Вы находитесь на странице: 1из 17

2.

1 Konsep Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2015). Handaya (2016) juga
mendefinisikan Diabetes Melitus sebagai penyakit kronis yang disebabkan oleh
tingginya kadar gula darah, yang disertai dengan adanya kelainan metabolik.
Normalnya, gula darah dikontrol oleh insulin, suatu hormon yang dihasilkan oleh
pankreas, yang memungkinkan sel untuk menyerap gula di dalam darah. Akan
tetapi, pada diabetes terjadi defisiensi insulin yang disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin dan hambatan kerja insulin pada reseptornya. Pada Diabetes Melitus
tipe II, pankreas masih dapat membuat insulin, tetapi kualitas insulin yang
dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk
memasukkan glukosa ke dalam sel yang dapat menyebabkan glukosa dalam
darah meningkat (Tandra, 2013:7). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Diabetes
Melitus merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah (hiperglikemia) dan disebabkan oleh adanya resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, atau kedua-duanya.

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association


(ADA 2010:11) meliputi empat kelas klinis :

1. DM Tipe 1 (IDDM)
Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas
(kelenjar ludah perut) karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan
produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita memerlukan
tambahan insulin dari luar (DepKes RI, 2008:8).
2. DM Tipe 2 (NIDDM)
Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
fungsi insulin (resistensi insulin) (DepKes RI, 2008:8).
3. DM Tipe lain
Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati,
karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom
penyakit lain yang berkaitan dengan DM (DepKes RI, 2008:8).
4. DM Tipe Gestasional
Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil.
Biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah
melahirkan kadar gula darah kembali normal (DepKes RI, 2008:8).

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus secara umum disebabkan oleh defisiensi insulin akibat


adanya kerusakan pada sel beta pankreas dan gangguan hormonal (Mansjoer dkk.,
2005 dalam Yuanita, 2013:13). DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh gangguan resistensi insulin dan sekresi insulin.
Resistensi insulin terjadi karena reseptor yang berikatan dengan insulin tidak
sensitif sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan insulin dalam
merangsang pengambilan glukosa dan menghambat produksi glukosa oleh sel hati.
Gangguan sekresi insulin terjadi karena sel beta pankreas tidak mampu
mensekresikan insulin sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011; Smeltzer &
Bare, 2001).

2.1.4 Patofisiologi DM tipe 2


Pada DM Tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya, insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada DM Tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi 4resistensi
insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. DM Tipe 2 paling sering terjadi pada
penderita DM yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Obesitas
merupakan faktor utama penyebab timbulnya DM Tipe 2. Pada keadaan
kegemukan respons sel beta pankreas terhadap peningkatan gula darah sering
berkurang. Selain itu reseptor insulin pada target sel di seluruh tubuh termasuk
otot berkurang jumlah dan keaktifannya (kurang sensitif) sehingga keberadaan
insulin di dalam darah kurang atau tidak dapat di manfaatkan (Ernawati, 2013:13).

2.1.5 Manifestasi Klinis DM tipe 2

Diagnosis DM tipe 2 awalnya ditunjukkan dengan adanya gejala khas


berupa polifagia, poliuria, polidipsia (Kariadi, 2009:36). Gejala lain yang
mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi pada
pria, dan pruritus vulva pada wanita (Mansjoer dkk., 2005:89). Berdasarkan studi
kohort yang dilakukan oleh Sudore et.al., (2012 dalam Park, et.al.), hampir
setengah pasien DM tipe 2 dewasa (total 13.171 responden) melaporkan telah
merasakan gejala selain gejala khas DM yang berupa kelelahan, depresi,
dyspnea, insomnia, emosi yang tidak stabil, dan nyeri. Pasien berusia lebih dari 60
tahun mengeluh sering merasakan nyeri dan dyspnea (physical symptoms),
sedangkan pasien berusia kurang dari 60 tahun mengeluh sering kelelahan, insomnia,
dan depresi (psychosocial symptoms).

2.1.6 Diagnosis DM tipe 2


Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa
darah dan tidak dapat ditegakkan dengan adanya glukosuria (PERKENI,
2015:11). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti di bawah ini :

1. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita

Menurut PERKENI (2015:11), diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui empat


cara, yaitu:

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).

Catatan :

Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,


sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan
fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (PERKENI,
2015:11).

a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa


plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam < 140 mg/dl.
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100 mg/dl.
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT Diagnosis prediabetes dapat
juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan
angka 5,7-6,4%.

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes


Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu:

1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok rasa tau etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4
kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional.
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
3. Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan
tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring
dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk
patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan
hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel 2.2 di bawah ini.

2.1.7 Pencegahan Diabetes Melitus

Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier, meliputi


(PERKENI, 2011:48):

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan pada
kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belum
mengalami DM namun berpotensi untuk mengalami DM karena memiliki
faktor resiko sebagai berikut:
a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi:
1) Ras dan etnik. African Americans, Mexican Americans, American
Indians, Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko tinggi
mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya kadar
glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik tersebut
(Shai et.al., 2006:1585).
2) Jenis kelamin. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Wexler
et.al. (2005:514), pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita. Wanita
yang mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami DM daripada
wanita yang belum menopause;
3) Riwayat keluarga dengan DM. Seseorang yang memiliki riwayat
keluarga dengan DM akan lebih beresiko mengalami DM daripada
seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM (Arslanian
et.al., 2005:115); dan
4) Usia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meneilly &
Elahi (2005:1498), resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia.
b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi:
1) Obesitas (IMT > 23 kg/m2). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Shai et.al. (2006:1585), seseorang yang obesitas akan
mengalami resiko DM lebih tinggi daripada seseorang yang tidak
obesitas. Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak
dapat menurunkan sensitivitas insulin;
2) Kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Morato et.al. (2007:203), seseorang yang kurang bergerak atau
sedikit melakukan aktivitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal
tersebut dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan sensitivitas
insulin terhadap reseptor;
3) Hipertensi (> 140/90 mmHg). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Eyre et.al. (2004:198), hipertensi menjadi salah satu
faktor resiko DM karena hipertensi dapat meningkatkan kejadian
aterosklerosis yang berdampak pada penurunan fungsi sel beta pankreas
dalam memproduksi insulin;
4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).
Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM karena dyslipidemia
merupakan indikator meningkatnya jaringan adiposa yang berdampak pada
penurunan sensitivitas insulin (Eyre et.al., 2004:190); dan

5) Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan resiko mengalami DM.
c. Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes :
1) Pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan
endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering dikaitkan
dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan lemak yang
berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan penurunan
sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan kadar glukosa
darah (PERKENI, 2011:49).
2) Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya; dan pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular,
seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien yang
memiliki riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami
DM karena kondisi pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan
menyebabkan ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh. Tindakan
penyuluhan dan pengelolaan pada kelompok masyarakat yang mempunyai
resiko tinggi merupakan salah satu aspek penting dalam pencegahan primer.
Materi penyuluhan yang dapat diberikan meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan merokok (PERKENI,
2011:49).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah
timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan
tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM. Program
penyuluhan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan sekunder
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan
dan menuju perilaku sehat (PERKENI, 2011:53).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah
kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami komplikasi.Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan
berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan keluarganya
memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier. Penyuluhan
dapat dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya rehabilitasi yang
dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut. Pencegahan tersier
memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga
medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan
ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,
podiatris, dan lain sebagainya) sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011:53).

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk meningkatkan


kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari penatalaksanaan
jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan
jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe 2,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat
progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati diabetik.
Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas DM tipe 2 (PERKENI, 2011:11). Pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid perlu dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Mansjoer dkk, 2005).

Menurut PERKENI (2015:17), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu


edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
1. Edukasi
Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan

DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku


pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi
kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis,
budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi
mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap yang
meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan
selfcare(Funnell et.al., 2009:87).

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan
DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang
sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin
(PERKENI, 2015:20).

3. Latihan jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasardalam
pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara
terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur,
gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan ringan
ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu.
Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat
badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan
status kesegaran jasmani. Pasien DM tipe 2 yang relatif sehat dapat
meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang
mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI,
2015:27).

4. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM


tipe Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk
suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan
agonis GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara
kerjanya, obat hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu
pemicu sekresi insulin (misalnya sulfonilurea dan glinid), peningkat
sensitivitas terhadap insulin (misalnya metformin dan tiazolidindion),
penghambat gluconeogenesis (misalnya metformin), penghambat absorpsi
glukosa (misalnya penghambat glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor
(PERKENI, 2015:27).

2.1.9 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi yang muncul akibat penyakit DM antara lain (Mansjoer dkk.,2005;


Smeltzer & Bare, 2001):

1. Akut, meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis, dan koma Hiperglikemic


Hiperosmolar Non ketotic (HHNK). Koma hipoglikemia terjadi akibat
terapi insulin secara terus-menerus, ketoasidosis terjadi akibat proses pemecahan
lemak secara terus-menerus yang menghasilkan produk sampingan berupa benda
keton yang bersifat toksik bagi otak, sedangkan koma HHNK terjadi akibat
hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang menyebabkan hilangnya cairan dan
elektrolit sehingga terjadi perubahan tingkat kesadaran; dan
2. Kronik, meliputi makrovaskuler (mengenai pembuluh darah besar seperti
pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak),
mikrovaskuler (mengenai pembuluh darah kecil : retinopati diabetik,
nefropati diabetik), neuropati diabetik, rentan infeksi, dan kaki diabetik.
Komplikasi tersering dan paling penting adalah neuropati perifer yang
berupa hilangnya sensasi distal dan berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
diabetik dan amputasi.
2.2 Dehidrasi
2.2.1 Definisi

Dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena
hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi
keduanya. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada
jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya
elektrolit. Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif cairan tubuh akibat
penurunan asupan cairan dan meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat
ginjal, saluran cerna atau insensible water loss/IWL), atau karena adanya
perpindahan cairan dalam tubuh. Berkurangnya volume total cairan tubuh
menyebabkan penurunan volume cairan intrasel dan ekstrasel. Manifestasi
klinis dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi volume cairan intravaskuler.
Proses dehidrasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan syok hipovolemia
yang akan menyebabkan gagal organ dan kematian.
2.2.2 Penyebab
Mencari penyebab dehidrasi merupakan hal penting. Asupan cairan yang
buruk, cairan keluar berlebihan, peningkatan insensible water loss (IWL), atau
kombinasi hal tersebut dapat menjadi penyebab deplesi volume intravaskuler.
Keberhasilan terapi membutuhkan identifi kasi penyakit yang mendasari
kondisi dehidrasi. Beberapa faktor patologis penyebab dehidrasi yang sering:
a. Gastroenteritis
Diare adalah etiologi paling sering. Pada diare yang disertai muntah,
dehidrasi akan semakin progresif. Dehidrasi karena diare menjadi
penyebab utama kematian bayi dan anak di dunia.
b. Stomatitis dan faringitis
Rasa nyeri mulut dan tenggorokan dapat membatasi asupan makanan dan
minuman lewat mulut.
c. Ketoasidosis diabetes (KAD)
KAD disebabkan karena adanya diuresis osmotik. Berat badan turun
akibat kehilangan cairan dan katabolisme jaringan.
d. Demam
Demam dapat meningkatkan IWL dan menurunkan nafsu makan. Selain
hal di atas, dehidrasi juga dapat dicetuskan oleh kondisi heat stroke,
tirotoksikosis, obstruksi saluran cerna, fibrosis sistik, diabetes insipidus,
dan luka bakar.

2.2.3 Tipe Dehidrasi


Kehilangan cairan tubuh biasanya disertai gangguan keseimbangan elektrolit.
Dehidrasi dapat dikategorikan berdasarkan osmolaritas dan derajat keparahannya.
Kadar natrium serum merupakan penanda osmolaritas yang baik selama kadar gula
darah normal. Berdasarkan perbandingan jumlah natrium dengan jumlah air yang
hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu dehidrasi isotonik, dehidrasi
hipertonik, dan dehidrasi hipotonik. Variasi kadar natrium mencerminkan jumlah
cairan yang hilang dan memiliki efek patofisiologi berbeda.
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipe ini merupakan yang paling sering
(80%). Pada dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding dengan jumlah
natrium yang hilang, dan biasanya tidak mengakibatkan cairan ekstrasel
berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar natrium dalam darah pada
dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan osmolaritas efektif serum 275-295
mOsm/L.
2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik). Natrium hilang yang lebih banyak
daripada air. Penderita dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar
natrium serum (kurang dari 135 mmol/L) dan osmolalitas efektif serum
(kurang dari 270 mOsml/L). Karena kadar natrium rendah, cairan
intravaskuler berpindah ke ruang ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi
cairan intravaskuler. Hiponatremia berat dapat memicu kejang hebat;
sedangkan koreksi cepat hiponatremia kronik (2 mEq/L/jam) terkait dengan
kejadian mielinolisis pontin sentral.
3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik). Hilangnya air lebih banyak daripada
natrium, Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum
(lebih dari 145 mmol/L) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari
295 mOsm/L). Karena kadar natrium serum tinggi, terjadi pergeseran air dari
ruang ekstravaskuler keruang intravaskuler untuk mengkompensasi, sel akan
merangsang partikel aktif (idiogenikosmol) yang akan menarik air kembali ke
sel dan mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat terjadi rehidrasi cepat
untuk mengoreksi kondisi hipernatremia, peningkatan aktivitas osmotik sel
tersebut akan menyebabkan influks cairan berlebihan yang dapat
menyebabkan pembengkakan dan ruptur sel edema serebral adalah
konsekuensi yang paling fatal. Rehidrasi secara perlahan dalam lebih dari 48
jam dapat meminimalkan risiko ini.
2.2.4 Penatalaksanaan
Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti cairan
yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat dehidrasi, penanganan
juga ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas pasien. Terapi farmakologis
dengan loperamide, antikolinergik, bismuth subsalicylate, dan adsorben, tidak
direkomendasikan terutama pada anak, karena selain dipertanyakan efektivitasnya,
juga berpotensi menimbulkan berbagai efek samping. Pada dehidrasi karena muntah
hebat, ondansetron efektif membantu asupan cairan melalui oral dan mengatasi
kedaruratan.
Pemberian makan segera saat asupan oral memungkinkan pada anak-anak
yang dehidrasi karena diare, dapat mempersingkat durasi diare. Susu tidak perlu
diencerkan, pemberian ASI jangan dihentikan disarankan memberikan makanan
tergolong karbohidrat kompleks, buah, sayur dan daging rendah lemak. Makanan
berlemak dan jenis karbohidrat simpel sebaiknya dihindari. WHO sejak tahun 2004
juga telah menambahkan zinc dalam panduan terapi diare pada anak. Banyak cairan
tidak cocok digunakan sebagai cairan pengganti, misalnya jus apel, susu, air jahe, dan
air kaldu ayam karena mengandung glukosa terlalu tinggi dan atau rendah natrium.
Cairan pengganti yang tidak tepat akan menciptakan diare osmotik, sehingga
akan makin memperburuk kondisi dehidrasinya adanya muntah bukan merupakan
kontraindikasi pemberian ORS, kecuali jika ada obstruksi usus, ileus, atau kondisi
abdomen akut, maka rehidrasi secara intravena menjadi alternatif pilihan. Defisit
cairan harus segera dikoreksi dalam 4 jam dan ORS harus diberikan dalam jumlah
sedikit tetapi sering, untuk meminimalkan distensi lambung dan refleks muntah.
Secara umum, pemberian ORS sejumlah 5 mL setiap menit dapat ditoleransi dengan
baik. Jika muntah tetap terjadi, ORS dengan NGT (nasogastric tube) atau NaCl 0,9%
20-30 mL/kgBB selama 1-2 jam dapat diberikan untuk mencapai kondisi rehidrasi.
Saat pasien telah dapat minum atau makan, asupan oral dapat segera diberikan.
a. Dehidrasi derajat berat
Pada dehidrasi berat dibutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi rehidrasi
intravena, Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani dengan baik.
Penanganan kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap:
Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitu syok
hipovolemia yang membutuhkan penanganan cepat. Pada tahap ini dapat
diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti ringer lactate (RL) atau NaCl 0,9%
sebesar 20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskuler dapat dilihat dari perbaikan
takikardi, denyut nadi, produksi urin, dan status mental pasien. Apabila
perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan dengan kecepatan hingga 60
mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus dipikirkan (misalnya anafi laksis,
sepsis, syok kardiogenik). Pengawasan hemodinamik dan golongan inotropik
dapat diindikasikan.
Tahap Kedua berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan
dan penggantian kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan
pemeliharaan diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL.
Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas permukaan tubuh dan dapat
meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar kebutuhan cairan
berdasarkan berat badan adalah:
a) Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
b) Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat
badan diatas 10 kg
c) Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kilogram berat
badan diatas 20 kg
b. Dehidrasi isotonik
Pada kondisi isonatremia, defisit natrium secara umum dapat dikoreksi
dengan mengganti defi sit cairan ditambah dengan cairan pemeliharaan dextrose
5% dalam NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium klorida) dapat
ditambahkan ke dalam cairan pemeliharaan saat produksi urin membaik dan
kadar kalium serum berada dalam rentang aman.
c. Dehidrasi hipotonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% atau RL
20 mL/ kgBB sampai perfusi jaringan tercapai. Pada hiponatremia derajat berat
(<130 mEq/L) harus dipertimbangkan penambahan natrium dalam cairan
rehidrasi. Koreksi defi sit natrium melalui perhitungan = (Target natrium -
jumlah natrium saat tersebut) x volume distribusi x berat badan (kg). Cara yang
cukup mudah adalah memberikan dextrose 5% dalam NaCl 0,9% sebagai cairan
pengganti. Kadar natrium harus dipantau dan jumlahnya dalam cairan
disesuaikan untuk mempertahankan proses koreksi perlahan (<0,5 mEq/L/jam).
Koreksi kondisi hiponatremia secara cepat sebaiknya dihindari untuk mencegah
mielinolisis pontin (kerusakan selubung mielin), sebaliknya koreksi cepat secara
parsial menggunakan larutan NaCl hipertonik (3%; 0,5 mEq/L).
d. Dehidrasi hipertonik
Pada tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% 20
mL/kgBB atau RL sampai perfusi jaringan tercapai. Pada tahap kedua, tujuan
utama adalah memulihkan volume intravaskuler dan mengembalikan kadar
natrium serum sesuai rekomendasi, akan tetapi jangan melebihi 10 mEg/L/24 jam.
Koreksi dehidrasi hipernatremia terlalu cepat dapat memiliki konsekuensi
neurologis, termasuk edema serebral dan kematian. Pemberian cairan harus secara
perlahan dalam lebih dari 48 jam menggunakan dextrose 5% dalam NaCl 0,9%.
Apabila pemberian telah diturunkan hingga kurang dari 0,5 mEq/L/jam, jumlah
natrium dalam cairan rehidrasi juga dikurangi, sehingga koreksi hipernatremia
dapat berlangsung secara perlahan.

Вам также может понравиться

  • Tugas Resume Individu
    Tugas Resume Individu
    Документ4 страницы
    Tugas Resume Individu
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Bab 1
    Bab 1
    Документ2 страницы
    Bab 1
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Mufhida Paraningtyas
    Mufhida Paraningtyas
    Документ189 страниц
    Mufhida Paraningtyas
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Bunuh Diri
    Bunuh Diri
    Документ5 страниц
    Bunuh Diri
    Nurul Fahmi Rizka Laily
    Оценок пока нет
  • Tugas Resume Individu
    Tugas Resume Individu
    Документ12 страниц
    Tugas Resume Individu
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ4 страницы
    Bab I
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • 10 Transplantasi Ginjal Kelompok10
    10 Transplantasi Ginjal Kelompok10
    Документ21 страница
    10 Transplantasi Ginjal Kelompok10
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Makalah Kegawat Daruratan
    Makalah Kegawat Daruratan
    Документ32 страницы
    Makalah Kegawat Daruratan
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Bab 1 Done
    Bab 1 Done
    Документ3 страницы
    Bab 1 Done
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Документ3 страницы
    Daftar Isi
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Tugas Resume Individu
    Tugas Resume Individu
    Документ4 страницы
    Tugas Resume Individu
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • SAP Pijat Bayi
    SAP Pijat Bayi
    Документ8 страниц
    SAP Pijat Bayi
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Makalah Kegawat Daruratan
    Makalah Kegawat Daruratan
    Документ9 страниц
    Makalah Kegawat Daruratan
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Документ3 страницы
    Daftar Isi
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Makalah Integumen Dehidrasi
    Makalah Integumen Dehidrasi
    Документ12 страниц
    Makalah Integumen Dehidrasi
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Manusia Adalah Organisme Heterotrof Di Bumi
    Manusia Adalah Organisme Heterotrof Di Bumi
    Документ2 страницы
    Manusia Adalah Organisme Heterotrof Di Bumi
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Cover Luar Dalam (1) Beri
    Cover Luar Dalam (1) Beri
    Документ2 страницы
    Cover Luar Dalam (1) Beri
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Laporan Pendahuluan Isk
    Laporan Pendahuluan Isk
    Документ9 страниц
    Laporan Pendahuluan Isk
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Ekologi Manusia
    Ekologi Manusia
    Документ9 страниц
    Ekologi Manusia
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Definisi Ilmu Ekonomi
    Definisi Ilmu Ekonomi
    Документ4 страницы
    Definisi Ilmu Ekonomi
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Askep Hbo
    Askep Hbo
    Документ22 страницы
    Askep Hbo
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Satuan Acara Penyuluhan
    Satuan Acara Penyuluhan
    Документ7 страниц
    Satuan Acara Penyuluhan
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Satuan Acara Penyuluhan
    Satuan Acara Penyuluhan
    Документ7 страниц
    Satuan Acara Penyuluhan
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • BAB I Sda Dan Lingkungan, Kependudukan Dan Lingkungan Hidup.
    BAB I Sda Dan Lingkungan, Kependudukan Dan Lingkungan Hidup.
    Документ15 страниц
    BAB I Sda Dan Lingkungan, Kependudukan Dan Lingkungan Hidup.
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Sap Enema
    Sap Enema
    Документ10 страниц
    Sap Enema
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • SAP Diare Pada Anak
    SAP Diare Pada Anak
    Документ6 страниц
    SAP Diare Pada Anak
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Kel 4-Review Jurnal Multiple Sklerosis
    Kel 4-Review Jurnal Multiple Sklerosis
    Документ5 страниц
    Kel 4-Review Jurnal Multiple Sklerosis
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • KOMUNIKASI
    KOMUNIKASI
    Документ10 страниц
    KOMUNIKASI
    berianata ayu p
    Оценок пока нет
  • Multipel Kecerdasan (7 Kecerdasan)
    Multipel Kecerdasan (7 Kecerdasan)
    Документ10 страниц
    Multipel Kecerdasan (7 Kecerdasan)
    Rinda
    Оценок пока нет