Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1. DM Tipe 1 (IDDM)
Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas
(kelenjar ludah perut) karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan
produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita memerlukan
tambahan insulin dari luar (DepKes RI, 2008:8).
2. DM Tipe 2 (NIDDM)
Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
fungsi insulin (resistensi insulin) (DepKes RI, 2008:8).
3. DM Tipe lain
Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati,
karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom
penyakit lain yang berkaitan dengan DM (DepKes RI, 2008:8).
4. DM Tipe Gestasional
Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil.
Biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah
melahirkan kadar gula darah kembali normal (DepKes RI, 2008:8).
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).
Catatan :
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23
kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok rasa tau etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4
kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional.
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
3. Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan
tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring
dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk
patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan
hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel 2.2 di bawah ini.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan pada
kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belum
mengalami DM namun berpotensi untuk mengalami DM karena memiliki
faktor resiko sebagai berikut:
a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi:
1) Ras dan etnik. African Americans, Mexican Americans, American
Indians, Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko tinggi
mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya kadar
glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik tersebut
(Shai et.al., 2006:1585).
2) Jenis kelamin. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Wexler
et.al. (2005:514), pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita. Wanita
yang mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami DM daripada
wanita yang belum menopause;
3) Riwayat keluarga dengan DM. Seseorang yang memiliki riwayat
keluarga dengan DM akan lebih beresiko mengalami DM daripada
seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM (Arslanian
et.al., 2005:115); dan
4) Usia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meneilly &
Elahi (2005:1498), resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia.
b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi:
1) Obesitas (IMT > 23 kg/m2). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Shai et.al. (2006:1585), seseorang yang obesitas akan
mengalami resiko DM lebih tinggi daripada seseorang yang tidak
obesitas. Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak
dapat menurunkan sensitivitas insulin;
2) Kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Morato et.al. (2007:203), seseorang yang kurang bergerak atau
sedikit melakukan aktivitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal
tersebut dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan sensitivitas
insulin terhadap reseptor;
3) Hipertensi (> 140/90 mmHg). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Eyre et.al. (2004:198), hipertensi menjadi salah satu
faktor resiko DM karena hipertensi dapat meningkatkan kejadian
aterosklerosis yang berdampak pada penurunan fungsi sel beta pankreas
dalam memproduksi insulin;
4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).
Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM karena dyslipidemia
merupakan indikator meningkatnya jaringan adiposa yang berdampak pada
penurunan sensitivitas insulin (Eyre et.al., 2004:190); dan
5) Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan resiko mengalami DM.
c. Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes :
1) Pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan
endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering dikaitkan
dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan lemak yang
berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan penurunan
sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan kadar glukosa
darah (PERKENI, 2011:49).
2) Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya; dan pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular,
seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien yang
memiliki riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami
DM karena kondisi pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan
menyebabkan ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh. Tindakan
penyuluhan dan pengelolaan pada kelompok masyarakat yang mempunyai
resiko tinggi merupakan salah satu aspek penting dalam pencegahan primer.
Materi penyuluhan yang dapat diberikan meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan merokok (PERKENI,
2011:49).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah
timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan
tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM. Program
penyuluhan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan sekunder
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan
dan menuju perilaku sehat (PERKENI, 2011:53).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah
kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami komplikasi.Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan
berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan keluarganya
memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier. Penyuluhan
dapat dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya rehabilitasi yang
dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut. Pencegahan tersier
memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan kolaborasi antar tenaga
medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan
ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,
podiatris, dan lain sebagainya) sangat diperlukan dalam menunjang
keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011:53).
Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan
DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang
sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin
(PERKENI, 2015:20).
3. Latihan jasmani
Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasardalam
pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara
terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur,
gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan ringan
ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu.
Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat
badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan
status kesegaran jasmani. Pasien DM tipe 2 yang relatif sehat dapat
meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang
mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI,
2015:27).
4. Intervensi farmakologis
Dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena
hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi
keduanya. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada
jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya
elektrolit. Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif cairan tubuh akibat
penurunan asupan cairan dan meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat
ginjal, saluran cerna atau insensible water loss/IWL), atau karena adanya
perpindahan cairan dalam tubuh. Berkurangnya volume total cairan tubuh
menyebabkan penurunan volume cairan intrasel dan ekstrasel. Manifestasi
klinis dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi volume cairan intravaskuler.
Proses dehidrasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan syok hipovolemia
yang akan menyebabkan gagal organ dan kematian.
2.2.2 Penyebab
Mencari penyebab dehidrasi merupakan hal penting. Asupan cairan yang
buruk, cairan keluar berlebihan, peningkatan insensible water loss (IWL), atau
kombinasi hal tersebut dapat menjadi penyebab deplesi volume intravaskuler.
Keberhasilan terapi membutuhkan identifi kasi penyakit yang mendasari
kondisi dehidrasi. Beberapa faktor patologis penyebab dehidrasi yang sering:
a. Gastroenteritis
Diare adalah etiologi paling sering. Pada diare yang disertai muntah,
dehidrasi akan semakin progresif. Dehidrasi karena diare menjadi
penyebab utama kematian bayi dan anak di dunia.
b. Stomatitis dan faringitis
Rasa nyeri mulut dan tenggorokan dapat membatasi asupan makanan dan
minuman lewat mulut.
c. Ketoasidosis diabetes (KAD)
KAD disebabkan karena adanya diuresis osmotik. Berat badan turun
akibat kehilangan cairan dan katabolisme jaringan.
d. Demam
Demam dapat meningkatkan IWL dan menurunkan nafsu makan. Selain
hal di atas, dehidrasi juga dapat dicetuskan oleh kondisi heat stroke,
tirotoksikosis, obstruksi saluran cerna, fibrosis sistik, diabetes insipidus,
dan luka bakar.