Вы находитесь на странице: 1из 43

LAPORAN KASUS

“SEORANG PEREMPUAN USIA 58 TAHUN DENGAN KELUHAN BERAK


CAIR”

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


di RSUD Tugurejo Semarang

Pembimbing :
dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

Disusun Oleh :
Sri Sugianti
H2A014045P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Sri Sugianti


NIM : H2A014045P
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Stase : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Oktober 2017

Pembimbing,

dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD


DAFTAR MASALAH

Tanggal Masalah Aktif Masalah Pasif


08 Oktober 2018 Gastroentritis

Dehidrasi sedang
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.S
Umur : 58 tahun
Alamat : Wonosari RT 04/08 Ngaliyan, Semarang
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SD
Tanggal masuk RS : 06 Oktober 2018
No. RM : 56-82-XX
Ruang : Dahlia 2/2.19

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
pada tanggal 08 Oktober 2018 pukul 14.15 WIB diruang Dahlia 2.
1. Keluhan Utama : Berak cair
2. Riwayat penyakit sekarang
Seorang pasien perempuan datang ke IGD Rumas Sakit
Tugurejo Semarang dengan keluahan berak cair. Keluhan
dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Pasien mengeluh berak cair
berwarna kuning kecoklatan, berlendir, tidak berdarah, tidak
berbau busuk dan tidak berampas. Berak terus-menerus sebanyak
16x dalam satu hari, volume tiap berak cair kurang lebih setengah
gelas belimbing. Keluhan disertai demam (+), mual (+), muntah
(+) sebanyak kurang lebih 5 kali, muntahan berupa apa yang
dimakan, lemas (+), pusing (-), Nyeri perut (+) dirasakan pasien
selama 2 hari terus menerus, nyeri perut seperti ditusuk-tusuk.
Keluahan tidak diberikan obat apapun.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat Diabetes Militus : disangkal
f. Riwayat asam urat : disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit DM : disangkal

5. Riwayat sosial dan pribadi


a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
c. Riwayat cuci tangan : cuci tangan sebelum dan
sesudah makan jarang dilakukan.

6. Riwayat ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya
mengasuh cucunya. Pasien memiliki binatang peliharaan
burung di rumah. Pasien berobat dengan menggunakan BPJS
PBI.

C. ANAMNESIS SISTEM
1. Keluhan utama BAB cair
2. Kepala Pusing (-), Sakit kepala (-), jejas (-), leher kaku (-),
rambut rontok (-)
3. Mata penglihatan kabur (-), mata cekung (+) pandangan
ganda (-/-), konjungtiva anemis (+/+), berkunang-
kunang (-/-), skelra ikterik (-/-)
4. Hidung pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
5. Telinga pendengaran berkurang (-/-), berdenging (-/-), keluar
cairan (-/-), darah (-/-).
6. Mulut Bibir kering (-), sariawan (-), hiperemis (-), gusi
berdarah (-), lidah kotor (-).
7. Leher Pembesaran kelenjar limfe (-)
8. Tenggorokan sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
9. Respirasi sesak nafas (-), batuk (-)
10. Kardiovaskuler nyeri dada (-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-)
11. Gastrointestinal mual (+), muntah (+), BAB cair (+), BAB darah (-),
BAB lendir (+), nyeri perut (+), kembung (-), diare (+),
nafsu makan menurun (-), BB turun (-).
12. Muskuloskeletal nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-)
13. Genitourinaria warna urin seperti teh (-), tidak bisa BAK (-), nyeri saat
kencing (-), keluar darah (-), kencing nanah (-)
14. Ekstremitas atas luka (-/-), kesemutan (-/-), kaku digerakan (-/-) bengkak
(-/-), sakit sendi (-/-) panas (-/-).
15. Ekstremitas luka (-/-), kesemutan (-/-), kaku digerakan (-/-), oedem
bawah (-/-), sakit sendi (-/-), panas (-/-), Nyeri (-/-)
16. Neuropsikiatri kejang (-), gelisah (-), mengigau (-)
17. Integumentum kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-)
D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 08 Oktober 2018 pukul
14.50 WIB diruang dahlia 2.
1. Keadaan umum : Tampak lemas
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15, E4M6V5
4. Tanda vital :
a. Tekanan darah : 121/86 mmHg
b. Nadi : 98x/menit
c. RR : 21x/menit
d. Suhu : 36,9 ºC
e. Berat badan : 52 kg
f. Tinggi badan : 150 cm
g. IMT : 23.1 ( gizi cukup )
h. Skala nyeri :3
i. Risiko Jatuh : 20

No Risiko Skala Nilai Skor


1 Riwayat jatuh yang baru/dalam 3 Tidak = 0 0
bulan terakhir Ya = 25
2 Penyakit penyerta Tidak = 0 0
Ada = 15
3 Alat bantu: 0
Bedrest dibantu perawat 0
Penopang 15
Furniture 30
4 Memakai terapi IV Tidak = 0 20
Ya = 20
5 Cara bejalan: 0
Normal/bedrest/imobilisasi 0
Lemah 10
Terganggu 20
6 Status Mental 0
Orientasi sesuai kemampuan diri 0
Lupa keterbatasan diri 15
Total skor 20
Skor 0-24 : Risiko rendah
25-44 : Risiko sedang
>45 : Risiko tinggi

5. Kepala : Bentuk mesocephal


a. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(+/+), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (±3mm),
reflek cahaya (+/+).
b. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
c. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
d. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
e. Leher
Simetris, trachea ditengah, KGB membesar (-), tiroid
membesar (-), nyeri tekan (-),
6. Thorax
a. Paru
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada AP<L AP<L
Hemithoraks Simetris Simetris
Retraksi ICS - -
Penggunaan otot - -
bantu pernafasan
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -
3. Perkusi Sonor hemithorax dextra Sonor hemithorax sinistra
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan - -

Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada AP<L AP<L
Hemithoraks Simetris Simetris
Retraksi ICS - -
Penggunaan otot - -
bantu pernafasan
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Nyeri tekan - -
Pelebaran ICS - -
3. Perkusi Sonor hemithorax dextra Sonor hemithorax sinistra
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan - -

b. Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea
midclavicula sinistra.
Pulsus Epigastrium (-)
Pulsus Parasternal (-)
Pulsus Defisit (-)
Sternal lift (-)
Thrill (-)
3. Perkusi :
 Batas kanan bawah jantung : ICS V linea sternalis
dextra
 Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis
sinistra
 Batas pinggang jantung : ICS IIi linea parasternal
sinistra
 Batas kiri bawah jantung : ICS V 1-2 medial linea
Mideoclavicularis sinistra
4. Auskultasi
 Suara jantung I dan II, reguler
 Murmur (-)
7. Abdomen
a. Inspeksi : Perut datar, warna kulit sama dengan sekitar
b. Auskultasi : Bising usus (+), 24x/menit, succusion spalsh (-)
c. Perkusi : Timpani seluruh regio,pekak sisi (+), pekak alih(-),
Nyeri ketok ginjal (-)
d. Palpasi : nyeri tekan region epigastrika (+), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, tes undulasi (-)
8. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Edema -/- -/-
CRT <2 detik +/+ +/+
Luka -/- -/-
Kulit Pecah-pecah -/- -/-
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah lengkap ( 08 Oktober 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Normal
Lekosit 12.00 H 10^3/ul 3,8-10,6
Eritrosit 5.16 10^6/ul 4,4-5,9
Hemoglobin 13.90 g/dL 13,2-5,9
Hematokrit 41.80 % 40-52
MCV 82.00 fL 80-100
MCH 26.90 Pg 26-34
MCHC 33.30 g/dL 32-36
Trombosit 195 10^3 150-440
RDW 14.80 H % 11,5-14,5
PLCR 37.3 %
Diffcount
Eosinofil absolut 0.01 L 10^3/ul 0,045-0,44
Basofil absolut 0.02 10^3/ul 0-0,2
Netrofil absolut 10.35 H 10^3/ul 1,8-8
Limfosit absolut 1.06 10^3/ul 0,9-5,2
Monosit absolut 0.56 10^3/ul 0,16-1
Eosinofil 0.10 L % 2-4
Basofil 0.20 % 0-1
Netrofil 86.20 H % 50-70
Limfosit 8.80 L % 25-40
Monosit 4.70 % 2-8
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 124 mg/dL <125
Ureum 66.3 H mg/dL 10,0-50,0
Kreatinin 0.99 mg/dL 0,70-1,10
Kalium 3.02 L mmol/L 3,5-5,0
Natrium 136.1 mmol/L 135-145
2. Faeces Rutin ( 08 Oktober 2018)

Faeces Hasil Nilai normal


Makroskopis
Warna Coklat Kuning
Konsistensi Lembek Lembek
Lendir Positif Negatif
Darah Negatif Negatif
Faeces
Mikroskopis
Telur cacing Negatif Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Eritrosit 0-2 Negatif
Leukosit 2-3 Negatif
Sisa makanan + Negatuf

F. RESUME
Seorang pasien perempuan usia 58 tahun datang ke IGD Rumah
Sakit Tugurejo Semarang dengan keluahan berak cair. Keluhan
dirasakan sejak ± 1 hari SMRS. Pasien mengeluh berak cair berwarna
kuning kecoklatan, berlendir, tidak berdarah, tidak berbau busuk dan
tidak berampas. Berak terus-menerus sebanyak 16x dalam satu hari,
volume tiap berak cair kurang lebih setengah gelas belimbing. Keluhan
disertai demam (+), mual (+), muntah (+) sebanyak kurang lebih 5
kali, muntahan berupa apa yang dimakan, lemas (+), pusing (-), Nyeri
perut (+) dirasakan pasien selama 2 hari terus menerus, nyeri perut
seperti ditusuk-tusuk. Keluahan tidak diberikan obat apapun. Riwayat
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan jarang dilakukan. Pasien
memiliki binatang peliharaan burung di rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan status gizi
cukup. Pasien tampak lemas dengan TD 121/86 mmHg, Nadi
91x/menit regular, kuat angkat, RR 21x/menit, suhu 36,9oC. Pada
pemeriksaan thorax dalam batas normal.Pada pemeriksaan abdomen
terdapat nyeri tekan pada region epigastrium (+).
G. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang

1. Berak cair 9. Nyeri tekan 10. Lekosit 12.00 H


2. Disertai lender epigastrium (+) 11. RDW 14.80 H
3. Demam 12. Eosinofil Absolut 0.01 L
4. Mual 13. Netrofil absolut 10.35 H
5. Muntah 14. Eosinophil 0.10 L
6. Lemas 15. Neutrophil 86.20 H
7. Nyeri perut 16. limfosit 8.80 L
8. Kebiasaan mencuci 17. Ureum 66.3 H
tangan jarang 18. Kalium 3.02 L
dilakukan 19. Faeces mikros lender (+)
20. Faeces makros eritrosit
0-2
21. Faeces mikros leukosit
2-3

H. DAFTAR MASALAH
1. Gatroentritis (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13,14,15,16,20,21,22)
2. Dehidrasi ringan (6,19)

I. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


1. Gastroentritis
Assesment:
a. Etiologi
Infeksi bakteri atau amoeba
b. Faktor resiko
- Hygine sanitasi yang buruk
c. Komplikasi
- Kehilangan cairan dan kelainan elektorlit
- Haemolityc uremic Syndrome (HUS)
Initial Plan
Diagnosis
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan feses
Tatalaksana
- Infus Ringer Laktat 30 tpm
- Ceftriaxone 1 gr IV
- Ranitidine 1 amp IV
- Ondansentron 1 amp IV
- New diatabs 3 x 1 tab
Monitoring
- Monitoring tanda vital dan keadaan umum
- Monitoring cairan dan elektrolit
- Monitoring konsumsi makanan dan obat
Edukasi
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit,
penyebab dan pengobatan yang dilakukan
- Menjelaskan untuk menghindari makanan pedas, manis dan yang
dapat melukai saluran pencernaan

2. Dehidrasi Sedang
Assesment:
a. Etiologi
- Kurangnya asupan cairan
b. Faktor resiko
- Diare
c. Komplikasi
- Hipokalemi
- Kejang
- Syok hipovolemik
- Gagal ginjal
- Sindrom delirium
- Malnutrisi
Initial Plan
Diagnosis
- Ureum dan keratinin darah
- Berat jenis urine
Tatalaksana
- Infus Ringer Laktat 30 tpm
- zink

Monitoring
- Monitoring tanda vital dan keadaan umum
- Monitoring cairan dan elektrolit
Edukasi
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit,
penyebab dan pengobatan yang dilakukan
- Menjaga konsumsi makanan dan minuman
J. PROGRES NOTE
Tanggal Follow up
9/10/2018 S BAB cair 3x dan masih lemas
O KU: baik
Kesadaran compos mentis
TD: 131/82 mmHg
N: 87/menit
RR: 20x/menit
S : 36,7 o C
A Gastroentritis, Dehidrasi sedang
P Monitoring KU, TTV, elektrolit, ureum,
kreatinin
10/10/2018 S Pasien masih BAB cair 3x dan masih
lemas
O KU: baik
Kesadaran compos mentis
TD: 112/80 mmHg
N: 90x/menit
RR: 21x/menit
Suhu: 36,5 ºC
A Gatroentritis, Dehidrasi sedang
P Monitoring KU, TTV, elektrolit,ureum
11/10/2018 S Perut terasa perih
O KU: baik
Kesadaran compos mentis
TD: 127/80mmHg
N: 88x/menit
RR: 21x/menit
Suhu: 36,6 ºC
A Gatroentritis, Dehidrasi sedang
P Monitoring KU, TTV

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. 1,2
Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung
lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat
disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.3
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat.4,5
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab
terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp,
V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01,
dan Salmonella paratyphi A.7

EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di
Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan
pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke
empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.
Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun
sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar
200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap
tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap
tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun.9
Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien
diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi,
berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk
penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi
diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri
dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang
disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti
mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan
lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen
biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi
cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada
pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya
adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam
magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi
yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat
toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam
empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat
menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik
usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory
bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis,
sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri
paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan
penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang
invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi
pertahanan mukosa usus.

Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel.
Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor
antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti
Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di
dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi
serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator
seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga
memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini
akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan
gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella.

Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin
adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat
menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC
serta V. Parahemolyticus.

Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi
inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida
dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP
selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili,
membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida.
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor
neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1
VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT,
neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat
antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit,
latar belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik,
riwayat perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,3,13
Pendekatan umum Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat
pada gambar 1.

KLASIFIKASI DIARE
1. Diare Osmotik
Pada diare osmotik didapatkan substansi intraluminal yang tidak dapat
diabsorpsi dan menginduksi sekresi cairan.24 Biasanya keadaan ini berhubungan
dengan terjadinya kerusakan dari mukosa saluran cerna.31 Akumulasi dari zat
yang tidak dapat diserap, misalnya magnesium (laksan, antasid), karbohidrat atau
asam amino lumen usus di dalam lumen usus menyebabkan peningkatan tekanan
osmotik intraluminal, sehingga terjadi pergeseran cairan plasma ke intestinal.
Akumulasi karbohidrat merupakan salah satu contoh dari tipe diare ini dan
paling sering terjadi. Karbohidrat seperti laktosa, sukrosa, glukosa dan galaktosa
dalam jumlah cukup besar di intestinal dapat disebabkan oleh gangguan
transportasi baik kongenital maupun dapatan. Misalnya pada laktosa intoleransi,
terjadi penurunan fungsi enzim laktase dari brush border usus halus. Laktosa tidak
dapat dipecah sehingga tidak dapat diabsorpsi. Laktosa yang tidak tercerna
menarik air ke dalam lumen sehingga terjadilah diare. Defisiensi enzim laktase
dapat terjadi primer maupun sekunder.
Berkurangnya atau tidak adanya enzim pankreatik dan gangguan asam
empedu dapat menjadi salah satu penyebab diare osmotik, contohnya
pada di ileum terminal. Pada penyakit ini, ileum terminal tidak dapat
mengabsorpsi asam empedu dengan baik, sehingga mengakibatkan berkurangnya
cadangan asam empedu dan mengganggu penyerapan lemak. Timbunan lemak
yang tidak terabsorpsi akan meningkatkan tekanan osmotik intraluminal dan
akhirnya menimbulkan diare.
Pada penyakit celiac, terjadi penumpulan vili-vili sepanjang usus halus
sebagai akibat respon imun terhadap antigen. Penumpulan vili ini mengakibatkan
gangguan penyerapan dan menimbulkan terjadinya diare.
Atrofi mikrovilli kongenital, terjadi penurunan fungsi absorpsi karena adanya
gangguan perkembangan brush border secara genetik.
Gangguan motilitas (waktu transit di intestinal terlalu cepat) menyebabkan
penyerapan tidak adekuat dan menimbulkan zat tak terserap di dalam usus.
Contohnya pada irritable bowel syndrome, hyperthyroidism, dan pseudo-
obstruction.
Karakteristik dari diare osmotik adalah diare akan membaik bila penderita
dipuasakan atau membatasi asupan.

2. Diare Sekretorik
Diare sekretorik mempunyai karakteristik adanya peningkatan kehilangan
banyak air dan elektrolit dari saluran pencernaan. Diare sekretorik terjadi karena
adanya hambatan absorpsi Na oleh vilus entrosit serta peningkatan sekresi Cl oleh
kripte. Na+ masuk ke dalam sel saluran cerna dengan 2 mekanisme pompa Na+,
yang memungkinkan terjadi pertukaran Na+-glukosa, Na+-asam amino, Na+-H+
dan proses elektrogenik melalui Na channel. Cl- masuk ke dalam ileum melalui
pertukaran Cl-/HCO3-.Peningkatan sekresi intestinal diperantarai oleh hormon
(Vasoactive intestinal polypeptide VIP), toksin dari bakteri (E. coli, Cholera)
dan obat-obatan yang dapat mengaktivasi adenil siklase melalui rangsangan pada
protein G enterosit. Akan terjadi peningkatan cyclic AMP intraseluler pada
mukosa intestinal akan mengaktifasi protein signalling tertentu, akan membuka
channel chloride. 24,30,31 Stimulasi sekresi khlorida merupakan respon pada
toksin kholera atau cholera-like toxin yang diperantarai oleh peningkatan
konsentrasi cAMP. Enterotoksin lain akan meningkatkan sekresi
intestinal dengan meningkatkan cGMP atau konsentrasi kalsium intraseluler.
Nitric-oxide diduga berperanan dalam pengendalian sekresi Cl.24 Peningkatan
sekresi pada sel kripte dengan hasil akhir berupa peningkatan
sekresi cairan yang melebihi kemampuan absorpsi maksimum dari kolon dan
berakibat adanya diare. Pada diare sekretorik biasanya pengeluaran tinja
dalam jumlah besar, menetap meskipun dipuasakan dan memiliki komposisi
elektrolit yang isotonik. Osmolalitas tinja isotonik dengan plasma. 28,32 Tipe
diare ini banyak terjadi pada diare yang disebabkan oleh infeksi, misalnya akibat
enterotoksin Kolera, E. coli, dll.
Secara skematik perbedaan tipe diare osmotik dan sekretorik dapat di lihat dalam
gambar di bawah ini.
MANIFESTASI KLINIS 8,14,15
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan
yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi
berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang
merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang
pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala
ini disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat
naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan
kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul
aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan
akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit
berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita
menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih
berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih
banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena
tanpa alkali.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit,
jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non
infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin.
Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan
Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95%
tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil,
keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi
dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 % terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita
diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau
latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus
dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas
darah dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14
Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya
tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6

Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16


a. Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan
makanan yang mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada
makanan yang tidak tepat cara pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus
stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi. Sekitar 75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang kemudian diikuti diare sebanyak 68 %. Demam sangat jarang
terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel darah putih tidak terdapat
pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang
terkontaminasi, atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan
antibiotik dalam mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.

Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk
spora. Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare,
dengan gejala muntah lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi, dan masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam.
Gejala akut mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang seringkali berakhir
setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam setelah asupan makanan
terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen. Mual dan
muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob,
membentuk spora. Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat
dari enterotoksin dan biasanya sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8
– 24 jam setelah asupan produk-produk daging yang terkontaminasi, diare
cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan mual, dan muntah.
Demam jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari
105 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan
C perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan
menyebabkan diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi
setelah 3 – 4 jam pada pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat
mempengaruhi transport cairan pada usus halus dengan meningkatkan cAMP,
sekresi, dan menghambat absorpsi cairan. Penyebaran kolera dari makanan
dan air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat
menjadi diare berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan
elektrolit dan volume darah. Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera
digantikan yang sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang
signifikan, dan penggantian yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat
ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
agresif. Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang
parah memerlukan cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare.
Tetrasiklin 500 mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg
sebagai dosis tunggal, merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif
pada kehilangan cairan menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %).
Vaksin kolera oral memberikan efikasi lebih tinggi dibandingkan dengan
vaksin parenteral.

Escherichia coli patogen


E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong.
Mekanisme patogen yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada
beberapa agen penting, yaitu :
1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2. Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3. Enteroadherent E. coli (EAEC).
4. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami
gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare
berat jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima kali atau kurang
dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul
pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat
sel darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi.
ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak
ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli,
lekosit feses jarang ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis.
EPEC dan EHEC dapat diisolasi dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi
latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare
dihindari pada penyakit yang parah. ETEC berespon baik terhadap
trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon yang diberikan selama 3 hari.
Pemberian antimikroba belum diketahui akan mempersingkat penyakit
pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari pada diare
yang berhubungan dengan EHEC.

b. Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air.
Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan
respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri
abdomen, demam, BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri
dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian feses
berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang
dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 – 4
minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status
karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk
gejala pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic
Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3
minggu sejak terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah
merah. Kultur feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan
sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena,
tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi
antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan
penyebaran bakteri. Trimetoprim-sulfametoksazole atau fluoroquinolon
dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan
di Amerika Serikat. Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium
merupakan penyebab. Awal penyakit dengan gejala demam, menggigil,
dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang abdomen. Occult
blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih
se. Kultur darah positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan
pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan
hidrasi adekuat. Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena
dapat meningkatan resistensi bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi
komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi dan berusia > 50 tahun),
immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal (osteomilitis,
abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari
selama 5 – 7 hari atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada
pasien yang tidak dapat diberi oral.

Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab
demam tiphoid. Demam tiphoid dikarakteristikkan dengan demam
panjang, splenomegali, delirium, nyeri abdomen, dan manifestasi sistemik
lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit sistemik dan memberikan
gejala primer yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Sumber
organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem
retikuloendotelial, menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer
pacthes di dalam usus halus. Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat
menyebabkan perforasi usus halus atau perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-
14 hari. Minggu pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri
abdomen, dan perbedaan peningkatan temperatur dengan denyut nadi. 50
% pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua terjadi
splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan
kesadaran dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada
minggu ini dengan diare kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya
ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah
positif pada 90% pasien pada minggu pertama timbulnya gejala klinis.
Kultur feses positif pada minggu kedua dan ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama
jangka waktu penyakit. Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis
kandung empedu dapat menjadi karier dari pasien yang telah sembuh dari
penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2
minggu. Jika terjadi resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh
dan karier disarankan sepalosporin generasi ketiga dan flourokinolon.
Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi sangat baik melawan S.
Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti
ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah menunjukkan
efikasi yang tinggi dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral
(ty21a) dan parenteral (Vi) direkomendasikan jika pergi ke daerah
endemik.

Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C.
Fetus, sering ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis
dari penyakit toksin dan invasi pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari
asimtomatis sampai sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam
setelah organisme masuk. Diare dan demam timbul pada 90% pasien, dan
nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%. Gejala lain yang
mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa
berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur
feses dapat ditemukan adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif
terhadap eritromisin dan quinolon, namun pemakaian antibiotik masih
kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat atau pasien
yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik
diberikan, eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup
efektif. Seperti penyakit diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit
merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya
gastroenteritis. V parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah
dihubungkan dengan konsumsi kerang mentah. Diare terjadi individual,
berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan dengan membuat kultur feses
yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi elektrolit dan
cairan. Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun
pasien dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan
menggunakan tetrasiklin.

Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan
sesuai dengan antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut
menginvasi epitel usus. Yersinia menghasilkan enterotoksin labil.
Terminal ileum merupakan daerah yang paling sering terlibat, walaupun
kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen,
yang dapat diikuti dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau
eritema multiforme). Feses berdarah dan demam jarang terjadi. Pasien
terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut. Diagnosis
ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir
dalam 1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak
diperlukan, namun dapat dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau
bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid dan Kuinolon nampaknya dapat
menjadi terapi empirik pada sepsis.

Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)


EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah
ini terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi
7-10 hari setelah asupan makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat
merupakan penyebab utama diare infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat
dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic Uremic Syndrom (HUS).
Centers for Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli 0157
dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-
invasif tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan kerusakan
endotel, hemolisis mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat
(hingga 10-12 kali perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang
menjadi berdarah. Nyeri abdomen berat dan kejang biasa terjadi, mual dan
muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan abdomen didapati distensi
abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam terjadi pada
1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit.
Lekositosis sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau
proteinuria atau timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik
mikroangiopatik (hematokrit < 30%), trombositopenia (<150 x 109/L), dan
insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah
terkena diare. Faktor resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak
dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti diare.Penggunaan antibiotik
juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS akan sembuh,
3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap
akhir dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit
trombositopenik purpura dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe
biasanya dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal
dan vaskuler. Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko
komplikasi infeksi EHEC. Nyatanya pada beberapa studi yang
menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko HUS. Pengobatan
antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat memperbaiki
gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.

Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Aeromonas menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin,
enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang
feses berdarah. Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa
ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang
atau kondisi yang berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia,
termasuk malignansi, penyakit hepatobiliar, atau pasien
immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim
sulfametoksazole.

Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif.
Kebanyakan kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air
tanpa olah dan perjalanan ke daerah tropik, Gejala paling sering adalah
nyeri abdomen, demam, muntah dan diare berdarah. Penyakit sembuh
sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik
adalah tritoprim sulfametoksazole.

PENATALAKSANAAN
A. Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5
g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g
glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-
paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan
secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak
mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan
dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi
harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus
diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang
keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai
cara : dikutip dari 8
BD plasma, dengan memakai rumus :
Kebutuhan cairan = x Berat badan (Kg) x 4 ml

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% x KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% x KgBB

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)


Kebutuhan cairan = x 10% x KgBB x 1 liter
Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan
:dikutip dari 18
Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka
kehilangan cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat
badan saat itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan
mental seperti bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau
sekitar 3,5 – 7 liter pada orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada
fase akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus : Na2 x BW2 = Na1 x BW1,
Na1 : Kadar Natrium plasma normal
BW1 : Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan
50% untuk wanita
Na2 : Kadar natrium plasma sekarang
BW2 : volume air badan sekarang

B. Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut
infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian
antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2), tetapi terapi antibiotik spesifik
diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

C. Obat anti diare


Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara
luas racecadotril yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim
enkephalinase sehingga enkephalin dapat bekerja kembali secara normal.
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti
diare yang dapat pula digunakan lebih aman pada anak.14
Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta
kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-
60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari.
Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan
absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi
frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan
dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala
demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10
Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan
infeksius atau toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar
kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya (Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid
dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi
feses tetapi tidak dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit.
Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam
bentuk kapsul atau tablet.9
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna
akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor
saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan
diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat.3,7,19

KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat.
Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik.1,8
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga
syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul
Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ.
Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat
sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.9,12,14
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre
tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

PROGNOSIS
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit,
morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di
Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %.
Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan
dengan sindrom uremik hemolitik.1

PENCEGAHAN1,3,13,16
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya
dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan
ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi.
Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang
diambil dari danau atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum
dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk
tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia
atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-
buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya
produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC
terakhir berhubungan dengan meminum jus apel yang tidak dipasteurisasi yang
dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi
efektivitas dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang
tersedia adalah untuk V. colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini
tidak begitu efektif dan tidak direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral
kolera terbaru lebih efektif, dan durasi imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid
parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan sering memberikan efek samping.
Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi hanya memerlukan 1 dosis
dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid oral telah
tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan memberikan
efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL,
Henry NK, et al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease. New York: Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the
Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-
51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd edition.
New York: Lange Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik
Indonesia. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-
01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management
of acute diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology
2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004;
53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial
Pathogens Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med Hyg
2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM,
Lesmana LA, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI
;1996. 451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea).
Dalam : Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi
Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi.
Surabaya : Airlangga University Press, 2002. 34 – 40.

10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and
Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan
Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11.Tatalaksana Penderita Diare. Available from:
http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med
2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in
Internal Medicine 2001. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit
Dalam FK UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew
WL, Henry NK, et al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious
Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 603 - 13.
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella &
Salmonella Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors.
Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy
Handbook. 5th ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M,
Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap
Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroentero-
hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003. 67-79.
19. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.

Вам также может понравиться