Вы находитесь на странице: 1из 28

KRONOLOGIS PERISTIWA DI SURABAYA Agustus –

Desember 1945

17 Agustus 1945.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan di


Jakarta jam 10 pagi. Berita dengan kode morse diterima di kantor berita
Domei (Jl. Pahlawan 29) jam 11 pagi. Berita sempat diralat bahwa
kejadian proklamasi itu tidak benar. Tapi orang Indonesia yang bekerja
di Domei kadung membaca yang sudah diketik huruf ABC. Domei
merupakan kantor berita yang menyuplai berita-berita ke suratkabar
Suara Asia (Jl. Pahlawan 31), suratkabar sore di Jawa Timur. Meskipun
sudah disensor oleh redaksi bangsa Jepang, ada juga yang
menyelundupkan berita proklamasi tadi ke Suara Asia. Yang bekerja di
Domei antara lain: Yacob (morsis), RM Bintarti, Sutomo (Bung Tomo),
Astuti Askabul (kemudian jadi isteri A.Azis dan pemilik Surabaya Post).
Yang bekerja di Suara Asia: Mohamad Ali (adik Imam Supardi, kemudian
pemilik Panjebar Semangat). Oleh Suara Asia dibikin selebaran, disebar
di tempat-tempat tempelan Suara Asia di seluruh Jawa Timur. Disiarkan
dalam warta berita bahasa Madura oleh Radio Hoshokyoku Surabaya
tanggal 18 Agustus 1945 jam 19.00 waktu Tokyo. Yang bahasa
Indonesia baru tanggal 19 Agustus 1945.

18 Agustus 1945.

Di Jakarta ada rapat yang kemudian mengesahkan Undang-


undang Dasar 1945. Para prajurit PETA dan Heiho dibubarkan oleh
Jepang. Termasuk yang ada di Surabaya dan sekitarnya. PETA =
Tentara Pembela Tanah Air, adalah para perwira yang dilatih dan
ditugasi Jepang untuk menjaga daerahnya (Tanah Air). Heiho adalah
orang Indonesia yang dilatih perang oleh Jepang, setelah terampil
disuruh maju perang berasama pasukan Jepang melawan Sekutu.

Hukum Kepolisian Hal 1


19 Agustus 1945.

Terjadi insiden di Markas Polisi Istimewa Coen Boulevard 7


Surabaya (SMA St.Louis Jl. Dr.Sutomo), bendera Hinomaru (Jepang)
diturunkan, bendera Merah Putih dikibarkan, dipelopori oleh Agen Polisi
III Nainggolan..

21 Agustus 1945.

Komandan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya (Surabaya


Syu Tokubetsu Keisatsutai) Inspektur Polisi Tk II Moehammad Jasin
memproklamasikan bahwa Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia
proklamasi 17 Agustus 1945. Polisi Istimewa bermarkas di gedung SMA
St. Louis Jl. Dr. Sutomo 7 Surabaya. Pemimpin polisi Jepang ditahan,
komandan ditetapkan M.Jasin. Hubungan telepon diputus. Gudang
senjata di belakang gedung dibongkar dikuasai oleh anak buah.
Mengadakan apel pagi, lalu unjuk kekuatan berkeliling Surabaya dengan
senjatanya (dan kendaraannya).

22 Agustus 1945.

Secara de facto Radio Surabaya (Surabaya Hoshokyoku)


menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).

23 Agustus 1945.

Instruksi Presiden membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI


semacam DPR) jatuh di Surabaya pada 23 Agustus 1945. Dipelopori
oleh Angkatan Moeda, diadakan persiapan pembentukan KNI di Gedung
Nasional Indonesia (GNI) Jl. Bubutan 87 Surabaya. Rapat selama 3 hari
(25-27 Agustus), menghasilkan susunan KNI Karesidenan Surabaya: Dul
Arnowo (ketua), Bambang Soeparto dan Mr.Dwidjosewojo (wakil ketua),
Ruslan Abdulgani (penulis), dan anggotanya 25 orang, antara lain: Mr.
Masmuin, Radjamin Nasution, Dr. Angka Nitisastra. Untuk menyambut
sidang pertama KNIP di Jakarta 29-31 Agustus, maka KNI Karesidenan
Surabaya mengumumkan kepada rakyat Surabaya supaya hari itu
mengibarkan bendera Merah Putih. Pengumuman itu dibendung oleh

Hukum Kepolisian Hal 2


Kenpeitai (Polisi Tentara Jepang) dengan cara menyebarkan pamflet
melarang pengibaran bendera Merah Putih, namun oleh orang Surabaya
tidak digubris. Panflet disobek-sobek. Berarti perlawanan terhadap
kekuasaan Jepang mulai tumbuh sejak itu. Oleh Ruslan Abdulgani
peristiwa bendera itu disebut Flaggen Actie.

27 Agustus – 3 September 1945.

Residen Sudirman setelah Indonesia merdeka sebagai pejabat


paling tinggi di Karesidenan Surabaya (pada zaman Jepang sebagai
Wakil Residen, Residennya orang Jepang) mendapat panggilan untuk
menghadiri Sidang Pertama KNIP dan Permusyawaratan Pegawai
Negeri di Jakarta. Berangkat tanggal 27 Agustus, pulang tanggal 3
September sore hari. Di Surabaya tanggal 2 September sudah dibentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang anggota dan pemimpinnya terdiri
dari para bekas anggota tentara PETA.

28 Agustus 1945.

Inggris dan Belanda sebagai pemenang Perang Dunia II


mengadakan persetujuan Civel Affairs Agreement (CAA) bahwa Inggris
akan membantu Belanda dalam memperoleh kembali menguasai bekas
jajahannya (yaitu Hindia Belanda = Indonesia). Maka orang-orang
Belanda juga disamarkan dimasukkan sebagai anggota badan
internasional pemenangan Perang Dunia II. Antara lain bisa jadi anggota
Intercross (Palang Merah Internasional yang mengurusi orang-orang
yang menderita), RAPWI (Rehabilitation Allied Prisoners of War and
Internees = badan yang mengurusi para tawanan orang Jepang yang
kalah perang dan para tawanan asing yang selama perang ditawan oleh
Jepang), dan juga lewat pemboncengan pada gerakan pasukan Inggris
yang mengurusi daerah Indonesia (misalnya diakui sebagai utusan dari
Angkatan Laut Inggris untuk mengurusi bekas angkatan laut Jepang di
Surabaya, seperti yang dilakukan oleh P.J.G.Heiyer. Dengan adanya
CAA itu maka orang Belanda dengan leluasa masuk ke Indonesia
menggunakan fasilitas persetujuan tadi, meskipun tujuan utamanya
menjajah Indonesia kembali.

Hukum Kepolisian Hal 3


2 September 1945.

Dibentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP)


dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertempat di bekas gedung Badan
Pembantu Prajurit (BPP) Jalan Kaliasin 121 (Jl. Basuki Rachmat). Rapat
dihadiri hampir semua bekas pimpinan PETA, Heiho, kaum pergerakan
dan lain-lain. Antara lain: Suryo (bukan Gubernur Suryo), Sutopo,
Mohammad, Katamhadi, Rono Kusumo, Kunkiyat, Sungkono, Mustopo,
Kholil Thohir, Yonosewoyo, Abdul Wahab, Usman Aji, Sutomo (Bung
Tomo). BPKKP terbentuk dengan Dul Arnowo sebagai ketua, Daidantjo
Mohammad (wakil), Daidantjo Sutopo (bagian umum), Notoamiprodjo
dan Abdul Syukur (bagian keuangan). BKR terbentuk dengan Daidantjo
Drg. Mustopo (ketua), Sunarso (bekas pegawai BPP, bagian tunjangan),
dibantu bagian penerangan adalah: Daidantjo Katamhadi, Cudantjo
Abdul Wahab, wartawan Antara Sutomo (Bung Tomo).

4 September 1945.

Penyempurnaan susunan BKR yang dirapatkan di GNI Jl.


Bubutan 87 oleh para Daidantjo, Cudantjo dan Shodantjo menghasilkan
tiga eselon BKR, yaitu BKR Jawa Timur, BKR Karesidenan, dan BKR
Kota Surabaya. Pemimpin-pemimpinnya yang disahkan adalah: BKR
Jawa Timur: Moestopo (panglima), Suyatmo (staf umum), Mohamad
Mangundiprojo (urusan darat), Atmaji (urusan laut), Suyono
Prawirobismo (polisi, penerangan), Suryo (keuangan/perlengkapan),
Dr.Sutoyo (kesehatan), dll. BKR Karesidenan Ketua Abdul Wahab
(cudantjo), wakil ketua Yonosewoyo, dll. BKR Kota Surabaya: Ketua
Sungkono.

13 September 1945.

Surat kabar Suara Asia (terbit di Surabaya) tanggal 10


September 1945 memuat ajakan: Besok hari Selasa 11 September
moelai poekoel 6 sore di Tambaksari akan diadakan rapat besar
oemoem. Sebelum rapat besar dan masing-masing Siku ke lapang
Tambaksari dan tibanja pawai dilapang terseboet, diharap sebeloem

Hukum Kepolisian Hal 4


poekoel 6 sore. Koendjoengilah! Boelatkanlah kemaoean rakjat dalam
rapat itu. Suara Asia 11 September 1945 memuat: Rapat Raksasa dan
pawai ditoeenda. Soeara Asia 14 September 1945 memuat Soeara Asia
mohon diri (terbit terakhir). (Begitu surat Pak Barlan meralat tanggal
rapat raksasa di Tambaksari). Pada dokumen lain tercatat bahwa Rapat
Raksasa di Tambaksari tadi terlaksana pada tanggal 21 September 1945
(berarti sesudah perobekan bendera Belanda di Yamato Hoteru tanggal
19 September 1945).

Dengan ditutupnya Soeara Asia dan kantor berita Jepang Domei


(keduanya berkantor di Jalan Aloen-aloen 29 dan 31, sekarang Jalan
Pahlawan), para wartawannya banyak bergabung dengan kantor berita
“Berita Indonesia” cabang Surabaya yang kantornya berada di
Jl.Tunjungan 100, pojok Embong Malang-Tunjungan. Antara lain
wartawan tadi Sutomo (Bung Tomo), Abdul Wahab (fotografer yang
kemudian memotret peristiwa perobekan bendera di Yamato Hoteru, 19
September 1945).

15-17 September 1945.

Ada desas-desus bahwa untuk mengangkut para tawanan


bangsa asing yang ditawan oleh Jepang selama Perang Dunia II, akan
diangkut oleh badan yang dibentuk oleh Pasukan Sekutu pemenang
perang, yaitu RAPWI, datang ke Surabaya. Mereka bermarkas di Hotel
Yamato Jalan Tunjungan. Memang benar sejak hari itu Hotel Yamato
ramai dengan orang-orang bule, dan mereka juga mengendarai mobil
atau truck baru dengan tulisan RAPWI. Selain itu mereka juga
menamakan dirinya anggota Intercross. Ada juga mereka yang terjun
payung langsung ke tempat para tawanan orang-orang Belanda di
daerah Gunungsari. Oleh para penjaga tawanan (bangsa Jepang yang
sudah takluk) orang-orang inipun dibawa ke Hotel Yamato, berkumpul
dengan teman-teman orang bule dari RAPWI. Di depan hotel, orang-
orang bule pemenang perang ini kelihatan sombong, hilir-mudik di depan
gedung, dan mengusir (menyuruh menjauh) orang-orang Indonesia yang
lewat di depan hotel. Orang-orang Indonesia (di surabaya) waktu itu

Hukum Kepolisian Hal 5


memang miskin habis diperas oleh penjajahan Jepang selama 3,5 tahun.
Kurus dan lemah.

19 September 1945.

Sejak datangnya orang-orang Belanda yang menyelundup ke


Surabaya, dan hampir bersamaan waktunya dengan dibebaskannya
kaum interniran Belanda dari kamp-kamp tawanan, maka suasana
Surabaya mulai panas karena terjadi saling mencurigai antara pihak
pemuda dengan pihak Palang Merah International (Intercross). Pemuda
Surabaya baru saja melakukan serangkaian kegiatan memperingati
sebulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan menyelenggarakan
rapat umum di Lapangan Pasarturi pada tanggal 17 September 1945,
Ada provokasi baru tentang datangnya kelompok orang Sekutu yang
pertama dari Mastiff Carbolic dibawah pimpinan Letnan Antonissen
dengan parasut di Gunungsari Surabaya. Mastiff Carbolic Party
merupakan salah satu dari sejumlah kelompok yang diorganisir oleh
anglo Dutch Country Section (ADCS) angkatan 136. Semula selama
Perang Dunia II, ADCS adalah organisasi spionase yang dikirim ke
Sumatera, Malaya (Malaysia) dan Jawa secara rahasia. Setelah Jepang
menyerah mereka diterjunkan antara lain di Jakarta dan Surabaya untuk
menghimpun informasi tentang keadaan kamp-kamp tawanan dengan
kedok RAPWI. Pihak tentara Jepang setelah mendengar tentang
pendaratan itu kemudian menjemput dan mengawalnya ke Yamato
Hoteru. Sebelumnya di Hotel itu telah berkumpul pula sebagian besar
orang Indo dan orang Indonesia. Pada hari Rabu Wage tanggal 19
September 1945, sementara pemimpin Mastiff Carbolic mengunjungi
Markas Besdar Tentara Jepang, beberapa orang anggotanya bersama
orang Belanda yang bergabung dalam Komite Kontak Sosial
mengibarkan bendera Belanda Merah-Putih-Biru. Itu peristiwa heroik
yang pertama dilakukan oleh Arek-arek Surabaya. Sebab waktu itu
keadaan orang Surabaya miskin, kurang makan, habis dijajah orang
Jepang, tidak punya senjata. Namun berani melawan orang-orang
Belanda yang dengan sombong berada di hotel mewah. Rasa
patriotismenya tidak bisa dibendung. Penyobekan bendera warna biru
bisa terlaksana, sedangkan untuk pertama kalinya pertikaian di hotel tadi

Hukum Kepolisian Hal 6


menimbulkan korban. Dari pemuda Indonesia yang menjadi korban:
Sidik, Mulyadi, Hariono dan Mulyono. Dari pihak Belanda Mr. Ploegman,
tewas ditusuk dengan benda tajam.

20 September 1945.

Setelah secara resmi para pembesar Jepang membacakan


tentang berakhirnya Perang dan pernyataan Tenno Heika dan Seiko
Sikikan di hadapan Pamong Praja pada 24/8. Para pemuda Indonesia
yang di bawah naungan AMI (Angkatan Muda Indonesia pimpinan
Ruslan Abdulgani). Maka pada tanggal 20 September 1945 sebuah
rumah kediaman seorang perwira Jepang di Princesselaan 1 (Jalan
Tidar) diambil alih para pemuda, Jepang perwiranya ditawan. Para
pemuda itu adalah Jamal (zaman Jepang jadi kaibodan), Pramudji,
Sudjono, Suyono, M.Dimyati, Suwardi, Karyono YS (pelukis). Jamal
mengajukan usul agar gedung itu dijadikan Markas Komando Revolusi
Surabaya. Mereka lantas mendirikan Markas Besar Pemuda Republik
Indonesia (PRI). Keesokan harinya Jamal telah memasang spandoek
besar: MARKAS BESAR PEMUDA REPUBLIK INDONESIA. Maka
berdirilah PRI.

21 September 1945.

Dua hari kemudian setelah peristiwa perobekan bendera


Belanda 19 September 1945, barulah misi RAPWI yang sesungguhnya
datang, dibawah pimpinan Letnan P.G. De Back dari Dutch Navy.
Mendengar laporan Letnan Antonissen, oleh De Back Mistiff Carbolic
Party yang telah membuat onar di Surabaya segera dikirimkan ke
Jakarta. De Back kemudian memerintahkan kepada pihak Jepang untuk
mempersiapkan evakuasi interniran wanita dan anak-anak dari
Semarang ke Surabaya. Semula pihak Jepang khawatir kalau semakin
banyaknya orang Belanda ke Surabaya akan menambah keruhnya
keadaan. Namun akhirnya terlaksana juga pemindahan para interniran
wanita dan anak-anak dari Semarang ke Surabaya tanggal 29
September sampai 2 Oktober 1945. Sebanyak 2000 orang yang baru

Hukum Kepolisian Hal 7


datang ditempatkan di Darmo dan Gubeng. Kedua tempat itu berkumpul
sekitar 3000-4000 orang.

23 September 1945.

Rapat AMI diselenggarakan 23 September 1945 memutuskan


AMI berintegrasi dalam bentuk organisasi pemuda, yaitu PRI. Pimpinan
AMI Ruslan Abdulgani menyerahkan kepemimpinannya kepada Ketua
PRI yaitu SUMARSONO. Susunan pengurus PRI awalnya adalah Ketua,
I, II : Sumarsono, Kusnadi HD, Krissubanu. Sekretaris: Bambang Kaslan,
Supardi. Ada bagian keuangan, bagian pembelaan, bagian penyelidik,
bagian tempur penyelidik (combat intelligence). Bagian penyelidik
banyak melibatkan polisi resmi seperti: Inspektur Polisi Suyono
Prawirobismo, Mujoko, SUCIPTO DANUKUSUMO , Benny Notosuroto,
Kusnadi, Jayengrono, dll.

Hampir semua organisasi pemuda di Surabaya bergabung pada satu


organisasi PRI ini, sehingga dibentuk berbagai cabang maupun rayon,
misalnya PRI angkatan bersenjata, PRI pelajar, PRI Sosial dan Wanita.
Dan juga PRI Wilayah Utara dengan kode PRI-60, dengan ketua, wakil,
staf, batalyon, kompi (karena gerakan selanjutnya PRI memang ikut
bertempur mati-matian melawan pasukan Inggris. Juga ada PRI Wilayah
Tengah dengan kode PRI-40, dan PRI Wilayah Selatan dengan kode
PRI-20, masing-masing wilayah melibatkan para pemuda dan dengan
susunannya yang lengkap. Selain wilayah, juga dibentuk cabang,
misalnya PRI Cabang Kampemen, Sidodadi, Ketabang, Bubutan,
Kaliasin, Darmo. Banyak dari mereka itu bersenjata berat: panser, bren
carier.

Pada tanggal 23 September 1945 tiba di Surabaya Captein


P.J.G.Huiyer (Belanda). Ia diutus oleh Laksamana Helfrich (komandan
Angkatan Laut Hindia Belanda, setelah perang dunia selesai dia duduk
di SEAC untuk mengurusi kembali daerah jajahannya), Huiyer berhasil
membujuk Jendral Iwabe (panglima Angkatan Darat Jepang di Jawa
Timur) menyerahkan Angkatan Laut Jepang (kaigun) di Tanjung perak
dalam surat serah-terima hitam di atas putih. Setelah mendapat surat

Hukum Kepolisian Hal 8


serah-terima pangkalan Angkatan Laut Jepang di Tanjungperak, Huiyer
terbang meninggalkan Surabaya menunaikan tugas misi yang sama ke
Kalimantan Timur, sempat memberikan informasi kepada atasannya
(Admiral CEL Helfrich, The C-in-C Netherlands Forces in The East,
angkatan laut Belanda yang bergabung dengan Sekutu) bahwa
penduduk Surabaya merupakan kekuatan yang paling lemah di dunia.

29 September 1945.

Sejak rapat raksasa di Tambaksari tanggal 21 September 1945,


berkumpullah ± 30 pemuda bekas Peta, Sekolah Pelayaran Tinggi,
Seinendan dan sebagainya di sebuah rumah di Julianallan (Jl.Mabes
Duryat). Mereka membahas keikutsertaan mereka dalam keanggotaan
BKR. Kegiatan mereka dipimpin oleh Abdul Wahab, bekas Cudantjo
Peta yang menjabat sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya. Mereka
membahas kenapa Indonesia sudah merdeka kok Polisi Sekutu (Allied
Forces Police) menugasi orang Jepang (yang sudah takluk) menjagai
instalasi-instalasi militer dan tempat umum yang penting (misalnya
tempat tawanan bangsa asing, penjara) dengan menggunakan kain putih
dengan tulisan merah di lengan baju sebelah kanan: “ALLIED FORCES
POLICE”? Mereka tidak terima di negaranya yang sudah merdeka ada
pasukan asing. Atas kesepakatan bersama mereka membentuk
“Pasukan Khusus” bertugas secara cepat merebut kekuasaan dari
tangan “asing” itu termasuk pasukan Jepang yang telah dinyatakan
takluk itu (tapi masih diberi tugas). Setelah persiapan bergerak siap,
maka mereka lapor kepada Polisi Istimewa pimpinan M. Yasin. Gerakan
akan dilakukan serentak juga dengan para Tonarigumi (Rukun
Tetangga) seluruh Surabaya. Mereka diberitahu bakal ada gerakan
perebutan kekuasaan terhadap orang Jepang, para Tonarigumi harus
membantu secara serentak.

Pada pertemuan tanggal 29 September 1945 di Julianalaan


diputuskan semua anggota 30 orang tersebut pada jam 18.00 harus siap
menerima perintah bergerak yang disampaikan oleh Abdul Wahab.
Perintah yang harus dilaksanakan sebagai berikut: 1. Melucuti senjata
dan alat perang Jepang. 2. Menawan semua anggota pasukan Jepang

Hukum Kepolisian Hal 9


baik laki-laki maupun perempuan. 3. Merampas menduduki tempat
komunikasi tentara Jepang, dan pemerintahan Jepang. Gerakan diatur
sedemikian rupa: 20.00-24.00 merampas komunikasi Jepang, 24.00
melucuti Polisi Sekutu Jepang. Jam 05.00 30 September 1945 harus
sudah selesai. Jam 05.30 dengan alat pengeras suara semua rakyat
diteriaki/dipanggili “Siaaap! Siaaap! Serbu tentara Jepaaang! Serbu
tentara Jepaaang!” Seluruh pelosok Surabaya tidak boleh ada yang
kelewatan. Jam 06.30 seluruh anggota Pasukan Khusus 30 orang
terbagi menjadi 15 kelompok masing-masing terdiri dari 2 orang,
bertugas untuk memimpin rakyat untuk menyerbu dan melucuti tentara
Jepang di tangsi, markas, dan dikonsentrasi tentara di seluruh pelosok
Kota Surabaya. “Selamat berjuang! Merdeka!” ucap pemimpin Pasukan
Khusus Abdul Wahab pada jam 19.00 29 September 1945.

30 September 1945.

Gerakan Pasukan Khusus pimpinan Abdul Wahab berlangsung


seperti yang direncanakan. Dibantu oleh segala insstansi, kelompok
pemuda, hingga seluruh penduduk Kota Surabaya. Masing-masing
melaksanakan fungsinya sendiri-sendiri dengan disiplin. Misalnya para
kelompok Tonarigumi (Rukun Tetangga) seluruh kampung di Surabaya
siap dengan teriakan “Siaaap!” serta menyiapkan kentongan (tabuhan)
untuk dipukul titir kalau terjadi sesuatu di daerahnya. Beberapa kampung
yang mewaspadai tempat orang Jepang sama mengurung tempat itu,
dan kalau terjadi apa-apa yang ribut, maka segera mereka berteriak
“Siaaap!” atau memukul tabuhan yang dibawa. Teriakan Siaaap! malam
itu di Surabaya kemudian menjadi legenda bertempur rakyat Indonesia.
Pelaksanaan perintah 1, 2, 3 dan seterusnya berjalan mulus. Alat
komunikasi utama direbut. Jepang yang jaga ditawan. Alat
komunikasinya dipindahkan ke tempat lain. Pelucutan Polisi Sekutu
Jepang terlaksana dengan bantuan Polisi Istimewa. Penjaga Jepang
ditawan di Penjara Kalisosok. Setelah mewaspadai selama semalam,
pagi hari jam 07.30 Markas tentera Jepang di Sekolah dagang di
Reinierz Boulevard (Jl. Diponegoro) diserbu, tentara Jepang dibawa ke
penjara.

Hukum Kepolisian Hal 10


Begitu juga markas atau tempat pembesar Jepang di mana-mana, pada
direbut oleh para pemuda Indonesia. Markas di HBS-straat diduduki oleh
Ketua BKR Karesidenan Surabaya, Abdul Wahab ditemani Suharyo
Kecik (mahasiswa dari Jakarta), dan Hasanudin Pasopati (dari Madura).
Karena luasnya tempat digunakan juga untuk menampung para heiho
dari Sulawesi yang sedang mau pulang ke Pulau Jawa, tertahan di
Tanjungperak. Para heiho tersebut sekaligus diajak angkat senjata
merebut kekuasaan dari Jepang. Setelah Markas HBS-straat dikuasai,
para Pasukan Khusus pindah menyerbu bersatu dengan Pasukan
Khusus lainnya yang belum beres, antara lain ikut pasukan BKR Jawa
Timur Drg.Mustopo menyerbu ke Tobu Jawa Butai, setelah selesai lalu
bergabung menyerbu ke Kenpeitai yang belum mau menyerah. Malam
itu direbut pula markas-markas Jepang lainnya, antara lain Kitahama
Butai (bengkel kendaraan perang, truk, tank), Kohara Butai (banyak
senjata dirampas dari situ atas petunjuk Cudantjo Suryo)., Kaigun
Embongwungu, Markas di Hogendorplaan, Samurai di Karangrejo,
markas penerbangan Morokrembangan, Rumah Sakit Karangmenjangan
(untuk rumahsakit tentara Jepang) Tobu Jawa Butai. Termasuk
Syucokan Kaka yang tinggal di gedung Residen (Grahadi) di
Simpangweg. Terebut tanpa banyak perlawanan. Memang setelah
Jepang menyerah, diperintahkan semua senjata tentera Jepang harus
dikosongi pelurunya. Jadi meskipun terlihat masih membawa senjata,
mereka bersiap hanya mematuhi kehendak tentara Sekutu. Yang ada
perlawanan adalah di gedung General Electronica Jl. Kaliasin (menyerah
pagi hari), gedung Kenpeitai (Tugu Pahlawan), gedung Kaigun Gubeng
(Angkatan Laut, Grand City).

Yang istimewa adalah perebutan kekuasaan di markas arsenal


Don Bosco. Ikut mengepung markas itu adalah Bung Tomo. Ternyata
komandan Jepangnya tidak melawan. Mau menyerahkan markasnya
asal kepada petinggi pemerintahan. Maka ke situ didatangkan M.Jasin
dari Polisi Istimewa, Mohamad Mangundiprdjo dari BKR/KNI. Serah
terima ditandatangani oleh pihak Jepang dan M.Jasin dan seorang pihak
KNI. Markas Don Bosco adalah suatu arsenal (tempat timbunan senjata
api). Komandan Jepang hanya minta satu pedang samurainya saja

Hukum Kepolisian Hal 11


karena warisan dari kakeknya, tidak boleh. Dia harus ditawan di
Kalisosok. Sedang rakyat yang mengepung markas diperbolehkan
membawa senjata seadanya dan sekuatnya, boleh pilih sendiri.
Rakyatpun berebutan mengambili senjata. Tidak perduli pelurunya cocok
apa tidak. Tidak perduli bisa menembakkan atau tidak. Dengan
bersenjata seperti itu perebutan kekuasaan terhadap orang Jepang kian
marak. Melihat banyaknya senjata di gudang, maka Bung Tomo
mengorganisir teman-temannya mengirimkan senjata tadi ke luar
Surabaya. Pengiriman senjata dari Bung Tomo sampai di Tasikmalaya
dan Jakarta. Tanggal 30 September orang Surabaya masih kelihatan
ngentruk miskin tak berdaya. Tanggal 1 Oktober Arek-arek Surabaya
sudah bersenjata, bergerombol berlalu-lalang di jalan kota, bahkan
mereka sudah naik mobil dan truk rampasan, naik kendaraan sambil
menyanyi-nyanyi Dari Barat sampai ke Timur, sajaknya yang semula
“bahagia” diganti “Merdeka!”

1 Oktober 1945 dan 5 Oktober 1945.

Pagi-pagi sekali Drg Mustopo sebagai Ketua BKR Jawa Timur


bersama pasukannya (Abdul Wahab, Mujoko, Suyono, Moh. Jasin,
Rahman) berangkat dari markasnya Jalan Bubutan 87 menuju ke
Comidiestraat tempat Markas Tobu Jawa Butai. Tempat itu sudah
dikepung sejak malam oleh rakyat Surabaya. Tobu Jawa Butai adalah
markas pusat tentara darat Jepang untuk Jawa Timur. Setelah hari
terang Mustopo berseru kepada komandan pasukan Jepang yang
berada di gedung (gedung HVA = Handels Vereneging Amsterdam,
kantor perserikatan dagang Belanda, zaman Jepang digunakan markas
Tobu Jawa Butai) agar menyerah, karena markas sudah dikepung.
Jendral Iwabe, komandan, mau menerima Mustopo dan kawan-
kawannya. Maka diadakan serah-terima kekuasaan dari Komandan
Tobu Jawa Butai kepada Ketua BKR Jawa Timur. Pada waktu itu masih
ada sisa-sisa markas pasukan Jepang yang belum menyerah, maka
timbul ide dari para pemuda yang hadir, agar Jenderal Iwabe membuat
surat dengan huruf kanji, agar menyuruh semua tentara Jepang
menyerahkan diri tidak melawan pasukan Indonesia. Dengan surat itu
ditunjukkan ke tempat-tempat markas serdadu Jepang yang tidak mau

Hukum Kepolisian Hal 12


menyerah (termasuk Markas Besar Kenpeitai) maka selesailah masalah
perebutan kekuasaan dari serdadu

Jepang kepada pemuda Indonesia. (Konon surat itu tidak saja digunakan
untuk Markas Besar Kenpeitai Surabaya, melainkan juga diedarkan
untuk menaklukkan pasukan Jepang di Mojokerto dan sekitarnya).

Sampai pagi hari tanggal 1 Oktober 1945 pasukan Jepang yang


tidak mau menyerah adalah Markas Kenpeitai di gedung dulunya Paleis
van Justitie (Gedung Pengadilan). Gedung ini pada zaman Jepang
digunakan untuk Markas Kenpeitai, di mana banyak pejuang Indonesia
diseret ke situ. Antara lain: Pamuji, A. Rakhman, Cak Durasim, Ir.
Darmawan Mangunkusumo. Gedung itu dikepung, diserbu oleh rakyat
beserta para petinggi BKR dan Polisi Istimewa. Antara lain yang
mengurung dan menyerbu: Pemimpin Pasukan Khusus Abdul Wahab,
Hasanudin Pasopati, Suharyo Kecik. Polisi Istimewa Mohammad Jasin,
pasukan PRI Pramudji, Rambe, Sidik Arslan. Banyak timbul korban
dalam pertempuran itu. Pertempuran baru berhenti jam 16.00, karena
jasa Mohammad Jasin, Polisi Istimewa. Ia masuk ke Kenpeitai, menemui
komandannya yang sudah dikenal karena sama-sama polisi pada zaman
Jepang. Akhirnya komandan tadi diajak M.Jasin keluar di teras gedung
dengan mengibarkan bendera Merah-Putih. Tembak-menembak
berhenti, dan selesai. Pemimpin Pasukan Khusus Abdul Wahab yang
juga menjabat Ketua BKR Karesidenan Surabaya terkena peluru
pahanya. Terpaksa tidak bisa giat lagi dalam perjuangan kemerdekaan
bangsa. Kedudukannya sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya
diganti oleh wakilnya Yonosewoyo.

Gedung Kenpeitai yang sudah damai masih ditempati oleh


sebagian kecil pasukan Kenpeitai, dan sebagian lainnya ditempati
pasukan baru yang menamai dirinya Polisi Tentara BKR. Pemimpinnya
Suharyo Kecik, wakilnya Hasanudin Pasopati. Kebetulan tanggal 5
Oktober 1945 BKR (Badan Keamanan Rakyat) diubah nama dan
fungsinya menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), sehingga nama
Polisi Tentara Keamanan Rakyat bisa disingkat PTKR).

Hukum Kepolisian Hal 13


Selain Markas Kenpeitai, yang masih tidak mau menyerah dan
melawan adalah Markas Kaigun Gubeng. Di sini juga banyak korban jiwa
di antara para pemuda pengepungnya. Pertempuran baru selesai ketika
Ketua BKR Kota Sungkono dan Ruslan Wongsokusumo menemui
Laksamana Shibata di Ketabang (Jagung Suprapto). Setelah berunding,
maka Laksamana Shibata memerintahkan penghentian tembak-
menembak. Pertempuran pun usai.

Tanggal 1 Oktober adalah awal kedatangan tawanan wanita


Belanda dari Semarang. Kebetulan Huiyer dari Angkatan Laut Belanda
yang sudah merebut Pangkalan Angkatan Laut di Perak secara
administrasi datang lagi di Surabaya. Dia melaporkan ikut sibuk
mengurusi baik tentang misinya sebagai utusan Helfrich, maupun
kedatangan tawanan wanita dari Semarang tadi. Ia melapor kepada
Residen Sudirman yang waktu itu kepala pemerintahan tertinggi di
Surabaya. Huiyer datang naik pesawat terbang khusus, pinjaman dari
Hellfrich. Tapi tanggal 1 Oktober itu lapangan terbang Morokrembangan
sudah dikuasai oleh pemuda Indonesia. Huiyer tidak bisa lagi terbang. Ia
nanti ketahuan kedoknya sebagai orang Belanda yang mau menjajah
lagi Indonesia, perginya naik keretaapi, sampai di Nganjuk ditawan oleh
pemuda di sana, dan dikembalikan ke Surabaya, ditawan di Kalisosok.

Peran PRI sangat mendukung. Sekarang PRI juga bersenjata.


Maka untuk menyempurnakan urusan organisasi, Sumarsono
menduduki Simpang-club (Balai Pemuda) menjadi Markas Besarnya.
Bung Tomo yang dipilih sebagai urusan penerangan PRI pergi ke
Jakarta untuk ikut rapat KNIP dengan sangu senjata rampasan cukup
banyak.

12 Oktober 1945.

Para petinggi Surabaya menjemput Gubernur Jawa Timur RMTA


Suryo di perbatasan Surabaya-Bojonegoro. RMTA Suryo adalah
Gubernur Jawa Timur yang dipilih oleh Pemerintah Pusat Jakarta.
Dulunya adalah Fuku Syutjo (wakil Residen) Bojonegoro, sama
tingkatnya dengan Fuku Syutjo Surabaya Sudirman. Dengan datangnya

Hukum Kepolisian Hal 14


Gubernur Suryo menunaikan tugas di Surabaya, kian kuatlah organisasi
pemerintahan di Jawa Timur dalam suasana Indonesia Merdeka tanpa
tentara asing menginjak bumi Jawa Timur.

Bung Tomo pulang dari Jakarta membawa oleh-oleh pikiran


bagaimana menghimpun massa dan bagaimana mendirikan pemancar
radio. Dengan kedua pemikiran yang diperoleh dari pemimpin-pemimpin
di Jakarta itu, Bung Tomo yang semula bertugas sebagai seksi
Penerangan PRI pusat, membentuk sendiri kekuatan massa dengan
nama Barisan Pemberontakan Rakyat Surabaya bermarkas di Jalan
Biliton 7 Surabaya, serta bersama ahli-ahli teknik radio RRI Surabaya
mendirikan pemancar radio dengan nama yang sama di Jalan Mawar 10
Surabaya.

15 Oktober 1945.

Pemerintah Belanda (NICA = Netherlands Indies Civil Administration


adalah pemerintah pengungsian Hindia Belanda di Australia bentukan H
van Mook, deengan tujuan akan kembali menjajah Indonesia setelah
Perang Dunia II, Belanda ikut sebagai pemenang karena membantu
Sekutu) untuk menjajah Indonesia kembali kian cemas melihat
perkembangan di Surabaya. Setelah melalui Intercross, RAPWI, bahkan
Mistiff Carbolic dan petualangan PJG Huiyer tidak berhasil menguasai
Surabaya, mereka mencoba mendaratkan angkatan lautnya dengan
sekoci-sekocinya di Kedungcowek. Tapi segera ketahuan oleh
penduduk, dan diteriaki “Siaaap!”, mereka gagal mendarat.

24 Oktober 1945.

Pada tanggal 24 Oktober 1945 sekira jam 11.00 pagi tampak


sebuah pesawat terbang melayang-layang di tepi laut Perak. Ternyata
pesawat tadi mengawal iring-iringan konvoi terdiri sekitar 6 destroyer dan
kapal sejenis LST dan sejumlah kapal biasa sebanyak ± 60 buah. Di
antaranya ada yang langsun mendarat di Rotterdamweg (Jl.Zamrut)
Tanjungperak. Kapal perang yang lain mendarat di gedung Armada
Moderlust. Itulah pendaratan pasukan Inggris ke Surabaya yang

Hukum Kepolisian Hal 15


dipimpin oleh Brigadir AWS Mallaby. Tugas Mallaby adalah mengangkut
keluar para tawanan perang asing dari Surabaya, baik orang asing yang
ditawan oleh Jepang dulu (yang jumlahnya cukup banyak ± 4000 orang),
maupun orang Jepang yang sudah takluk. Sebetulnya beberapa hari
sebelumnya Menteri Penerangan Amir Syarifuddin telah memberi
instruksi kepada Drg Mustopo bahwa akan tiba pasukan Inggris yang
bertugas menjemput tawanan perang, jangan dihalang-halangi. Namun
ketika mendapat laporan bahwa pasukan Inggris pimpinan Brigadir AWS
Mallaby mendarat dengan begitu banyak kapal peerang, Mustopo
sebagai Ketua BKR Jawa Timur merasa tidak nyaman ada tentara asing
menginjakkan kakinya di Surabaya. Malam hari itu, dikawal oleh Dr.
Sugiri, AWS Mallaby menemui “pemerintah” Surabaya di Kantor
Gubernur. Sebagai pusat pemerintahan di situ piket Drg. Mustopo,
M.Yasin, Bung Tomo dengan mikrofonnya. Di situ untuk pertama kalinya
Mallaby bertemu deengan Mustopo. Mustopo bilang, kalau mau
mendarat di Surabaya harus mendapat izin dari pemerintah. Mallaby
tanya, “From whom we have to get permission to land our
troops?”(Kepada siapa kita harus mendapatkan ijin untuk mendaratkan
pasukan?). Dijawab Mustopo, “From the Minister of Defence of The
Republic of Indonesia.”(Dari menteri pertahanan RI). Mallaby, “Where
can I meet your Minister of Defence?”(Dimana saya bertemu menteri
pertahanan anda?). Mustopo, “He sits before you.”(Dia duduk di
hadapanmu). Langsung Mallaby menyebut Mr berubah menjadi “Your
Excellency”. Setelah itu dirundingkan bagaimana pasukan Mallaby bisa
menunaikan tugas menjemput tawanan di Surabaya. Mustopo
menganjurkan pasukan Mallaby tidak perlu mendarat lebih dari 800
meter dari pelabuhan. Nanti pasukan Indonesia saja yang mengantarkan
para tawanan ke pelabuhan. Tapi Mallaby menolak tawaran ini dan akan
terus menerjunkan pasukannya memasuki Kota Surabaya.

24 – 31 Oktober 1945.

Setelah pertemuan itu hari-hari atau malam hari Mustopo


beberapa kali bertemu dengan Mallaby atau stafnya. Mallaby tetap
bersikeras menerjunkan pasukannya ke pusat kota. Pernah mereka
bertemu dengan kapasitasnya sebagai tentara di Prapatkurung, tidak

Hukum Kepolisian Hal 16


dapat persetujuan. Pernah juga Mustopo diculik dari markasnya di
Gedung HVA diharuskan membebaskan para interniran di penjara
Kalisosok. Para tawanan asing, termasuk Huiyer, dibebaskan. Dalam
keadaan panik Mustopo mengumumkan akan pidato di RRI, menolak
kehadiran tentara Inggris di Surabaya. Siang hari sebelum pidato,
Mustopo disertai para BKR anak buahnya berkeliling naik kendaraan
mengumumkan penolakannya terhadap pendaratan tentara Inggris. Para
Arek-arek Surabaya yang sudah merasa merdeka dan punya senjata,
dengan berapi-api mendukung penolakan Mustopo. Ketika berpidato di
RRI sanja harinya, Mustopo hanya berteriak, “Nica! Nica! (baca nika)
Jangan mendarat! Kamu tahu aturan! Kamu tahu aturan, Inggris! Kamu
sekolah tinggi! Jangan mendarat!” Tetapi pasukan Mallaby secara
beregu maupun berkelompok lebih banyak, dengan senjata lengkap
memasuki kota, menduduki tempat-tempat yang strategis seperti:
Gedung Internatio (Jembatan Merah), gedung BPM (pertamina Jl.
Veteran), Gereja Kristen dan Kantor Polisi di Bubutan, Kompleks SMAN
Wijayakusuma, RRI Surabaya Jl. Simpang (depan rumah sakit yang
sekarang jadi Surabaya Plaza), Konsulat Inggris dan Gedung olahraga
dayung di Kayun, Rumah sakit Darmo dan sekitarnya, Kantor BAT
Ngagel. Dengan keadaan seperti itu Mustopo menganjurkan kepada
rakyat Surabaya supaya menghalang-halangi tentara asing itu
menduduki bumi Surabaya yang merdeka. Mustopo sendiri lalu
mengatur siasat Himitsu senso sen (perang rahasia) dikombinasikan
dengan Senga sen (perang kota). Untuk melakukan siasat itu Mustopo
pergi keluar Surabaya, singgah dulu ke Markas Besar PRI di Simpangs-
club. Di sana diinterogasi oleh pemuda-pemuda PRI antara lain
Sumarsono. Menuju keluar Surabaya, Mustopo melalui Wonocolo,
memberi instruksi perang kepada kelompok BKR di sana (pabrik kulit
Wonocolo), lalu ke Sidoarjo, Krian, Mojokerto, hendak menuju ke Gresik.
Di Mojokerto ditawan oleh anggota PTKR Sabarudin, ditawan di
Mojosari. Baru tanggal 30 Oktober 1945 dibawa oleh Sabarudin
menghadap Bung Karno/Bung Hatta di rumah Gubernur Simpang
(Grahadi).

Hukum Kepolisian Hal 17


Apa instruksi Mustopo dilaksanakan benar oleh Arek-arek
Surabaya di segala lapisan, baik yang masuk organisasi masa seperti
PRI, Hisbullah, BPRI, BKR kota, maupun sebagai orang kampung
perorangan. Jalan-jalan besar seluruh Kota Surabaya yang pada zaman
Jepang tidak pernah dilalui kendaraan (karena kendaraan bermotor
hanya untuk berperang), maka kini dirintangi dengan segala barang tak
berguna, misalnya batang pohon yang ditebang, almari atau kursi, dan di
perempatan jalan selalu berkerumun rayat untuk menghalangi
kendaraan asing yang lewat. Selain jalan, juga rakyat banyak tadi
mengepung tempat-tempat yang diduduki oleh pasukan Inggris yang
jumlahnya hanya beberapa regu saja. Karena tegang, kemudian tidak
lagi ada kesabaran, terjadilah tembak-menembak antara rakyat
Surabaya yang mengepung gedung, dengan seregu-empat regu
pasukan Inggris yang di gedung. Alioran listrik dan air dimatikan.
Meskipun pasukan Inggris dilengkapi dengan senjata hingga timbul
korban di antara rakyat yang mengepung, tapi mati satu tumbuh seribu.
Pengepungan rakyat tidak bakal surut. Selama tiga hari (27-28-29
Oktober) terkurung di gedung, tentara Inggris tentu tidak bisa bertahan
lebih lama lagi. Peluru habis, makan habis, minta pertolongan lewat
udara tidak mungkin, lari lewat darat juga tidak mungkin lagi. Sebentar
lagi pasti hancur. Dendam rakyat Surabaya tidak bisa dibendung.
Misalnya di Gedung RRI yang tingkat dua. Semula dengan senjata
otomatis pasukan Inggris (kebanyakan sewaan dari India yang disebut
Gukha) bisa membunuh rakyat yang berkerumun di depan gedung,
ditembaki dari tingkat dua. Namun akhirnya rakyat yang dibantu oleh
Polisi Istimewa, dapat membakar gedung RRI itu dari tingkat bawah.
Tentu tentara Gurkha yang di tingkat dua akan terbakar juga. Mereka
terpaksa lari keluar lewat ruang bawah yang terbakar. Yang selamat bisa
melintas diterima oleh rakyat yang sudah terlalu banyak menderita
korban jiwa. Jadi mereka yang lari dari gedung juga langsung saja
dibunuhi.

Tanggal 28 Oktober 1945, baru dikurung dua hari saja, pasukan


Inggris bisa dipastikan akan hancur seluruhnya. Brigadir Mallaby jadi
was-was. Dia harus menghentikan kehancuran ini. Kepada siapa harus

Hukum Kepolisian Hal 18


minta tolong? Minta tolong berdamai dari pihak pemerintah Surabaya
tidak mungkin. Satu-satunya jalan minta tolong ke markas pusatnya di
Jakarta. Minta dikirimkan orang yang bakal dipatuhi oleh Arek-arek
Surabaya. Siapa? Setelah dirunding-runding, akhirnya jatuh pilihan
mendatangkan Presiden Sukarno. Padahal pasukan Sekutu pemenang
perang belum mengakui adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tapi akhirnya memenuhi permintaan Mallaby, mereka meminta Presiden
Sukarno mendamaikan pertempuran di Surabaya. Kabar kedatangan
Presiden Sukarno sudah diumumkan. Tapi rakyat Surabaya sudah tidak
mau lagi percaya dengan janji-janji orang Inggris. Sudah beberapa kali
sebelum tembak-menembak di Surabaya, patinggi bangsa Indonesia di
Surabaya berunding dengan pihak Mallaby, sudah disepakati sesuatu,
tapi kemudian dilanggar. Maka kabar bakal datangnya Presiden Sukarno
juga harus diwaspadai. Radio Pembrontakan Rakyat Surabaya dengan
suara Bung Tomo yang selalu memantau perkembangan pertempuran
bersuara keras, para pemuda di Lapangan Terbang Morokrembangan
harus sigap. Kalau yang turun bukan Presiden Sukarno, harap ditembak
saja dengan penumpangnya yang lain.

Ternyata betul. Yang datang Bung Karno diikuti Wakil Presiden


Mohamad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin. Turun dari
pesawat mereka disambut oleh pemuda, dinaikkan kendaraan, dibawa
lari masuk kota dengan bendera Merah-Putih selalu dikibarkan di konvoi
mubil. Waktu itu Kota Surabaya sedang hujan peluru, dan jalan-jalan
besar dihalangi baik oleh barang, maupun gerombolan pemuda. Namun
rombongan Presiden Sukarno bisa dilarikan ke rumah Residen Sudirman
di Van Sandicctstraat (Jl. Residen Sudirman). Di sana diberi laporan dulu
oleh pihak pemerintah Indonesia.

Baru keesokan harinya berunding dengan Mallaby di rumah


dinas Gubernur (Grahadi). Sebelum Mallaby tiba, datang dulu Drg.
Mustopo yang digiring oleh Sabaruddin. Oleh para petinggi negara,
antara lain Wakil Presiden Moh. Hatta, Mustopo dianggap sebagai
pemicu pertempuran dengan pasukan Inggris di Surabaya. Perbuatan
yang salah. Makanya langsung dipecat dari jabatannya oleh Presiden
Sukarno.

Hukum Kepolisian Hal 19


Hasil perundingan dengan Mallaby, harus secepatnya
diumumkan gencatan senjata. Pengumuman tadi harus segera
disiarkan. Di siarkan lewat mana, wong RRI Simpang sudah terbakar
hangus? Akhirnya diumumkan lewat siaran Radio Pemberontakan
Rakyat Surabaya Jalan Mawar 10. Bung Karno dan Mallaby bersama
staf pergi ke sana untuk mengumumkan gencatan senjata. Baru
keesokan harinya (30 Oktober) diadakan perundingan yang mengatur
jalan tugasnya Mallaby mengangkut para tawanan keluar Surabaya.
Perundingan diadakan di Kantor Gubernur. Harus menunggu
kedatangan Panglima Divisi India 23, Mayor Jendral D.C.Hawthorn,
atasan Mallaby. Hawthorn tiba dengan pesawat dari Jakarta jam 09.15.

Sementara itu para pemuda Surabaya berdemonstrasi di depan


tempat berunding, mereka dengan gagah mengendarai tank rampasan
dari Jepang, berputar-putar tak berhenti di depan bekas gedung
Kenpeitai yang sudah menjadi gedung PTKR. Arek-arek Surabaya saat
itu sebagai pihak yang menang perang!

Diperoleh hasil, bahwa pasukan Mallaby diperbolehkan


mengangkut tawanan dengan mobil-mobil pasukan Inggris dari segala
tempat tawanan (tawanan bangsa Eropa terbanyak di Rumah Sakit
Darmo, sedang prajurit Jepang di Jaarmarkt (Hitech Plaza) dan Penjara
Koblen. Jalan-jalan besar yang akan dilalui mobil angkutan harus dibuka
lebar. Untuk mengawasi penyelenggaraan itu maka dibentuk Kontak
Biro, yaitu yang terdiri dari petinggi pasukan Inggris dan petinggi
pemerintah Kota Surabaya. Anggota Kontak Biro (Contact Bureau)
Inggris adalah: Brig. AWS Mallaby, Colonel LPH Pugh, Mayor M.Hodson,
Capt. H.Show, Wing Commander Groom. Dari Indonesia: Sudirman
(Resident), Dul Arnowo, Atmadji, HR.Mohammad, Sungkono, Suyono,
Kusnandar, Ruslan Abdulgani, T.D.Kundan.

Jam 13 Kontak Biro sudah selesai disusun, ditandatangani oleh


Hawthorn dan Presiden Sukarno. Karena Kontak Biro sudah terbentuk,
tinggal pelaksanaannya saja, maka Mayor Jendral D.C.Hawthorn dan
rombongan Presiden Sukarno meninggalkan tempat terbang kembali ke
Jakarta.

Hukum Kepolisian Hal 20


Kontak Biro terus berunding, akan bekerja menurut aturan yang
ditetapkan. Rencana bekerja selesai jam 16.30. Waktu itu di sana sini
masih terdengar tembak-menembak..Maka harus dicegah. Gencatan
senjata harus dilaksanakan. Maka para perunding langsung bekerja
akan mendatangi tempat yang masih terdengar tembak-menembak.
Yaitu yang pertama di Jembatan Merah. Dengan beberapa mobil dari
depan gedung Gubernur tempat mereka berunding, mereka menuju
pertama kali ke Jembatan Merah. Waktu melalui jalan Societeitstraat (Jl.
Veteran), rombongan mobil sering dihadang oleh pemuda-pemuda
Surabaya yang memprotes mengapa harus gencatan senjata, wong kita
menang. Tentara Inggris harus meninggalkan gedung, agar aman.
Mendapat hadangan begitu gaanti-berganti Dul Arnowo dan Residen
Sudirman memberikan penerangan tentang pentingnya gencatan
senjata. “Ya, tentara Inggris harus meninggalkan gedung, baru aman!”

Gedung Internatio di sebelah barat lapangan Jembatan Merah,


diduduki tentara Inggris. Mereka dikurung oleh rakyat Surabaya, tapi
masih saja melawan. Maka rombongan mobil Kontak Biro melalui
Herenstraat (Rajawali) mendekati gedung Internatio. Berhenti di pertiga
depan gedung. Hanya mobil Mallaby yang menuju depan gedung. Di
sana, komandan pasukan Inggris Mayor Venu Gopal (Gurkha) keluar di
teras, bercakap-cakap dengan Mallaby. Setelah itu, Mallaby dengan
mobilnya berangkat lagi ke utara, lalu belok ke timur melalui Willemplein
Noord (jalan sebelah utara lapangan) menuju Jembatan Merah.
Sepanjang perjalanan dikerumuni para pengepung gedung Internatio,
minta supaya tentara Inggris angkat kaki dari gedung. Sampai di ujung
barat Jembatan Merah bertemu lagi dengan rombongan mobil dari
Kontak Biro Indonesia. Permintaan rakyat kian ramai, sehingga
rombongan sulit berjalan. Maunya meneruskan misi ke daerah
Kembangjepun yang juga masih terdengar tembak-menembak. Tetapi
karena penuh sesak dikerumuni rakyat, para pihak Kontak Biro
berunding di tempat. Akhirnya Mallaby setuju mengutus stafnya datang
ke gedung, untuk membicarakan hal meninggalkan gedung. Yang diutus
Kapten Show, perwira penyelidik yang sudah beberapa kali ikut
berunding dengan pihak Indonesia. Kepergian Kapten Show akan diikuti

Hukum Kepolisian Hal 21


oleh utusan dari Indonesia. Dipilih HR.Mohammad, yang berpakaian
tentara dan yang paling tua. Untuk mengetahui bahasa mereka di
gedung, pihak Indonesia menyertakan TD.Kundan (warga Surabaya
keturunan India) sebagai jurubahasa. Ketiga orang tersebut
menyeberangi taman Willemplein (Taman Jayengrono), lalu masuk ke
gedung. Namun belum sampai 15 menit, terlihat TD Kundan lari keluar
dari gedung, dan menyuruh orang bertiarap atau berlindung. Akan ada
tembakan. Belum jelas teriakan TD Kundan, ternyata benar terdengar
rentetan tembakan dari dalam gedung. Maka gemparlah pengepung
gedung di lapangan. Termasuk para anggota Kontak Biro Indonesia.
Mereka pada menyelamatkan diri, kebanyakan terjun ke Kalimas, dan
menyeberang ke sebalah timur. Karena sudah berunding begitu lama
(dari pagi sampai magrip) dengan akhir begitu, para petinggi Kontak Biro
Indonesia tidak bertemu lagi malam itu, masing-masing pulang sendiri-
sendiri. HR. Mohammad masih terkurung di dalam gedung. (Baru
keesokan harinya dilepas oleh tentara Inggris di gedung itu). Keesokan
harinya (31 Oktober 1945) mobil Mallaby ditemukan hancur di tempat,
Dan Brigadir Mallaby tewas di dalamnya. Konon ditemukan oleh Dr.
Sugiri, dan dibawa ke Rumah Sakit Simpang Surabaya.

Hari Rabu 31 Oktober 1945, Jendral Christison selaku Panglima


Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara mengeluarkan pengumuman yang
mengandung ancaman (Warning to Indonesian), Presiden Sukarno
mendapat perintah untuk datang jam 11 di Markas Besar Jendral
Christison di Jakarta. Diberi tahu bahwa Brigadir AWS Mallaby telah
dibunuh secara keji sekali, ketika menjalankan tugas berunding dengan
pemimpin extremis Indonesia (Kantor Berita Belanda ANP). Dul Arnowo
memberikan laporan berdasarkan kenyataan. Malam itu juga Presiden
Sukarno berpidato melalui radio, menyesalkan kejadian tersebut. Dalam
pidatonya antara lain mengemukakan: Surabaya merupakan satu
kekuatan nasional kita. Di Surabaya TKR tersusun sangat baik. Pemuda
dan kaum buruh telah membentuk persatuan-persatuan yang sangat
teguh.

Hukum Kepolisian Hal 22


1 – 10 November 1945.

Hari-hari selanjutnya keadaan Kota Surabaya tidak banyak


bergolak. Pelaksanaan pengangkutan tawanan perang berjalan lancar-
lancar saja seperti yang telah dikukuhkan pada rapat-rapat Kontak Biro
yang lalu. Gubernur RMTA Suryo melaksanakan tugas dengan sebaiki-
baiknya. Pertama kali mengatur perekonomian rakyat Jawa Timur.
Mengundang para pejabat datang ke Kantor Gubernur, diadakan arahan.

Hari Rabu 7 November 1945, Ruslan Abdulgani selaku sekretaris Kontak


Biro menerima telepon dari Wing Commander Groom, pengganti Kapten
Shaw, menyampaikan undangan kepada Gubernur Suryo bersama
pemimpin dan anggota Kontak Biro untuk datang ke Bataviaweg (Jl.
Jakarta) berkenalan dengan Jenderal Manseergh, pengganti Brigadir
Mallaby. Jam 12.00 dengan berkendaraan mobil anggota Kontak Biro
dan Gubernur Suryo menuju Bataviaweg. Kolonel Pugh dan Wing
Commander Groom menerima rombongan di ruang sidang. Mayor
Jenderal Mansergh yang berbadan tegap dan mengempit tongkat
komando di tangan kiri masuk ruangan. Setelah berjabatan tangan
dengan rombongan, semua dipersilakan duduk. Mansergh lalu
mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya dan minta agar TD.Kundan
untuk menterjemahkan akan apa yang dibacanya. Isi surat yang
bernomor G-5 12-1 semula tertanggal 3 November 1945 dicoret dengan
tinta dan diganti menjadi 7 November 1945 itu menuduh bahwa telah
diinsafi sepenuhnya oleh seluruh dunia, bahwa orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dibiarkan membawa senjata, dibiarkan merampok,
melakukan pengkhianatan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita dan
anak-anak yang tidak bersenjata, dan melakukan lain-lain tindakan
keganasan yang sangat biadab. Itu semua menjadi tanggung jawab
Tuan (Gubernur Jawa Timur). Mansergh minta supaya diatur lebih lanjut
mengenai evakuasi warga negara asing yang ingin dipulangkan, dan
supaya semua tentara Sekutu yang luka dan hilang, truk, peralatan dan
sebagainya dengan segera dikembalikan.

Semua tuduhan Mansergh disangkal oleh Gubernur Suryo dengan tegas


tapi sopan.

Hukum Kepolisian Hal 23


Kemudian Mansergh meninggalkan sidang dan minta Kolonel Pugh
untuk mewakili pihak Inggris. Perbuatan ini ditiru oleh Gubernur Suryo. Ia
berdiri dan meninggalkan sidang dan menugaskan Dul Arnowo dan
Sungkono untuk meneruskan pembicaraan atas nama Indonesia.
Perundingan dilanjutkan dengan suasana tegang.

Secara diam-diam Sekutu memperkuat posisinya. Tanggal 1


November pukul 08.00 Laksamana Muda Patterson dengan kapal
perang HMS Sussex tiba di Surabaya, 1500 pasukan didaratkan dengan
kapal Carron dan Cavallier. Tanggal 3 November menyusul pula Mayor
Jendral E.C.Manseergh, Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, tiba di
Surabaya dengan membawa 24.000 pasukan, lengkap dengan panser,
satu divisi arteleri dilindungi dari Tanjungperak dan Ujung oleh satu
kruiser dan empat destroyer dengan meriam jarak jauh yang lengkap,
ditambah 21 Sherman tank dan meriam yang dilindungi 24 pesawat
terbang jenis Mosquito (pemburu) dan Thunmderbolts (pelempar bom).
Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak yang
mengadakan straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya.
Kekuatan laut yang dikerahkan oleh Inggris terdiri dari jenis kapal LST
destroyer. Kapal itu dibawah komando Naval Commander Force 64 yang
dipimpin olehCaptain RCS Carwood. Beberapa buah kapal ini sudah
beroperasi sejak kedatangan Inggris 25 Oktober 1945. Dan banyak lagi
kekuatan Inggris dari laut, udara dan darat untuk menyerbu Surabaya 10
November 1945.

Esok harinya, Kamis 8 November 1945, Gubernur Suryo


menerima sepucuk surat dari Mayor Jendral Mansergh disampaikan
melalui kurirnya. Isinya menuduh bahwa Kota Surabaya telah diduduki
oleh para perampok, pihak Indonesia tidak menepati janji yang telah
dimupakati bersama. Indonesia menghalangi tugas melucuti senjata
Jepang. Oleh karena itu ia dengan tentaranya akan menyerbu Surabaya
dan sekitarnya, demikian juga daerah lain Jawa Timur, untuk melucuti
‘gerombolan yang tak mengenal aturan tertib hukum itu’. Pada akhir
surat Mansergh “memanggil” Gubernur Suryo untuk datang di kantornya
hari Jumat 9 November 1945 jam 11.00 pagi.

Hukum Kepolisian Hal 24


Gubernur Suryo membalas kedua surat itu bernomer 1-KBK
tertanggal 9 November 1945 menjawab satu per satu secara singkat apa
yang dituduhkan itu. Surat itu diantarkan ke kantor Manserg oleh
Residen Sudirman, Ruslan Abdulgani dan TD Kundan, tiba di tempat
Mansergh jam 11.00. Mansergh tidak mengira yang datang hanya
utusannya, bukan Gubernur Suryo sendiri. Begitu menerima suratnya,
Manseerg lalu memberikan dua dokumen (yang sudah dipersiapkan),
yaitu satu ultimatum kepada “All Indonesians of Surabaya” dengan
“instruction”. Yang satu lagi adalah surat penjelasan atas ultimatuim
tersebut yang dialamatkan kepada RMTA Suryo, tertanggal 9 November
1945 dengan nomor G-512-11.

Surat ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya agar


menyerahkan segala senjata yang mereka miliki. Semua pemimpin
pemerintahan, pemuda, badan-badan perjuangan, diharuskan melapor
dan menyerahkan diri kepada Inggris. Surat itu juga berisi instruksi cara-
cara mereka harus menyerahkan diri. Sedang surat untuk Gubernur
Suryo juga dijelaskan macam senjata apa saja yang harus diserahkan.
Tidak hanya senapan, pistol, tank, granat, meriam, mortir, tetapi juga
“spears, knifes, swords, sarpened bamboos, keris, blow-paper, poisoned
arrows and darts”

Sudah ada usaha mencegah dilaksanakan ultimatum oleh


RH.Mohammad dan Residen Sudirman, dan juga oleh Dokter Sugiri dan
Ruslan Abdulgani. Tetapi tidak berhasil. Surat Gubernur Suryo tidak
diperdulikan.

Pada siang hari jam 12.00 pesawat terbang Inggris


menyebarkan pamflet di atas Kota Surabaya. Isinya juga ultimatum itu
tadi.

Para pimpinan di Surabaya segera mengadakan hubungan


dengan Pemerintah Pusat di Jakarta. Maksudnya melaporkan kepada
Presiden agar Presiden mendesak Inggris untuk mencabut
ultimatumnya. Sore hari itu Gubernur Suryo, Residen Sudirman dan Dul
Arnowo berkumpul di Pension Marijke Embong Sawo untuk

Hukum Kepolisian Hal 25


membicarakan keadaan yang genting itu. Berkali-kali hubungan telepon
ke Jakarta baru bisa sambung 1930 lansung dengan Presiden Sukarno.
Presiden sudah berusaha dan Menteri Luar Negeri Akhmad Subarjo juga
sudah menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta.
Presiden minta agar para pimpinan di surabaya menanti hasil
pembicaraan Menteri Luar Negeri Subardjo. Sampai jam 21.00 belum
ada kabar. Pukul 22.00 baru Dul arnmowo berhasil mengadakan kontak
lagi dengan Jakarta. Menteri Luar Negeri Akhmad Subardjo sudah
bertemu dengan Christison, tetapi tidak berhasil mengubah pendirian
pimpinan tentara Inggris agar mencabut ultimatumnya itu. Akhmad
Subardjo akhirnya bilang, “…. saya tidak dapat menilai keadaan di
Surabaya, kalau Saudara berpendapat dapat mempertahankan kota itu,
pertahankanlah!”

Dengan adanya keputusan Pemerintah Pusat melalui Menteri Luar


Negeri Akhmad Subardjo, maka Gubernur Suryo dibantu oleh Dul
arnowo yang sedang di Kantor Gubernur segera menyusun teks pidato.
Teks pidato tadi kemudian disiarkan oleh Gubernur Suryo lewat
pemancar RRI Surabaya yang ada di Embong Malang (sekarang jadi
hotel JW Marriot).

“Saudara-saudara sekalian,

Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan


peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka,
sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di
Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal.
Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus
menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani
menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah:


Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam
menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap
itu. Kita tetap menolak ultimatum itu.

Hukum Kepolisian Hal 26


Dalam menghadapi kemungkinan besok pagi, mari kita semua
memelihara persatuan yang bulat antara Pemerintah, Rakyat, TKR,
Polisi dan semua Badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari
kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha kuasa, semoga kita
sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam
perjuangan.

Selamat berjuang!

Demikian isi pidato Gubernur Suryo yang dibacakan dengan tenang,


tetapi tegas dan mantap. Pidato itu telah mendapat sambutan rakyat
Surabaya dan menambah semangat berjuang mereka. Lebih-lebih
sesudah mendengarkan siaran Radio Pemberontakan Rakyat pimpinan
Bung Tomo.

Keesokan harinya tanggal 10 November 1945, mulai jam 06.00


Kota Surabaya dihujani peluru dari laut, darat dan udara. Para pemuda
dengan bersenjata seadanya melawan serangan-serangan Inggris yang
menggunakan granat, mortir, tank raksasa. Yang dihadapi oleh para
pejuang hanya jatuhan bom, peluru dan meriam. Orang Inggrisnya tidak
kelihatan. Meskipun begitu, Kota Surabaya yang diperkirakan akan
hancur perlawanannya dan takluk selama gempuran satu minggu
selesai, ternyata bertahan hingga akhir November 1945. Akhir November
1945, para pejuang Indonesia baru angkat kaki dari Gunung sari dan
Waru. Pada bulan Desember 1945, masih ada sisa-sisa perlawanan di
Gedangan dan Krian. Tidak ada lagi pemerintahan bangsa Indonesia di
Kota Surabaya sejak itu. Sejak itu Kota Surabaya diperintah oleh
A.M.A.C.A.B (Allied Military Adminstration Civil Affairs Branch). Setelah
misi pasukan Inggris selesai, pemerintahan kota diberikan kepada
pemerintah Belanda. Baru kembali ke Pemerintah Republik Indonesia
tahun 1950. Awalnya sebagai Ibu Kota Negara Jawa Timur, tetapi
segera menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Timur, bagian dari provinsi
Negara Kesatuan Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945.

Hukum Kepolisian Hal 27


ULASAN KOMENTAR MENGENAI PERISTIWA DI SURABAYA

Hukum Kepolisian Hal 28

Вам также может понравиться