Вы находитесь на странице: 1из 27

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Pemberaian batuan merupakan salah satu kegiatan utama dalam proses penambangan,
dan merupakan salah satu metode yang sering digunakan adalah pemboran dan
peledakan, selain penggaruan. Metode ini digunakan sesuai dengan kekuatan batuan yang
akan ditambang. Ukuran fragmentasi dalam kegiatan pemberaian merupakan faktor
utama yang sangat menentukan untuk kegiatan penambangan selanjutnya.

3.1 Pemberaian Batuan


Kriteria suatu batuan itu harus digali bebas (free digging), penggaruan (ripping) dan
peledakan (blasting) yang terbagi menjadi dua yaitu peledakan peretakan dan peledakan
pembongkaran menurut Franklin, dkk (1971) dinyatakan dalam suatu diagram
klasifikasi menurut indeks kekuatan batuan yang didapat dengan menghubungkan
Fracture Index dan Point Load Index seperti pada Gambar III-1. Fracture Index
didefinisikan sebagai jarak rata-rata rekahan sepanjang inti bor atau massa batuan dan
digunakan untuk ukuran karakteristik diskontinuitas. Untuk penentuan jarak rata-rata
rekahan akan dijelaskan lebih lanjut di Rock Quality Designation (RQD). Selain itu
jarak rata-rata rekahan dapat ditentukan secara langsung di lapangan dengan
pengukuran pada massa batuan menggunakan metode scanline. Point Load Index didapat
dari uji Point Load yang menyatakan kekuatan suatu batuan utuh. PLI dapat juga
dipakai untuk memperkirakan nilai UCS (Unconfined Compressive Strength) contoh
batuan. Brook (1985) memberikan suatu nilai konversi UCS menjadi PLI pada suatu
kondisi contoh ideal berdiameter 50 mm sebagai berikut,

18
Gambar 3.1 Diagram Kriteria Kekuatan Indeks Batuan (Franklin, 1971)

C = 24 Is(50) ............................................. ........... (3.1)


Keterangan : C = Unconfined Compressive Strength (UCS) (MPa)
Is(50) = Point Load Strength Index (Index Franklin) untuk contoh
berdiameter 50 mm(MPa)

19
3.2 Peledakan Massa Batuan
Peledakan suatu massa batuan bertujuan untuk memecahkan atau memberaikan massa
batuan menjadi fragmen dengan ukuran tertentu. Teknik peledakan yang digunakan
disesuaikan dengan proses selanjutnya setelah kegiatan peledakan.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil peledakan antara lain adalah


karakteristik batuan yang akan diledakkan (batuan utuh dan massa batuan), bahan peledak
yang digunakan, geometri peledakan, dan faktor bubuk yang digunakan.

3.2.1 Sifat-Sifat Batuan Utuh


a. Sifat fisik
Sifat-sifat fisik batuan yang mempengaruhi peledakan yaitu bobot isi, porositas dan
kandungan air. Dengan bobot isi yang kecil batuan sangat mudah dideformasi dan
memerlukan energi peledakan yang rendah untuk pemecahannya (Hagan, 1977).
Banyaknya jumlah pori dalam batuan dinyatakan oleh porositas. Batuan dengan
porositas yang tinggi akan meningkatkan jumlah retakan batuan dan mengurangi
tekanan gas dalam retakan itu. Air yang terdapat didalam rongga batuan akan
menyerap energy yang digunakan untuk menghancurkan batuan sehingga energinya
akan berkurang.

b. Sifat mekanik
Sifat-sifat mekanik batuan yang diperoleh melalui uji laboratorium yang meliputi kuat
tekan, kuat tarik, modulus elastis dan Poisson Ratio . Pada proses penghancuran
batuan, kuat tarik sangat berpengaruh dibandingkan kuat geser maupun kuat tekan yang
terjadi dalam massa batuan (Hudson, 1997). Ukuran kemampuan suatu batuan untuk
tetap pada bentuknya disebut dengan Modulus Young. Poisson's Ratio menyatakan
perbandingan antara regangan lateral dengan regangan aksial pada suatu pembebanan
aksial. Menurut Bienawski (1973), klasifikasi kekerasan suatu batuan dapat
dideskripsikan berdasarkan nilai kuat tekannya. Klasifikasi tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 3.1.

20
Tabel 3.1 Klasifikasi kuat Tekan Batuan (Bienaswki, 1973)
Klasifikasi Kuat Tekan (MPa)
Sangat keras 250-700
Keras 100-250
Keras sedang 50-100
Lunak 25-50
Sangat lunak 1-25

Urutan pembongkaran batuan sesuai dengan nilai kuat tekan uniaksial (Kramadibrata,
2000) dapat dilihat dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Urutan Pembongkaran Batuan Menurut Kuat Tekan Uniaksial


Metode UCS (MPa) Alat
Free digging 1 - 10 Shovel/loader/BWE
Ripping 10 - 25 Ripper
Rock cutting 10 - 50 Rockcutter
Blasting > 25 Pengeboran dan peledakan

3.2.2 Karakteristik Massa Batuan


a. Bidang diskontinuitas
Jarak antar bidang diskontinuitas dan orientasi bidang diskontinuitas (jurus dan
kemiringan) merupakan faktor yang sangat penting dalam pengontrolan peledakan.
Bidang diskontinuitas dalam massa batuan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
suatu fragmentasi batuan.

b. Rock Quality Designation (RQD)


Dengan adanya bidang diskontinuitas pada massa batuan menyebabkan buruknya sifat
mekanik dari batuan tersebut. Salah satu cara untuk menggambarkan kualitas batuan
adalah dengan digunakan nilai Rock Quality Designation (RQD) (Deere, 1964), yang

21
dapat diperoleh dari pengeboran inti. Bor inti dari batuan lunak harus diberi bobot
RQD sama dengan nol (Bieniawski, 1989). RQD dihitung dari prosentase bor inti
yang diperoleh dengan panjang minimum 10 cm dan dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut.

∑ 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑜𝑡𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑐𝑜𝑟𝑒 ≥10 𝑐𝑚


RQD = 𝑥 100% . ....................................................... (3.2)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑟𝑒 𝑟𝑢𝑛

Bila bor inti tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak langsung dengan melakukan
pengukuran orientasi dan jarak antar bidang diskontinuitas pada permukaan massa
batuan. Priest dan Hudson (1976) mengajukan sebuah persamaan untuk menentukan
RQD dari data scanline sebagai berikut.

RQD (%) = 100 exp-0,1λ (0,1 λ + 1) ........................................................ (3.3)


keterangan λ = frekuensi diskontinuitas per meter

Selain itu Hobbs (1975) juga memberikan suatu cara untuk menentukan nilai RQD dengan
memanfaatkan data jarak antar bidang diskontinuitas yang diwujudkan dalam suatu
tabel klasifikasi. Klasifikasi tersebut memberikan hubungan antara nilai RQD dengan
frekuensi diskontinuitas tiap meter seperti yang tertera dalam Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Hubungan RQD Dengan Frekuensi Diskontinuitas Per Meter (Hobbs, 1975)
Deskripsi RQD (%) Frekuensi diskontinuitas (m-1)
Sangat buruk 0 – 25 > 15
Buruk 25 - 50 15 - 8
Sedang 50 - 75 8-5
Baik 75 - 90 5-1
Sangat baik 90 - 100 <1

22
c. Jarak antar bidang diskontinuitas
Jarak pisah antar diskontinuitas adalah jarak tegak lurus antara dua bidang
diskontinuitas yang berurutan sepanjang sebuah garis pengamatan yang disebut
scanline dan dinyatakan sebagai intact length. Attewell (1993) membuat suatu
klasifikasi untuk mendeskripsikan jarak antar bidang diskontinuitas dalam suatu massa
batuan seperti yang tertera dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Klasifikasi Jarak Antar Bidang Diskontinuitas (Attewell, 1993)


Deskripsi Struktur Bidang Dikontinu Jarak (mm)
Spasi sangat lebar Perlapisan sangat tebal >2000
Spasi lebar Perlapisan tebal 600 - 2000
Spasi moderat lebar Perlapisan sedang 200 - 600
Spasi dekat Perlapisan tipis 60 - 200
Spasi sangat dekat Perlapisan sangat tipis 20 – 60
Spasi ekstrim dekat Laminasi tipis ( sedimentasi ) < 20

Semakin jauh jarak antar bidang diskontinuitas maka massa batuan secara
keseluruhan dapat dikatakan massif, sedangkan bila jarak antar diskontinuitas ini kecil,
maka massa batuan dikatakan sangat terkekarkan.

d. Orientasi bidang diskontinuitas


Istilah strike dan dip yang dipakai oleh para ahli geologi adalah arah garis horisontal
pada bidang diskontinuitas yang tegak lurus terhadap kemiringan bidangnya, dan
sudut tegak ke bawah dari garis horizontal. Orientasi diskontinuitas sangat
berpengaruh terhadap hasil peledakan seperti yang terlihat dalam Gambar 3.2.

23
Gambar 3.2 Pengaruh Orientasi Diskontinuitas Dalam Peledakan Terhadap Kontrol Dinding
dan Fragmentasi (Dyno Nobel, 1995)

Suatu massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang diskontinuitas menuju
ke arah muka lereng akan cenderung tidak stabil setelah diledakkan dan juga
memperbesar resiko terjadinya back break. Ketidakstabilan terjadi karena dengan
adanya gaya gravitasi maka massa batuan yang sudah terpisah-pisah oleh bidang
diskontinuitas cenderung akan bergerak ke bawah. Saat peledakan, celah pada bidang
diskontinuitas akan semakin terbuka karena adanya ekspansi gas-gas peledakan
akibatnya kekuatan geser pada bidang diskontinuitas yang menahan gerakan massa
batuan semakin berkurang sehingga memperbesar potensi luncuran massa batuan ke
bawah. Bidang diskontinuitas ini menerus sampai ke belakang baris terakhir
peledakan, akibatnya gas-gas peledakan yang berasal dari kolom peledakan yang
berpotongan dengan bidang diskontinuitas akan merambat keluar ke belakang baris

24
terakhir. Dengan demikian potensi terbentuknya back break di belakang baris peledakan
terakhir semakin besar.

Massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang diskontinuitas menuju ke dalam
lereng massa batuan mempunyai kecenderungan memperbesar resiko terbentuknya
bongkahan yang menggantung di bagian atas lereng serta tidak pecahnya batuan di
daerah bagian kaki jenjang (toe). Bentuk distribusi gelombang tekan yang terbentuk
pada peledakan dengan primer di bawah umumnya menyerupai bentuk buah pear
sehingga penghancuran batuan lebih banyak terjadi di daerah kolom isian bagian
bawah dan tengah. Akibatnya batuan di bagian atas terutama di area stemming
relatif berbentuk bongkah. Karena bidang diskontinuitas model ini mempunyai
kestabilan alami maka bongkahan tadi menjadi sukar lepas dan cenderung menggantung
(overhang). Demikan juga di bagian kaki jenjang, bidang diskontinuitas model ini
relative lebih sukar terlempar keluar karena arah kemiringan bidang diskontiuiti
menuju ke dalam lereng massa batuan. Dan ditambah dengan tahanan yang
diberikan oleh lantai tambang.

Massa batuan yang mempunyai bidang diskontinuitas dengan jurus (strike) yang
paralel dengan muka jenjang umumnya mempunyai hasil peledakan yang paling baik
daripada massa batuan dengan orientasi lain. Hal ini dikarenakan bidang bebas peledakan
yang sejajar dengan muka jenjang memberikan pantulan gelombang kejut yang
optimal sehingga energi yang terpakai untuk memecah batuan menjadi lebih efisien.
Dengan demikian dapat dihasilkan muka jenjang yang relatif rata daripada peledakan
dalam suatu massa batuan dengan orientasi bidang diskontinuitas lain.

Massa batuan dengan strike bidang diskontinuitas bersudut terhadap muka jenjang
cenderung akan menghasilkan muka jenjang yang berbongkah-bongkah (blocky) setelah
peledakan. Hal ini dikarenakan pantulan gelombang kejut yang tidak beraturan saat
peledakan berlangsung. Bongkahan di bagian muka lereng yang berada pada kondisi tidak
stabil akan lepas sehingga meninggalkan bekas yang tidak rata pada muka jenjang.

25
Selain itu, bidang diskontinuitas model ini dapat menyebabkan pecahan bongkah di
belakang baris peledakan terakhir, akibat gas-gas peledakan yang berasal dari kolom
peledakan yang berpotongan dengan bidang diskontinuitas akan merambat keluar
menuju belakang baris terakhir.

3.2.3 Sifat-sifat Bahan Peledak


3.2.3.1 Sifat-sifat Fisik
a. Bobot Isi
Banyaknya massa bahan peledak yang terdapat dalam lubang tembak tergantung dari
besarnya nilai bobot isi dari bahan peledak yang digunakan. Dengan semakin besar
bobot isi bahan peledak maka energi peledakan yang dihasilkan juga akan semakin
besar. Bobot isi dari berbagai bahan peledak dapat dilihat pada Tabel 3.5

Tabel 3.5 Bobot lsi Bahan Peledak (Kramadibrata,1998)


Bahan Peledak Bobot Isi (ton/m3) Bahan Peledak Bobot Isi (ton/m3)
ANFO lepas 0,75 - 0,85 Emulsi 1,1 - 1,3
ANFO pneumatik 0,80 - 1,10 Campuran Emulsi 1,0 - 1,35
ANFO BI rendah 0,20 - 0,75 Water Gels Slurries 1,0 - 1,3

Loading density (de) adalah berat bahan peledak per satuan panjang muatan dan
dalam satuan British dinyatakan dalam lb/ft. Sedang diameter muatan (De) dinyatakan
dalam inci. Hubungan antara bobot isi, cartridge count (SC), dan loading density adalah
sebagai berikut .
de = 0,34 De2 (SG) . ....................................................... (3.4)
bila SG = 140/SC atau 141/SC
maka de = 48 De2/SC

26
b. Ketahanan Terhadap Air
Parameter ini merupakan suatu ukuran bahan peledak untuk menahan perembesan air,
dinyatakan dalam jam lamanya bahan peledak dalam air dan tetap mampu diledakkan
dengan baik. Setiap bahan peledak mempunyai ketahanan terhadap air yang berbeda-
beda, dimana bahan peledak jenis emulsion dan water gel mempunyai ketahanan yang
tinggi.

c. Sensitifitas
Ukuran mudah atau tidaknya suatu reaksi peledakan dari bahan peledak disebut sensivitas.
Sensivitas bahan peledak terdapat beberapa macam, yaitu sensivitas terhadap benturan,
gesekan, temperatur dan terhadap ledakan terdahulu.

d. Karakteristik gas peledakan


Gas hasil peledakan yang diinginkan adalah uap air (H2O), karbondioksida (CO2),
dan nitrogen (N2). Akan tetapi akibat tidak terjadi oxygen balance maka akan
menghasilkan gas-gas beracun yang tidak diinginkan seperti CO (karbon monoksida) akibat
neraca oksigen negative dan NO2 (nitrogen oksida) akibat neraca oksigen positif.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terbentuknya gas-gas beracun tersebut
antara lain priming, komposisi bahan peledak, waktu penyalaan yang tidak tepat,
munculnya air, kurangnya tekanan pengurungan, dan adanya reaksi dengan batuan.

3.2.4 Sifat-sifat Detonasi


a. Kecepatan detonasi
Adalah ukuran kecepatan gelombang yang merambat sepanjang kolom peledakan,
dinyatakan dalam m/s atau ft/s. Kecepatan detonasi bervariasi tergantung dari
diameter, bobot isi, dan ukuran partikel bahan peledak serta tekanan pengungkungan.
Kecepatan detonasi dari berbagai produk bahan peledak ditunjukkan pada Tabel 3.6
berikut.

27
Tabel 3.6 Kecepatan Detonasi (VOD) Berbagai Tipe Bahan Peledak (Konya,1990)

Bobot isi Kecepatan detonasi (m/s)

Tipe (ton/m3)
De = 1.25 inci De = 3 inci De = 9 inci

Granular Dinamit 0,8 - 1,4 2240 - 6080


Gelatin Dinamit 1,0 - 1,6 3840 - 8000
Cartridge Slurry 1,1 - 1,3 4160 - 6080 4480 - 6080
Bulk Slurry 1,1 - 1,6 4480 - 6080 3840 - 6080
Air Emplaced ANFO 0,8 - 1,0 2240 - 3200 3840 - 9600 4480 - 4800
Poured ANFO 0,8 - 0,85 1920 - 2240 3200 - 3520 4480 - 4800
Packaged ANFO 1,1 - 1,2 3200 - 3840 4480 - 4800
Heavy ANFO 1,1 - 1,4 3520 - 6080
Keterangan : De = diameter muatan bahan peledak

b. Tekanan detonasi
Kecepatan detonasi menghasilkan gelombang kejut yang merupakan tegangan tekan
dimana tekanan tersebut merupakan tekanan detonasi yang merupakan fungsi dari
bobot isi, kecepatan detonasi dan kecepatan partikel dari bahan peledak. Menurut
Bandhari (1997) tekanan detonasi dapat diperkirakan dengan persamaan berikut.
Pd = 0,25 VOD2 ρe ................................................................................... (3.5)
keterangan : Pd = tekanan detonasi (MPa)
VOD = kecepatan detonasi (m/s)
ρe = bobot isi (ton/m3)

c. Kekuatan
Terdapat dua macam ukuran kekuatan yaitu weigth strength yaitu kekuatan bahan
peledak berdasarkan berat dari bahan peledak sedangkan bulk strength berdasarkan dari
volume dari bahan peledak.

28
d. Tekanan peledakan
Tekanan peledakan dihasilkan dari gas-gas hasil peledakan yang termampatkan di dalam
lubang tembak dan kemudian menimbulkan tekanan. Menurut Bandhari (1997)
tekanan peledakan sebesar 45% dari tekanan detonasinya. Nilai tekanan peledakan
lebih kecil dari tekanan detonasi, tetapi energinya lebih besar oleh karena itu tekanan
peledakan adalah tekanan yang bertugas untuk memindahkan massa batuan yang telah
dihancurkan oleh tekanan detonasi sebelumnya.

3.2.5 Geometri Peledakan


Geometri peledakan meliputi burden, spacing, kedalaman lubang tembak, stemming,
dan subdrilling, yang dapat dilihat pada Gambar III.3. Banyak cara (metode
perhitungan) yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai variabel-
variabel geometri peledakan seperti di atas. Salah satu cara yang akan diuraikan dalam bab
ini adalah perhitungan geometri peledakan menurut R.L Ash (1968).

Gambar 3.3 Geometri Peledakan Jenjang

29
a. Burden
Burden adalah dimensi terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu pekerjaan
peledakan. Burden didefinisikan sebagai jarak tegak lurus dari lubang terhadap
bidang bebas yang terdekat saat terjadi peledakan. Untuk menentukan burden perlu
diketahui burden ratio (KB). bobot isi batuan standar. Menurut R.L Ash harga KB adalah
sebagai berikut :
KB = KBstd x AF1 x AF2 .......................... ............................. (3.6)

Keterangan :

1
𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 3
AF1 = 1
𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 3

1
(𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 𝑥 ( 𝑘𝑒𝑐 𝑑𝑒𝑡𝑜𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟)2 )3
AF1 = 1
( 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑥 (𝑘𝑒𝑐 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖)2 )3

1
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 3
AF2 = 1
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘𝑎𝑛3

Konstanta R.L Ash meliputi :


KBstd = 30
Bobot isi bahan peledak standar = 1,2 ton/m3
Kecepatan detonasi bahan peledak standar = 12000 fps = 3660 m/s
Bobot isi batuan standar = 160 lbs/cuft = 2,82 ton/m3

Hubungan burden dengan KB dapat dilihat dalam persamaan berikut.


𝐵
KB=𝐷𝑒 . ........................................................ (3.5)

Keterangan : B = burden (m)


De = diameter bahan peledak (m)

30
Dalam penentuan KB ada pendekatan yang biasa digunakan di lapangan berdasarkan
pengalaman, yaitu :

 Bahan peledak lemah di batuan kuat, KB = 20


 Bahan peledak kuat di batuan lemah, KB = 40
 Bahan peledak lemah di batuan sedang, KB = 25
 Bahan peledak lemah di batuan sedang, KB = 35

Berkaitan dengan rancangan burden perlu diperhatikan mengenai rasio kekakuan


burden (burden stiffness ratio). Rasio kekakuan burden dinyatakan sebagai
perbandingan antara tinggi jenjang dengan panjang burden. Semakin besar nilai rasio
kekakuan burden suatu blok peledakan semakin mudah blok tersebut untuk diledakkan
dan semakin baik fragmentasi batuan hasil peledakannya (untuk faktor bubuk yang
sama). Hal ini dikarenakan momen lengkung (bending) pada blok batuan yang
diledakkan semakin kecil sehingga semakin mudah diatasi oleh energi peledakan.

b. Kedalaman lubang bor


Kedalaman lubang bor tidak boleh lebih kecil daripada burden. Hal ini untuk menghindari
terjadinya overbreak. Disamping itu letak primer menentukan juga kedalaman lubang
bor. Dalam prakteknya harga KH = 1,5 - 4,0.
𝐻
KH = ........................................................ (3.6)
𝐵

Keterangan : KH = nisbah kedalaman lubang

c. Subdrilling
Adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah rencana lantai jenjang, diperlukan
untuk menghindari tonjolan pada lantai dan batuan bisa diledakkan secara full face.

𝐽
KJ=𝐵 ........................................................ (3.7)

31
Keterangan : KJ = nisbah subdrilling
Pada kebanyakan batuan KJ tidak boleh lebih dari 0,2 biasanya dipakai KJ = 0,3 untuk
batuan massif. Besar KJ tergantung dari struktur batuan dan jenis batuan serta arah lubang
bor.

d. Stemming
Stemming disebut juga collar, merupakan material penutup pada lubang bor di atas isian
bahan peledak. Stemming sangat membantu dalam menentukan stress balance dalam
lubang bor. Fungsi lainnya adalah untuk mengurung gas yang timbul. Biasanya KT
standar dipakai 0,7 dan ini sudah cukup untuk mengontrol air blast dan stress balance.
𝑇
KT=𝐵 ........................................................ (3.8)
keterangan : KT = nisbah stemming

e. Spacing
Spacing adalah jarak antara lubang-lubang bor yang dirangkai dalam satu baris dan diukur
sejajar terhadap pit wall. Biasanya spacing tergantung kepada burden, kedalaman
lubang bor, letak primer, waktu tunda, dan arah struktur bidang batuan.
𝑆
KS=𝐵 ........................................................ (3.9)
keterangan KS = nisbah spacing
Besarnya KS menurut waktu tunda yang dipergunakan adalah sebagai berikut.

Long interval delay KS = 1


Short period delay KS = 1-2
Normal KS = 1,2 - 1,8

Prinsip dasar penentuan spacing adalah sebagai berikut.


 Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris diledakkan secara sequence delay
maka KS = 1, S=B

32
 Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris diledakkan secara simultan, maka
KS= 2, S = 2B.
 Apabila dalam multiple row lubang-lubang bor dalam satu baris diledakkan
secara sequence delay, lubang-lubang dalam arah lateral dari baris yang berlainan
diledakkan secara simultan maka pola pengeborannya harus dibuat square
arrangement.
 Apabila dalam suatu multiple row lubang-lubang bor dalam satu baris
diledakkan secara simultan tetapi antara baris yang satu dengan yang lainnya
beruntun maka harus digunakan pola staggered.

3.2.6 Powder Factor


Adalah suatu bilangan untuk menyatakan jumlah material yang dibongkar atau
diledakkan oleh sejumlah tertentu bahan peledak yang dinyatakan dalam ton/kg atau
kg/ton.
E
Pf = W ........................................................ (3.10)

W = A’ L ( ρe ) ........................................................ (3.11)
E = de (PC) N ........................................................ (3.12)

keterangan: W = batuan atau material yang diledakkan (ton)


N = jumlah lubang bor
A’ = luas daerah yang diledakkan (m2)
de = loading density (kg/m)
ρe = bobot isi batuan (ton/m3)
L = kedalaman lubang bor (m)

33
3.3 Pemecahan Batuan Akibat Peledakan
Proses penghancuran batuan hasil peledakan terdiri dari beberapa tahap yaitu pecahan
akibat proses detonasi, rekahan alami oleh energi peledakan dan kombinasi dari
rekahan akibat dari peledakan dan rekahan alami.

Proses pemecahan batuan terdiri dari beberapa tahap yaitu :


a. Proses Pemecahan Tahap I
Gelombang kejut dari proses peledakan yang meninggalkan lubang tembak merambat
akan mengakibatkan tegangan tangensial yang menimbulkan rekahan radial yang
menjalar dari daerah lubang tembak.

b. Proses Pemecahan Tahap II


Gelombang kejut yang meninggalkan lubang tembak bila menemui bidang bebas
gelombang tersebut akan dipantulkan. Bersamaan dengan itu tekanannya akan turun
dengan cepat dan menimbulkan gelombang tarik (tension wave). Gelombang tarik ini
kemudian merambat kembali ke batuan, oleh karena kuat tarik batuan lebih kecil
dibandingkan kuat tekan, maka akan terjadi rekahan-rekahan karena tegangan tarik
yang cukup kuat sehingga menyebabkan spalling pada bidang bebas. Energi pada
proses pemecahan tahap I dan II digunakan untuk mempersiapkan kondisi batuan
dalam proses pemecahan batuan tahap akhir.

c. Proses Pemecahan Tahap III


Di bawah pengaruh tekanan yang sangat tinggi dari gas-gas hasil peledakan maka
rekahan radial akan diperbesar secara cepat oleh efek kombinasi dari tegangan tarik.
Massa batuan yang gagal mempertahankan posisinya dan bergerak ke depan maka
tegangang tekan tinggi yang berada dalam batuan akan dilepaskan. Akibat pelepasan
tegangan tekan ini menimbulkan energi tarik yang besar dalam massa batuan. Energi
tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan batuan pada tahap II yang
mempersiapkan rekahan-rekahan untuk membantu fragmentasi pada proses peledakan.

34
3.4 Split Desktop Engineering
Split Desktop Engineering merupakan suatu program komputer untuk mengukur
distribusi fragmentasi hasil peledakan. Program ini dirancang untuk menentukan
ukuran distribusi fragmentasi batuan berdasarkan analisis gambar digital yang
diambil dari hasil peledakan di lapangan.

Berdasarkan data-data gambar digital yang didapatkan di lapangan, program ini dapat
melakukan penggambaran pada batas-batas (split) batuan yang terkumpul banyak
secara otomatis. Setelah dilakukan pengeditan, dari hasil penggambaran tersebut
kemudian dianalisis ukuran (computer size) untuk menghasilkan suatu output berupa
informasi distribusi fragmentasi yang ditampilkan dalam suatu grafik hubungan
persen kumulatif material yang lolos dengan ukuran fragmen batuan yang telah ada
pada gambar. Ukuran fragmentasi (cm) akan dilakukan pada :

- Persen lolos (passing) kumulatif 20 %


- Persen lolos (passing) kumulatif 50 %
- Persen lolos (passing) kumulatif 80 %
- Top size

3.5 Metode Kuz-Ram


Model Kuz-Ram merupakan salah satu cara umum untuk memperkirakanfragmentasi
batuan hasil peledakan, dimana digunakan dua persamaan yaitu persamaan Kuznetsov
untuk menentukan fragmentasi rata-rata dan persamaan Rosin-Rammler untuk
menentukan prosentase material yang tertahan di ayakan. Kuznetsov (1971) telah
melakukan penelitian untuk mengukur fragmentasi dan hasilnya dikenal dengan
persamaan Kuznetsov seperti diberikan dalam persamaan berikut.
1
𝑉𝑜
X = A ( 𝑄 )0.8 𝑄 6 ........................................................ (3.13)

Keterangan : X = ukuran fragmentasi rata-rata (cm)


A = faktor batuan
Vo = volume batuan per lubang tembak (BxSxL dalam m3)
Q = bahan peledak TNT ekivalen per lubang tembak (kg)

35
Lilly (1986) memberikan suatu cara penentuan faktor batuan (rock factor-RF). Nilai
fackor batuan tersebut didapatkan dari indeks kemampuledakan (blastability index-BI)
batuan yang bersangkutan. Persamaan yang memberikan hubungan antara faktor batuan
dengan indeks kemampuledakan suatu batuan menurut Lilly (1986) adalah sebagai berikut,

A = 0,15 BI ......................................................... (3.14)

Nilai dari indeks kemampuledakan ditentukan dari penjumlahan bobot nilai lima
parameter utama yang diberikan oleh Lilly (1986) yaitu Rock Mass Description
(RMD), Joint Plane Spacing (JPS), Joint Plane Orientation (JPO), Specific
Gravity Influence (SGI) dan Hardness (H). Hubungan antara kelima parameter
tersebut dengan indeks kemampuledakan tertera dalam persamaan berikut.

BI = 0,5 x (RMD + JPS + JPO + SGI + H) ......................................................... (3.15)

Penentuan bobot nilai masing-masing parameter di atas ditentukan dari Tabel yang
diberikan oleh Lilly (1986) seperti yang tertera dalam Tabel 3.7 berikut.

36
Tabel 3.7 Penentuan Bobot Nilai Tiap Parameter Untuk Penentuan Indeks Kemampuan
ledakan Menurut Lilly (1986)

Cunningham (1983) memodifikasi persamaan Kuznetsov dengan bahan peledak yang


digunakan ANFO menjadi persamaan,

1
𝑉𝑜 0.8 1
𝐸 6 𝐸 − 0.8
X = [𝑄𝑒] 𝑄𝑒 6 [115] [115] ........................................................ (3.16)

Keterangan : Qe = massa bahan peledak per lubang tembak (kg)


E = RWS bahan peledak, ANFO=100, TNT = 115

Kemudian menjadi persamaan,

19
𝑉𝑜 0.8 1
𝐸 −
30
X = A[𝑄𝑒] 𝑄𝑒 [115]
6 ........................................................ (3.17)

37
Untuk menentukan distribusi fragmentasi batuan hasil peledakan digunakan persamaan
Rossin-Rammler, yaitu
− 𝑥𝑛
( )
R= 𝑒 𝑋𝑐 ...................................................... (3.18)
Keterangan : Xc = karakteristik ukuran (cm)
X = ukuran ayakan (cm)
n = indeks keseragaman
R merupakan % material yang tertahan pada ayakan. Maksudnya adalah bila
dilakukan pengayakan, maka terdapat material yang tidak lolos. Persamaan Kuznetzov
memberikan ukuran ayakan X dimana 50% material lolos. Sehingga diperoleh
hubungan berikut.

X kuznetzov = X ayakan, sehingga R=0.5

− 𝑥𝑛
( )
Nilai Xc , jika R=0.5 adalah 0.5 =𝑒 𝑋𝑐 , maka persamaan menjadi
𝑋
Xc = 1 ........................................................ (3.19)
(0.693)𝑛

Keterangan : Xc = karakteristik ukuran (cm)


X = ukuran rata-rata material (kuznetsov) (cm)

Indeks n adalah indeks keseragaman, artinya jika nilai n semakin besar maka
kemungkinan fragmentasi yang dihasilkan semakin seragam. Tetapi sebaliknya, jika
nilai n semakin kecil maka fragmentasi yang dihasilkan ukurannya tidak terkontrol,
dimana akan terjadi bongkahan yang sangat besar atau sangat kecil.

𝐵 𝑊 𝑅−1 𝐿
n = (2.2 − 14 𝐷) (1 − ) (1 + 14 )𝐻 ........................................................ (3.20)
𝐵 2

Keterangan : B = burden (m)

38
D = diameter lubang (mm)
W = standar deviasi dari keakuratan pengeboran (m)
R = ratio spasi/burden
L = panjang muatan (m)
H = tinggi jenjang (m)

3.6 Faktor –faktor yang Mempengaruhi Produksi Alat Gali Muat dan Alat Angkut
Produksi lat gali muat dapat dilihat dari kemampuan alat tersebut dalam penggunaannya
dilapangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:

3.6.1 Waktu Edar


Waktu edar merupakan watu yang digunakan ole alat mekanis untuk melakukan satu siklus
kegiatan. Lamanyan waktu edar dari alat-alatmekanis akan berbeda antara material yang
satu dengan yang lainya, hal ini tergantung dari jenis alat serta sifat dari material yang
dilokasi tersebut

a. Waktu Edar Alat Muat


Merupakan penjumlahan dari waktu menggali, waktu ayunan bermuatan, waktu
menumpahkan material dan waktu ayunan kosong.

CTm = Am + Bm + Cm + Dm ............................................................. (3.21)

Keterangan:
CTm = waktu edar alat muat
Am = waktu menggali
Bm = waktu ayunan bermuatan
Cm = waktu menumpahkan material
Dm = waktu ayunan kosong

39
b. Waktu Edar Alat Angkut
Merupakan penjumlahan dari waktu mengatur posisi, waktu isi material, waktu angkut,
waktu tumpah, waktu kembali kosong.

Cta = Aa + Ba +Ca +Da +Ea ........................................................ (3.22)

Keterangan :
Cta = waktu edar alat angkut
Aa = waktu mengatur posisi
Ba = waktu isi material
Ca = waktu angkut
Da = waktu tumpah
Ea = waktu kembali ksosong
c. Faktor-faktor yang mempegaruhi waktu edar alat-alat mekanis adalah :
1. Berat alat, adalah berat muatan ditambah berat alat dalam keadaan tanpa muatan
yang akan bepengaruh terhadap kelincahan gerak alat.
2. Kondisi tempat kerja. Tempat kerja yang luas dan kering akan meningkatkan
kelancaran dan keleluasaan gerak alat, sehingga akan memperkecil waktu edar.
3. Kondisi jalan angkut.kemiringan dan lebar jalan angkut baik dijalan lurus maupun
pada tikungan sangat berpengaruh terhadap lalu lintas jalan angkut. Apabila kondisi
jalan sudah memenuhi syarat, maka akan memperlancar jalannya lalu lintas alat
angkut, sehingga akan memperkecil waaktu edar alat angkut.
4. Ketrampilan dan pengalaman operator, semakain terampil dan berpengalaman
maka akan semakin memperkecil waktu edar.

3.6.2 Faktor Isian Mangkuk (Bucket Fill Factor)


Faktor isian bucket merupakan perbandingan antara kapasitas nyata material yang masuk
kedalam bucket dengan kapasitas teoritis dari alat muat tersebt yang dinyatakan dalam
persen. Faktor isian bucket ini menunjukan bahwa semakin besar factor isian maka semakin
besar produktivitas alat muat tersebut. Faktor pengisian dipengaruhi oleh kapasitas bucket,
jenis dan sifat material.Untuk menghitung factor isian digunakan persamaan :
40
Vn
FF = x 100% ........................................................ (3.23)
Vt

Keterangan:
FF = faktor isian ( fill factor)
Vn = volume nyata (m3)
Vt = volume teoritis (m3)

3.6.3 Faktor Pengembangan (swell factor)


Apabila material digali dari tempat aslinya, maka akan terjadi pengembangan volume
(swell). Untuk menatakan besarnya pengembangan volume dikenal dua istilah, yaitu:
a. Faktor pengembangan (swell factor)
b. Persen pengembangan (percent swell)
Pengembangan volume suatu material perlu diketahui, karena yang diperhitungkan pada
penggalia selalu didasarkan pada kondisi material sebelum digali, sedangkan material yang
ditangani (dimuat untuk diangkut) selalu material yang telah mengembang.
Untuk itu swell factor dan percet swell berdasarkan volume dapat menggunakan persamaan
pada berat yang sama:

bank volume
SF =loose volume % swell

loose volume− bank volume


= x 100% ........................................................ (3.24)
bank volume

Sedangkan untuk menghitung swell factor dan percen sell berdasarkan densitas (kerapatan)
menggunakan persamaan pada volume yang sama:

loose weight
SF = weight in bank % swell

weight in bank−loose weight


= x 100% ........................................................ (3.24)
loose weight

41
3.6.4 Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja adalah penilaian terhadap suatu pelaksnaan pekerjaan atau merupakan
perbandingan antara waktu yang dipakai untuk bekerja dengan waktu tersedia yang
dinyatakan dalam persen (%). Efisiensi kerja ini akan mempengaruhi kemampuan alat.
Faktor manusia, msin, cuaca dan kondisi kerja secara keseluruhan akan menentukan
besarnya efisiensi kerja. Untuk menghitung efisiensi kerja dapat menggunakan persamaan :

We
Ek = x 100 % ......................................................... (3.25)
Wt

Keterangan :
Ek = efisiensi kerja, %
We = waktu kerja efektif, menit
Wt = waktu kerja tersedia, menit

3.6.5 Kemampuan Produksi Alat


Kemampuan produksi alat dapat digunakan untuk menilai kinerja dari alat muat dan alat
angkut. Semakin baik tigkat penggunaan alat maka semakin besar produksi yang dihasilkan
alat tersebut.

a. Produksi alat gali muat

60
Pm =CTm x KB x FF x EK ......................................................... (3.26)

b. Produksi alat angkut

60
Pm = x KB x FF x EK x n ........................................................ (3.27)
CTa

Keterangan:
Pm = produksi alat muat
CTm = waktu edar alat muat,menit
Cta = waktu edar alat angkut, menit
Pa = produksi alat muat

42
KB = kapasitas bak alat angkut ,m3
FF = faktor pengisian,%
EK = efisiensi kerja, %
SF = faktor pengembangan, %
n = jumlah pengisian

3.6.6 Keserasian Kerja Alat


Agar terdapat hubungan kerja yang serasi antara alat muat dan alat angkut maka produksi
alat muat harus ssuia dengan produksi alat angkut. Faktor keserasian ini dinyatakan dalam
Match Factor (MF). Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar keserasian kerja ini dapat
tercapai seperti tinggi penumpahan alat angkut yang lebih besar dari bak alat angkut dan
perbandingan unit antara alat muat dan alat angkut yang sesuai. Idealnya, perbandingan
volume alat angkut adalah 4 sampai 5 kali kapasitas alat muat.
Untuk melihat nilai keserasian kerja antara alat muat dan alat angkut dapat menggunakan
persamaan:
na x CTm
MF = nm x CTa ........................................................ (3.28)

Keterangan :
MF = Match Factor
Na = jumlah alat angkut, unit
Nm = jumlah alat muat, uit
CTm = waktu edar alat muat, menit
Cta = waktu edar alat angkut, menit

Adapun penilaiannya adalah :


a. MF< 1, artinya alat gali muat bekerja 100% sedangkan alat angkut bekerja kurang dari
100%, sehingga terdapat wakt tnggu bagi alat muat.
Waktu tunggu alat muat adalah :
nm x CTa
WTm = - CTm
na

Keterangan :
WTm = waktu tunggu alat muat (menit)
43
b. MF = 1, artinya alat muat dan alat angkut bekerja 100 %
c. MF >1, artinya alat gali muat bekerja kurang dari 100% sedangkan alat angkut bekerja 100%,
sehingga terdapat waktu tunggu bagi alat angkut.
Waktu tunggu alat angkut adalah :
na x CTm
Wta = − CTa ........................................................ (3.29)
nm

Keterangan
Wta = waktu tunggu alat angkut (menit)

44

Вам также может понравиться