Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Suku Kajang

Suku kajang atau yang biasa disebut sebagai masyarakat Ammatoa atau
masyarakat Patuntung atau masyarakat kamase-masea merupakan kelompok masyarakat
lokal yang berdiam di Desa Tana Toa, daerah Possi Tana dan wilayah Balagana,yang terletak
di kabupaten bulukumba Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur kota
Makassar. Suku Kajang adalah salah satu masyarakat lokal yang dinilai memiliki sistem
kepercayaan yang unik, meskipun sistem tersebut masih bersifat dualistis. Pada satu sisi,
mereka percaya pada monoteisme yang ditandai dengan kepercayaan terhadap kekuatan
tunggal yang disebut Tu Rie’ A’ra’na. Di sisi lain, mereka juga percaya pada hal-hal yang
bersifat politeisme yang ditandai dengan adanya penyembahan dan pengabdian pada roh-roh
dan benda-benda seperti batu, gunung, dan sejenisnya. Dalam hal struktur dan lembaga
sosial, mereka juga memiliki struktur dan lembaga sosial yang bersifat formal. Di samping
itu, mereka juga memiliki lembaga sosial tidak formal yang dikenal dengan nama Adat
Limaya dan Karaeng Tallua. Sebagaimana lembaga atau struktur yang lain, di dalam lembaga
sosial tersebut juga terdapat aktor-aktor tertentu yang mengendalikan gerak dan peranannya
masing-masing. Daerah kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun perlu diketahui,
kajang di bagi dua secara geografis, yaitu kajang dalam (suku kajang, mereka disebut “tau
kajang”) dan kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative
modern, mereka disebut “orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative
modern, mereka disebut “tau lembang”).

Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi
seperti listrik, berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima peradaban,
itulah sebabnya di daerah kajang dalam tidak ada listrik bukan hanya itu apabila kita ingin
masuk ke daerah kawasan ammatoa (kajang dalam) kita tidak boleh memakai sandal hal ini
dikarenakan oleh sandal yang dibuat dari teknologi.

Bukan hanya itu bentuk rumah kajang dalam dan kajang luar sangat berbeda. Di kajang luar
dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama halnya dengan
rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam (kawasan ammatoa) yang
menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan.
Hal ini dikarenakan pada zaman perang prajurit kajang sering masuk kerumah penduduk
untuk mencari makan itulah sebabnya dapur dan tempat buang air kecilnya ditempatkan
didepan rumah bukan hanya itu agar prajurit juga tidak melihat anak dari pemilik rumah
karena prajurit beranggapan apapun yamg berada di dalam rumah itu adalah miliknya.

1. Sejarah Singkat Suku Kajang

Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung


jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang—atau yang juga disebut
masyarakat adat Ammatoa—dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi
secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam.

Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,


mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh
(sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal
ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas
pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus
dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).

Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan
Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa
Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa
Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan
Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan
dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan
Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa
Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).

Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya
berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana
dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi
dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian
sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang
kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).
2. Kondisi Perkampungan
Suku Kajang bermukim di Desa Tana Toa, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi
Selatan. Secara geografis, daerah tersebut merupakan daerah perbukitan yang bergelombang.
Dari beberapa wilayah tertentu di desa itu, dapat dilihat deretan pegunungan Lompobattang-
Bawakaraeng dan Lembah Bantaeng di sebelah Barat. Selain itu, di sebelah Timur juga
terlihat Teluk Bone dengan gugusan pulau-pulau Sembilan.Dilihat dari topografi-nya, desa
tersebut berada antara 50-200 meter di atas permukaan air laut dengan curah hujan rata-rata
5.745 mm/tahun. Sedangkan suhu udara di sana rata-rata 13-29 derajat celcius dengan
kelembaban udara 70% per tahun.
Secara administrasi, Desa Tana Toa berbatasan dengan beberapa wilayah, yaitu sebelah utara
berbatasan dengan Desa Batunilamung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bonto Baji;
sebelah timur berbatasan dengan Desa Malleleng; sebelah Barat berbatasan dengan Desa
Pattiroang. Pembagian administrasi tersebut juga membagi wilayah Desa Tana Toa, tempat
bermukimnya Suku Kajang, menjadi 13 RK (Rukun Keluarga) dan 19 RT (Rukun Tetangga)
yang dikelompokkan ke dalam sembilan wilayah dusun, yaitu Dusun Balagana, Dusun
Jannaya, Dusun Sobbu, Dusun Benteng, Dusun Pango, Dusun Bongkina, Dusun Tombolo,
Dusun Luraya, dan Dusun Balambina.
Secara total, luas wilayah Desa Tana Toa adalah seluaas 729 Ha dengan pembagian tertentu,
antara lain untuk fasilitas umum, pemukiman, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lain-lain.
Rincian dari pembagian lahan tersebut adalah luas lahan untuk jalan seluas 3,7 Ha; lahan
untuk bangunan umum seluas 5Ha; kahan untuk pemakaman seluas 5 Ha. Untuk
kebutuhan pertanian, pembagian lahannya adalah sebagai berikut:
lahan sawah dan ladang seluas 93 Ha. Sedangkan untuk aktivitas perekonomian, lahan untuk
pasar seluas 0,81 Ha; lahan untuk industri seluas 0,36 Ha; lahan untuk pertokoan seluas 0,32
Ha. Sisanya, sebesar 329, 67 Ha dipergunakan untuk pemukiman dengan rincian tanah
bengkok seluas 36,08 Ha; lahan perkantoran seluas 1,07 Ha; lahan bangunan peribadatan
seluas 1 Ha.
Selain pembagian wilayah tersebut, di pemukiman Suku Kajang ini juga terdapat
wilayah hutan adat dan hutan kemasyarakatan. Hutan adat sering disebut sebagai hutan
pusaka yang sifatnya keramat dengan total luas 317, 4 Ha. Segala sesuatu yang berada di
dalam hutan adat tidak boleh untuk dirusak, termasuk menebang kayu, memburu binatang,
apalagi membakar hutan. Hutan adat tersebut disebut juga sebagai Borong
Karama’ dipercaya oleh Suku Kajang memiliki nilai magis yang akan berdampak buruk pada
kehidupan mereka apabila melanggar aturan-aturan itu. Sedangkan kemasyarakatan memang
sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Luas hutan tersebut adalah 144 Ha
dimana masyarakat diperbolehkan untuk menggarap atau menebang pohon di dalamnya.
Meskipun demikian, mereka diwajibkan untuk menanam terlebih dahulu bibit pohon dengan
jenis yang sama sebelum ditebang. Hasil hutan itu mereka garap dan nikmati bersama
masyarakat Suku Kajang.
Lebih jauh lagi, wilayah pemukiman Suku Kajang secara umum memiliki ciri geologis
berupa lahan berpasir, gambut, dan sebagian wilayah merupakan tanah bebatuan. Dari
keseluruhan wilayah yang ada, kawasan hutan merupakan yang terbesar dan terluas yang
terdiri dari kawasan hutan adat, hutan lindung, dan hutan rakyat. Tanah hutan tersebut banyak
mereka pergunakan untuk sektor pertanian dan perkebunan.
3. Filosofi Alam
Sebagaimana masyarakat adat lainnya di Indonesia, Suku Kajang juga amat menjaga
hubungan baik dengan alam. Meskipun tidak memiliki pengetahuan formal dan hidup dalam
gelimang kecanggihan teknologi, Suku Kajang mengerti bagaimana mereka harus
berinteraksi dengan alam, terutama hutan mereka. Mereka paham bahwa sumber kekayaan
hutan tidak sepatutnya dieksploitasi, melainkan harus dijadikan sebagai pendamping
kehidupan sehari-hari.Hal itu mereka junjung karena adanya upaya penghormatan kepada
Sang Maha Berkehendak yang mereka yakini mewujud ke dalam sakralitas alam. Merusak
lingkungan dan alam samahalnya dengan menghianati ajaran Tuhan dan Ammatoa yang
memberikan mereka kehidupan selama ini. Kearifan lokal dan aturan adat sangat mereka
junjung tinggi, terutama yang berkaitan dengan praktik-praktik perilaku manusia dengan
alam. Apabila ada di antara Suku Kajang yang melanggar aturan tersebut, mereka harus siap
menanggung konsekuensi yang berat

4. Filosofi Manusia
Selain kepercayaan terhadap sakralitas alam, Suku Kajang juga memiliki tata tertib
tersendiri dalam mengatur hubungannya dengan Tuhan dan manusia. Tata tertib itu mereka
bentuk sebagai landasan hidup dan membina kehidupan sosial sesuai dengan perintah Tuhan.
Secara garis besar, ada dua jalur yang mendasari perilaku mereka, yaitu secara vertical dan
secara horizontal. Secara vertical maksudnya adalah untuk mengatur perilaku Suku Kajang
dengan Sang Pencipta, sedangkan secara horizontal dimaksudkan untuk mengatur hubungan
antara Suku Kajang dengan manusia lain.
Suku Kajang amat percaya bahwa menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial tidak bisa
dilepaskan dari pemenuhan hak terhadap orang lain dan kewajiban kepada manusia lainnya
pula. Dalam hidup bermasyarakat, mereka meyakini bahwa hubungan antarmanusia harus
didasari pada sama-sama memberi manfaat dan kebaikan. Selanjutnya, kewajiban lainnya
akan mengikuti, terutama berkaitan dengan hubungannya dengan alam semesta. Sebab,
kodrat manusia tidak dilepaskan dari alam semesta yang menjadi tempat bersandari bagi
pemenuhan segala kebutuhan hidup.
Secara umum, kepercayaan mereka dalam menjaga hubungan dengan alam semesta dibagi
menjadi empat, yaitu:
- Unsur tentang Tuhan atau wujud supranatural yang mencakup kekuatan ghaib
- Unsur tentang Roh yang berkaitan erat dengan konsep hari akhir, yaitu adanya surga dan
neraka
- Unsur etos kerja dan etika, yakni tujuan religius atau tendensi keakhiratan
- Unsur asal-usul terjadinya alam semesta.
Lewat aturan-aturan tersebut, mereka berkeyakinan bahwa manusia dan alam memiliki
hubungan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan alam sebagai produsen bagi
sehala kebutuhannya, sementara alam memerlukan manusia untuk menjaganya agar terus
lestari.

5. Filosofi Tempat Tinggal


Seluruh rumah Suku Kajang menghadap kearah Barat. Hal itu bukan tanpa alasan.
Barat dianalogikan sebagai sebuah arah dimana simbol dari nenek moyang mereka berada.
Konsep rumah yang mereka bangun juga seragam tanpa ada yang berbeda sedikit pun. Hal itu
mereka lakukan untuk mengungkapkan nilai kesederhanaan dan simbol keseragaman. Lebih
dari itu, material yang mereka gunakan untuk membangun rumah bukanlah batu bata
atau tanah. Membangun rumah dengan material tersebut adalah sebuah pantangan bagi
mereka. Sebab, mereka percaya bahwa hanya orang mati saja yang diapit oleh liang lahat
dan tanah. Kendati demikian, masih ada beberapa keluarga Suku Kajang yang menggunakan
batu sebagai bahan bangunan rumahnya. Walaupun mereka masih hidup, oleh Suku Kajang
yang lain keluarga mereka dianggap mati, berkaitan dengan pantangan tersebut.
Beberapa sumber penelitian menyebutkan bahwa filosofi membangun rumah tanpa batu bata
tersebut sebenarnya dilakukan oleh Suku Kajang dalam rangka melindungi hutan. Hal itu
cukup logis mengingat pembuatan batu bata tentu memerlukan lebih banyak kayu untuk
pembakarannya. Dengan demikian, jumlah pohon yang harus ditebang juga akan semakin
banyak. Larangan untuk membangun rumah dengan batu bata secara tidak langsung juga
mengurang penebangan hutan.
Lebih lanjut, bagian-bagian rumah Suku Kajang juga memiliki beberapa filosofi, beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
- Bagian atas rumah disebut dengan Parra yang merupakan tempat menyimpan bahan
makanan. Di bawah atap bagian kiri dan kanan terdapat loteng yang berfungsi sebagai rak
(para-para) tempat penyimpanan barang dan alat.
- Bagian tengah disebut dengan Kale Balla yang berfungsi sebagai tempat hunian
- Bagian bawah atau kaki rumah disebut dengan Sirih yang berfungsi sebagai tempat
melakukan kegiatan menenun, menumbuk padi atau jagung dan tempat ternak.
Seluruh rumah Suku Kajang memiliki bentuk yang serupa dimana seluruhnya terdiri dari
tiang-tiang yang ditanam dengan jumlah 16 batang. Kale Bolayya terdiri atas tiga bagian yang
masing-masing dipisahkan oleh pappamuntulang, yaitu latta riolo (tempat tamu), latta
tangnga (tempat tuan rumah menerima tamu) dan tala-tala (tempat tidur kaum wanita).
Apabila ada pengantin baru, maka tala-tala tersebut dibuat sejengkal lebih tinggi dari kedua
bagian rumah lainnya serta dibuat kamar khusus yang disebut bili’i. Belii’i sendiri berdinding
papan, berlantai bambu yang diikat satu sama lain, bertapa rumbia, dapur dan tempat buang
air kecil letaknya pada bagian latta riolo sebelah krii pintu dan pada bagian ujung atap
terdapat hiasan menyerupai ekor ayam yang disebut dengan anjong.
Pola pemukiman Suku Kajang didasarkan pada arah ketinggian. Mereka berbeda dengan
masyarakat Bugis di Makassar yang mayoritas pola pemukimannya mengikuti
aliran sungai atau pola pemukiman yang linear. Menurut mereka, rumah yang menghadap
ke gunung tidak baik jika berhadapan dengan lembah. Filosofi tersebut bermaksud untuk
mengatakan bahwa pola pemukiman mereka pilih agar rezeki yang berasal dari Tuhan dapat
diterima secara langsung ke rumah mereka, tanpa harus melalui perantara. Pola pemukiman
yang demikian juga dipilih agar rezeki tidak tercecer sehingga berujung pada hal-hal yang
tidak halal.

6. Kepercayan
Sebagian besar Suku Kajang memeluk agama Islam. Meskipun demikian, mereka
juga mempraktikkan sebuah kepercayaan adat yang disebut dengan Patuntung. Patuntung
diartikan sebagai mencari sumber kebenaran. Hal itu menyiratkan bahwa apabila manusia
ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka mereka harus menyandarkan diri pada tiga pilar,
yaitu Tuhan, tanah, dan nenek moyang. Keyakinan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang
paling mendasar dalam kepercayaan patuntung. Suku Kajang percaya bahwa Tuhan adalah
pencipta dari segala sesuatu, Mahakekal, Mahamengetahui. Mahaperkasa, dan Mahakuasa.
Tuhan atau yang disebut sebagai Turie’ A’ra’na menurunkan perintah atau wahyunya kepada
Suku Kajang melalui manusia Kajang pertama yang disebut Ammatoa. Wahyu tersebut dalam
kepercayaan mereka disebut dengan pasang. Pasang yang hendak disampaikan bukanlah
sembarangan. Pasang tersebut berisi panduan hidup Suku Kajang dalam segala aspek dan
lika-liku kehidupan. Nenek moyang mereka menurunkan pasang itu secara lisan dari generasi
ke generasi. Suku Kajang sendiri diwajibkan untuk mematuhi pasangtersebut. Mereka
berkeyakinan bahwa apabila mereka melanggar Pasang yang ada, berbagai macam hal buruk
akan terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka mengenal sebuah filosofi menyangkut hal itu,
yaitu “kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau kita langkahi, kita
akan lumpuh.
Agar pasang tersebut dipatuhi oleh seluruh Suku Kajang, Ammatoa harus terus menjaga dan
menyebarkan serta melestarikan pasang tersebut. Keberadaan Ammatoa diyakini sebagai
mediator atau penghubung antara manusia (Suku Kajang) dengan Tuhan. Mitos yang
berkembang di kalangan Suku Kajang mengatakan bahwa Ammatoa adalah manusia pertama
yang diturunkan diperkampungan mereka. Lokasi pemukiman yang sekarang mereka huni
diyakini sebagai tempat pertama kalinya Ammatoa diturunkan oleh Tuhan. Tidak heran jika
kemudian mereka menyebutnya sebagai Tanah Toa yang berarti Tanah tertua yang
diwariskan oleh leluhur mereka.
Ammatoa juga disebut sebagai manusia pertama yang mendirikan komunitas Suku Kajang
sekaligus pemimpin tertinggi mereka. Menurut cerita yang berkembang, Ammatoa turun ke
perkampungan Suku Kajang dengan mengendarai burung Kajang yang konon diyakini
sebagai cikal bakal terciptanya manusia. Setelah itu, terciptalah manusia yang menyebar ke
berbagai penjuru dunia. Di antara banyaknya manusia yang diciptakan oleh Tuhan itu, orang
Kajang dari Tana Toa adalah yang paling ia sayangi. Bagi Suku Kajang sendiri, kepercayaan
kepada Ammatoa itu dipercaya sebagai sebuah ralitas. Di tanah tempat Ammatoa pertama kali
mendarat, mereka mendirikan perkampungan yang kemudian dinamai sebagai Tanah
Toa atau tempat pertama kalinya manusia turun ke bumi. Oleh sebab itu, Suku Kajang
meyakini Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi mereka, yang mereka ikuti ajaran dan
petuahnya dalam kehidupan sehari-hari.

7 .Kearifan Lokal dan Penataan Ruang


Sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya, Suku Kajang amat berpegang
pada pasang sebagai sumber dari tata tertib kehidupan mereka. Konteks penataan ruang yang
dimaksud tidak hanya berkaitan dengan fisik (penataan pola perkampungan dan perumahan),
melainkan juga aspek manusia yang juga menjadi faktor berpengaruh terhadap ruang. Suku
Kajang percaya pada Pasang ri Kajang dalam pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pengaturan ruang, pelaksanaan dan pembinaan, serta pengendalian pemanfaatan ruang
dimana seluruh kalimat dan simbol-simbol yang termuat di dalamnya memerlukan
interpretasi budaya yang baik. Simbol-simbol yang ada selalu berkaitan dengan kearifan lokal
untuk mengelola lingkungan atau ruang oleh setiap individu dari Suku Kajang. Di
dalam pasang, Suku Kajang mensejajarkan diri dengan lingkungan dan alam, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ammatoa “Bila kamu merusak hutan, sama artinya kamu merusak
dirimu sendiri”. Sebagai masyarakat yang hidup di Tana Toa yang merupakan tanah
kebersahajaan, Suku Kajang harus menjunjung tinggi tata cara pergaulan yang sopan dan
santun. Beberapa adat istiadat yang mencerminkan hal itu antara lain :

a. Adat istiadat dalam bertutur kata


Mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk saling menghargai antarsesama
sekaligus antar masyarakat yang hidup di tempat berlainan. Bagi mereka, adalah sebuah
pantangan besar untuk berbicara kasar dan akan dicela oleh Suku Kajang yang lain apabila
berbicara dengan bertolak pinggang. Mereka dituntun untuk berbicara dengan tangan dilipat
di dada sambil membungkukkan badan dan menggulung sarung. Begitu pula dalam hal
menyapa, mereka dituntun untuk menggunakan sapaan yang akrab dan mulia seperti
menggunakan kata sapaan Puto untuk laki-laki dan Jaja’ untuk perempuan. Sementara itu,
untuk sapaan kepada serumpun mereka dianjurkan untuk menggunakan kata sapaan sesuai
tingkat kelahiran, seperti Kak Toa untuk anak sulung, Kak Tengnga untuk anak tengah
dan Lolo untuk anak bungsu. Lebih jauh lagi, Suku Kajang juga memberikan penamaan
kepada keturunan mereka sesuai dengan nama hewan, nama musim, dan nama mata angin.
Sebagai misal, Jammu, Sappang, Ka’cuppang yang berarti kodok; nama-nama musim
seperti Bara’ (musim hujan), Timoro’ (musim kemarau), dan nama mata angin
seperti Raja (timur), dan Lau’ (Barat). Sementara itu, mereka diharamkan untuk
mempergunakan nama nabi, malaikat, dan nama kebesaran Allah karena dinilai berat dan
menimbulkan kedurhakaan sekaligus menanggung dosa.

b. Adat istiadat dalam berpakaian

Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita
memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai
makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk
kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu
dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan,
kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Sarung hitam yang dikenakan
laki-laki merupakan buatan mereka sendiri yang dilakukan dengan menenun, kemudian
direndam ke dalam larutan yang terbuat dari daun tarum yang menyebabkannya menjadi
hitam pekat. Pakaian perempuan pun terdiri dari sarung dan baju bodo yang berwarna hitam
pekat. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya
kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.

c. Nilai-nilai sosial.
Suku Kajang percaya pasang yang di dalamnya memuat nilai dan adat istiadat yang
meliputi perbuatan yang mereka kerjakan. Perbuatan tersebut terdiri
dari siri’ (malu), kasipali(pantangan), dan kesenian. Adat istiadat yang mereka junjung antara
lain nilai kejujuran yang merupakan nilai utama ajaran pasang; nilai sabar (sa’bara) yang
harus dimiliki oleh seluruh Suku Kajang, terutama para pendidik; nilai konsekuen yang
merupakan nilai ketegasan yang harus dimiliki oleh pemimpin adat; nilai tenggang rasa yang
dianggap sebagai nilai positif dan berharga bagi kehidupan mereka. Mereka juga percaya
pada Siri’ yang merupakan sejumlah perbuatan yang akan menimbulkan rasa malu dan
hukuman berat kepada Suku Kajang yang melakukannya. Beberapa perbuatan itu adalah
larangan bagi perempuan berduaan dengan laki-laki yang bukan anggota keluarganya.
Mereka juga percaya pada Kasipalli yang merupakan larangan berat yang hukumannya akan
jauh lebih berat dibandingkan Siri’ apabila dilakukan oleh mereka. Beberapa perbuatan yang
dikategorikan dalam Kasipalli adalah menggunakan nama-nama nabi, malaikat, dan Tuhan,
berpakaian selain hitam dan putih, pantangan bagi janda untuk menggunakan pakaian selama
40 hari dan banyak bicara sejak kematian suaminya, pantangan mengubah bentuk asli rumah,
pantangan menggunakan kendaraan bermotor dan hal-hal lain yang bersifat berlebihan.
Lebih jauh lagi, Suku Kajang juga mengenal baik beberapa kesenian yang sifatnya temporar
dan insidental. Beberapa di antaranya adalah tari Pabitte Passapu, permainan
gendang, pencak silat pada saat perkawinan. Di dalam ajarang Pasang, Suku Kajang
diperkenankan untuk mengembangkan kesenian sendiri, namun tidak diperkenankan untuk
meniru kebiasaan atau kesenian para pendatang atau sesuatu yang dinilai bertentangan
dnegan prinsip-prinsip kesederhanaan mereka.
Selain ajaran-ajaran tersebut, pasang yang dipercaya oleh Suku Kajang juga percaya bahwa
dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara untuk menuju akhirat. Untuk bisa
menjangkau kehidupan akhirat yang baik, mereka perlu menerapkan pola hidup yang
sederhana. Hidup dengan cara sederhana menurut mereka merupakan cara atau ideologi yang
mempengaruhi bagiamana cara mereka mengatur pola keruangan dan cara mereka dalam
memenuhi kebutuhan kesehariannya. Sikap tidak berlebihan alias sederhana tersebut
kemudian akan berdampak pada cara mereka memenuhi makanan, pakaian, sawah, kebun,
rumah, dan pemanfaatan sumber daya hutan secara tidak berlebihan atau serampangan.
PENGKONDISIAN RUANG
1.KENYAMANAN RUANG
1.1. PENGUDARAAN
Pada dasarnya kenyamanan manusia dalam bangunan dapat dirasakan secara fisik
maupun non fisik. Kenyamanan fisik didasarkan pada kebutuhan standar, sedangkan non fisik
pada persepsi manusia. Pembahasan dititik beratkan pada kenyamanan fisik pengudaraan,
pencahayaan, dan bunyi/ kebisingan.
Kenyamanan pengudaraan ruang ditentukan 3 faktor yaitu:
a. Temperatur/ suhu
b. Kelembaban
c. Aliran udara
Adapun standar kenyamanan untuk setiap ruang ditentukan oleh macam kegiatan
yang dilakukan dalam ruang dan iklim setempat. Untuk daerah tropis dengan ciri-ciri
temperatur, kelembaban, dan aliran udara yang tinggi. maka untuk menunjang kenyamanan.
AC (pengkondisian udara buatan) sangat penting. Adapun manfaat lebih dalam penggunaan
AC antara lain:

a. Temperatur dan kelembaban (RH) udara konstan.


b. Kecepatan udara dapat diatur.
c. Udara bersih dan melindungi peralatan, arsip, file dan lainnya dari debu
d. Memberikan kenyamanan sehingga meningkatkan kemampuan kerja dalam ruang.

1.2. PENCAHAYAAN
Setiap ruang kegiatan memiliki standar kuat penerangan (illumination) yang berbeda-
beda sesuai dengan kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Adapun kualitas cahaya yang
baik adalah yang tidak menyilaukan, karena kesilauan dapat melelahkan mata dan tekanan
psikis. Pada daerah tropis, cahaya matahari merupakan potensi besar untuk penerangan ruang,
yang dalam hal ini harus diperhatikan adalah terang langit dan radiasi panasnya. Standar
terang langit minimal ( untuk kegiatan kerja seperti mengetik, menghitung dengan kalkulator
dan lain- lain) adalah 3000 lux12, dengan day light faktor (perbandingan terang langit di
dalam dan di luar ruang) sebesar 4%. Pencahayaan alami ini sering berubah-ubah kualitas
maupun kualitasnya. Selain itu untuk kasus ruang tertentu cahaya alami mempunyai
keterbatasan untuk masuk, dan keterbatasan pemerataan kuat penerangan dalam ruang,
sehingga pencahayaan buatan merupakan suatu hal yang mutlak.

1.3. KEBISINGAN
Kebisingan merupakon aspek yang perlu diperhatikan dalam perancangan ruang dan
bangunan. Karena mempengaruhi kenyamanan, ketenangan, maupun konsentrasi dalam
melakukan kegiatan. Dalam hal ini kebisingan ditentukan oleh unsur- unsur bunyi yaitu:

a. Tingkat bunyi (perbandingon dua tekanan bunyi yang lain Pn dan Pnn oleh telinga).
b. Nyaring bunyi (Fonn/phon : kesatuan kenyaringan subyektif yang diterima telinga).
c. Pantulan dan Serapan bunyi.
Kebisingan tergantung pada kebiasaan masing-masing yang disebut bunyi ambang,
yaitu kebisingan yang biasa dalam suatu ruangan, yang berasal dari bermacam-macam
sumber bunyi dan sudah terbiasa pada kita. Sehingga tidak merasa terganggu olehnya. Suatu
kebisingan mengganggu ataupun tidak tergantung dan pikiran dan keinginan dari
pendengarnya. Namun walaupun terbiasa dengan suatu kebisingan, hal ini dapat
mengakibatkan kerugian fisik maupun psikis. Contohnya, sampai tingkat bunyi 65 db (mesin
tik listrik berjarak 3 ml dapat menimbulkan kegelisahan psikis (bingung, gemetar, peka, dan
letih).

Kebisingan dari laur bangunan terutama pada jalan- jalan dengan kepadatan tinggi
mempunyai intensitas lebih kurang 70 db, tidak terlalu mengganggu untuk ruang-ruang yang
tertutup (memakai ACI atau dengan peredam kebisingan yang baik. Sedangkan kebisingan
dari dalam akibat penggunaan mesin/alat, gerak dari kegiatan yang terjadi, maupun karena
suara dari percakapan. Slander tingkat bunyi yang dapat diterima pada ruang kegiatan
berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan kegiatan yang berlangsung dalam ruang.
Untuk mencapai kenyamanan dari segi pengudaraan buatan, pencahayaan buatan dan
kebisingan, faktor hemat energi tetap merupakan bahan pertimbangan. Ada beberapa
pertimbangan dalam pencapaian hemat energi yaitu:
a. Penggunaan energi matahari yang dapat dirubah menjadi energi listrik.
b. Sistem pengudaraan dan pencahayaan alami dilakukan secara optimal.
c. Disain bangunan dan ruang dengan efisiensi tinggi.
d. Manajemen dan pengontrolon energi yang baik.

2. PERANCANGAN BANGUNAN
2.1. BENTUK MASSA
Bentuk massa sangat dipengaruhi oleh matahari dan penataan ruang dalam. Hal ini
dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Matahari
Matahari dapat mempengaruhi pemilihan bentuk dasar massa bangunan karena
mempengaruhi sinar matahari langsung yang masuk ke dalam bangunan untuk membantu
penerangan dalam ruang. Radiasi panas yang masuk sangat mempengaruhi beban
pendinginan AC. Pada label berikut dapat di lihat perbandingan tiga bentuk dasar
ruang/bangunan dengan luas yang sama.

Dari perbandingan di atas dapat dilihat bahwa cahaya alami yang masuk hampir sama,
radiasi minimal pada bentuk segi empat sama sisi. Maka segi empat soma sisi merupakan
bentuk terbaik dari segi pencahayaan alami maupun pengkondisian udara buatan.

b. Penataan Ruang
Bentuk massa mempengaruhi penataan ruang. Penataan ruang harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Efisiensi dan efektifitas penggunaan dan pengaturan ruang.
2. Fleksibilitas penataan perabot dan perubahannya.
3. Memperhatikan modul ruang berdasarkan ruang gerak manusia.
modul bahan yang dipakai maupun ukuran perabot.

2.2. ORIENTASI MASSA

Untuk mengatasi radiasi panas, sengat, dan silau matahari langsung dan kebisingan
akibat kepadatan lalu lintas, maka orientasi massa bangunan sangat dipengaruhi oleh:

a. Matahari
penyinaran langsung mengakibatkan radiasi, sengat, dan silau yang masuk melalui
bukaan. Hal ini mengurangi kenyamanan dan pemborosan energi listrik (radiasi panas
meningkatkan beban AC).Orientasi bangunan terhadap matahari dapat dilihat pada label
berikut:

Arah bukaan Arah bukaan


Barat – Timur Utara - Selatan

 Daerah terkena radiasi luas  Daerah terkena radiasi relatif kecil


 Beban pendinginan besar  Beban pendinginan kecil
 Cahaya langsung menimbulkan  Cahaya alami tidak langsung
sengat dan silau

Maka orientasi bangunan harus sedemikian rupa sehingga bidang bukaan terbesar mengarah
utara selatan. Bukaan pada arah Timur Barat di atasi buffer seperti vegetasi, sunscreen,
pemilihan bahan bangunan, dan lain-lain.

b. Jalan
Kebisingan dan getaran dari lalu lintas dapat mengurangi kenyamanan dalam ruang. Orientasi
bangunan terhadap jalan dapat diuraikan sebagai berikut:
Bangunan tegak lurus jalan Bangunan sejajar jalan

 Areal yang terganggu oleh kebisingan  Areal yang terganggu oleh kebisingan
lalu lintas kecil lalu lintas besar
 Getaran akibat aktifitas jalan kurang  Getaran akibat aktifitas jalan sangat
terasa terasa

Berdasarkan uraian di alas orientasi massa bangunan terbaik adalah tegak lurus jalan, dan
mengarah Utara-Selatan.

2.3. JARAK BANGUNAN


Kenyamanan ruang dirasakan apabila ruang bebas dari efek bayangan, pantulan silau,
kebisingan dari luar, maka diperlukan pengaturan jarak antar bangunan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Matahari
 Sinar matahari langsung pada deretan bangunan yang berdekatan dapat
mengakibatkan bayangan pada bangunan di dekatnya (daerah gelap/daerah yang
tertutup). Untuk mendapatkan jarak minimal antar bangunan, harus diketahui sudut
jatuh sinar matahari terhadap bidang datar, dengan rumus:

Tg N = H I X

X= H /tg N

N = sudut jatuh sinar matahari


H = ketinggian bangunan
X = jarak minimal antar bangunan

Gambar 3. Bangunan yang terkena bayangan

 Sinar matahari langsung pada deretan bangunan yang berdekatan mengakibatkan


pantulan sinar dan radiasi panas pada bangunan didekatnya. Jarak minimal dapat
tentukan seperti rumus di atas.

Gambar 4. Pantulan sinar dari bangunan yang satu pada bangunan yang lain

b. Bunyi
Bunyi akan terdengar baik dan sumber bunyi maupun dan bunyi yang dipantulkan.
Kedekatan bangunan menimbulkan pantulan bunyi yang kuat. Untuk mengurangi intensitas
kebisingan dengan menjauhkan bangunan dan sumber bunyi. Sumber bunyi yang dijaukan 2x
dan jarak semula, maka intensitasnya berkurang 6 db. Maka jarak bangunan sebaiknya
dihindari dari efek pantulan bunyi. Apabila sumber bunyi terutama datang dan jalan maka
jarak jalan dengan bangunan perlu diperhatikan. Selain dengan disain bangunan dan sistem
isolasi yang baik.

Gambar 5. Pantulan bunyi.


c. Peraturan
Peraturan di sini berkaitan dengan KDB, KLB, dan ketinggian bangunan, yang setiap
kata dapat berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat pada tabel di bawah ini (kota Jakarta):

Jarak bebas samping


/belakang untuk bukaan dua
arah

KDB : 60 % 5 lantai min 12 m


KLB : 3,6 % 8 lantai min 15 m
KDB : 50 % 8 lantai min 16 m
KLB : 4 10 lantai min 23 m

d. Visual
Pandangan ke luar ruang/bangunan dapat mengurangi kejenuhan/kebosanan.
Untuk mendapatkan kebebasan arah dan jarak pandang maka jarak bangunan harus
cukup sehingga dapat memberikan view yang luas dan bervariasi.

Gambar 6. Arah pandangan.

3. FAKTOR-FAKTOR PENGARUH
3.1. PENGARUH LUAR BANGUNAN
Pengaruh luar yang sangat mempengaruhi kenyamanan dolom bongunon adalah iklim
don matahari.

a.Iklim
Pada daerah tropis temperatur dan kelembaban relatif sangat tinggi, sehingga
menimbulkan ketidaknyamanan. Dengan pengkondisian udara (penggunaan AC) dapat
dicapai kondisi ideal lebih kurang 25° dan RH 50%. Namun perbedaan yang terjadi di dalam
dan di luar bangunan dapat menimbulkan masalah pada suhu tubuh manusia, sehingga
diperlukan ruang transisi untuk menetralisir efek perbedaan suhu tersebut.

b. Matahari
Sinar matahari sebagai potensi sumber cahaya dapat menimbulkan masalah bila secara
berlebihan masuk kedalam ruang/ bangunan. Sinar ini sangat membantu penerangan dalam
ruang namun bersamaan dengan masuknya sinar, masuk pula radiasi panas yang
meningkatkan beban bagi pengkondisian udara. Masuknya radiasi panas terutama adalah
akibat:
a. Penyinaran langsung
b. Transmisi melalui kulit bangunan
c. Pantulan dari lingkungan sekitar bangunan
Silau ditimbulkan karena sinar yang berlebihan dan kontras antara dalam dan luar ruang. Efek
bayangan jarok antar bangunan kurang) menyebabkan sinar tidak dapat masuk ke dalam
bangunan (pencahayaan alami tidak optimal), namun mengurangi beban pengkondisian
udara. Dalam hal ini bentuk, orientasi, jarak, pengolahan eksterior, dan optimalisasi
pencahayaan alami perlu diperhatikan.

3.2. PENGARUH DALAM BANGUNAN


2.1. KEBUTUHAN MANUSIA
Kenyamanan manusia dari segi pengudaraan yaitu dituntut distribusi udara yang
merata dalam ruang/bangunan (temperatur dan kelembaban ideal). Dari segi pencahayaan
dituntut penerangan yang merata (bebas dari silau dan bayangan). Sedangkan kebisingan
dituntut bunyi yang tidak mengganggu kegiatan yang dilakukan. Dalam hal ini faktor hemat
energi harus dipertimbangkan dengan koordinasi perancangan yang hemat dan sistem
operasional tepat guna (efisien).

2.2. PERALATAN
Penggunaan alat mekanikal elektrikal (menunjang kenyamanan) menggunakan listrik
yang dirubah menjadi daya penggerak, panas, getaran, dan bunyi. Yang semuanya dapat
mengganggu kenyamanan dalam ruang. Panas membebani AC, getaran dan bunyi
menyebabkan ganguan yang mempengaruhi segi psikologis seperti panas, ingin cepat

3.3 PENGKONDISIAN UDARA BUATAN


Pengkondisian udara buatan dalam ruang harus memperhatikan:
a. Pemilihan type AC dan sistem pendinginannya.
b. Sistem distribusi .
c. Perletakan outlet.

3.1. PEMILlHAN DAN SISTEM PENDINGINAN AC

Pemilihan AC harus mempertimbangkan:

 Kapasitas yang dibutuhkan.


 Kemampuan distribusi yang baik dengan temperatur dan kelembaban tertentu.
 Latak mesin AC dan AHU yang tidak menimbulkan kebisingan.
 Instalasi dan mesin yang tahan lama.
 Biaya awal dan maintenance relatif murah dan mudah.

Type AC yang dikenal antara lain:


 Window unit.
 Package unit.
 Split unit.
 Central station unit.
Type window unit kapasitasnya terbatas yaitu kurang lebih sebesar 2,5 TR, dan biasanya
digunakan untuk penambahan yang tidak direncanakan sebelumnya.

3.2 SISTEM DISTRIBUSI


Sistem distribusi udara dingin tergantung pada:
a. Pembagian zone
b. Letak AHU (bila diperlukan)
c. Sistem ducting (bila diperlukan)
Ketiganya diuraikan sebagai berikut:

a. Pembagian zone
Tujuannya untuk mengetahui suplay daerah yang lebih banyak pada saat tertentu dan daerah
yang tidak membutuhkan suplay udara untuk penghematan, dengan pertimbangan bahwa:
 Beban panas tiap zone ruang tidak sama akibat orientasi matahari dan material
bangunan yang digunakan.
 Kegiatan tiap zone ruang yang berlainan mengakibatkan volume udara dingin
yang dibutuhkan berlainan pula.
 Kenyamanan dengan temperatur dan kelembaban yang ideal diharapkan merata
pada ruang.
Maka sistem distribusi harus mempunyai pembagian sebagai berikut:

Secara vertikal
Pembagian ruang arah Timur dan Barat, di mana ruang daerah Timur (orientasi ke Timur)
disuplay lebih banyak pada pagi hari, sebaliknya daerah Barat pada siang hari. Penghematan
dilakukan dengan pengaturan suplay sesuai kebutuhan daerah Timur dan Barat.

Secara horisontal
Pembagian ini berdasarkan kegiatan yang ada dalam ruang. Semakin banyak kegiatan maka
semakin banyak suplay yang harus diatur sesuai dengan tingkat kenyamanan yang
diinginkan. Misalnya pada ruang-ruang peralihan ( hall/lobby). dan pada koridor (kegiatan
jarang), suplay dapat dikurangi.

c. Sistem ducting
Agar distribusi udara dingin tidak kehilangan temperatur dan menimbulkan kebisingan, maka
harus memperhatikan:
 Jarak jangkau terpendek dari AHU ke outlet.
 Jumlah keluarnya udara yang sama pada tiap outlet.
 Isolasi ducting.
Sistem ducting yang dikenal yaitu individual ducts dan trunk and branch ducts, yang
diperbandingkan sebagai berikut.

Individual ducts Trunk and branch ducts

 Jarak AHU ke outlet pendek  Jarak AHU ke outlet jauh.


 Udara pada setiap cabang sama,  Udara semakin jauh dari AHU
sehingga temperatur tiap outlet sama semakin sedikit, temperatur setiap
 Temperatur tiap cabang dapat outlet berbeda.
langsung diatur dari AHU  Temperatur tiap cabang siatur dengan
memasang kelep – kelep pada masing
– masing cabang.
3.3 PERLETAKAN OUTLET
Perletakan outlet harus memperhatikan hal- hal sebagai berikut:
 Dapat menyebarkan udara dingin secara merata.
 Letaknya tidak terganggu oleh peletakan prabot.
 Letaknya tidak mengganggu fleksibilitas penataan ruang.
Adapun perletakan outlet dapat pada:
 Lantai
 Dinding
 Plafond
Dari ketiga tempat perletakan outlet, perletakan pada plafond paling efisien, terutama bila
terjadi perubahan pada dinding penyekat. Perubahan pada penataan perabot.

3.1 PENERANGAN DALAM RUANG


Untuk mendapatkan penerangan yang baik dalam ruang perlu memperhatikan:
 Cahaya alami
 Kuat penerangan
 Kualitas cahaya
 Daya penerangan
 Pemilihan dan perletakan lampu
Pencahayaan alami di sini dapat membantu penerangan buatan dalam batas-batas tertentu,
baik dan kualitasnya maupun jarak jangkauannya dalam ruangan.

A. CAHAYA ALAMI
Cahaya alami di sini terutama pada siang hari dapat membantu penerangan dalam ruang bila:

 Kuat penerangan minimal yang dibutuhkan selalu ada atau dilampaui tidak hanya
yang di dekat jendela, namun sedapat mungkin diseluruh ruangan.
 Cahaya yang masuk hendaknya sekecil mungkin memasukkan radiasi panas.
 Tidak terdapat kontras yang dapat mengurangi kenyamanan pengelihatan/ persepsi
manusia.
Pencahayaan alami siang hari efektif membantu penerangan maksimal sampai kedalaman 2.5

x tinggi bukaan atau 2,5 - 3 kali. Sedangkan ketinggian ruang atau bukaan sangat

mempengaruhi perambatan sinar yang masuk. Dari percobaan yang ada, apabila ketinggian

bukaan dikurangi lebih kurang 2 feet. Maka terjadi pengurangan penerangan lebih kurang

19% dari semula. Sedangkan bila bukaan semakin lebar, maka peneranganpun semakin besar.

Penentuan ketinggian ruang berdasar pada:

 Kebutuhan udara dalam ruang sebagai syarat kesehatan.


 Kebutuhan ruang (tinggi lantai ke lantai balok, ducting, sanitasi dan rangka
plafond).
 Modul vertikal berdasarkan ruang gerak vertikal dan ukuran bahan.
 Beban energi AC dan listrik untuk penerangan buatan.
 Kebutuhan kenyamanan psikologis agar merasa tidak tertekan.
Selain itu penerangan alami dapat menambah beban panas, yang mengakibatkan ketidak
nyamanan dan menambah beban ada pemborosan energi listrik, oleh karena itu perlu
diperhatikan:

a. Orientasi bangunan
Orientasi menghindarkan penyinaran langsung pada sisi bukaan terbesar yang menimbulkan
silau dan panas yang besar.
b. Sunshading
Sunshanding digunakan untuk mengurangi radiasi panas dengan tetap memanfaatkan
pencahayaan alami secara maksimal, antara lain dilakukan dengan:

 Overstek bangunan
Berfungsi memantulkan sinar dan mengurangi panas yang masuk ke dalam ruang
(mengurangi beban pendingin AC listrik). Juga dapat melembutkan terang dan kontras pada
ruang, sehingga menambah kenyamanan pandangan.

Gambar 8. Overstek yang dapat mengurangi panas, melembutkon sinar dan kontras ke dalam
ruang.
 Bukaan sedikit ke dalam Dapat melembutkan kotras
 Refleklor
Memberikan penutup pada sisi luar jendela/ bukaan dengan jarak tertentu dari bahan
reflektor. pada sisi bangunan yang terkena penyinaran langsung. Hal ini mengurangi radiasi
panas namun sedikit menghalangi masuknya sinar. Sedangkan venetian blind mengurangi
radiasi sedikit dan menghindari silau, yang seolah memberikan kesan tertutup/ terkurung
dalam ruang masif. Akan tetapi dapat diatasi dengan pemilihan warna, motif, dan tekstur
yang dapat menetralisir kesan kemasifan. Adapun perbandingan antara tanpa shading.
pemakaian shading di dalam . don pemakaian shading di luar dapat dilihat pada label
dibawah ini:

Dari gambar di atas terlihat bahwa eksterior shading dapat mengurangi kontribusi panas 90%
- 95%. Alat pengontrol sinar alami dapot memasukan sinar sesuai dengan yang diinginkan
dan mengeliminer sinar yang berlebihan. Alat ini ada yang dinamis (dapat diatur/ bergerak)
dan yang statis (tidak dapat diatur/ permanen), yang statis lebih menyulitkan penyesuaian
terhadap kondisi langit, tetapi efektif dan kecil resiko (contoh sunscreen), sedangkan yang
dinamis lebih mudah menyesuaikan terhadap kondisi langit, efisiensi perancangan tinggi,
namun membutuhkan perawatan khusus (pembersihan). Dilihat dari cara mengatasi terhadap
datangnya sinar matahari, sunshading dibagi dua yaitu sunshanding horisontal dan
shanshanding vertikal. Sunshading horisontal dapat mengatasi sinar datang tegak lurus
bangunan (efektif mengatasi sinar dengan sudut tinggi/ siang hari). Sedangkan sunshading
vertikal dapat mengatasi sinar datang dari arah samping ( efektif mengatasi sinar dengan
sudut rendah/ pagi dan sore hari).

Gambar 11. Sunshading horisontal dan vertikal


Ada beberapa tipe shading/reflektor :

Dari tipe diatas, venetian blind paling efektif dalam mengontrol cahaya, karena dapat
mengatasi cahaya sekaligus memasukan pantulan (dari plafond) dengan tetap memberi
pandangan ke luar.
c. Bidang Pantul Lengkung

Digunakan untuk pengumpul dan pemantul sinar, dapat diletakan di dalam dan di luar ruang,
sehingga sudut sinar menjadi besar dan sinar dapat masuk lebih dalam.

Gambar 14. Bidang pengumpul dan pemantul cahaya.

Keterangan gambar.

Sinar mengenai overstek menjadi panas, dimana panas tidak dapat masuk karena terhalang
kaca, sedangkan pantulannya diteruskan ke dalam ruang mengenai bidang pantul plafond ke
ruang.

Bidang lengkung plafond dapat memperbesar sudut penyinaran dalam ruang.

Bidang lengkung luar ruang menambah beban penyinaran ke dalam.

Sudut penyinaran terbesar dicapai dengan mendekatkan kedua bidang pantul lengkung.

Panel pengumpul sinar meneruskan sinar ke ruang melalui bukaan kaca miring di atasnya
Untuk memperluas daerah pancaran sinar dalam ruang dengan cara: Arah sinar lebih dari satu
arah bukaan, sehingga membantu distribusi sinar dan mengurangi kontras terang-gelap antara
luar dan dalam.

Gambar 15. Bukaan lebih dari satu arah.

BUKAAN 2 ARAH

Penyelesaian permukaan interior yang sebanyak mungkin dapat merefleksi sinar, misal
dengan warna muda yang kuat memantulkan cahaya.

B. KUAT PENERANGAN

Kuat penerangan tergantung jenis kegiatan dalam ruang dan kebutuhannya, kegiatan
yang berbeda membutuhkan kuat penerangan yang berbeda pula. Besar kuat penerangan yang
disesuaikan dengan kegiatan dapat dilihat pada standar ashrae (Mechanical and Electrical
Equipment for Building). Pengaturan kuat penerangan yang disesuaikan dengan kebutuhan
dapat menghemat energi listrik. Maka dpat pula ditentukan perletakan, jumlah titik lampu,
dan sistem operasionalnya.

Gambar 16. Pengaturan kuat penerangan sesuai dengan kebutuhan.


Gambar 17. pengaturan kuat penerangan pada ruangan

Bila memakai 2 sistem penerangan (penerangan umum dan penerangan setempat), maka
lampu setempat bila sudah tidak dipakai dapat dipadamkan tanpa mengganggu kegiatan
disekitarnya (maupun sebaliknya).

C. KUALITAS CAHAYA
Kualitas cahaya ditentukan oleh:
 Penggunaan ruang yang dilihat dari beratnya beban mata akibat kegiatan yang harus
dilakukan.
 Lamanya waktu kegiatan dengan penggunaan daya mata yang tinggi dan sifat
kegiatannya.
Sedangkan penggolongan kegialan dikaitkan dengan kualitas cahaya adalah:
 Kegiatan halus sekali, adalah kegiatan cermat yang terus menerus, seperti
menggambar ditail kecil.
 Kegiatan halus, adalah kegialan cermat yang tidak intensif, seperti menulis.
 Kegiatan sendang, adalah kegiatan tanpa konsentrasi besar.
 Kegiatan kasar, adalah kegiatan ideal yang besar-besar.
Dari penggolongan di atas dapat dilihat bahwa kegiatan halus sekali membutuhkan kualitas
cahaya lebih tinggi dibandingkan kegiatan halus, demikian pula seterusnya. Kualitas
penerangan dipengaruhi pula oleh:
 Kecerlangan/ brightness.
 Letak sumber cahaya.
 Background brightness.

Kualitas cahaya yang berlebihan dapat menimbulkan silau dan ketidak nyamanan persepsi
psikologis manusia, dapat disebabkan:

 Perbedaan kecerlangan luar-dalam yang terlalu besar, sehingga pandangan akan


gelap bila peralihan dan luar ke dalam.
 Letak sumber cahaya terhadap bidang pandangan kurang baik, maka perlu
diperhatikan posisi lampu terhadap sudut jatuh sinar ke mata. dengan
memperhatikan zone-zone penerangan umum dan setempat

Gambar 19. Zone penerangan terhadap jatuhnya sinar

Contoh pada kegiatan kerja, letak lampu pada zone 90° - 45° menimbulkan silau penerangan
langsung, sedangkan 45° - 0° menimbulkan silau pantulan. Maka yang ideal bidang kerja
pada zone 30 °- 60° dari titik lampu.

Gambar 20. Posisi titik lampu terhadap sudut jatuh sinar ke mata.
Dari gambar di atas agar tidak silau maka sudut penyinaran terhadap mata ke bidang kerja
adalah 90. Bilo ketinggian 2,6 m, dan letak lampu terhadap bidang kerja rata-rata 45°, maka
jarak lampu terhadap meja kerja (horisontal) adalah berkisar 2.6 m.

D. DAYA PENERANGAN
Kaitan kuat penerangan dalam ruang dengan kebutuhan cahaya per m2 dapat dijabarkan
dengan rumus:

E = Kuat penerangan (lux)


I = Daya penerangan (Lumen)
T = Jarak lampu ke bidang kerja
Δ = Sudut jatuh sinar ke meja kerja
Kebutuhan daya penerangan ini ditinjau pada bidang kerja dan tergantung pada ketinggian
titik lampu (pada kedudukan lampu tegak lurus bidang kerja dan dapat menimbulkan silau).
Sedangkan untuk mendapatkan daya penerangan yang tidak silau, maka sudut jatuhnya sinar
adalah 45°

D. PEMILIHAN DAN PERLETAKAN LAMPU


Pemilihan jenis lampu tergantung dari kegiatan yang dilakukan dan suasana ruang
yang diharapkan, sehingga pemilihan ini mempengaruhi kualitas cahaya yang dibutuhkan.
Pada umumnya jenis lampu yang banyak digunakan adalah lampu fluorecent (TL) dan
incodecent (pijar) , yang keduanya dapat dibandingkan:
Lampu TL Lampu Pijar

 Warna pancaran putih, sehingga tidak  Warna pancaran kekuni-kuningan


cepat menimbulkan kelelahan mata  Efekpenampilan permukaan lampu
 Efek penampilan permukaan lampu putih kekuningan.
netral/putih.  Efek pada ruang panas
 Efek pada ruangan dingin  Warnanya baik untuk rendering
 Warnanya dapat menyatu dengan  Menghasilkan pencahayaan langsung
cahaya alami  Dayanya 10 – 15.000 watt
 Menghasiilkan pencahayaan baur.  Untuk kuat penerangan yang sama
 Dayanya 15 – 100 wat. membutuhkan yang sama
 Untuk kuat penerangan yang sama membutuhkan 3 kali daya lampu TL
hanya membutuhkan 1/3 daya lampu  Waktu hidup 750-1.000 jam
pijar.  Kontrol terhadap silau baik
 Waktu hidup 12.000-20.000 jam  Panasa besar, 20 % sisanya untuk
 Kontrol terhadap silau baik sekali penerangan.
 Panas kecil , 45 % sisanya untuk
penerangan.

Dari perbandingan di alas maka lampu TL baik pada ruang-ruang untuk kerja (penerangan
baur diffuse), sedangkan pijar untuk ruang-ruang khusus seperti hall, lobby, dan lain
sebagainya (penerangan langsung). Untuk mendapatkan penerangan yang diinginkan, baik
langsung maupun tidak dapat juga ditentukan oleh jenis dan penutup lampunya. Penutup
lampu dapat berfungsi melembutkan pancaran dan sebagai elemen estetis. Ada 2 macam
sistem penutup lampu yaitu:

a. Membias
Sistem ini bahan penutupnya bertekstur, sehingga dapat membaurkan cahaya, berarti dapat
mengurangi silau dan bayangan (contohnya acrilic).

Gambar 21. efek bayangan akibat penyinaran lampu.


Penyinaran baur yang tidak
menimbulkan Efek bayangan pada
benda.

Penyinaran langsung akan memberikan


Efek bayangan pada benda yang
disinari.

b. Transaparan
Sistem ini menggunakan bahan penutup yang masih menghasilkan sinar langsung, tetapi
tidak menimbulkan silau pada ruang. Contohnya : kisi-kisi louver reflektor, yang dapat
merefleksikan cahaya sekitar 40%-60%

Gambar 22. louver sebagai penutup lampu.


Ada dua macam lauver, yaitu louver kisi rapat dan louver kisis searah.

Gambar 23. Macam – macam laouver

- Louver ini lebih dapat mengurangi silau,


Karena pantulan sinar berulang – ulang.
(louver kisi- kisi rapat).

-Laover ini mengurangi sedikit silau


(louver Kisi- kisis searah).
-

Sedangkan pengaturan perletakan titik lampu perlu diperhatikan kebutuhan penerangan dari
jenis kegiatannya dan keterpaduan distribusi sinarnya. Hal ini berkaitan dengan sistem
penerangan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
 Penerangan umum Suatu sitem yang memberikan penerangan secara umum,
sergam pada permukaan ruang, dan hasil penyinarannya tergantung terang
gelapnya permukaa plafond. Pemilihon lampu umumnya jenis downlight.
 Penerangan setempat
Suatu penerangan yang terbatas dan langsung pada suatu bidang kerja.
 Kombinasi
Digunakan pada area yang membutuhkan intesitas penerangan umum rendah namun
intensitas penerangan setempat tinggi.
Adapun perletakan titik lampu dapat dibedakan menjadi:

Perletakan titik lampu untuk penerangan umum ada dua macam yaitu:

 Keluar dari plafond


Dapat memberikan pencahayaan tidak langsung karena efek diffuse (pancaran kesegala
arah),yang mengenai plafond langsung dipantulkan kembali ke seluruh ruang. Perletakan ini
dapat menimbulkan silau bila jarak titik lampu dengan bidang pantul terlalu dekat.
Disarankan panjang penggantung lampu tidak lebih dari 12 inch dengan ketinggian 9 feet
(2.7m).

Penempatan lampu demikian memberikan kesan dominan pada ruang.

Gambar 24. Presentase refleksi lampu berkaitan dengan jarak lampu

Penutup lampu yang dapat membiaskan sinar, memancarkan 85 % sinar ke atas dan sisanya
akan dipancarkan langsung.

Gambar 25. Efek pantulan pada ruangan.

Pencahayaan tidak langsung dapat merubah fungsi plafond dan dinding atas menjadi sumber
cahaya, bila faktor refleksi bidang tersebut tinggi maka pantulannya akan merata.
 Ditanam rata pada plafond

Penempatan lampu sedemikian dapat membatasi penyinarannya, karena sangat dipengaruhi


oleh besar/lebar dan kedalam box lampu tersebut, seperti terlihat pada perbandingan gambar
di bawah:
Gambar 26. Besaran/ lebar box lampu dapat mempengaruhi penyebaran sinar.

Dari gambar di atas terlihat bahwa besarnya penyebaran tergantung lebar, kedalaman, dan
letak titik lampu di dalam box tersebut.

Jadi dengan perbedaan letak lampu, efek silaunya berbeda pula. Perletakan titik lampu untuk
penerangan setempat.
Perletakannya dapat dibentuk pada plafond, dipasang pada furniture/ meja, dan lain
sebagainya dengan memperhatikan:
 Jarak dan posisi lampu terhadap bidang pengamatan, agar tidak silau dan memenuhi
kuat penerangan yang dibutuhkan.
 Efisiensi penggunaan ruang, sehingga penataan prabot mudah.
 Estetika ruang, sehingga terkesan teratur dan titik lampu dominan dalam ruang.
Kedua perletakan titik lampu ini akan memberikan kenyamanan pandangan dengan
memperhatikan jarak, letak posisi, dan pemilihan lampu kuat penerangan sesuai dengan yang
dibutuhkan.

4. KEBISINGAN DALAM RUANG

Ada dua cara mengatasi kebisingan:


 Secara aktif yaitu dengan mengisolasi sumber bunyi.
 Secara positif yaitu dengan mengisolasi pada ruangan.
(Isolasi di sini yaitu membatasi/memutuskan media penghantar bunyi antara sumber bunyi
dan pendengar. Media penghantar dapat melalui udara, lantai, ducting, dan lain sebagainya.

4.1. ISOLASI AKTIF


Isolasi secara aktif dapat dengan:
a. Mengelilingi sumber bunyi dengan bahan kedap suara, misalnya:
 Karpet pada lantai untuk meredam bunyi sepatu.
 Glasswool dilapisi styroform untuk meredam bunyi ruang mesin, AHU, ruang
komputer dan lain-lain.
 Struktur khusus atau dengan bantalan-bantalan (meredam getaran).
b. Pengaturan zona
 Pemisahan sumber bunyi dan ruang (ruang khusus di luar bangunan)
 Penempatan sumber bunyi pada ruang-ruang bawah tanah atau ruang peredam.
 Penempatan peralatan tertentu pada suatu ruang

4.2. ISOLASI PASIF Dilakukan pada ruang khusus yang memerlukan privacy tinggi,
dengan cara:
 Menutupi mengelilingi ruang dengan bahan kedap suara (plafond,
dinding, dan lantai, misal: lapisan karet pada jendela kaca.
 Pemakaian bahan isolasi bunyi pada prabot.

4.3. KOORDINASI PENGKONDISIAN UDARA, PENERANGAN, DAN


PENGENDALlAN KEBISINGAN

Hal ini dikaitkan degan kenyamanan fisik manusia yang melakukan kegiatan don hemat
energi pada perancangan bangunan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. PENGELOMPOKAN KEGIATAN
Pada daerah transisi antara luar dan dalam bangunan perlu kenyamanan suhu dengan
tidak terlalu besar perbedaannya, di samping kebisingan yang ditimbulkan dan orang yang
masuk dan kendaraan yang lewat. Oleh karena itu kegiatan dikelompokkan dari luar ke zone
publik (zone peralihan dan buffer baik suhu maupun kebisingan), semi pubik, dan baru zone
privat.

Gambar 27. Daerah bising berdekatan dengan sumber bunyi yang bising dari luar bangunan
dan sebagai peralihan temperatur.

Sedangkan perletakan daerah service (core pada bangunan bertingkat)dapat diperbandingkan


sebagai berikut :

Gambar 28. Perletakan daerah service (core)

Ditepi banguan Ditengah bangunan


Core di tepi bangunan Core di tengah bangunan

 Distribusi udara dingin dari AHU  Distribusi udara dingin dari AHU
kurang merata. lebih merata karena radius pelaynan
 Core menghalangi/mengurangi pendek
daerah masuknya pencahyaan alami  Pencahyaan alam lebih optimal
 Kebisingan dari peralatan mesin  Kebisingan dari peralatan mesin
terhadap ruang relatif kecil relatif besar karena ruang
 Sirkulasi relatif kurang efisien mengelililngi sumber kebisingan
 Sirkulasi lebih merata

Peletakan daerah service secara vertikal ada 2 kemungkinan yaitu:


 Di luar bangunan
Dapat menghindari kebisingan peralatan mekanikal, Namun penggunaan cooling tower dapat
mengganggu lingkungan sekitarnya (bila jarak dengan bangunan lainnya berdekatan),
sehingga membutuhkan lahan relatif luas untuk kelancaran sirkulasi udara segar.

 Di dalam bangunan
Kebisingan dari peralatan mekalikal perlu diperhatikan (genset, cooling tower. mesin pompa
dan lainnya). Biasanya dilakukan bila lahan terbatas. Pada perletakan di bawah tanah
kebisingan tidak terlalu mengganggu, sebab dinding basement relatif dapat mengisolasi
(jarang bukaan). Sedangkan perletakan pada lantai tertentu atau di atap memerlukan
konstruksi khusus menahan beban dan getaran. Perletakan pada lantai tertentu umumnya
untuk mendapatkan distribusi yang efisien dan merata.

b. Pembagian ruang

Pembagian ruang sampai yang terkecil sesuai dengan kegiatan-kegiatan terkecil yang
dilakukan dalam ruang secara tidak langsung berkaitan dengan perancangan pengkondisian
udara, penerangan dan penanggulangan kebisingan. Pembagian ruang ini merupakan
pembagian per ruang/ unit kegiatan yang memungkinkan dalam perencanaan pengkondisian
udara mudah menentukan outlet AC untuk udara dingin, perencanaan daya penerangan pada
setiap kegiatan dalam ruang maupun isolasi terhadap kebisingan dapat disesuaikan dengan
kebutuhannya.

c. PENATAAN RUANG
Penataan ruang perlu diperhatikan dalam mencapai kenyamanan fisik maupun psikis
manusia. Dalam hal ini koordinasi pengkondisian udara, penerangan, dan penanggulangan
kebisingan harus dapat menghemat energi namun tetap memberikan kenyamanan optimal.
Penataan ruang harus saling menunjang satu sama lainnya yang meliputi elemen-elemen:
a. Plafond
b. Dinding elemen pembentuk ruang
c. Lantai
d. Furniture elemen pengisi ruang
Penataan elemen ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Plafond
Perencanaannya perlu memperhatikan pola perletakan titik lampu, outlet AC, modul bahan,
sistem konstruksi lantai dan pola perletakan partisi/dinding pemisah. Perletakan titik lampu
dan outlet AC dapat dibandingkan sebagai berikut:
 Konvensional, lampu terpisah dengan outlet AC.
 Intregasi antara titik lampu menjadi satu kesatuan dengan outlet AC (plot lantai dan
plafond sebagai ducting).
Kelebihan sistem integrasi antara lain:
 Udara dingin (air supplay) melalui ducting poda sisi kiri dan kanan lampu
berupa outlet type linier.
 Ruang lantai (bila bertingkat dan plafond dapat berfungsi sebagai ducting untuk
udara kembali (air return).

Gambar 29. Sistem lampu dan outlet AC yang yang terintegrasi

Sistem ini tidak memerlukan ducting untuk air return yang berarti menghemat ketinggian
lantai. Untuk mengatasi kebisingan pada outlet air return maka dibuat miring (tidak lurus)
dan dilapisi bahan peredam suara.

Gambar 32. Penanggulangan penjalaran bunyi melalui outlet.


Contoh penerapannya pada konstruksi lantai wafel prategang ( ketinggian 1/35 bentang) yang
dapat menghemat ketinggian bangunan dari ducting dan konstruksinya, sekaligus berfungsi
sebagai plafond dan penghalang penjalaran bunyi. Kemungkinan lain adalah integrasi outlet
AC, pola perletakan titik lampu, sistem partisi, sistem telepon, dan sound system, melalui
profil-plofil aluminium yang disesuaikan dengan pola plafond. Pola ini memiliki fleksibilitas
penataan ruang yang tinggi.

Gambar 30. sistem berintegrasi antara AC, Lampu, partisi, Telefon soundsisytem, plafond,
dengan frofil alumunium yang didisain

Kelebihan sistem ini:


 Menghemat listrik dengan penerangan setempat yang dapat dihidup matikan
sesuai dengan kebutuhan.
 Mengurangi ketinggian plafond, karena menggunakan ruang antara lantai dan
plafond sebagai ducting air return.
Kekurangan sistem ini:
 Banyaknya lampu dan kabel yang tergantung berkesan ramai (kenyaman phsikis
dan visual kurang.
 Terkait dengan perletakan lampu, sehingga perubahan penataan prabot harus
merubah penataan titik lampunya.

Pemilihan bahan plafond sangat mempengaruhi kenyamanan phsikis dan fisik, maka harus
memperhatikan:
 Frekwensi bunyi dari sumber bunyi.
 Pantulan sinar lampu yang membantu penerangan dengan faktor
refleksi 80% - 90%.
 Maka sebaiknya dipakai bahan berpori seperti gypsum, accoustic file
bertekstur halus, dan berwarna terang. Rangka sebaiknya dan
aluminium dan penutup plafond ditaruh bebas/ dapat digeser untuk
mengurangi perambatan getaran dan lantai, dan tidak merusak plafond
bila ada perbaikan.
b. Dinding
Dinding berfungsi sebagai penyekat antar ruangan. Ruang privat biasanya berdinding
penuh sampai plafond, sedangkan ruang kurang privat biasanya tidak penuh atau sesuai
dengan tujuannya. Ruang-ruang pada bangunan dapat diatur dalam:
 Sistem terbuka di mana pandangan ruang-keruang lebih bebas dan pengontrolan
suhu lebih merata, namun kekurangannya AC dapat menjalar pada ruang yang
tidak membutuhkan AC, dan kebisingan menjalar keseluruh ruang.
 Sistem tertutup di mana distribusi udara dingin mudah diatur sesuai kebutuhan
tiap ruang, dan penjalaran suara terbatas. Kekurangannya adalah pandangan
terbatas dan pengontrolan temperatur lebih rumit.

Bahan dinding ruang hendaknya memperhatikan:

 Frekwensi bunyi dari sumber bunyi.


 Membantuk penerangan dengan refleksi 40% - 60%.

Maka bahan yang dipakai berpori banyak seperti gypsum diisi glasswool (mengatasi
penjalaran suara dan isolasi api)

Gambar 31. Detail dinding pembatas antar ruang.

Sedangkan penutup dinding dapat dipakai wallpaper dan lain sebagainya, berwarna cerah
apabila ingin berkesan luas dan bersih.

c. Lantai
Sistem lantai berkaitan dengan perencanaan penerangan terutama sistem penerangan yang
bersatu dengan furniture. Bahan penutup lantai sebaiknya dapat meredam suara, seperti
karpet yang mempunyai faktor refleksi 20% - 40% dengan warna agak gelap/ tidak berkesan
kotor. Untuk zone entrance bangunan diperlukan bahan yang kuat, tahan lama, dan mudah
pemeliharaannya.

d. Furniture
Dalam penghematan penerangan buatan, maka furniture dapat bersatu dengan sistem
penerangan (setempat)
Gambar 32. Furniture bersatu dengan lampu penerangan bidang kerja.

penerangan setempat ini dapat digunakan secara efisien, harus ditunjang dengan perletakan
outlet- outlet yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini kenyamanan fisik baik,
namun secara visual kesan ruang menjadi sempit (dengan adanya tinggi-rendahnya lemari/
rak penyekat dan lain sebagainya). Dengan sistem furniture maka bunyi dapat dikurangi
dengan bahan furniture yang meredam suara. Bahan furniture juga tidak menggunakan bahan
yang kuat memantulkan sinar (silau), dengan warna sedang (faktor refleksi 25% - 45%), tidak
terlalu gelap dan tekstur halus.

Вам также может понравиться