Вы находитесь на странице: 1из 7

BUKAN SEBUAH RAHASIA KECIL

Karya: Aji

Sudah kukatakan, jangan panggil aku Ariadinata. Aku tak suka nama itu. Panggil saja
aku, Andi. Itu sudah cukup. Sudah berkali-kali kubilang padamu, aku membenci nama itu.
Berkali-kali pula, kamu memilih membantahku terus. Kamu selalu bilang nama itu keren. Ya,
barangkali nama itu keren dan lebih gagah didengar. Tapi, sekali lagi, aku tak suka. Kamu tak
bisa memaksa orang lain menyukai apa yang kamu suka.

“Kamu, kan, bukan orang lain,” jawabmu.

Aku juga berharap seperti itu. Tapi, ada sekat yang tak bisa kamu lihat. Sekat itu
membuatku merasa terlalu jauh dari kamu. Sekat itu menyiksaku. Sekat itu membentang di
antara kita dari langit paling atas sampai bumi paling dalam. Bertahun-tahun aku coba
tembusi sekat itu seorang diri. Setiap kali hampir menyerah, selalu aku ingat betapa besar
kamu mencintaiku. Kamu wanita paling cantik yang membuat aku betah bertahan bertahun-
tahun di depan sekat itu.

“Aku mencintaimu, Cantik.”

“Kamu mencintaiku hanya karena aku cantik?!”

“Semua laki-laki jatuh cinta pada kecantikan. Tapi, aku....”

Aku belum selesai bicara, kamu memotong. Kamu bilang bahwa cintaku tak akan
bertahan lama karena boleh jadi aku akan bertemu wanita yang lebih cantik dari kamu. Lantas
aku akan memilih wanita itu. Tentu itu tak benar. Kamu pasti tahu itu, kan?

“Aku akan menua dan tak cantik lagi. Kamu pasti tak akan mencintaiku lagi,” kamu
marah-marah. “Pokoknya, jangan mencintaiku hanya karena aku cantik. Titik. Kecantikan itu
bisa tiba-tiba hilang, mengerti?!”

“Ya, aku mengerti. Lalu aku harus mencintaimu karena apa?”

“Karena kebaikanku,” jawabmu polos.

“Jadi, kamu itu orang baik-baik?!”

Sayangnya, kebaikan juga bisa hilang tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin mencintaimu
tanpa alasan. Tapi bagiku, mencintai adalah juga sebuah tindakan, dan setiap tindakan perlu
alasan yang logis. Aku tak memilih kebaikanmu atau kecantikanmu karena keduanya sama-
sama bisa hilang begitu saja. Alasan paling tepat untuk mencintai sering kali hanya dimengerti
oleh hati.

Kamu diam dan cemberut.

Kamu selalu ingin menang debat dengan aku. Tak peduli betapa lucu gagasan yang
kamu pertahankan. Dan, celakanya, aku selalu ingin membuatmu menang. Seperti waktu itu,
kita berdebat. Kamu bilang, aku harus merayakan hari ulang tahunku. Itu terlalu kekanak-
kanakan buatku.

“Kamu tak suka yang kekanak-kanakan?!”

“Ya.”

“Aku wanita,” katamu. “Wanita itu kanak-kanak yang tak pernah dewasa. Apa kamu
tidak mencintaiku?”

“Entahlah.”

Kalau benar kamu adalah kanak-kanak yang tak pernah dewasa, siapakah kanak-
kanak yang terperangkap dalam kecantikanmu, yang setiap harinya selalu membuatku rindu?
Aku tak pernah menyesal mengenalmu.

Kamu putuskan untuk merayakan hari ulang tahunku. Aku setuju. Hanya perayaan
kecil-kecilan mengundang teman dan kerabat dekat. Pada perayaan itu, aku tak menyangka
kamu bertanya soal namaku. Kamu dapat jawaban seperti biasa, bahwa aku membenci nama
itu. Kamu lantas mereka-reka, alasan yang membuatku tak mau menyematkan Ariadinata di
belakang namaku.

Kamu curiga, Ariadinata adalah nama kekasihku yang diam-diam aku kencani.
Tuduhan gila yang sama sekali tak terbukti. Lantas kamu yakin benar bahwa Ariadinata adalah
sejenis kutukan dari leluhurku, dan ketaksudianku menggunakan nama itu lentaran aku takut
mendapat kutukan. Aku tetap diam dan kamu jadi putus asa. Namun, hanya sebentar. Kamu
benar-benar seperti anak kecil yang tak pernah mau kalah.

Kamu tak mau membalas pesanku lagi. Tak mau mengangkat telponku, apalagi
bertemu denganku. Ah, apakah soal nama begitu penting buat kamu?

“Aku tak bisa mencintai seorang yang tak aku kenal,” katamu.

“Tapi kenal-mengenal bukan hanya soal nama, kan?”

“Memang bukan soal nama. Tapi soal ada apa dan siapa sebenarnya di balik nama itu.”

Aku terlalu takut menceritakan semuanya kepadamu. Bukankah kamu sendiri yang
bilang bahwa wanita adalah kanak-kanak yang tak pernah dewasa. Aku takut kamu....

“Baiklah,” katamu. “Aku tak akan bertanya soal nama itu lagi. Sebagai gantinya,
kenalkan aku kepada ibu dan ayahmu.”

“Ibu dan ayahku sudah meninggal.” Kamu agak terkejut, sedikit marah dan seperti
menyesali perkataanmu. Tercipta hening cukup lama, hingga aku teringat nenek.

“Nenekku masih hidup. Apa kamu mau, kukenalkan pada nenekku?”

Kamu mengangguk.
Nenekku tinggal di Bukit Malam, di sebuah desa yang amat jauh. Kita harus melewati
perkampungan paling miskin di dunia, lalu melewati lembah kematian yang penuh buaya
paling ganas di dunia. Untuk pergi ke sana, kita tak boleh membawa banyak bekal jika ingin
selamat.

“Aku tidak takut.”

Kamu begitu yakin kalau aku akan menjagamu bahkan dengan taruhan nyawaku.

“Baiklah, kita akan berangkat satu tahun lagi,” kataku.

***

Kita berlatih jadi orang miskin. Kita hanya makan beberapa hari sekali dan tidak
pernah mandi. Setelah satu tahun, kita telah benar-benar seperti orang miskin. Kamu bahkan
lebih mengerikan daripada orang-orang di perkampungan termiskin di dunia itu.

Ketika kita sampai di sana, orang-orang miskin tiba-tiba merasa kaya lantaran
melihat kita. Kita menceritakan kepada mereka tujuan perjalanan kita. Mereka bersikap
ramah dan mau menolong kita. Didorong rasa solidaritas sesama orang miskin, mereka
merasa perlu memberikan bekal untuk melewati Lembah Kematian yang penuh dengan
buaya. Bekal itu seperti kacang yang sudah mengeras selama bertahun-tahun. Kita
melemparkan bekal itu ke air yang tenang di Lembah Kematian. Seketika air yang tadinya
begitu tenang tiba-tiba bergolak dan kepala-kepala buaya bermunculan. Kamu sempat
berteriak dan mengumpat.

“Sialan, sepertinya mereka sangat lapar!”

Lihat baik-baik, mereka tidak terlihat ingin memangsa kita. Kita begitu kurus
sehingga mereka menganggap kita hanyalah tulang yang dapat berdiri. Mereka berbaris
seperti dalam dongeng kancil dan buaya. Tanpa komando siapapun, kamu menarik tanganku,
kita berlari di atas ratusan punggung buaya. Kita benar-benar ringan sehingga ratusan buaya
itu bergeming seolah tak terjadi apa-apa. Sampailah kita pada buaya yang terakhir. Dengan
sekali lompatan kita telah berdiri di seberang sungai memandang ujung lembah tempat kita
tadi berdiri.

Kamu melambaikan tangan pada buaya-buaya itu, aku menirukanmu. Buaya-buaya


itu kemudian menenggelamkan tubuh mereka perlahan ke dalam air sehingga tersisa riak
gelombang di sana-sini. Bekal dari kampung orang-orang miskin sungguh ampuh. Kita tak
perlu repot-repot mengalahkan para buaya.

Kita melanjutkan perjalanan. Melewati gunung-gemunung, padang rumput luas,


hutan hujan yang dingin, basah dan lembap. Lalu menaiki pegunungan sekali lagi dan
sampailah kita pada rumah nenekku. Masih seperti dulu, saat aku meninggalkannya pergi ke
kota. Serumpun pohon bambu kuning dan pohon jambu yang dirambati sirih di samping kanan
jendela. Pintu rumah dari kayu jati paling bagus. Tak pernah kena rayap.

Rumput di halaman tumbuh begitu tinggi. Sejenak aku jadi ragu nenek masih hidup.
Setahuku, nenek rajin mencabuti rumput-rumput di halaman. Apakah nenek sudah tidak kuat
sekadar pergi ke halaman mencabuti rumput-rumput? Atau beliau sudah meninggal?
Aku melangkah ke pintu, sementara kamu mengikutiku. Sepertinya kamu takut, jadi
aku berhenti dan menatapmu.

“Aku takut ada ular di rumput-rumput itu, aku sering menonton manusia dimakan
ular,” katamu sambil mendorong-dorong tubuhku agar aku kembali berjalan.

“Jangan takut, di sini tak ada ular.”

Kita sampai di depan pintu. Aku mengetuk, tak ada balasan. Aku mengetuk sekali lagi
dan sekali lagi aku mengetuk tetap tak ada balasan.

“Ketuk dengan keras,” katamu.

“Mungkin nenek sudah meninggal. Kita sudah hidup ratusan tahun, mana mungkin
nenek masih hidup. Kalau nenek masih hidup, rumput itu tak akan setinggi ini.”

Kamu tidak percaya nenek sudah meninggal.

“Ketuk sekali lagi!” katamu.

Aku mengetuk sampai jariku sakit.

Dari arah hutan muncul sosok tua menggendong kayu bakar. Tubuhnya sedikit
membungkuk, kelihatannya bukan karena usia tapi karena kayu bakar di punggungnya. Dan,
benar. Ketika kayu bakar diletakkan, sosok tua itu berdiri dengan tegaknya, seperti seorang
tentara saja. Usia tuanya hanya membekas pada kerutan-kerutan di kulit dan senyum tanpa
sebarispun gigi. Sementara cara berjalan dan cara bicaranya masih menyiratkan ketegasan
seorang gadis. Aku sungguh kagum kepada nenek.

“Kamu mengetuk pintu keras sekali. Apa kamu pikir aku sudah budek?!”

Aku belum sempat menjawab—dan memang tak tahu harus menjawab apa—ketika
nenek menyuruhku masuk.

Kita berdua masuk dan duduk pada dipan bambu. Nenek pergi ke dapur dan kembali
membawa dua gelas air. Gelas itu terbuat dari tanah liat. Kamu minum dengan rakus sampai
tandas. Nenek mengambilkan segelas lagi dan segelas lagi.

“Sudah berapa ratus tahun kalian tidak minum?” tanya nenek. “Kalian pasti
sangat lelah, beristirahatlah. Aku akan masak makanan terlezat untuk kalian. Tapi nanti, aku
juga perlu istirahat.”

“Kenapa Nenek membiarkan rumput di halaman tumbuh begitu tinggi?” kataku


mencoba mencari jalan untuk bicara.

“Sudah limaratus tahun tak pernah ada orang bertamu, buat apa aku urus rumput-
rumput itu. Harusnya, Kamu beri tahu aku kalau mau datang ke sini.”

“Bagaimana caranya?”

“Kamu, kan, bisa kirim kurir ke sini.”


“Aduh, Nek. Mana ada orang mau datang ke tempat ini.”

“Sudah punya kekasih rupanya?” tanya Nenek sambil melihatmu. Kamu tampak
tersipu malu. Aku menangkap rona merah yang coba kamu sembunyikan dengan menunduk.

“Cantik sekali, Nduk.”

Kamu menunduk semakin dalam.

“Gadis secantik ini,” kata nenek. “Kenalkan ke ayah dan ibumu, Nang!”

“Mereka sudah meninggal, Nek.”

Nenek nampak terkejut. Tapi disembunyikan keterkejutan itu dengan pura-pura


melihat keluar jendela. Sejenak tak ada yang bicara. Hanya suara desau angin bermain dengan
daun-daun. Akhirnya nenek membuka suara lagi.

“Ah, cepat sekali anak-anakku meninggal. Baguslah tak ada yang memberi tahu aku
sampai aku setua ini, akan terlalu menyedihkan mendengar kematian mereka saat aku masih
ingin bertemu dengan mereka. Tapi, di manakah mereka dimakamkan? Sekali waktu aku juga
ingin melihat kubur mereka.”

“Tak ada yang tahu mereka dimakamkan di mana, Nek.”

Nenek manggut-manggut. Entah apa maksudnya. Aku memperhatikan Nenek. Setetes


air mata mengalir di garis-garis wajah nenek yang segera dihapus begitu ketahuan oleh
pemiliknya. Garis-garis wajahnya mirip sekali dengan wajah ayahku. Sejauh yang aku ingat
nenek memang sangat dekat dengan ayahku. Ayah adalah anak yang paling dimanja nenek.
Nenek mengambil napas dalam-dalam seolah hendak meledakkan paru-parunya. Ia
hembuskan kuat-kuat seperti melepas semua beban di dalamnya. Lalu ia bercerita.

“Dulu, ayahmu pejuang hebat. Dia tidak lelah-lelahnya berjuang. Dia bahkan tak mau
kawin jika perjuangan belum selesai, belum merdeka. Banyak cara aku lakukan untuk
memintanya berhenti berperang, sia-sia saja. Ia selalu keluar masuk hutan membawa bedil.
Aku pernah bertanya, untuk apa dia membawa bedil ke mana-mana, dia jawab, untuk
menembak para jahanam yang menjarah kekayaan kita, kekayaan wong cilik, memangnya
siapa mereka itu?

Dia terus membawa bedilnya. Bedil itu pemberian temannya dari jauh. Entah dari
mana. Ia menembaki perajurit kerajaan. Tentu dia unggul karena menggunakan bedil
sedangkan perajurit kerajaan hanya menggunakan anak panah. Namun, aku tetap khawatir
setiap mendengar perang kembali meletus dan beberapa pemberontak dikabarkan
tertangkap. Aku selalu berdoa, semoga bukan anakku, semoga bukan anakku yang tertangkap.

Untunglah anakku sangat berbakat. Tak pernah tertangkap dan bahkan menjadi
pemimpin para pemberontak. Aku tidak bangga, justru cemas. Bagaimana tidak, aku melihat
gambar wajahnya ditempel di mana-mana. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi sepertinya itu
tanda yang tak beres karena sejak itu ia tak mengunjungiku lagi dan banyak orang mencarinya.

Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ia tak muncul lagi. Namun, pada suatu hari
yang cerah, ia muncul membawa kabar kemenangan. Raja-raja berhasil ditumbangkan.
Ibu, aku menang, katanya sambil menangis.

Bagus. Kamu bisa kawin sekarang, kataku yang ingin sekali menggendong cucu
karena hidupku telah begitu kesepian ditinggal seorang anak yang terus menerus berperang.

Dia setuju dan menikahi gadis desa yang sangat cantik. Dari pernikahan itu lahir
bocah laki-laki: kamu. Dia namai kamu, Andi Ariadinata. Sama seperti namanya sendiri, Seno
Ariadinata. Setiap malam aku berdoa agar kamu tidak suka berperang seperti bapakmu.
Kehidupan berjalan damai. Namun, tidak lama. Bapakmu bilang akan kembali berperang. Dia
bilang melawan orang-orang dari jauh, dari barat. Aku tak tahu orang macam apa mereka
sehingga harus diperangi.

Mereka merampas kekayaan kita, kekayaan wong cilik, kata ayahmu suatu ketika.

Ia sering tak pulang seperti dulu saat perang melawan para raja, dan selalu pergi
dengan bedil diselempangkan di pundak. Sekali waktu aku memintanya menggunakan
bedilnya untuk berburu menjangan. Supaya jangan manusia terus yang dia tembaki. Dia lantas
membawa menjangan dengan lubang kecil di kepala, bekas tembakan. Aku dan menantuku
membagi-bagikan daging menjangan ke penduduk desa.

Seringlah membawa menjangan, kataku kepada bapakmu. Anakmu perlu makan


enak. Jangan biarkan dia hanya makan singkong sepanjang hidupnya.

Dia pernah menggiring seseorang ke kandang babi dan membiarkan orang itu tidur
bersama para babi. Setiap malam, dua orang pemuda, gagah dan tegap, datang menemui orang
di kandang babi itu lalu memukulinya, memaksa orang itu bicara. Namun, orang itu tak bisa
bicara karena mulutnya terus dipukuli. Seminggu kemudian orang itu ditembak mati.

Semakin sering bapakmu menggiring orang-orang dengan kepala ditutup kain hitam,
dipukuli, lantas ditembak mati. Pada akhirnya aku tahu mereka orang dari jauh, yang disebut-
sebut orang desa sebagai londo.

Dia juga pernah pulang bersama sebuah keluarga. Seorang londo yang gagah dan
tampan dengan istri yang begitu cantik dan seorang bayi. Londo itu tidak tidur di kandang babi
seperti yang sebelumnya, bahkan anakku sering membawakan menjangan untuk dimasak lalu
dihidangkan untuk keluarga londo ini. Namun, aku kira nasib keluarga ini akan sama juga.
Berakhir di hadapan para penembak. Dan hari itu akhirnya datang: perintah untuk
mengeksekusi keluarga malang itu.

Aku tak tega melihat anak mungil yang cantik, beserta ibunya akan mati. Maka aku
memohon pada bapakmu agar mereka dibebaskan. Bapakmu malah berkata bahwa
permohonanku bisa dianggap penghianatan terhadap perjuangan. Aku tidak peduli dan terus
memohon sampai akhirnya aku mengancam tak akan mengakuinya lagi sebagai seorang anak
jika ia tetap mengeksekusi bayi dan ibunya itu. Aku tak sudi punya anak yang tak punya hati.
Demi mendengar ancamanku, akhirnya ia menyuruh beberapa perajuritnya mengirim ibu dan
anak ini ke sebuah desa tanpa seorangpun mengetahuinya.

Dia berencana memalsukan kematian ibu dan bayinya itu, tapi tidak untuk ayah si
bayi. Sebelum hari pelaksanaan eksekusi, aku sempat mengobrol dengan ibu si bayi. Tentu
saja dengan bahasa yang sangat terbatas, bahkan cenderung seperti bicara dengan orang gila.
Tapi aku menangkap keramahan dan ketulusan ibu si bayi. Aku jadi heran kenapa orang
secantik dan setulus ini akan dieksekusi begitu saja.

Bapakmu sendirilah yang kemudian mengeksekusi ayah si bayi. Sementara ibu si bayi
menangis kemudian pamit tanpa menyaksikan suaminya mati ditembak. Aku tak sempat
menanyakan namanya. Tapi aku tahu nama anaknya karena dia sering menyebut-nyebut
nama bayi itu. Meskipun aku sudah tua, aku tetap ingat nama bayi itu. Namanya Alamanda.

Ah, sepertinya aku sudah terlalu banyak omong. Cucu macam apa kamu ini,
membiarkan orang yang sudah tua terus-terusan bicara. Kamu bahkan belum beri tahu aku,
siapa nama gadis cantik ini.”

“Namanya Alamanda,” jawabku.

Nenek terkejut bukan main. Sementara kamu menunduk sangat dalam dan bahumu
bergetar. Ada isak tangis. Aku lihat wajahmu basah.

Semarang, 30 November 2018

Ditulis untuk Mengenang Kisah Marva

Вам также может понравиться