Вы находитесь на странице: 1из 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak bumi atau bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber energi
yang tidak dapat diperbaharui atau non renewable. Keberadaanya hingga saat ini
menempati urutan pertama sebagai sumber energi. Bahan bakar fosil yang
digunakan sebagai sumber energi dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan tersebut berupa emisi CO2 dan pemanasan global, gas
rumah kaca seperti CO2, CH4, dan NO2 yang dapat membentuk lapisan di
atmosfir sehingga menahan panas yang akan keluar dari bumi akibatnya atmosfir
bumi semakin panas (Sunarman & Juhana, 2013).
Penggunaan bahan bakar fosil selain mencemari lingkungan juga memiliki
ketersediaan yang terbatas, sehingga menyebabkan krisis energi dunia. Krisis
energi dunia merupakan masalah yang sedang dihadapi banyak negara termasuk
Indonesia. Krisis ini terjadi akibat ketergantungan pemenuhan energi bahan bakar
yang digunakan berasal dari bahan bakar fosil. Masalah ini dapat diatasi dengan
upaya pemanfaatan sumber energi alternatif untuk dijadikan sebagai bahan bakar
(Haryono dkk., 2010). Energi bahan bakar alternatif salah satunya adalah
bioetanol yang dapat diproduksi dari bahan yang mengandung karbohidrat dengan
cara fermentasi glukosa dengan menggunakan ragi (saccharomyces cerevisiae)
(Sriwulan, 2012). Bioetanol merupakan etanol yang proses produksinya
menggunakan bahan baku alami dan proses biologis dengan cara fermentasi
glukosa yang terdapat dalam tanaman mengandung pati .dan yang mengandung
karbohidrat.
Bahan yang mengandung karbohidrat dapat diperoleh dari umbi-umbian
misalnya singkong (manihot esculenta crantz atau manihot utilisima). Singkong
merupakan tanaman dalam famili Euphorbiaceae dan tergolong tanaman tropis.
Masyarakat umum telah menggunakan umbi singkong untuk produksi tepung
tapioka dan sebagai pengganti makanan pokok. Kulit singkong mengandung
karbohidrat cukup tinggi (Rukmana, 1997). Hasil analisa awal kulit singkong
yaitu mengandung 36,5% pati atau amilum (Artiyani & Soedjono, 2011). Kulit
singkong merupakan bagian kulit luar umbi singkong, tidak digunakan pada
waktu penggunaan umbi singkong, hanya dijadikan untuk bahan pakan ternak.
Tanaman singkong di Indonesia banyak diproduksi dan kulit singkong tersedia
dalam jumlah yang sangat banyak dan belum dimanfaatkan dengan baik.
Penggunaan singkong sebanyak 18,9 juta ton per tahun. Berarti limbah kulit
dalam yang berwarna putih dapat mencapai 1,5-2,8 juta ton sedangkan limbah
kulit luar yang berwarna coklat mencapai 0,04-0,09 juta ton (Hikmiyati & Yantie,
2008).
Limbah kulit singkong dapat dijadikan sebagai sumber energi berupa etanol.
Kebutuhan ethanol semakin meningkat baik sebagai pelarut, desinfektan, bahan
baku pabrik kimia maupun sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar
minyak (BBM). Kulit singkong yang menjadi limbah ternyata masih perlu
dimanfaatkan untuk diolah menjadi produk yang sangat berguna bagi masyarakat,
singkong mengandung karbohidrat tinggi maka perlu dijadikan suatu penelitian
mengenai pembuatan bioetanol dari kulit singkong. Oleh karena itu dibuatlah
penelitian tentang……………. (JUDUL DISINI)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah:

1. Bagaimana poses pembuatan ….?


2. Apakah bioethanol dari limbah kulit singkong(NAMALATINNA) dapat
digunakan sebagai energi altrernatif pengganti BBM konvensional?
3. …

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui proses pembuatan…..


2. Membuktikan biotenaol dari limbah kulit singkong (NAMA LATINNA)
dapat digunakan sebagai energy alternative pengganti BBM konvensional.
3. …..

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai wadah penulis untuk
menambah wawasan tentang pemanfaatan bioethanol dari limbah kulit
singkong(NAMA LATINNNA) sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar
minyak (BBM) konvensional. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat bagi
masyarakat dengan memberikan informasi tentang bioethanol dari limbah kulit
singkong dan dapat dimanfaatkan lebih luas bagi kehidupan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

a. Pemanfaatan Bioetanol Sebagi Sumber Energi

Pada pertengahan abad 20 penggunaan campuran antara etanol dengan bensin


telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Eropa Barat sebagai bahan bakar
kendaraan bermotor. Perkembangan ekploitasi minyak fosil yang hanya
mempertimbangkan aspek ekonomi, membuat harga minyak merosot tajam,
sehingga saat itu harga etanol jauh lebih mahal dibanding dengan harga minyak
mineral. Dengan demikian masyarakat mulai meninggalkan etanol sebagai bahan
bakar kendaraan. Pada akhir tahun 1990-an, Jerman juga telah memanfaatkan
biodiesel yang berasal dari minyak nabati sebagai bahan bakar kendaraan. Harga
biodiesel di negara tersebut jauh lebih mahal dibanding dengan harga minyak
mineral. Dengan demikian pasar biodiesel di Eropa kurang menggembirakan.
Akibat kriris harga minyak mineral pada akhir tahun 2008 yang mencapai harga
lebih dari 120 dollar/barel, menyebabkan masyarakat dunia berusaha untuk
mencari alternatif bahan bakar cair yang berasal dari tumbuhan. Dengan harapan
tidak akan terjadi krisis bahan bakar lagi karena bahan-bahan yang dapat diolah
menjadi etanol sangat beragam jenisnya (Anonim, 2008; 2005a).
Tidak ada perbedaan antara etanol biasa dengan bioetanol yang
membedakannya hanyalah bahan baku pembuatan dan proses pembuatannya.
Etanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna,
dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman
beralkohol dan termometer modern. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai
tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan
isomer konstitusional dari dimetil eter.
Gambar 2.1 Struktur Molekul Etanol

Bioetanol yang digunakan sebagai campuran bahan bakar merupakan etanol


(etil alcohol) dengan jenis yang sama dengan yang ditemukan pada minuman
beralkohol.(Bahri & Hartono,2016).
Beberapa kelebihan bioetanol dibanding bensin, antara lain lebih aman,
memiliki titik nyala tiga kali lebih tinggi dibanding bensin, dan menghasilkan
emisi gas hidrokarbon lebih sedikit. Di balik itu juga terdapat berbagai
kekurangan bioetanol bila dibanding dengan bensin, antara lain mesin kendaraan
akan mengalami kesulitan untuk dihidupkan bila dalam keadaan suhu dingin, serta
mampu bereaksi dengan logam tertentu seperti aluminium, sehingga dapat
merusak komponen kendaraan yang terbuat dari logam tersebut (Anonim, 2009).
Untuk meningkatkan kualitas bioetanol sebagai bahan bakar dapat dilakukan
pencampuran dengan bensin. Bioetanol yang dicampur harus tidak mengandung
air sama sekali, sehingga harus mengalami proses pemurnian secara berulang.
Campuran yang kini lebih dikenal sebagai gasohol ini banyak memberikan
keuntungan bagi pengguna. Selain itu juga dapat menghemat bensin yang
keberadaannya tidak dapat diandalkan lagi. Gasohol merupakan kependekan dari
gasolin (bensin) dengan alkohol (etanol). Gasohol dapat berupa campuran etanol :
bensin dengan komposisi yang berbeda-beda. Gasohol yang merupakan hasil
pencampuran 10% etanol dengan 90% bensin dikenal dengan sebutan gasohol E-
10. Gasohol jenis ini memiliki angka oktan sebesar 92. Angka ini setara dengan
angka oktan yang dimiliki oleh Pertamax. Perlu diketahui bahwa etanol absolut
memiliki angka oktan sebesar 117, sedangkan bensin premium memiliki angka
oktan 87-88. Campuran keduanya menghasilkan gasohol yang memiliki angka
oktan di antara kedua komponen campuran itu. Karena etanol mampu
meningkatkan angka oktan bensin, maka dalam kasus ini etanol berperan sebagai
octan enhancer. Penggunaan etanol sebagai octan enhancer ini sangat menarik
perhatian dunia, karena ramah lingkungan dan mudah diperbaharui. Dengan
digunakannya etanol ini lambat laun akan mengurangi emisi timbal yang
dikeluarkan dari asap kendaraan bermotor selama pembakaran. Untuk mengurangi
ketukan, biasanya bensin ditambah dengan zat aditif bernama tetra ethyl lead
(TEL). Bila bensin mengalami pembakaran, maka TEL juga ikut terbakar dan
akan keluar bersama asap, yang akan ikut andil dalam proses pencemaran udara
(Anonim, 2005a; 2005c).
Berbagai macam bahan dapat dikonversi menjadi etanol dengan bantuan
mikroorganisme. Bahan yang mengandung pati seperti jagung, ubi kayu, gandum,
tapioka dan kentang merupakan sumber utama bioetanol. Bahan yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain berbagai limbah pertanian dan berbagai hasil
hutan yang berupa kayu. Kelemahan dari bahan ini hanya akan menghasilkan
alkohol dalam jumlah sedikit, karena belum ditemukan mikroorganisme yang
secara efektif dan efisien mampu mengkonversi pentosa mejadi etanol (Anonim,
2008; 2005b; Lawrence, 1991).

b. Kulit singkong

Gambar 2.2 Kulit Ubi Kayu


Kulit singkong sering kali dianggap limbah yang tidak berguna oleh sebagian
industri berbahan baku singkong. Oleh karena itu, bahan ini masih belum banyak
dimanfaatkan dan dibuang begitu saja dan umumnya hanya digunakan sebagai
pakan ternak. Kulit singkong dapat menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi,
antara lain diolah menjadi tepung mocaf. Persentase kulit singkong kurang lebih
20% dari umbinya sehingga per kg umbi singkong menghasilkan 0,2 kg kulit
singkong. Kulit singkong lebih banyak mengandung racun asam biru dibanding
daging umbi yakni 3-5 kali lebih besar, tergantung rasanya yang manis atau pahit.
Jika rasanya manis, kandungan asam birunya rendah sedangkan jika rasanya pahit,
kandungan asam birunya lebih banyak. (Salim, 2011) Kulit singkong memiliki
kandungan HCN yang sangat tinggi yaitu sebesar 18,0 – 309,4 ppm untuk per 100
gram kulit singkong (Nur Richana, 2013). HCN atau asam sianida merupakan zat
yang bersifat racun baik dalam bentuk bebas maupun kimia, yaitu glikosida,
sianogen phaseulonathin, linamarin dan metillinamarin/lotaustrain (Coursey,
1973). Jumlah asam sianida (HCN) sangat bervariasi mulai dari dosis yang tidak
berbahaya (250 ppm). Asam sianida ini mempunyai dosis ambang batas 0,5-3
mg/kg berat badan. Jika dikonsumsi terus-menerus dengan dosis ambang batas ini
maka akan menimbulkan penyakit tropical ataxic neuropathy dengan gejala
timbulnya lesi pada saraf mata dan pendengaran, meningkatkan kadar tiosianat
dalam darah serta menyebabkan penyakit gondok. Namun, asam sianida ini
mudah hilang selama kulit singkong diproses terlebih dahulu dengan cara
perendaman, pengeringan, perebusan, dan fermentasi. Di dalam pembuatan plastik
biodegradable, kulit singkong digunakan sebagai bahan baku yang akan
dimanfaatkan kandungan patinya. Kandungan pati di dalam kulit singkong
berkisar 44-59 %. Komposisi kimia kulit singkong ditunjukkan pada tabel
berikut.:

Tabel 2.1 Persentase Kandungan Kimia Kulit Singkong


Komposisi Kimia Kulit Singkong
Air 7,9 – 10,32 %
Pati (starch) 44 – 59 %
Protein 1,5 – 3,7 %
Lemak 0,8 – 2,1 %
Abu 0,2 – 2,3 %
Serat 17,5- 27,4 %
Ca 0,42- 0,77 %
Mg 0,12- 0.24 %
p 0,02 – 0,10 %
HCN (ppm) 18,0 – 309,4
Sumber : Nur Richana (2013)

Вам также может понравиться