Вы находитесь на странице: 1из 1

Kesyukuran yang Bengis

: Sri Tan Malanhera


Saya yakin bahwa bencana yang menimpa orang lain atau terjadi di
daerah lain mengandung hikmah agar kita berempati -- bukan
bersyukur.
Saya pikir kita harus merenungkankan kembali modus kesyukuran
dengan teknik membandin-bandingkan antara keberuntungan yang
kita terima dari kemalangan yang diderita orang lain.
Banyak orangtua dan juga para guru yang mengajarkan cara
bersyukur dengan modus semacam itu. "Lihat-lah, nak engkau
semustinya bersyukur. Kebutuhanmu tercukupi dan keadaan
keluarga kita lebih baik daripada tetangga kita itu. Kasihan sekali
mereka... "
[bayangkan, jika ungkap syukur itu didengar oleh si tetangga... atau
Anda-lah si tetangga malang itu. Bagaimana perasaan Anda?]
Jika saya Tuhan, kesyukuran semacam itu kemungkinan besar saya
lemparkan ke tong sampah, sebab itu tergolong kesyukuran hoaks!
: kamu bersyukur atas nikmat yang kamu terima ataukah bersyukur
atas kemalangan dan derita orang lain-- jadi, kamu mau bersyukur
sepanjang kesusahan itu menimpa pada orang lain--asal bukan
padamu!?
Ataukah, kesyukuranmu itu GABUNGAN antara beroleh nikmat
sekaligus syukur bahwa kemalangan ada pada pihak lain, bukan
padamu?
Dalam Islam--setahu saya, ada dua macam perintah kesyukuran:
pertama "wasyukurullah" [bersyukur kepada Allah]; kedua:
"wasykuru 'ala ni'matillah" [bersyukur atas nikmat-nikmat Allah]--tak
ada anjuran, apalagi perintah supaya membandingkan-banding
syukur kita dengan kemalangan atau kesusahan orang lain. ***

Вам также может понравиться