Вы находитесь на странице: 1из 23

0

KODING DATA WAWANCARA

Berikut ini adalah contoh laporan wawancara dan koding data.


Silakan dipelajari cara koding data sesuai aspek-aspek dan indikator
wawancara.

Sebagai informasi, materi untuk UAS adalah dari awal semester sampai akhir
semester.
Selamat belajar.
1

KETIKA AKU HARUS MEMILIH

Studi Kasus Tentang Proses Pemilihan Agama

Anak Dari Pasangan Beda Agama

Disusun oleh:

KUMALA WINDYA R

FAKULTAS PSIKOLOGI UGM


YOGYAKARTA
2012
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Wawancara
C. Manfaat Wawancara
II. TINJAUAN TEORI
A. Proses Pemilihan Agama
B. Konflik Nilai
C. Strategi Coping Masalah
III. METODE WAWANCARA
A. Pendekatan
B. Fokus wawancara
C. Subjek wawancara
D. Metode pengambilan data
E. Teknik analisis dan interpretasi data
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
A. Data Responden
B. Data Verbatim dan Koding Data
C. Temuan pada Responden
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama bagi anak. Orangtua
merupakan pihak yang pertama dan utama dalam pembentukan kepribadian anak.
Anak belajar mengenai nilai, peran sosial, norma, serta adat istiadat yang
ditanamkan orangtuanya. Salah satu nilai yang harus disosialisasikan pada anak
adalah nilai agama. Orangtua memiliki kewajiban untuk mengajarkan nilai-nilai
agama pada anak sehingga anak mampu menginternalisasikan nilai-nilai tersebut.
Pada orangtua dengan nilai agama yang sama, hal tersebut akan lebih mudah
dilakukan. Pada kasus perkawinan campur (beda agama), hal tersebut akan lebih
sulit dilakukan.
Setelah kelahiran anak, konflik biasanya muncul lewat perbedaan pola
asuh dan nilai-nilai agama yang akan diajarkan pada anak. Anak-anak akan
dididik menurut agama siapa? Kedua orangtua memang tinggal dalam satu rumah,
tetapi ada way of life yang berbeda. Perbedaan ini dapat membuat anak bingung
dan tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Masalah pendidikan agama bagi anak menimbulkan konflik karena setiap
pasangan akan memiliki keyakinan bahwa agamanya yang paling benar dan harus
diajarkan pada anak. Hal ini akan semakin kompleks jika ada ada tarik menarik
antar keluarga besar. Masing-masing agama pun menganjurkan agar setiap
orangtua mengajarkan nilai-nilai agama pada anaknya. Misalnya dalam agama
Katholik, orangtua harus menjaga imannya dan mendidik anak-anak dalam iman
Katholik (Wulandari, 1998). Masing-masing agama juga memiliki cara-cara
tertentu untuk mengajarkan nilai-nilai agama, baik secara konservatif maupun
modern, secara doktrinasi atau intelektual (Ellison & Sherkat, 1993). Bahkan jika
tidak hati-hati, adanya fanatisme agama akan mempengaruhi orangtua untuk
memilih cara-cara tertentu untuk memaksa anak melakukan ibadah sesuai ajaran
agama (Bottoms, Murray, & Filipas, 2003).
4

Ada berbagai kesepakatan yang dibuat pasangan beda agama untuk


menentukan agama yang akan dianut anak-anak mereka. Misalnya, ada yang
mengikuti agama ibu karena ibu memiliki kedekatan dengan anak untuk
mengajarkan nilai-nilai agama. Pada kasus lain berdasarkan urutan kelahiran
(anak pertama mengikuti agama ayah, anak kedua mengikuti agama ibu) atau
jenis kelamin anak (anak perempuan mengikuti agama ayah, anak laki-laki
mengikuti agama ibu). Perbedaan tersebut dapat menimbulkan kebingungan pada
anak, karena nilai dan norma sudah dipelajari melalui proses imitasi, identifikasi,
dan asimiliasi sejak dini. Anak akan mempunyai banyak pertanyaan yang jika
tidak dijawab dengan bijaksana akan mempengaruhi pembentukan konsep diri
anak saat dewasa.
Pada kasus yang lain, ada juga orangtua yang menunda pemberian nilai-
nilai agama pada anak atau memberikan kebebasan pada anak untuk memilih
agama yang disukainya. Menurut Handoyo (Wulandari, 2008), hal ini
menunjukkan bahwa orangtua kurang meyakini bahwa agama merupakan nilai
yang penting dalam kehidupan sehingga harus diajarkan sejak dini.
Pada saat anak beranjak remaja, anak mulai mengembangkan interaksi
dengan lingkungan yang lebih besar. Jika nilai yang diinternalisasikan dalam
keluarga tidak kuat, maka ia akan kehilangan pegangan dan kebingungan
membentuk identitas dan konsep dirinya. Anak juga mulai menyadari bahwa
keadaan keluarganya mungkin tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat.
Misalnya adanya anggapan anak haram bagi anak dari pasangan muslim dan non
muslim seperti dalam kasus di bawah ini.
Keluarga yang dibentuk oleh pasangan beda agama ternyata rawan dengan
konflik yang tidak hanya dialami oleh pasangan suami-istri tetapi juga oleh anak
dari pasangan tersebut. Dalam hal ini, anak tidak memiliki banyak pilihan karena
ia dihadapkan pada situasi yang kompleks yang belum dapat dipahami dan
dikuasainya. Peneliti tertarik untuk mengamati dinamika proses pemilihan agama,
konflik nilai, dan coping yang dilakukan anak-anak dalam satu keluarga pasangan
beda agama.
5

B. Tujuan Wawancara
Tujuan wawancara ini adalah untuk mengetahui dan memahami proses
pemilihan agama, konflik nilai, dan usaha untuk melakukan coping yang
dilakukan anak-anak dalam satu keluarga pasangan beda agama.

C. Manfaat Wawancara
Manfaat yang dapat diperoleh dari wawancara ini adalah:

1. Manfaat teoritis adalah dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan


ilmu psikologi perkembangan, psikologi sosial, dan psikologi keluarga
khususnya pemahaman tentang sosialisasi nilai-nilai agama pada keluarga.

2. Manfaat praktis adalah dapat memberikan gambaran tentang proses


pemilihan agama dan konflik nilai yang dialami oleh anak dari pasangan
beda agama. Hal ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam
mengambil tindakan sebelum atau selama perkawinan, terutama dalam
pendidikan dan pola asuh terhadap anak.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Pemilihan Agama


Menurut Allport (dalam Kristianingsih, 2000), nilai merupakan pendukung
dasar-dasar sikap atau merupakan disposisi yang dapat mengarah pada perbuatan.
Nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan dan apa yang dipilih. Menurut
Spranger (dalam Kristianingsih, 2000), agama adalah salah satu bentuk nilai yang
berhubungan dengan Tuhan dan kehidupan rohani seseorang.
Rokeach menjelaskan nilai sebagai keyakinan dapat dibedakan menjadi
tiga macam (dalam Adisubroto, 1993) yaitu keyakinan yang deskriptif, keyakinan
yang evaluatif (menilai baik dan buruk), dan keyakinan yang preskriptif (bersifat
memerintah dan melarang). Nilai memiliki 3 komponen yaitu:
a. Komponen kognitif, nilai adalah kesadaran atau pengertian tentang konsepsi
yang diinginkan.
b. Komponen afektif, nilai sebagai acuan untuk menilai baik dan buruk dengan
cara merasakannya secara emosional.
c. Komponen konatif, nilai merupakan variable perantara yang menimbulkan
perilaku.
Agama merupakan suatu bentuk moral. Dalam agama, diatur tentang nilai
perilaku sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk perilaku yang
harus dilakukan dan harus dihindari. Agama dianggap bisa mengendalikan atau
mengontrol tingkah laku manusia sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma masyarakat.
Keluarga adalah lingkungan pertama dimana anak mengenal nilai.
Pembentukan nilai melalui proses yang panjang dan lama. Nilai terbentuk sejak
anak menyadari kehadiran orang lain dalam dirinya dan semakin kuat seiring
kemampuan komunikasi dan interaksinya dengan orang lain. Tahap
perkembangan nilai agama dalam diri seseorang berhubungan dengan tingkat
perkembangan kognitif dan moralnya.
7

Pada masa anak-anak, nilai dan norma diperoleh melalui proses imitasi,
identifikasi, dan sosialisasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Menurut
Kohlberg (Delamater, 2006) ada tiga tahap penalaran moral manusia yaitu:
a. Tahap Prakonvensional
Tahap ini berlangsung sejak anak lahir hingga berumur 7 tahun. Pada tahap ini
anak berperilaku dengan pedoman reward dan punishment dari orangtua.
Kontrol keluarga sangat berpengaruh. Anak hanya melihat yang boleh dan
tidak boleh dilakukan. Hampir semua ide-ide agama pada anak berasal dari
orang lain dalam bentuk doktrin-doktrin agama.
b. Tahap Konvensional
Tahap ini berlangsung pada saat usia sekolah anak. Anak mendasarkan
perilaku pada pengharapan sosial. Anak menilai suatu perbuatan baik apabila
bisa menyenangkan orang lain dan melihat nilai yang ada sebagai sesuatu yang
harus dijaga dan ditaati.
c. Tahap Postkonvensional
Pada tahap ini, seseorang akan memandang nilai yang ada pada masyarakat
bersifat relative dan sebagai control dalam berperilaku.
Tahap penalaran moral postkonvensional sering dikaitkan dengan tahap
perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget yaitu tahap abstrak
operasional. Pada tahap ini, individu mulai dapat berpikir abstrak. Ia mulai
memikirkan kembali nilai-nilai yang selama ini diterimanya. Ia juga mulai
mengembangkan nilai baru yang didapatkannya dari lingkungan sosialnya yang
semakin meluas.
Saat dewasa, proses pembentukan dan perkembangan nilai-nilai agama
semakin mendalam. Individu mulai bertanya tentang eksistensinya dan mulai
memikirkan nilai-nilai mana yang akan tetap dianut, diganti, dan dikembangkan.
Umumnya pada anak yang orangtuanya beragama sama akan memiliki identitas
sama dengan orangtuanya. Identitas agama tersebut terbentuk seiring proses
sosialisasi yang dilakukan orangtua. Tetapi jika orangtua memberikan dua model
yang berbeda, maka proses seperti apa yang akan dialami anak? Apakah proses
yang dialami pada satu anak akan sama dengan anak yang lain dalam satu
8

keluarga? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses tersebut? Hal


tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengeksplorasi proses pemilihan agama
pada anak-anak dalam satu keluarga pada pasangan beda agama.

B. Konflik Nilai pada Anak dari Perkawinan Pasangan Beda Agama


Konflik biasa terjadi pada individu ketika berhadapan dengan beberapa
hal yang berbeda atau bertentangan. Haurtup dan Laursen (Delamater, 2006)
mengatakan bahwa konflik yang dialami seseorang dapat berupa konflik internal
dan konflik sosial. Konflik internal adalah konflik yang terjadi pada diri
seseorang. Konflik sosial adalah konflik yang merupakan pertentangan antara
persepsi seseorang dengan orang lain di sekitarnya, pola pikir, pola sikap, dan
pola perilaku seseorang yang tidak selaras dengan pola yang diharapkan oleh
masyarakat akan bisa mengakibatkan terjadinya konflik.
Menurut intensitasnya, konflik dapat dibedakan menjadi dua yaitu
konflik ringan yang dapat diselesaikan dengan mudah dan konflik berat yang
menimbulkan emosi dan akibat jangka panjang.
Pada perkawinan beda agama, konflik dapat muncul dari hubungan
dengan pasangan, hubungan dengan keluarga besar, dan pada pengasuhan anak.
Konflik pada pengasuhan anak dapat terjadi jika tidak ada keselarasan pada
orangtua dalam menanamkan nilai-nilai agama pada anak. Hal ini dapat terjadi
jika masing-masing orangtua menganggap nilai agamanya yang paling benar dan
berusaha mengajarkannya pada anak. Anak pun dapat mengalami kebingungan
jika ada 2 model perilaku agama yang harus ditaatinya. Hal inilah yang dapat
memicu konflik nilai pada anak dan dapat terbawa hingga dewasa.

C. Strategi Coping Masalah


Ketika individu mengalami konflik, maka ia akan melakukan aktivitas
untuk mengurangi ketegangan yang dialaminya. Aktivitas ini dikenal dengan
sebutan perilaku coping, yaitu suatu aktivitas yang dilakukan individu untuk
mengurangi tekanan dan ketegangan yang dihadapi, baik berupa sikap, perasaan,
9

atau pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau menurunkan
efek negative dari situasi yang mengancam (Myers, 2008).
Menurut Lazarus, coping mempunyai fungsi untuk mengatur emosi atau
tekanan (emotion focus coping) dan untuk mengatur masalah yang menyebabkan
tekanan (problem focus coping). Penjelasan cara coping tersebut adalah:
a. Problem focus coping yaitu strategi coping yang menitikberatkan pada
pemecahan masalah. Bila perilaku ini berhasil, maka tidak ada lagi
permasalahan dan perasaan stress yang mengikuti. Jika perilaku ini tidak
berhasil maka akan memicu stress dan mempengaruhi hubungan dengan
lingkungan sekitar.
b. Emotion focus coping yaitu coping yang menitikberatkan pada pengurangan
atau pengaturan keadaan emosi yang stress. Coping ini tidak berarti perilaku
pasif, tetapi berhubungan dengan melakukan penyusunan kembali secara
internal hingga mengubah komitmen yang tidak dapat dilakukan

Kedua bentuk strategi tersebut memang memiliki fungsi yang berbeda.


Penggunaan PFC akan meningkat pada situasi yang dinilai bisa diubah. Apabila
suatu situasi dinilai individu tidak bisa diubah, maka individu cenderung berusaha
menggunakan EFC untuk meredakan emosi semata.

D. Pertanyaan Wawancara
Berdasarkan pemaparan masalah dan tinjauan pustaka di atas, peneliti
berkeinginan untuk meneliti fenomena perkawinan beda agama ditinjau dari
penanaman nilai-nilai agama pada anak. Peneliti mencoba mengeksplorasi
pemilihan agama pada anak-anak dari pasangan beda agama dalam 1 keluarga.
Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dalam wawancara ini adalah:
1. Bagaimana proses pemilihan agama pada anak dari pasangan beda agama?
2. Apa saja konflik nilai yang dialami?
3. Bagaimana cara coping yang dilakukan?
10

BAB III
METODE WAWANCARA

A. Metode Wawancara
Peneliti menggunakan metode wawancara dalam mengumpulkan data.
Pedoman wawancara yang digunakan adalah wawancara semi-terstruktur yang
memungkinkan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan sesuai dengan situasi
dan kasus yang dialami masing-masing responden, namun masih berpegang pada
tujuan wawancara.

B. Subjek Wawancara
Menurut Patton (Poerwandari, 2005), tidak ada aturan pasti dalam jumlah
sampel yang harus diambil untuk wawancara. Jumlah sampel sangat tergantung
pada apa yang ingin diketahui peneliti, tujuan wawancara, konteks saat itu, apa
yang dianggap bermanfaat, dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya
yang tersedia. Jumlah responden dalam wawancara ini adalah 1 orang dengan
pertimbangan keterbatasan waktu dan tenaga peneliti. Adapun karakteristik
responden adalah sebagai berikut:
1. Berusia dewasa awal atau tengah (antara 25-35 tahun)
2. Kedua orangtua beda agama sejak menikah hingga saat wawancara
dilaksanakan
3. Suku Jawa
4. Beragama (sedang atau sudah memutuskan agama apa yang dianut)

C. Tujuan & Pedoman Pertanyaan Wawancara


Tujuan dalam wawancara ini adalah proses pemilihan agama, konflik nilai,
dan strategi coping pada anak-anak pasangan beda agama dalam satu keluarga.
Pedoman wawancara yang digunakan adalah:
1. Apa identitas agama dalam keluarga (subjek, orangtua, saudara)?
2. Kapan usia saat pertama kali sadar perbedaan agama?
11

3. Bagaimana kondisi dan perasaan subjek dengan adanya perbedaan agama


dalam keluarga?
4. Bagaimana pengalaman menjalankan ibadah saat masih kecil, remaja dan
saat ini?
5. Apa saja masalah atau konflik yang dihadapi?
6. Apa strategi coping yang digunakan dalam menghadapi konflik tersebut?
7. Bagaimana pemahaman tentang perkawinan beda agama?
8. Bagaimana kehidupan beragama dalam keluarga?
9. Bagaimana hubungan dan penilaian terhadap pengasuhan Ayah?
10. Bagaimana hubungan dan penilaian terhadap pengasuhan Ibu?
11. Bagaimana hubungan dan penilaian terhadap saudara kandung?

Wawancara mengenai perkawinan beda agama merupakan hal yang cukup


sulit dilakukan karena akan mengungkapkan konflik yang sensitif dalam keluarga.
Oleh karena itu diperlukan building rapport dengan responden. Observasi juga
dilakukan selama wawancara berlangsung. Peneliti akan mencatat data non-verbal
responden untuk mendukung keakuratan data yang diambil saat wawancara. Alat
bantu yang digunakan adalah tape recorder dan alat tulis.

D. Teknik Analisis Data Wawancara


Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber kemudian mereduksi data dengan cara membuat abstraksi, yaitu
usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang
perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya (Poerwandari, 2005). Langkah-
langkah analisis data yang dilakukan adalah:
1. Transcription yaitu data ditulis dalam bentuk transkrip verbatim.
2. Coding dan categorization yaitu data dipilah berdasarkan topik wawancara
yang dikodekan berdasarkan kata dari transkrip (open coding) kemudian
dicari kaitan atau hubungan antar kategori (axial coding).
3. Menyajikan data dalam bentuk teks naratif, table, dan gambar.
4. Menyimpulkan data
12

DAFTAR PUSTAKA

Bottoms, B. L.; Murray, R. & Filipas, H., 2003. Religion-related Child Physical
Abuse: Characteristics and Psychological Outcomes. Journal of Aggression,
Maltreatment, and Trauma; No. 6/2003.

Delamater, J., 2006. Handbook of Social Psychology. New York: Springer.

Ellison, C.G., and Sherkat, D. E., 1993. Obedience And Autonomy: Religion And
Parental Values Reconsidered. Journal for the Scientific Study of Religion,
Vol. 32, No. 4, pp. 313-329. http://www.jstor.org/stable/353409

Kristianingsih, S.A. 2000. Hubungan Persepsi tentang Keselarasan Orangtua


dengan Konflik Nilai pada Remaja Awal. Skripsi (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.

Myers, D. G. 2008. Social Psychology. New York: McGraw-Hill

Poerwandari, E. K. 2005. Wawancara Kualitatif untuk Wawancara Perilaku


Manusia. Jakarta: LPSP3.

Sekarwangi. 2005. Laporan PKL Psikologi Sosial: Perkawinan Beda Agama.


Laporan Praktek Kerja Lapangan (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.

Ummi. 2001. Nikah beda Agama, Awal Konflik Berkepanjangan. Edisi


11/XII/2001.

Wulandari, B. N. D., 1998. Religiusitas dan Sikap pada Perkawinan Campur


pada Mahasiswa Katholik. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
13

LAMPIRAN
A. DATA RESPONDEN
1. Identitas responden:
Nama (inisial) : Ana (29 tahun)
Agama : Islam
Agama Ayah : Islam
Agama Ibu : Katholik
Saudara : 1 orang kakak laki-laki (Islam)
1 orang kakak perempuan (Katholik)
Status : menikah (suami beragama Islam)
Anak : 2 anak perempuan

2. Keterangan:
Wawancara dilakukan di rumah orangtua subjek di kota W pada hari Selasa, 27
Desember 2010 pukul 16.00-18.00.
Kode: P (peneliti); S (subjek)
Aspek yang diteliti:
1. Usia saat pertama kali sadar perbedaan agama
2. Kondisi dan perasaan subjek dengan adanya perbedaan agama
3. Proses memilih suatu agama
4. Konflik nilai yang dihadapi
5. Strategi coping yang digunakan dalam menghadapi konflik
6. Pemahaman tentang perkawinan beda agama
7. Hubungan dan penilaian terhadap Ayah
8. Hubungan dan penilaian terhadap Ibu
9. Hubungan dan penilaian terhadap Saudara
Contoh koding:
A1  aspek 1
14

B. DATA VERBATIM DAN KODING DATA

Line Keterangan Koding


1 P Ayah dan Ibu Ana berbeda agama ya? Apa agama ayah dan ibu?
S Ayah beragama Islam, Ibu beragama Katholik.
P Bagaimana dengan saudaramu? Apa agama mereka?
S Aku punya dua kakak. Yang pertama laki-laki, agamanya Islam. Yang
5 kedua kakak perempuan, agamanya Katholik.
P Bagaimana penanaman nilai-nilai agama dalam keluargamu? Hingga
Akhirnya kedua kakakmu menganut agama yang berbeda?
S Sebenarnya ayah dan ibuku tidak sakklek menanamkan agama tertentu A3
pada anak-anaknya. Katanya sih dulu ayahku ingin semua anak-anak
10 beragama Islam, tetapi waktu ditanya sama ayah, Mbakku nggak mau.
Jadi ya cuma aku dan masku yang beragama Islam.
P Dari dulu bapak dan ibu memang berbeda agama ya?
S Ya.. dari dulu mereka berbeda agama. Aku juga gak tau kok akhirnya A3
mereka bisa menikah. Keluarga besar ibuku tinggalnya di Jogja, sebagian
15 besar adalah penganut Katholik yang kuat dan taat. Sedangkan ayahku,
keluarganya sebagian besar tinggal di Jakarta, mereka muslim tapi ya gak
gitu kuat dan taat banget. Tapi ya kalo untuk salat dan ngaji bisa ya rajin.
P Kalau gitu, sejak kecil sudah ditanya mau beragama apa ya?
Kira-kira umur berapa Ana menjawab pertanyaan tentang agama itu?
20 S Kayaknya sih sejak kecil. Aku juga lupa tepatnya kapan mulai menjawab A1
beragama Islam. Kayaknya seingatku waktu aku SD, ditanya sama guruku,
apa agamamu? Trus aku jawab Islam. Ya sudah sejak saat itu aku kalo
ditanya agama ya jawabnya Islam.. (tertawa)... sudah terlupakan je
P Lalu bagaimana pengalamanmu menjalankan ibadah saat kecil?
25 S Dari kecil aku tu di Jakarta, jadi tinggalnya sama kakek dan emak, dari A3
bapakku. Nah mereka Islamnya cukup kuatlah dibandingkan bapakku A8
waktu itu. Nah mereka yang ngajari aku salat dan ngaji. Jadi waktu itu yang A9
ngajari salat dan ngaji ya kakekku yang sekarang ini sudah meninggal. Kalo
bapakku sih sejak kecil gak ngajarin dan berperan apa-apa (tertawa..)
30 waktu itu bapak memang gak begitu kuat Islamnya jadi gak ngajarin.
Hm.. tapi mungkin waktu puasa aja, aku disuruh puasa, nanti kalo puasa
dikasih duit sama bapak. (tertawa..). Kalo ngaji ya tempatnya tetangga,
yang ngajari kakek. Kalo salat ya gak ada yang nyuruh, salat ya terserah,
mau 2 waktu atau 3 waktu terserah.
35 P Trus bagaimana pengalaman beribadah waktu SMP, SMA, dan kuliah?
S Waktu SMP dan SMA sih salatnya ya salat tapi masih ada bolong dan tidak A3
lima waktu. Tapi waktu SMA lebih rajin daripada waktu SMP. Lha gak ada
yang nyuruh, gak ada yang ngasih contoh, jadi ya masih kayak gitu. Waktu
kuliah ya agak mending, lebih rajinlah salatnya.
40 P Bagaimana kalau sekarang?
S Kalo sekarang ya lebih baik. Setelah menikah ya gak cuma salat wajib saja. A3
Kalo bisa salat sunat juga dikerjakan.
P Lalu nilai-nilai apa yang ditanamkan dalam keluarga, maksudnya, bapak ibu
dan kakak kan berbeda agama, jadi apa yang perlu dilakukan? Apakah ada
45 nilai-nilai khusus yang ditanamkan orangtua?
S M... apa ya... mungkin ya nilai-nilai yang universal ya, bukan nilai-nilai A3
agama tertentu. Ya misalnya saling menghormati antar agama. Tapi ibuku A7
juga kadang-kadang mengajak aku ke gereja. Bapakku cuma diam aja. A8
P Waktu kecil sempat mengalami kebingungan tentang agama?
50 S Kalo aku sih gak bingung. Karena sejak kecil memang tertanam kalo aku A3
15

Islam. Dan kalo diajak ke gereja gak mau. Jadi ya sudah. Aku sudah agak
lupa je.. hehehehe... ya seingatku ya kakek yang ngajarin salat karena
bapak memang gak pernah salat. Trus waktu kecil kan aku tinggalnya di
Jakarta sampai kelas 5 SD, trus kakek meninggal jadi pindah ke Jogja. Nah
55 kalo di Jakarta memang keluarga besar mayoritas Islam, keluarga dari
bapak. Sedangkan kalo di Jogja sebagian besar Katholik, keluarga dari ibu.
Jadi mungkin ya kebingungannya ya waktu pindah ke jogja, tapi ya gak juga
ding, kayaknya aku gak bingung tu.. heheheh....
P Hm... berdasar ceritamu, bapak tidak memberi contoh melakukan salat ya,
60 bagaimana dengan ibu? Apakah ibu termasuk rajin beribadah ke gereja?
S Kalo ibu sih, biasa-biasa saja, waktu masih di Jakarta lo, paling ya ke gereja A8
tiap Minggu, tapi waktu balik ke Jogja ibu lebih memperdalam agamanya, A9
ya mungkin karena keluarga besar di Jogja termasuk yang kuat dan taat
beragama Katholik, makanya ibu jadi terbawa. Dulu sih tidak fanatik, tapi
65 sekarang ya mulai mendalami agama, jadi mulai fanatik.
P Berarti waktu itu dirimu masih remaja ya, apakah ibu juga mengajakmu
untuk belajar agama Katholik?
S Kalo waktu masih kecil ya ngajak ke gereja. Trus waktu SMP, SMA, atau A3
kuliah juga ngajak ke gereja atau ikut persekutuan doa, kayak pengajian
70 kalo di Islam, tapi ya aku biasanya gak mau. Nek aku gak mau ya gak
dipaksa juga, ya sudah kalo gak mau, tapi ya besok-besoknya lagi ya diajak.
P Apakah ibu juga berusaha untuk berdiskusi tentang masalah agama?
S Gak pernah sih, ibu gak pernah ngajak diskusi, tapi piye ya... aku sudah lupa A5
je... sudah tambah tua.. hehehehe... tapi kayaknya dulu aku sih yang malah
75 mendebat keyakinan ibu, jadi waktu itu cukup seru perdebatannya.
Kayaknya waktu SMA deh, waktu itu sudah mulai banyak bertanya...
P Hm... jadi waktu SMA sudah mulai banyak masukan tentang ilmu
agamanya ya?
S Hehehe... ya gak juga sih. Waktu SMA memang sering ikut rohis, pengajian, A5
80 trus baca buku-buku tentang agama, sebenernya ya masih awam ilmunya
tapi ya pengennya ikut mendebat. Kan ada to buku tentang perbandingan
agama, nah trus sok tau gitu...
P Trus bagaimana saat perayaan natal atau lebaran? Apakah dirayakan juga?
S Kalo dulu ya ikut merayakan, kalo natal ya ada pohon natal, ikut menghias. A3
85 Ya waktu kecil seneng, karena kan banyak kue, trus tanggal 24 nya A4
biasanya saudara-saudara datang dari gereja, trus mengucapkan selamat
natal. Nah kalo lebaran juga merayakan, ibuku juga masak ketupat, opor,
trus ada kue-kue juga. Kalo sungkeman ya ikut sungkeman. Ya semuanya
dirayakan.. Nah perbedaannya ya beberapa tahun ini, setelah aku
90 menikah, ternyata gak boleh ya ikut mengucapkan selamat natal atau ikut
merayakan. Nah kalo dulu kan ikut mengantar aneka kue natal, dan
ternyata kan gak boleh, jadi ya... sekarang tidak mengucapkan dan tidak
ikut merayakan atau membantu merayakan... gitu...
P Memang sejak kecil sudah disuruh memilih agama sendiri ya?
100 S Hm... jadi kata ayahku, dulu sebelum menikah tu ada kesepakatan bahwa A3
tidak boleh ngusik-ngusik agama, masing-masing tidak boleh menyuruh A7
pindah, bapak gak boleh menyuruh ibu pindah, ibu juga gak boleh nyuruh A8
bapak pindah, tapi kata bapak sih dulunya anak-anak disuruh Islam semua,
tetapi Mbakku gak mau, jadinya ya ia tetap Katholik.
105 P Diberi kebebasan memilih itu sejak kecil ya?
S Iya, jadi memang disuruh memilihnya sejak kecil, kalo gak mau ya gak A3
dipaksa. Kayak Mbakku yang gak mau Islam ya gak dipaksa. Ya kalo udah A4
jawab, ya gak diganggu gugat. Tapi ya tetep diajak. Sampai sekarang juga A5
tetep diajak... tapi hm... kayaknya mulai tidak diajak lagi tu sejak aku pake A9
110 jilbab gedhe, sekitar tahun 2009 apa ya...
16

P Lalu bagaimana pendapatmu tentang pengasuhan bapak dan ibumu tentang


penanaman nilai agama? terutama... waktu kecil...
S Waktu kecil ya sangat kurang. Misalnya mau salat ya terserah, gak salat juga A3
gak pa-pa. Soalnya pemahaman agamanya bapak dan ibuku ya gak gitu A7
115 dalam. Kalo dulu ya biasa aja pelaksanaan nilai-nilai agamanya. A8
P Kalau sekarang bagaimana?
S Kalo aku sih sekarang malah inginnya menarik semua ke dalam agama yang A4
sama. Penginnya satu agama semuanya. Misalnya saat lebaran, kalo disini tu A5
sepi banget, gak ada keluarga yang berkunjung. Sekarang kan biasanya aku
120 lebaran di Blitar, tempat suami yang semua keluarganya Islam, ya beda
rasanya, semuanya berkunjung, kalo disini kan ada yang puasa ada yang
makan seperti biasa, jadinya saat lebaran itu kurang berkesan. Nah, biasanya
setelah lewat hari lebaran baru balik ke Jogja. Rasanya kan beda ya kalo kita
puasa bareng trus ibadah bareng.
125 P Hm.. jadi rasanya ada yang kurang ya, saat ada perayaan agama, tetapi
anggota keluarga yang lain tidak ikut merayakannya atau tidak ikut
melakukan ibadah yang sama. Dan perbedaan agama itu sangat terasa saat
bulan Ramadhan, atau saat hari-hari biasa juga terasa?
S Ya, hari-hari biasa ya juga terasa. Misalnya kalo aku di rumah dengan anak- A4
130 anak dan suami, biasanya kan Mas pergi salat di masjid, trus nanti
pulangnya ngaji bersama... ah.. rasanya indah sekali, kebersamaannya dan
suasananya indah sekali.. itu gak ada di Jogja. Rasanya jadi sedih... ya sedih
karena berbeda rasanya. Memang sih diingatkan sudah salat belum, tapi kan
tetep beda rasanya.
135 P Hm... jadi lebih banyak terasa sedihnya. Kalo konflik dalam beribadah atau
larangan untuk beribadah gak ada ya, tapi lebih merasa sedih karena tidak
bisa beribadah bersama-sama. Trus bagaimana caramu selama ini untuk
menghadapi atau menyelesaikannya?
S Iya, karena memang komitmennya sejak awal seperti itu. Ya akhirnya A4
140 diterima saja. Habis mau bagaimana lagi, gak ada yang bisa dilakukan lagi A5
toh. Tapi akhir-akhir ini ibu kan ikut semacam perkumpulan yang cukup A8
mempengaruhi, karena perkumpulan itu sering menjelek-jelekkan Islam.
Jadi ibu suka bertanya yang macam-macam tentang Islam. Wong pernah
ngomong ke aku, waktu itu ada insiden di Bekasi tentang ada Romo yang
145 menjelek-jelekkan Islam lewat buku, trus ibu bilang, “itu ya katanya kalo
orang Islam itu boleh membunuh ya dan dengan alasan jihad, kamu jangan
ikut-ikut kayak gitu ya”... nah aku kan kaget kok tahu-tahu ngomong kayak
gitu. Lha apa to ini? (tertawa..) Nah.. ini pasti karena teman-temannya di
perkumpulan. Ini dapet info darimana to? Nah sekarang itu sering tiba-tiba
150 nyeletuk.
P Hm... gitu ya... trus bagaimana dirimu menanggapinya?
S Ya kalo aku biasanya trus tak ajak ngomong-baik-baik, tak jelasin yang aku A4
tahu seperti apa, aku tanya dapet info darimana. Kalo yang itu, aku jelasin A5
bahwa kalo di negara yang mayoritasnya muslim, maka darah orang non A8
155 muslim itu ditanggung oleh orang muslim, jadi tidak bisa sembarangan
menganiaya orang non muslim, nah yang kayak gitu kan tidak dipahami
oleh orang awam, mereka tahunya Islam didapat melalui pedang dan
kekerasan, padahal itu hanya oknum, Islam sendiri sebenarnya tidak
mengajarkan kekerasan. Nah yang sering terjadi perdebatan ya hal-hal
160 seperti itu. Kadang-kadang ibu nyeletuk. Atau kadang-kadang aku sendiri
yang malah penasaran dan bertanya pada ibu, misalnya tentang bahasa
roh. Ibu kan sering seperti itu. Jadi pakdhe itu kan sering ngomong kayak
itu, wah, bahasanya tidak dimengerti, nah menurut keyakinannya sih
katanya itu tingkatan iman yang tinggi karena sudah bisa berbicara
165 dengan Tuhan melalui malaikat, jadinya memakai bahasa roh. Nah aku kan
17

penasaran , jadi kutanyakan itu logikanya seperti apa, karena dalam Islam
kan ada penjelasan logikanya.
P Hm.. jadi kakaknya ibu ya yang sering memakai bahasa roh. Hanya dia yang
bisa mengerti atau ada orang lain yang bisa mengerti?
170 S Ya hanya dia yang bisa mengerti. Nah bapak kadang-kadang juga ikut- A8
ikutan. Soalnya pakdhe itu kan kalo kaget sedikit, trus bicaranya hwes
hwes hwes... gak ngerti apa itu artinya. Nah trus bapak pesan sama ibu,
untuk kasih tau pakdhe kalo dia seperti itu sebaiknya pas sendiri saja, kalo
pas di depan umumkan malu, lha aku juga cuma tertawa saja.. hehehehe.
175 Sebenernya sih temennya ibuku yang sukanya mempengaruhi. Jadi ibuku tu
punya teman yang menjadi tempat untuk bertanya segala sesuatu, jadi ibu
suka bertanya tentang ini kalau begini bagaimana kalo begitu bagaimana,
padahal ibuku kan orangnya gampang terpengaruh, terbujuk, dan terdogma.
Dan akhirnya cenderung ke takhayul, ramalan gitu.
180 Trus selama ini dirimu menanggapinya dengan mengajaknya diskusi?
Ya, biasanya ya diajak ngomong, tapi karena pada dasarnya ngeyel ya A5
ujung-ujungnya pokoknya, paling nanti bilang kalo iman itu pada dasarnya
percaya, kalo di agama Katholik kan iman itu percaya, jadi tidak ada logika
seperti itu. Misalnya Tuhan itu tiga tapi satu, satu tapi tiga. Ya intinya
185 percaya. Trus yang lainnya adalah kalo ada sesuatu trus bilangnya Tuhan
yang bicara, jadi percaya saja.
P Trus apa pendapat ayahmu tentang hal itu Na?
S Ayahku berpikiran seperti apa yang kupikirkan, jadi biasanya aku kan deket A5
dengan papa. Jadi ya suka bertanya kok seperti ini jadinya. Maksudnya dulu A7
190 kayaknya sebelum aku nikah gak kayak gini, tapi setelah aku menikah dan
tinggal dengan suami, trus pulang ke Jogja, kok sudah sampai di tingkatan
ini. Ya sudahlah, dimaklumi saja.
P Papamu cukup terbuka untuk diajak diskusi ya?
S Ya, bisa, pada dasarnya pikiranku dan papa sama, jadi nyambung kalo A5
195 diajak diskusi. Biasanya papa juga emosi kalo mama terpengaruh A7
omongannya temennya, trus biasanya ya bilang jangan bergaul sama
temennya itu. Tapi ya karena sudah ada kesepakatan sebelum nikah ya papa
gak berbuat banyak, maksudnya gak ngajak mama untuk pindah ke Islam
atau menasihati agar tidak terlalu terpengaruh.
200 P Trus dalam melaksanakan ibadah atau ajaran agamamu, apakah ada
tentangan dari mama? Hm... mungkin waktu pake jilbab.
S Ng... nggak sih, tidak ada larangan, waktu pake jilbab biasa ya boleh. Cuma A3
waktu pake jilbab besar, yang ditanyain, ngapain pake jilbab kayak gitu, tapi A5
gak usah ikut yang teroris itu lo, paling bilangnya gitu. Jangan pake yang A8
205 item lo, nanti kayak orang yang demo. Ya umumnya gak ada larangan sih,
karena sudah ada kesepakatan dari awal kalo anak diberi kebebasan.
P Rasanya berat ya kalo ada konflik dengan keluarga.
S Ya sedih kalo ada konflik. Jadi ada majalah yang namanya apa ya... lupa A3
aku. Aku kan belajar dari situ juga. Biasanya ada saran-saran kalau ada A4
210 pertanyaan tentang islam dari orang Nasrani, nah, itu ada cara-cara A5
menjawabnya. Dikasih tahu tips-tips untuk menangkisnya. Jadi sedikit-
sedikit aku tahu bagaimana menjawab pertanyaan yang ada, karena latar
belakang keluargaku kan begini, jadi musti siap-siap menjawab, ada
ilmunya. Trus ada lagi buku The Choice, isinya juga seperti itu. Itu juga
215 untuk meyakinkanku juga sih kalau aku ada di jalan yang tepat. Kalo dari
suamiku sih bilangnya gak usah baca buku kayak gitu, yang penting
mendalami agama, bisa mengamalkan, nanti kan bisa menjelaskan
berdasarkan pengalaman. Tapi kalo aku sendiri kan kalo belajarnya kan
lama, sedangkan sudah ditanyain kayak gitu, jadi ya musti punya ilmunya.
220 P Lalu, bagaimana dengan ayahmu? Apakah ada usahamu untuk
18

mempengaruhi ayahmu agar bisa beribadah dengan lebih baik?


S Kalau sekarang sih sudah lebih baik ya, maksudnya, salatnya juga mulai A3
rajin, kalau dulu kan nggak. Seingatku waktu aku SMP SMA tu salat idul A4
Fitri itu ya sendiri. Aku jalan sendiri ke masjid untuk salat Idul Fitri, masku A5
225 dan bapakku nggak salat. Ya yang sekarang masih parah tu ya masku, masih A9
belum salat lima waktu. Dan ayahku juga takut untuk menekan
menyuruhnya beribadah karena takut masku tidak suka ditekan untuk salat
trus malah pindah ke Katolik. Aku kan pernah nanya, bukankah kalo
anaknya baik dan taat beragama, orangtuanya juga akan diberi pahala? Kalo
230 seorang pemimpin kan ditanyai tentang yang dipimpinnya, jadi orangtua
akan ditanya tentang anaknya. Trus bagaimana jawabnya? Kata bapak, ya
nanti tambah runyam kalo bapak menekan dan mas jadi tidak suka. Mbakku
juga gitu kok. Tidak ada tekanan untuk ke gereja, dari mama ya membiarkan
saja, tidak menyuruh ke gereja atau bagaimana. Nah baru setelah menikah
235 ini, ia kan mendapat suami yang cukup rajin ke gereja, jadinya ya rajin ke
gereja sekarang, kalo dulu sih gak gitu rajin, ya ogah-ogahan kalo disuruh
ikut perkumpulan. Jadi itukan seperti menjaga biar tidak ada konflik ya.
Kalo ada konflik karena agama kan membuat hubungan menjadi retak, jadi
ya usahanya konfliknya ditekan sedalam-dalamnya agar tidak keluar dan
240 menjadi masalah. Jadi misalnya ada ketidakpuasan ya ditekan. Jadi bukan
karena demokratis atau bagaimana, jadi memang sengaja ditekan, agar tidak
timbul masalah, gak usah dibahas kalo masalah itu, lebih baik membahas
masalah yang lain, misalnya ekonomi atau yang lain. Jadi masalah agama
dalam keluarga itu direpres, ditekan..
245 P Hm... begitu ya ternyata. Maksudnya masing-masing keluarga memiliki
masalah yang berbeda dan penanganan yang berbeda ya.
S Ya gitu... masalah itu pasti ada, tapi ya diterima saja. Pasrah aja. Mau A5
ngapain lagi, wong sudah berbeda. Kalo dulu ya aku repres, soalnya dulu
aku gak tau banyak ilmu agama, Islamnya juga masih awam, kalo
250 membantah ya cuma mbantah aja tapi tidak tau dasarnya. Paling ya nangis,
trus nanti lupa masalahnya apa. Ya agak hopeless karena belum tau ilmunya.
Kalo sekarang ya lumayanlah sudah tau arahnya.
P Jadi, ada rasanya hopeless juga ya..
S Ya, kalo dulu gak tahu musti ngapain. Kalo sekarang aku punya harapan A5
255 baru. Kalo dulu kan gak bisa ngapa-ngapain. Mendoakan saja gak boleh,
trus bagaimana ibu dan kakakku. Ya Allah bagaimana ini, masak ibu yang
membesarkanku, menyayangiku, besok masuk neraka. Kalo dalam Islam
kan memang tidak boleh mendoakan orang yang bukan muslim, maksudnya
doa untuk orangtua pun tidak boleh. Aduh rasanya sedih sekali. Bagaimana
260 ini. Nabi Muhammad sendiri kan juga tidak boleh to mendoakan ayah dan
ibunya juga kakeknya yang bukan muslim. Tapi sekarang aku jadi tahu,
bahwa aku bisa mendoakan ibu dan mbakku agar mereka mendapat hidayah.
Jadi ya itu yang kulakukan sekarang, maksudku usahaku baru mendoakan
mereka agar mendapat hidayah untuk beragama Islam. Karena berdoa untuk
265 yang lain, misalnya diberi rahmat dan sebagainya kan gak boleh. Sejauh ini
itu, belum ada usaha yang lain.
P Lalu sejauh ini, bagaimana pandanganmu tentang pernikahan beda agama?
Menurut agamamu mungkin, atau bisa pendapatmu pribadi...
S Ya menurutku itu akan sulit sekali, jadi lebih baik jangan dilakukan. Kalo A6
270 menurut Islam kan itu memang boleh ya, maksudnya antara laki-laki Islam A4
dengan wanita non muslim, karena kan harapannya si laki-laki dapat A5
mengajak si perempuan pada kebaikan, karena laki-laki itu kan pemimpin,
tetapi itu kan sulit ya pada kenyataannya. Misalnya kayak bapakku ini, dia
kan gak bisa berbuat apa-apa untuk mengajak ibuku pindah ke Islam, karena
275 sudah kesepakatan sejak awal sebelum menikah untuk tidak mengusik
19

masalah agama. Nah yang gak boleh kan malah yang kayak gitu.. yang gak
boleh kan kalo masing-masing tetap pada agamanya dan tidak saling
mengajak pada kebaikan.. itu kan berarti pernikahannya tidak sah ya
menurut islam, berarti kan aku anak haram, trus bagaimana ya ini, kalo
280 mbiyen ya sempat nangis-nangis... tapi lama-lama aku berpikir aku kan gak
bisa mengubah takdir, karena menurutku walaupun pernikahannya tidak sah
tapi kan setiap bayi lahir adalah fitrah, suci, jadi ya sudah, aku Cuma bisa
pasrah, nerima saja, gak bisa ngapa-ngapain, wis diterima saja, menjalani
takdir... aku juga gak berani ngomong sama bapak kalo berarti aku anak
285 haram dong, aku gak berani...
P Hm... berarti itu tahunya atau pahamnya waktu SMA atau...
S Hm... itu waktu kuliah...
P Kalau dulu pernah terbersit kekhawatiran bahwa ketika teman-temanmu
tahu keadaanmu, mereka akan menjauhimu?
290 S Ya gak tuh... karena teman-temanku kan gak begitu religius, mereka ya tahu, A4
tapi ya biasa saja. Jadi aku ya gak khawatir... Ya.. intinya ya diterima saja, A5
berdamai dengan takdir, yang bisa kulakukan ya mendoakan agar diberi
hidayah, trus kalau ada pertanyaan yang nylekit ya bisa aku luruskan dan
bisa aku jawab...
295 P Baiklah Na, terimakasih atas kesempatannya. Kalau masih ada informasi
yang belum lengkap, mungkin bisa kita lanjutkan lain waktu.
S Ya... sama-sama...
20

C. TEMUAN DATA PADA RESPONDEN


No Aspek Keterangan
1. Usia saat pertama Waktu ditanya oleh guru SD
kali sadar
perbedaan agama
2. Kondisi dan Sedih, tidak ada kebersamaan saat lebaran
perasaan subjek Rasanya lebih indah kalo bisa beribadah sama-sama
dengan adanya Walopun diingatkan untuk salat, tapi tetap rasanya
perbedaan agama beda
dalam keluarga Inginnya agamanya satu saja
3. Proses memilih Diberi kesempatan untuk memilih agama sendiri (saat
suatu agama kecil)
Mas beragama Islam, Mbak beragama Katholik
Hingga sebelum menikah sering diajak ibu ke gereja;
diajak ikut kebaktian; menghias pohon Natal
Merayakan lebaran; mengucapkan selamat Natal
Orangtua tidak mengajarkan cara beribadah, hanya
mengajarkan untuk saling menghormati
Diajari kakek dan nenek (dari pihak bapak) untuk salat
dan ngaji
Senang ikut nenek tarawih
Diberi uang jajan oleh bapak kalo puasa ramadhan
Ibu sering bertanya dan nyeletuk tentang ajaran Islam,
jadi muncul rasa ingin tahu agar bisa menjawab
pertanyaan ibu
Muncul rasa ingin tahu tentang ajaan agama Katholik
Saat SMA, belajar agama lewat teman, pengajian,
rohis, dan membaca buku
Kuliah memakai jilbab
Menikah dengan laki-laki Islam
Setelah menikah, ikut pengajian, semakin rajin
membaca buku tentang Islam, dan memakai jilbab
besar
Mendoakan ibu dan Mbak agar mendapat hidayah
Membaca buku tentang tips menjawab pertanyaan dari
orang Nasrani tentang Islam
4. Konflik nilai yang Ingin semua anggota keluarga beragama Islam
dihadapi Ingin bapak dan Mas menjalankan ajaran Islam
dengan baik
Ingin bapak agar mengajak ibu pindah ke agama Islam
Merasa sedih saat merayakan lebaran di Jogja
Merasakan kebersamaan yang indah jika semua
anggota keluarga beribadah bersama dan merayakan
hari raya bersama
21

Tidak mau mengucapkan selamat Natal pada ibu dan


Mbak
Kadang kaget jika ibu bertanya tentang isu-isu yang
menyudutkan Islam
Sebelum memakai jilbab besar masih merasa ibu
berusaha untuk mengajak pindah agama
5. Strategi coping Saat SMA hanya menangis jika ada pertanyaan
yang digunakan tentang agama yang tidak bisa dijawab
Saat kuliah, hanya menangis ketika tahu anak dari
perkawinan beda agama adalah anak haram
Saat SMA, berusaha membaca buku dan mengajak ibu
berdebat tentang masalah agama
Jika putus asa, tidak punya jawaban, cuma bisa pasrah
menerima takdir
Menghibur diri bahwa semua anak terlahir fitrah
Merepres dan menekan jika ada masalah yang tidak
bisa diselesaikan
Berusaha diam saja dan tidak membahas masalah
agama di tengah-tengah keluarga
Setelah menikah, ikut pengajian rutin, rajin membaca
buku dan majalah Islam
6. Pemahaman Dalam Islam, diperbolehkan dengan tujuan suami
tentang perkawinan diharapkan bisa mengajak istri pindah ke Islam
beda agama Suami adalah pemimpin, harus lebih dalam ilmu
agamanya
Perkawinan beda agama banyak masalahnya, lebih
baik menikah dengan yang seagama saja
Dalam keluarga, seharusnya anak diajari untuk
beribadah
Pengasuhan demokratis yang membebaskan anak
untuk memilih tetap bukan jalan terbaik, yang terbaik
adalah anak diberi kebebasan tetapi juga diajari nilai-
nilai agama
7. Hubungan dan Pemahaman agama yang dimiliki bapak masih kurang
penilaian terhadap Saat ini pemahaman agama bapak sudah lebih baik
ayah Bapak jarang salat dan menjalankan ibadah yang lain
Tidak begitu dekat dengan bapak
Bapak tidak berperan apa-apa dalam penanaman nilai
agama
Ingin bapak lebih rajin salat
Ingin bapak menasihati Mas agar mau salat
Ingin bapak mengajak ibu pindah agama
8. Hubungan dan Ibu lebih religious daripada bapak
penilaian terhadap Ibu sering mengajak ke gereja, mengajak berdebat
ibu tentang agama, bertanya atau nyeletuk tentang isu-isu
22

yang menyudutkan Islam


Ibu tidak memaksa Mbak ke gereja atau mengajari
Mbak beribadah lebih rajin
Ibu terlalu percaya pada perkataan teman dan mudah
terpengaruh dengan ucapan teman
Keluarga ibu sangat fanatic sehingga ibu juga
terpengaruh menjadi fanatic
Ibu percaya pada bahasa roh dan hal-hal takhyul
lainnya
Ingin mendoakan ibu agar mendapat hidayah
Ingin agar ibu pindah agama Islam
Sayang pada ibu, tetapi tidak dekat dengan ibu
9. Hubungan dan Ingin mengingatkan mas agar salat dan mengajaknya
penilaian terhadap diskusi agar menjalankan ibadah dalam Islam
saudara Ingin mendoakan Mbak agar mendapat hidayah agar
masuk Islam
Tidak dekat dengan mas maupun mbak

Вам также может понравиться