerasukan setan dari mana Jahil tega menyetubuhi putrinya

sendiri sehingga menyebabkan putrinya Salmah melahirkan seorang anak

laki-laki yang kemudian diberi nama Balid. Bagaimanakah hukum waris

diantara mereka jika sibapak yang bernama Jahil meninggal dunia dan

meninggalkan harta 150 juta?

Ahli waris : Asal Masalah : 8


Imah (istri) = 1/8 x 8 =1

Salmah (anak pr) =½x8 =4

Balid (cucu) = Mahjub =0+


5
Ahli warisnya adalah Imah (istri) yang mendapatkan bagian 1/8 karena

pewaris meninggalkan anak, yaitu Salmah. Salmah sendiri mendapatkan

bagian ½, dan Balid (anak zinanya) terhalang mendapatkan warisan karena

pewaris masih meninggalkan anak. Asal masalah dari contoh diatas adalah

8, karena yang bisa digunakan sebagai pembagi bagian ahli waris yaitu ½

dan 1/8 adalah 8.

Karena terjadi raad (terjadi kelebihan) maka seluruh harta pusaka (tirkah)

asal masalahnya dijadikan menjadi 5 untuk menghindari raad, untuk istri 1

bagian dan untuk anak 4 bagian. Maka bagian masing-masing adalah:

Harta pusaka 150 juta : 5 (asal masalah)= 30 Juta

63
Imah (istri) = 1 x 30 Juta = 30 Juta

Salmah (anak) = 4 x 30 Juta = 120 Juta

Dalam contoh ini Balid ikut menjadi ahli waris dari laki-laki yang

menghamilinya ibunya, tapi statusnya bukan sebagai anaknya, karena

hubungan luar kawin tidak menetapkan nasab, tapi karena laki-laki yang

menghamili ibunya masih satu nasab dengan ibunya, karena sebenarnya

yang menghamili ibunya adalah ayah kandungnya sendiri. Dan status

Balid sendiri sebagai cucu, dan perempuan yang dihamili sipewaris

statusnya tetap sebagai anaknya.

64

Вам также может понравиться