Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
Pemberaian batuan merupakan salah satu kegiatan utama dalam proses penambangan,
dan merupakan salah satu metode yang sering digunakan adalah pemboran dan
peledakan, selain penggaruan. Metode ini digunakan sesuai dengan kekuatan batuan yang
akan ditambang. Ukuran fragmentasi dalam kegiatan pemberaian merupakan faktor
utama yang sangat menentukan untuk kegiatan penambangan selanjutnya.
18
Gambar 3.1 Diagram Kriteria Kekuatan Indeks Batuan (Franklin, 1971)
19
3.2 Peledakan Massa Batuan
Peledakan suatu massa batuan bertujuan untuk memecahkan atau memberaikan massa
batuan menjadi fragmen dengan ukuran tertentu. Teknik peledakan yang digunakan
disesuaikan dengan proses selanjutnya setelah kegiatan peledakan.
b. Sifat mekanik
Sifat-sifat mekanik batuan yang diperoleh melalui uji laboratorium yang meliputi kuat
tekan, kuat tarik, modulus elastis dan Poisson Ratio . Pada proses penghancuran
batuan, kuat tarik sangat berpengaruh dibandingkan kuat geser maupun kuat tekan yang
terjadi dalam massa batuan (Hudson, 1997). Ukuran kemampuan suatu batuan untuk
tetap pada bentuknya disebut dengan Modulus Young. Poisson's Ratio menyatakan
perbandingan antara regangan lateral dengan regangan aksial pada suatu pembebanan
aksial. Menurut Bienawski (1973), klasifikasi kekerasan suatu batuan dapat
dideskripsikan berdasarkan nilai kuat tekannya. Klasifikasi tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 3.1.
20
Tabel 3.1 Klasifikasi kuat Tekan Batuan (Bienaswki, 1973)
Klasifikasi Kuat Tekan (MPa)
Sangat keras 250-700
Keras 100-250
Keras sedang 50-100
Lunak 25-50
Sangat lunak 1-25
Urutan pembongkaran batuan sesuai dengan nilai kuat tekan uniaksial (Kramadibrata,
2000) dapat dilihat dalam Tabel 3.2.
21
dapat diperoleh dari pengeboran inti. Bor inti dari batuan lunak harus diberi bobot
RQD sama dengan nol (Bieniawski, 1989). RQD dihitung dari prosentase bor inti
yang diperoleh dengan panjang minimum 10 cm dan dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut.
Bila bor inti tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak langsung dengan melakukan
pengukuran orientasi dan jarak antar bidang diskontinuitas pada permukaan massa
batuan. Priest dan Hudson (1976) mengajukan sebuah persamaan untuk menentukan
RQD dari data scanline sebagai berikut.
Selain itu Hobbs (1975) juga memberikan suatu cara untuk menentukan nilai RQD dengan
memanfaatkan data jarak antar bidang diskontinuitas yang diwujudkan dalam suatu
tabel klasifikasi. Klasifikasi tersebut memberikan hubungan antara nilai RQD dengan
frekuensi diskontinuitas tiap meter seperti yang tertera dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Hubungan RQD Dengan Frekuensi Diskontinuitas Per Meter (Hobbs, 1975)
Deskripsi RQD (%) Frekuensi diskontinuitas (m-1)
Sangat buruk 0 – 25 > 15
Buruk 25 - 50 15 - 8
Sedang 50 - 75 8-5
Baik 75 - 90 5-1
Sangat baik 90 - 100 <1
22
c. Jarak antar bidang diskontinuitas
Jarak pisah antar diskontinuitas adalah jarak tegak lurus antara dua bidang
diskontinuitas yang berurutan sepanjang sebuah garis pengamatan yang disebut
scanline dan dinyatakan sebagai intact length. Attewell (1993) membuat suatu
klasifikasi untuk mendeskripsikan jarak antar bidang diskontinuitas dalam suatu massa
batuan seperti yang tertera dalam Tabel 3.4.
Semakin jauh jarak antar bidang diskontinuitas maka massa batuan secara
keseluruhan dapat dikatakan massif, sedangkan bila jarak antar diskontinuitas ini kecil,
maka massa batuan dikatakan sangat terkekarkan.
23
Gambar 3.2 Pengaruh Orientasi Diskontinuitas Dalam Peledakan Terhadap Kontrol Dinding
dan Fragmentasi (Dyno Nobel, 1995)
Suatu massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang diskontinuitas menuju
ke arah muka lereng akan cenderung tidak stabil setelah diledakkan dan juga
memperbesar resiko terjadinya back break. Ketidakstabilan terjadi karena dengan
adanya gaya gravitasi maka massa batuan yang sudah terpisah-pisah oleh bidang
diskontinuitas cenderung akan bergerak ke bawah. Saat peledakan, celah pada bidang
diskontinuitas akan semakin terbuka karena adanya ekspansi gas-gas peledakan
akibatnya kekuatan geser pada bidang diskontinuitas yang menahan gerakan massa
batuan semakin berkurang sehingga memperbesar potensi luncuran massa batuan ke
bawah. Bidang diskontinuitas ini menerus sampai ke belakang baris terakhir
peledakan, akibatnya gas-gas peledakan yang berasal dari kolom peledakan yang
berpotongan dengan bidang diskontinuitas akan merambat keluar ke belakang baris
24
terakhir. Dengan demikian potensi terbentuknya back break di belakang baris peledakan
terakhir semakin besar.
Massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang diskontinuitas menuju ke dalam
lereng massa batuan mempunyai kecenderungan memperbesar resiko terbentuknya
bongkahan yang menggantung di bagian atas lereng serta tidak pecahnya batuan di
daerah bagian kaki jenjang (toe). Bentuk distribusi gelombang tekan yang terbentuk
pada peledakan dengan primer di bawah umumnya menyerupai bentuk buah pear
sehingga penghancuran batuan lebih banyak terjadi di daerah kolom isian bagian
bawah dan tengah. Akibatnya batuan di bagian atas terutama di area stemming
relatif berbentuk bongkah. Karena bidang diskontinuitas model ini mempunyai
kestabilan alami maka bongkahan tadi menjadi sukar lepas dan cenderung menggantung
(overhang). Demikan juga di bagian kaki jenjang, bidang diskontinuitas model ini
relative lebih sukar terlempar keluar karena arah kemiringan bidang diskontiuiti
menuju ke dalam lereng massa batuan. Dan ditambah dengan tahanan yang
diberikan oleh lantai tambang.
Massa batuan yang mempunyai bidang diskontinuitas dengan jurus (strike) yang
paralel dengan muka jenjang umumnya mempunyai hasil peledakan yang paling baik
daripada massa batuan dengan orientasi lain. Hal ini dikarenakan bidang bebas peledakan
yang sejajar dengan muka jenjang memberikan pantulan gelombang kejut yang
optimal sehingga energi yang terpakai untuk memecah batuan menjadi lebih efisien.
Dengan demikian dapat dihasilkan muka jenjang yang relatif rata daripada peledakan
dalam suatu massa batuan dengan orientasi bidang diskontinuitas lain.
Massa batuan dengan strike bidang diskontinuitas bersudut terhadap muka jenjang
cenderung akan menghasilkan muka jenjang yang berbongkah-bongkah (blocky) setelah
peledakan. Hal ini dikarenakan pantulan gelombang kejut yang tidak beraturan saat
peledakan berlangsung. Bongkahan di bagian muka lereng yang berada pada kondisi tidak
stabil akan lepas sehingga meninggalkan bekas yang tidak rata pada muka jenjang.
25
Selain itu, bidang diskontinuitas model ini dapat menyebabkan pecahan bongkah di
belakang baris peledakan terakhir, akibat gas-gas peledakan yang berasal dari kolom
peledakan yang berpotongan dengan bidang diskontinuitas akan merambat keluar
menuju belakang baris terakhir.
Loading density (de) adalah berat bahan peledak per satuan panjang muatan dan
dalam satuan British dinyatakan dalam lb/ft. Sedang diameter muatan (De) dinyatakan
dalam inci. Hubungan antara bobot isi, cartridge count (SC), dan loading density adalah
sebagai berikut .
de = 0,34 De2 (SG) . ....................................................... (3.4)
bila SG = 140/SC atau 141/SC
maka de = 48 De2/SC
26
b. Ketahanan Terhadap Air
Parameter ini merupakan suatu ukuran bahan peledak untuk menahan perembesan air,
dinyatakan dalam jam lamanya bahan peledak dalam air dan tetap mampu diledakkan
dengan baik. Setiap bahan peledak mempunyai ketahanan terhadap air yang berbeda-
beda, dimana bahan peledak jenis emulsion dan water gel mempunyai ketahanan yang
tinggi.
c. Sensitifitas
Ukuran mudah atau tidaknya suatu reaksi peledakan dari bahan peledak disebut sensivitas.
Sensivitas bahan peledak terdapat beberapa macam, yaitu sensivitas terhadap benturan,
gesekan, temperatur dan terhadap ledakan terdahulu.
27
Tabel 3.6 Kecepatan Detonasi (VOD) Berbagai Tipe Bahan Peledak (Konya,1990)
Tipe (ton/m3)
De = 1.25 inci De = 3 inci De = 9 inci
b. Tekanan detonasi
Kecepatan detonasi menghasilkan gelombang kejut yang merupakan tegangan tekan
dimana tekanan tersebut merupakan tekanan detonasi yang merupakan fungsi dari
bobot isi, kecepatan detonasi dan kecepatan partikel dari bahan peledak. Menurut
Bandhari (1997) tekanan detonasi dapat diperkirakan dengan persamaan berikut.
Pd = 0,25 VOD2 ρe ................................................................................... (3.5)
keterangan : Pd = tekanan detonasi (MPa)
VOD = kecepatan detonasi (m/s)
ρe = bobot isi (ton/m3)
c. Kekuatan
Terdapat dua macam ukuran kekuatan yaitu weigth strength yaitu kekuatan bahan
peledak berdasarkan berat dari bahan peledak sedangkan bulk strength berdasarkan dari
volume dari bahan peledak.
28
d. Tekanan peledakan
Tekanan peledakan dihasilkan dari gas-gas hasil peledakan yang termampatkan di dalam
lubang tembak dan kemudian menimbulkan tekanan. Menurut Bandhari (1997)
tekanan peledakan sebesar 45% dari tekanan detonasinya. Nilai tekanan peledakan
lebih kecil dari tekanan detonasi, tetapi energinya lebih besar oleh karena itu tekanan
peledakan adalah tekanan yang bertugas untuk memindahkan massa batuan yang telah
dihancurkan oleh tekanan detonasi sebelumnya.
29
a. Burden
Burden adalah dimensi terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu pekerjaan
peledakan. Burden didefinisikan sebagai jarak tegak lurus dari lubang terhadap
bidang bebas yang terdekat saat terjadi peledakan. Untuk menentukan burden perlu
diketahui burden ratio (KB). bobot isi batuan standar. Menurut R.L Ash harga KB adalah
sebagai berikut :
KB = KBstd x AF1 x AF2 .......................... ............................. (3.6)
Keterangan :
1
𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 3
AF1 = 1
𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 3
1
(𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖 𝑥 ( 𝑘𝑒𝑐 𝑑𝑒𝑡𝑜𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟)2 )3
AF1 = 1
( 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑥 (𝑘𝑒𝑐 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑎𝑘𝑎𝑖)2 )3
1
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 3
AF2 = 1
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑙𝑒𝑑𝑎𝑘𝑎𝑛3
30
Dalam penentuan KB ada pendekatan yang biasa digunakan di lapangan berdasarkan
pengalaman, yaitu :
c. Subdrilling
Adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah rencana lantai jenjang, diperlukan
untuk menghindari tonjolan pada lantai dan batuan bisa diledakkan secara full face.
𝐽
KJ=𝐵 ........................................................ (3.7)
31
Keterangan : KJ = nisbah subdrilling
Pada kebanyakan batuan KJ tidak boleh lebih dari 0,2 biasanya dipakai KJ = 0,3 untuk
batuan massif. Besar KJ tergantung dari struktur batuan dan jenis batuan serta arah lubang
bor.
d. Stemming
Stemming disebut juga collar, merupakan material penutup pada lubang bor di atas isian
bahan peledak. Stemming sangat membantu dalam menentukan stress balance dalam
lubang bor. Fungsi lainnya adalah untuk mengurung gas yang timbul. Biasanya KT
standar dipakai 0,7 dan ini sudah cukup untuk mengontrol air blast dan stress balance.
𝑇
KT=𝐵 ........................................................ (3.8)
keterangan : KT = nisbah stemming
e. Spacing
Spacing adalah jarak antara lubang-lubang bor yang dirangkai dalam satu baris dan diukur
sejajar terhadap pit wall. Biasanya spacing tergantung kepada burden, kedalaman
lubang bor, letak primer, waktu tunda, dan arah struktur bidang batuan.
𝑆
KS=𝐵 ........................................................ (3.9)
keterangan KS = nisbah spacing
Besarnya KS menurut waktu tunda yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
32
Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris diledakkan secara simultan, maka
KS= 2, S = 2B.
Apabila dalam multiple row lubang-lubang bor dalam satu baris diledakkan
secara sequence delay, lubang-lubang dalam arah lateral dari baris yang berlainan
diledakkan secara simultan maka pola pengeborannya harus dibuat square
arrangement.
Apabila dalam suatu multiple row lubang-lubang bor dalam satu baris
diledakkan secara simultan tetapi antara baris yang satu dengan yang lainnya
beruntun maka harus digunakan pola staggered.
W = A’ L ( ρe ) ........................................................ (3.11)
E = de (PC) N ........................................................ (3.12)
33
3.3 Pemecahan Batuan Akibat Peledakan
Proses penghancuran batuan hasil peledakan terdiri dari beberapa tahap yaitu pecahan
akibat proses detonasi, rekahan alami oleh energi peledakan dan kombinasi dari
rekahan akibat dari peledakan dan rekahan alami.
34
3.4 Split Desktop Engineering
Split Desktop Engineering merupakan suatu program komputer untuk mengukur
distribusi fragmentasi hasil peledakan. Program ini dirancang untuk menentukan
ukuran distribusi fragmentasi batuan berdasarkan analisis gambar digital yang
diambil dari hasil peledakan di lapangan.
Berdasarkan data-data gambar digital yang didapatkan di lapangan, program ini dapat
melakukan penggambaran pada batas-batas (split) batuan yang terkumpul banyak
secara otomatis. Setelah dilakukan pengeditan, dari hasil penggambaran tersebut
kemudian dianalisis ukuran (computer size) untuk menghasilkan suatu output berupa
informasi distribusi fragmentasi yang ditampilkan dalam suatu grafik hubungan
persen kumulatif material yang lolos dengan ukuran fragmen batuan yang telah ada
pada gambar. Ukuran fragmentasi (cm) akan dilakukan pada :
35
Lilly (1986) memberikan suatu cara penentuan faktor batuan (rock factor-RF). Nilai
fackor batuan tersebut didapatkan dari indeks kemampuledakan (blastability index-BI)
batuan yang bersangkutan. Persamaan yang memberikan hubungan antara faktor batuan
dengan indeks kemampuledakan suatu batuan menurut Lilly (1986) adalah sebagai berikut,
Nilai dari indeks kemampuledakan ditentukan dari penjumlahan bobot nilai lima
parameter utama yang diberikan oleh Lilly (1986) yaitu Rock Mass Description
(RMD), Joint Plane Spacing (JPS), Joint Plane Orientation (JPO), Specific
Gravity Influence (SGI) dan Hardness (H). Hubungan antara kelima parameter
tersebut dengan indeks kemampuledakan tertera dalam persamaan berikut.
Penentuan bobot nilai masing-masing parameter di atas ditentukan dari Tabel yang
diberikan oleh Lilly (1986) seperti yang tertera dalam Tabel 3.7 berikut.
36
Tabel 3.7 Penentuan Bobot Nilai Tiap Parameter Untuk Penentuan Indeks Kemampuan
ledakan Menurut Lilly (1986)
1
𝑉𝑜 0.8 1
𝐸 6 𝐸 − 0.8
X = [𝑄𝑒] 𝑄𝑒 6 [115] [115] ........................................................ (3.16)
19
𝑉𝑜 0.8 1
𝐸 −
30
X = A[𝑄𝑒] 𝑄𝑒 [115]
6 ........................................................ (3.17)
37
Untuk menentukan distribusi fragmentasi batuan hasil peledakan digunakan persamaan
Rossin-Rammler, yaitu
− 𝑥𝑛
( )
R= 𝑒 𝑋𝑐 ...................................................... (3.18)
Keterangan : Xc = karakteristik ukuran (cm)
X = ukuran ayakan (cm)
n = indeks keseragaman
R merupakan % material yang tertahan pada ayakan. Maksudnya adalah bila
dilakukan pengayakan, maka terdapat material yang tidak lolos. Persamaan Kuznetzov
memberikan ukuran ayakan X dimana 50% material lolos. Sehingga diperoleh
hubungan berikut.
− 𝑥𝑛
( )
Nilai Xc , jika R=0.5 adalah 0.5 =𝑒 𝑋𝑐 , maka persamaan menjadi
𝑋
Xc = 1 ........................................................ (3.19)
(0.693)𝑛
Indeks n adalah indeks keseragaman, artinya jika nilai n semakin besar maka
kemungkinan fragmentasi yang dihasilkan semakin seragam. Tetapi sebaliknya, jika
nilai n semakin kecil maka fragmentasi yang dihasilkan ukurannya tidak terkontrol,
dimana akan terjadi bongkahan yang sangat besar atau sangat kecil.
𝐵 𝑊 𝑅−1 𝐿
n = (2.2 − 14 𝐷) (1 − ) (1 + 14 )𝐻 ........................................................ (3.20)
𝐵 2
38
D = diameter lubang (mm)
W = standar deviasi dari keakuratan pengeboran (m)
R = ratio spasi/burden
L = panjang muatan (m)
H = tinggi jenjang (m)
3.6 Faktor –faktor yang Mempengaruhi Produksi Alat Gali Muat dan Alat Angkut
Produksi lat gali muat dapat dilihat dari kemampuan alat tersebut dalam penggunaannya
dilapangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:
Keterangan:
CTm = waktu edar alat muat
Am = waktu menggali
Bm = waktu ayunan bermuatan
Cm = waktu menumpahkan material
Dm = waktu ayunan kosong
39
b. Waktu Edar Alat Angkut
Merupakan penjumlahan dari waktu mengatur posisi, waktu isi material, waktu angkut,
waktu tumpah, waktu kembali kosong.
Keterangan :
Cta = waktu edar alat angkut
Aa = waktu mengatur posisi
Ba = waktu isi material
Ca = waktu angkut
Da = waktu tumpah
Ea = waktu kembali ksosong
c. Faktor-faktor yang mempegaruhi waktu edar alat-alat mekanis adalah :
1. Berat alat, adalah berat muatan ditambah berat alat dalam keadaan tanpa muatan
yang akan bepengaruh terhadap kelincahan gerak alat.
2. Kondisi tempat kerja. Tempat kerja yang luas dan kering akan meningkatkan
kelancaran dan keleluasaan gerak alat, sehingga akan memperkecil waktu edar.
3. Kondisi jalan angkut.kemiringan dan lebar jalan angkut baik dijalan lurus maupun
pada tikungan sangat berpengaruh terhadap lalu lintas jalan angkut. Apabila kondisi
jalan sudah memenuhi syarat, maka akan memperlancar jalannya lalu lintas alat
angkut, sehingga akan memperkecil waaktu edar alat angkut.
4. Ketrampilan dan pengalaman operator, semakain terampil dan berpengalaman
maka akan semakin memperkecil waktu edar.
Keterangan:
FF = faktor isian ( fill factor)
Vn = volume nyata (m3)
Vt = volume teoritis (m3)
bank volume
SF =loose volume % swell
Sedangkan untuk menghitung swell factor dan percen sell berdasarkan densitas (kerapatan)
menggunakan persamaan pada volume yang sama:
loose weight
SF = weight in bank % swell
41
3.6.4 Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja adalah penilaian terhadap suatu pelaksnaan pekerjaan atau merupakan
perbandingan antara waktu yang dipakai untuk bekerja dengan waktu tersedia yang
dinyatakan dalam persen (%). Efisiensi kerja ini akan mempengaruhi kemampuan alat.
Faktor manusia, msin, cuaca dan kondisi kerja secara keseluruhan akan menentukan
besarnya efisiensi kerja. Untuk menghitung efisiensi kerja dapat menggunakan persamaan :
We
Ek = x 100 % ......................................................... (3.25)
Wt
Keterangan :
Ek = efisiensi kerja, %
We = waktu kerja efektif, menit
Wt = waktu kerja tersedia, menit
60
Pm =CTm x KB x FF x EK ......................................................... (3.26)
60
Pm = x KB x FF x EK x n ........................................................ (3.27)
CTa
Keterangan:
Pm = produksi alat muat
CTm = waktu edar alat muat,menit
Cta = waktu edar alat angkut, menit
Pa = produksi alat muat
42
KB = kapasitas bak alat angkut ,m3
FF = faktor pengisian,%
EK = efisiensi kerja, %
SF = faktor pengembangan, %
n = jumlah pengisian
Keterangan :
MF = Match Factor
Na = jumlah alat angkut, unit
Nm = jumlah alat muat, uit
CTm = waktu edar alat muat, menit
Cta = waktu edar alat angkut, menit
Keterangan :
WTm = waktu tunggu alat muat (menit)
43
b. MF = 1, artinya alat muat dan alat angkut bekerja 100 %
c. MF >1, artinya alat gali muat bekerja kurang dari 100% sedangkan alat angkut bekerja 100%,
sehingga terdapat waktu tunggu bagi alat angkut.
Waktu tunggu alat angkut adalah :
na x CTm
Wta = − CTa ........................................................ (3.29)
nm
Keterangan
Wta = waktu tunggu alat angkut (menit)
44