Вы находитесь на странице: 1из 91

PENDAPATAN BAGI HASIL DAN PERLAKUAN AKUNTANSINYA

PADA BANK SYARIAH


(Studi Kasus pada PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk


Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan:Akuntansi

Disusun oleh:
Lestari Ramdhani
Nomor induk: 03.110.071

UNIVERSITAS GAJAYANA
FAKULTAS EKONOMI
MALANG
2007
KATA PENGANTAR

Tiada ungkapan yang paling indah selain puji syukur kehadirat Allah SWT

yang tiada hentinya melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga atas izin

dan berbagai kemudahan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi dengan judul Pendapatan Bagi Hasil dan Perlakuan Akuntansinya

Pada Bank Syariah. Skripsi ini bermaksud untuk memberikan gambaran kepada

semua pihak yang ingin mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan kegiatan pada

bank syariah, khususnya dalam praktik pendapatan bagi hasil yang diterima dari

pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada PT Bank Muamalat Indonesia.

Keberhasilan dan kelancaran penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dan dukungan berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis baik

secara langsung maupun tidak langsung, secara moril maupun materiil. Oleh karena

itu, penulis ingin memberikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rosidi, MM., Ak. selaku Rektor Universitas Gajayana Malang

2. Bapak Drs. Abdul Halim, MM.,Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Gajayana Malang

3. Ibu Dra. Sri Hastuti, Msi., Ak. selaku Ketua Prodi Akuntansi

4. Bapak Drs. Ali Irfan, MSA.,Ak.,BKP. selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah banyak memberikan masukan dan perbaikan selama proses penyusunan

skripsi ini.

5. Bapak Budi Sulistiyo selaku Account Manager pada Bank Muamalat

Indonesia Cabang Malang atas kesabarannya meluangkan waktu bagi penulis


untuk memberikan penjelasan dan keterangan serta data-data yang penulis

butuhkan dalam penyusunan skripsi.

6. Terima kasih yang paling utama penulis haturkan kepada kedua orang tua

yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, serta motivasi dan

pengorbanan yang tiada tara kepada penulis, juga kepada seluruh keluarga

yang mendukung serta mendoakan kesuksesan penulis.

7. Saudara-saudaraku seperjuangan (At-Tafkir members) atas semua bantuan

baik berupa pikiran, waktu, tenaga, hingga fasilitas untuk kelancaran

penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah ikut membantu proses penyelesaian skripsi ini yang

tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Harapan penulis, semoga keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi para pembaca, sekalipun masih terdapat berbagai kekurangan di dalamnya. Oleh

karena itu, penulis juga mengharapkan masukan baik berupa kritik maupun saran

yang akan penulis jadikan bekal dalam penyusunan karya selanjutnya.

Malang, Maret 2007

Penulis
PENDAPATAN BAGI HASIL DAN PERLAKUAN AKUNTANSINYA
PADA BANK SYARIAH
(Studi Kasus Pada PT Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang)

ABSTRAK

Bank syariah mulai diperkenalkan dan bermunculan di Indonesia sejak tahun


1992 dengan pelopor Bank Muamalat Indonesia. Sejalan dengan itu, mulailah dibuat
aturan-aturan yang terkait dengan pelaksanaan operasional bank syariah termasuk
aturan tentang akuntansi untuk perbankan syariah. Aturan ini telah ditetapkan dalam
PSAK No 59 tentang akuntansi perbankan syariah, namun dalam praktiknya, aturan-
aturan yang digunakan dalam kegiatan operasional Bank Muamalat Indonesia belum
sepenuhnya menggunakan aturan-aturan yang sesuai dengan syariah Islam, seperti
konsep yadul amanah, pembagian keuntungan, biaya pengelolaan dan mudharabah
atas mudharabah. Di satu sisi, Bank Muamalat Indonesia telah sepenuhnya
melaksanakan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan
operasionalisasi bank syariah.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................iii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iv
ABSTRAK...................................................................................................................vi
DAFTAR ISI...............................................................................................................vii
DAFTAR TABEL........................................................................................................ix
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah.............................................................................4
1.3. Batasan Masalah..................................................................................4
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................5
1.5. Sistematika Pembahasan......................................................................6
BAB II : LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Umum Tentang Akuntansi....................................................7
2.1.1.Pengertian Akuntansi................................................................7
2.1.2.Perbedaan akuntansi Bank Konvensional dengan
akuntansi Bank Syari’ah...........................................................8
2.2. Tinjauan umum tentang bank syariah................................................11
2.2.1 Perbedaan antara bunga dan bagi hasil...................................11
2.2.2 Perbedaan bank konvensional dan bank bagi hasil.................15
2.2.3 Kegiatan operasional bank bagi hasil....................................16
2.2.4 Konsep pengakuan dan pengukuran akuntansi
bank syariah............................................................................27
2.3. Pandangan Islam terkait konsep pelaksanaan mudharabah
dan musyarakah.................................................................................33
2.3.1 Beberapa prinsip mudharabah................................................33
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian................................................................................40
3.2. Jenis Penelitian...................................................................................40
3.3. Sumber dan jenis data........................................................................40
3.4. Metode pengumpulan data.................................................................41
3.5. Operasionalisasi variabel...................................................................41
3.6. Metode analisis data........................................................................42
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian...................................................................................44
4.1.1 Sejarah singkat PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk..................44
4.1.2 Prinsip-prinsip operasional BMI................................................46
4.1.3 Produk dan jasa PT Bank Muamalat Indonesia.........................47
4.2 Pembahasan.........................................................................................51
4.2.1 Penerimaan Pendapatan Bagi Hasil Pada PT BMI....................51
4.2.2.Pandangan Islam terhadap pelaksanaan mudharabah
dan musyarakah........................................................................55
4.2.3 Perlakuan Akuntansi untuk Pendapatan Bagi Hasil...................63
4.2.3.1 Definisi Pendapatan Bagi Hasil.....................................63
4.2.3.2 Pengakuan Pendapatan Bagi Hasil.................................64
4.2.3.3 Pengukuran Pendapatan Bagi Hasil...............................66
4.2.3.4 Penyajian........................................................................71
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan.............................................................................................77
5.2 Saran...................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

TABEL

1. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil....................................................14

2. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional......................................15

3. Laporan Perhitungan Laba/Rugi.................................................................72


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Ratusan tahun sudah ekonomi dunia didominasi oleh sistem bunga. Hampir

semua perjanjian di bidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang

telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan

negara lain sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman di bawah

dominasi perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan

ketidak mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Di dunia, di antara negara

maju dan negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar, sedang di dalam negara

berkembang kesenjangan itupun semakin dalam.

Meskipun tidak diakui secara terus terang tetapi disadari sepenuhnya bahwa

sistem ekonomi yang berbasis kapitalis dan interest base serta menempatkan uang

sebagai komoditi yang diperdagangkan bahkan secara besar-besaran ternyata

memberikan implikasi yang serius terhadap kerusakan hubungan ekonomi yang adil

dan produktif. Atorf (1999) mengemukakan bahwa krisis nilai tukar yang terjadi pada

pertengahan 1997 telah membuat perbankan nasional mengalami kondisi yang sangat

memprihatinkan. Hal tersebut ditandai dengan besarnya hutang dalam valuta asing

yang melonjak, tingginya non performing loans, dan menurunnya permodalan bank.

Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan suku bunga yang meningkat tajam sejalan

dengan kebijakan moneter untuk meredam gejolak nilai tukar, sehingga banyak bank
yang mengalami negative spread. Kondisi perbankan yang sangat parah tesebut

terutama sebagai akibat dari pengelolaan bank yang tidak berhati-hati. Di pihak lain

terdapat pandangan dari para ahli bahwa penerapan sistem bunga telah memperparah

terpuruknya sistem perbankan nasional.

Banyaknya fakta yang menggambarkan kesenjangan yang terjadi akibat

diterapkannya sistem bunga, menjadikan kita dapat berfikir bahwa sistem bunga

yang masih berlaku saat ini harus diganti dengan sistem lain yang dapat memberikan

manfaat yang lebih baik serta mempunyai kontribusi positif guna membangun

perekonomian yang sejahtera. Salah satu sistem alternatif tersebut adalah sistem

perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil yang beroperasi berdasarkan pada prinsip-

prinsip Islam.

Dasar pemikiran pengembangan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah

untuk memberikan pelayanan jasa kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak

dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada, karena bank-bank tersebut

menggunakan sistem bunga. Dalam menjalankan operasinya, bank syariah tidak

mengenal konsep bunga uang dan tidak mengenal peminjaman uang tetapi yang ada

adalah kemitraan/kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi

hasil, sementara peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa

adanya imbalan apapun. Sehingga dalam operasinya dikenal beberapa produk bank

syariah antara lain produk dengan prinsip mudharabah dan musyarakah. Prinsip

mudharabah dilakukan dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang

akan diperoleh sedangkan kerugian yang timbul menjadi resiko pemilik dana

sepanjang tidak ada bukti bahwa pihak pengelola tidak melakukan kecurangan.
Prinsip musyarakah adalah perjanjian antar pihak untuk menyertakan modal dalam

suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah

yang disepakati (Antonio, 2004).

Perkembangan lembaga keuangan yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil

tidak terlepas dari adanya legalitas hukum dalam bentuk undang-undang perbankan

no.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. Undang-

undang ini mengizinkan lembaga perbankan menggunakan prinsip bagi hasil, bahkan

memungkinkan bank untuk beroperasi dengan dual system, yaitu beroperasi dengan

sistem bunga dan bagi hasil, sebagaimana dipraktekkan oleh beberapa bank di

Indonesia. Selain adanya beberapa peraturan yang telah ditetapkan untuk

operasionalisasi bank syariah, saat ini juga telah dibentuk seperangkat aturan yang

mengatur tentang perlakuan akuntansi bagi transaksi-transaksi khusus yang berkaitan

dengan aktivitas bank syariah, yaitu dengan diberlakukannya Pernyataan Standar

Akuntansi Keuangan No. 59 tentang akuntansi perbankan syariah.

Sebagaimana diketahui bahwa bank syariah mulai diperkenalkan di Indonesia

pada tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya undang-undang No. 7 tahun 1992

tentang perbankan. Bank syariah di Indonesia sebetulnya bisa dikatakan relatif masih

baru dan sedang dalam proses pemantapan diri terutama dalam aspek manajemen

intern dan pembentukan image kepada masyarakat. Karena keberadaannya yang

masih baru ini, masyarakat secara umum belum mengenal bank syariah dengan baik

dan lengkap.

Suryo (2003) mengemukakan bahwa maraknya perbankan Islam di duniapun

bukan tanpa kecaman. Justru kecaman itu datang dari para ilmuan Islam sendiri.
Mereka berpendapat bahwa bank-bank Islam dalam menyelenggarakan transaksi-

transaksi perbankan syariah justru telah melaksanakannya bertentangan dengan kata-

kata dan semangat dari ketentuan syariah. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan usaha

bank-bank Islam tersebut telah menimbulkan masalah moralitas. Sehingga yang perlu

dipertanyakan apakah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan usaha bank-bank Islam

tersebut yang notabene bermaksud untuk menghindarkan pemungutan bunga dan

bermaksud agar para pihak memikul masalah bersama, memang telah

diselenggarakan sesuai dengan tujuan tersebut ataukah dalam pelaksanaannya

ternyata hanya sekedar penggantian istilah belaka.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah prinsip-prinsip operasionalisasi bank syariah telah sesuai dengan

prinsip-prinsip Islam

2. Bagaimanakah perlakuan akuntansi pada PT BMI?

3. Apakah perlakuan akuntansi pada PT BMI dapat memenuhi ketentuan PSAK

No. 59 tentang akuntansi perbankan syariah?

1.3 Batasan masalah

Penulis membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak memperluas

permasalahan, yaitu khusus pada masalah pendapatan bagi hasil dari pembiayaan
mudharabah dan musyarakah pada PT BMI dan perlakuan akuntansinya pada

periode 2005 dan 2006, mengenai kesesuaiannya dengan pendapatan bagi hasil

menurut PSAK 59 dan menurut sudut pandang Islam yang menjadi dasar pelaksanaan

kegiatan syariah.

1.4 Tujuan dan manfaat penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


0. Mengidentifikasi kesesuaian pendapatan bagi hasil yang dilaksanakan oleh
PT Bank Muamalat Indonesia dengan konsep-konsep yang diatur dalam syariah
Islam.
1. Mengetahui perlakuan akuntansi pendapatan bagi hasil pada bank syariah.
2. Menilai kesesuaian antara perlakuan akuntansi pendapatan bagi hasil pada
bank syariah dengan ketentuan menurut PSAK No. 59 tentang akuntansi
perbankan syariah.
1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran tentang pendapatan bagi hasil, baik dari sudut pandang

PSAK, maupun menurut prinsip-prinsip Islam, sehingga dapat digunakan untuk

menilai praktek bagi hasil yang dijumpai di masyarakat.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang

ingin menganalisis lebih jauh tentang perbankan syariah.


1.5 Sistematika pembahasan

Dalam rangka mendapatkan gambaran menyeluruh tentang sistematika

pembahasan penelitian ini, berikut akan diuraikan urutan garis besarnya yaitu:

Bab I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

pembahasan.

Bab II LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan teori-teori yang relevan dengan topik penelitian.

Teori ini diambil dari berbagai literatur yang ada. Landasan teori mencakup tinjauan

umum tentang akuntansi, tinjauan umum tentang bank syariah, tinjauan umum

tentang pendapatan bagi hasil, tentang perlakuan akuntansi bagi pendapatan bagi hasil

serta pandangan Islam terkait praktek perbankan syariah.

Bab III METODE PENELITIAN

Bab ini membahas penentuan lokasi penelitian, jenis penelitian, sumber

dan jenis data, definisi operasional variabel, metode pengumpulan data, dan metode

analisis data.

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Mengungkapkan mengenai hasil penelitian secara rinci serta membahas

dan menggambarkan fakta-fakta yang ditemukan pada objek yang diteliti.

Bab V SIMPULAN DAN SARAN


Bab ini berisi kesimpulan atas hasil temuan dan pembahasan serta berisi

saran-saran yang terkait dengan penelitian.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan umum tentang akuntansi

2.1.1 Pengertian akuntansi

Warren dkk (2005:10) menjelaskan bahwa: “secara umum, akuntansi dapat

didefinisikan sebagai sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-

pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan”.

Littleton (Muhammad, 2002:10) mendefinisikan: “tujuan utama dari akuntansi adalah

untuk melaksanakan perhitungan periodik antara biaya (usaha) dan hasil (prestasi).

Konsep ini merupakan inti dari teori akuntansi dan merupakan ukuran yang dijadikan

sebagai rujukan dalam mempelajari akuntansi.”

Accounting Principle Board Statement No. 4 (Muhammad, 2002:10)

mendefinisikan akuntansi sebagai suatu kegiatan jasa yang berfungsi untuk

memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang, mengenai suatu

badan ekonomi yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan

ekonomi, yang digunakan dalam memilih di antara beberapa alternatif. American

Institute of Certified Public Accountant (Muhammad, 2002:11) mendefinisikan

sebagai berikut: “akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan pengikhtisaran

dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi dan kejadian-kejadian yang

umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan hasil-hasilnya.”


2.1.2 Perbedaan akuntansi Bank Konvensional dengan akuntansi Bank Syariah

a. Definisi

Pengertian bank menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004) adalah lembaga

yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang

memilki dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang

berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

Pengertian bank menurut UU no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah:

“bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak, sedangkan bank umum adalah bank yang dapat memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Siamat (2005) mengemukakan bahwa perbankan

syariah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang dalam usahanya didasarkan

pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an

dan al-Hadits, beroperasi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,

khususnya menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan menjauhi praktik-

praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas

dasar bagi hasil pembiayaan.

b. Karakteristik

1. Karakteristik bank konvensional

Anonimous (2001) menjelaskan bahwa karakteristik bank konvensional

meliputi beberapa hal:


a. Merupakan industri yang kegiatan usahanya mengandalkan kepercayaan

masyarakat sehingga tingkat kesehatan bank perlu dipelihara.

b. Pengelola bank dalam usahanya dituntut untuk senantiasa menjaga

keseimbangan antara pemeliharaan likuiditas yang cukup dan pencapaian

rentabilitas yang wajar serta pemenuhan kebutuhan modal yang memadai

sesuai dengan jenis penanamannya.

c. Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan bagian

dari sistem moneter mempunyai kedudukan yang strategis sebagai penunjang

pembangunan ekonomi.

2. Karakteristik bank syariah

Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menyebutkan bahwa karakteristik bank

syariah adalah:

1. Berdasarkan prinsip syariah

2. Implementasi prinsip ekonomi Islam dengan ciri:

a. Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya

b. Tidak mengenal konsep time-value of money

c. Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yang diperdagangkan

3. Beroperasi atas dasar bagi hasil

4. Kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa

5. Tidak menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan

6. Azas utama : kemitraan, keadilan, transparansi dan universal

7. Tidak membedakan secara tegas sektor moneter dan sektor riil, dapat

melakukan transaksi-transaksi sektor riil.


c. Tujuan laporan keuangan

Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan

bank syariah pada dasarnya sama dengan tujuan laporan keuangan secara umum yaitu

menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan

posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai

dalam pengambilan keputusan ekonomi. Namun laporan keuangan bank syariah

memiliki beberapa tambahan antara lain menyediakan:

a. Informasi kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, serta informasi

pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada dan

bagaimana pendapatan tersebut diperoleh serta penggunaannya

b. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab bank

terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada

tingkat keuntungan yang layak, dan informasi mengenai tingkat keuntungan

investasi yang diperoleh pemilik dan pemilik dana investasi terikat; dan

c. Informasi mengenai pemenuhan fungsi sosial bank, termasuk pengelolaan dan

penyaluran zakat.

d. Asumsi dasar

Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menjelaskan bahwa asumsi dasar konsep

akuntansi bank syariah sama dengan asumsi dasar konsep akuntansi keuangan secara

umum yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) atas dasar akrual.

Pendapatan untuk tujuan penghitungan bagi hasil menggunakan dasar kas.


Pengakuan pendapatan dalam akuntansi bank konvensional menggunakan

dasar akrual. Artinya, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian

(bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam catatan

akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan.

Dalam akuntansi syariah digunakan dua dasar yaitu dasar akrual (accrual basis) yang

diterapkan untuk beban yang ditangguhkan, dan dasar kas (cash basis) yang

digunakan untuk menentukan pendapatan. Pengakuan pendapatan dilakukan pada saat

diterima didasarkan pada ketentuan syariah yaitu pendapatan tidak dapat diakui

sebelum diterima atau ditetapkan sebagai hak miliknya (Anonimous,2001).

e. Laporan Keuangan

Menurut IAI (2004), laporan keuangan meliputi neraca, laporan laba rugi,

laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Pada

bank syariah, komponen laporan keuangannya sama dengan bank konvensional, akan

tetapi terdapat beberapa tambahan yaitu laporan perubahan dana investasi terikat,

laporan sumber dana dan penggunaan dana zakat, infaq dan shadaqah, serta laporan

sumber dan penggunaan dana qardhul hasan.

2.2 Tinjauan umum tentang bank syariah

2.2.1 Perbedaan antara bunga dan bagi hasil

Bagi seorang muslim, sumber nilai dan sumber hukum adalah Al-Quran dan

Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam analisis dan

perilaku ekonomi harus bersandar pada kedua sumber nilai tersebut. Ini tercermin
dari pandangan Islam mengenai bunga. Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan

Islam masih terjadi polemik apakah bunga sama dengan riba.

Riba menurut bahasa arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau

pertumbuhan. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan (premium)

sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain

pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan bunga

sebagaimana konsensus para fuqaha (Kuncoro 2002:588).

Antonio (2004) menjelaskan bahwa menurut Al-Quran, pandangan Islam

mengenai riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat dengan beberapa ayat, yang

diturunkan dalam empat tahap berikut ini: Surat Ar-Rum ayat 39 menyatakan ”Dan

sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia.

Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa

zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat

demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. Tahap pertama ini

menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong

mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati taqarrub kepada Allah.

Masih menurut Antonio (2004), ia menyatakan bahwa dalam tahap kedua, riba

digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi

balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba, sebagaimana yang

dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 160-161: “Maka disebabkan kezaliman orang-

orang yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang

dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka memakan harta orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka

itu siksa yang pedih”.

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang

berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat

yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa

tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali imran ayat 130: “Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu

kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ayat ini turun pada tahun ke-3

Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda

bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka

riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik

pembungaan uang pada saat itu (Antonio,2004).

Antonio (2004) mengemukakan bahwa pada tahap terakhir, Allah SWT

dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari

pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba yaitu Surat Al-

Baqarah 278-279:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka,
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya.

Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba.

Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya


mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel

berikut:

TABEL 1

PERBEDAAN ANTARA BUNGA DAN BAGI HASIL

BUNGA BAGI HASIL

a. Penentuan bunga dibuat pada waktu a. Penentuan besarnya rasio/nisbah


akad dengan asumsi harus selalu bagi hasil dibuat pada waktu akad
untung dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi

b. Besarnya persentase berdasarkan b. Besarnya rasio bagi hasil


pada jumlah uang (modal) yang berdasarkan pada jumlah
dipinjamkan. keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang c. Bagi hasil bergantung pada
dijanjikan tanpa pertimbangan keuntungan proyek yang dijalankan.
apakah proyek yang dijalankan oleh Bila usaha merugi, kerugian akan
pihak nasabah untung atau rugi. ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak
d. Jumlah pembayaran bunga tidak d. Jumlah pembagian laba meningkat
meningkat sekalipun jumlah sesuai dengan peningkatan jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan pendapatan.
ekonomi sedang “booming”

e. Eksistensi bunga diragukan (kalau e. Tidak ada yang meragukan


tidak dikecam) oleh semua agama, keabsahan bagi hasil.
termasuk Islam.

Sumber: M. Syafi’i Antonio (2004)

2.2.2 Perbedaan bank konvensional dan bank bagi hasil


Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki

persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,

teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan,

dan sebagainya. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya.

Perbedaan-perbedaan itu dapat disimpulkan dalam tabel di bawah ini:

TABEL II

PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL

Permasalahan Bank syariah Bank konvensional


Risiko akad 1. akad jual-beli 1. akadnya adalah kredit /
 al murabahah pinjam uang sehingga
2. akad bagi hasil angsuran tidak bisa
 al musyarakah dijamin akan tetap
 al mudharabah
3. akad sewa
 ijaroh mutlaq
 ijaroh muntahiyah
bitamlik
Sesuai dengan akadnya sehingga
angsuran akan selalu tetap, sesuai
dengan kesepakatan di muka
Landasan  tidak bebas nilai (berdasarkan  bebas nilai (berdasarkan
prinsip syariah islam) prinsip materialistis)
operasional
 uang sebagai alat tukar bukan  uang sebagai komoditi
komoditi yang dipertahankan
 bunga dalam berbagai  bunga sebagai instrument
bentuknya dilarang imbalan teradap pemilik
 menggunakan prinsip bagi uang yang ditetapkan
hasil dan keuntungan atas dimuka
transaksi riil
Fungsi dan  agen investasi/manajer  penghimpun dana
peran investasi masyarakat dan
 investor meminjamkan kembali
 penyediaan jasa lalu lintas kepada masyarakat dalam
pembayaran (tidak kredit dengan imbalan
bertentangan syariah) bunga
 pengelola dana kebajikan,  penyedia jasa/lalu lintas
ZIS pembayaran
 hubungan dengan nasabah  hubungan dengan
adalah hubungan kemitraan nasabah adalah hubungan
debitur kreditur
Risiko usaha  dihadapi bersama antara bank  risiko bank tidak terkait
dengan nasabah dengan langsung dengan debitur,
prinsip keadilan dan kejujuran dan sebaliknya
 tidak mengenal kemungkinan  kemungkinan terjadi
terjadinya selisih negatif selisih negatif antara
(negative spread) karena pendapatan dan beban
sistem yang digunakan bunga
Sistem Adanya Dewan Pengawas Aspek moralitas seringkali
pengawasan Syariah untuk memastikan terlanggar karena tidak
operasional bank tidak adanya nilai-nilai religius
menyimpang dari syariah yang mendasari operasional
disamping tuntutan moralitas
pengelola bank dan nasabah
sesuai dengan akhlakul karimah
Sumber: The Sharia Banking Training Center Yogyakarta

2.2.3 Kegiatan operasional bank bagi hasil

Berdasarkan peraturan Bank Indonesia nomor: 62/24/PBI/2004 tanggal 14

Oktober 2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah (Siamat, 2005), kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan sebagai

berikut :
A. Penghimpunan Dana (Funding)

Penghimpunan dana atau disebut juga funding adalah kegiatan penarikan dana

atau penghimpunan dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi

berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan kegiatan tersebut, dalam prinsip

syariah dibedakan antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan simpanan

yang mendapatkan imbalan. Prinsip operasional syariah yang telah diterapkan secara

luas dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip al-wadi’ah dan al-

mudharabah. Bentuk-bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah dapat disebutkan

sebagai berikut:

a. Giro berdasarkan prinsip al-wadi’ah

b. Tabungan berdasarkan prinsip al-wadi’ah dan atau al- mudharabah; atau

c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip al-mudharabah

a. Prinsip Al -Wadi’ah

Produk pendanaan pada bank syariah pada prinsipnya tidak berbeda dengan

produk pendanaan bank konvensional. Namun yang membedakan adalah penggunaan

prinsip syariah yang menyertai masing-masing produk pendanaan, misalnya bahwa

giro dan tabungan pada dasarnya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip al-

wadi’ah. Giro dan tabungan al wadi’ah adalah simpanan atau titipan yang kedua-

duanya dapat ditarik sewaktu-waktu. Al-wadi’ah berarti titipan murni dari nasabah

kepada bank atau pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kepada penitip

(penabung) kapan saja ia inginkan (Siamat, 2004).

Siamat (2004) menjelaskan bahwa prinsip al-wadiah yang berlaku baik untuk

simpanan dalam bentuk giro maupun tabungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Berdasarkan karakteristik giro dan tabungan menggunakan

prinsip syariah al-wadiah yad dhamamah. Artinya bank dapat memanfaatkan

dan menyalurkan kedua jenis sumber dana tersebut serta menjamin simpanan

dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana (penabung).

b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau

ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau

menanggung kerugian

c. Manfaat yang diperoleh pemilik dana (penabung) adalah jaminan keamanan

terhadap dana titipannya serta fasilitas-fasilitas pelayanan giro dan tabungan

lainnya.

d. Pada dasarnya bank dapat memberikan bonus kepada pemilik dana namun

tidak ada perjanjian di muka.

e. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin

penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama

tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

f. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi.

Untuk menghindari riba, maka biaya administrasi harus dinyatakan dengan

nominal, bukan persentase.

g. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan

tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

b. Prinsip Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana

untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara

kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah sebagai akad kerja sama usaha antara

dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal,

sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah

dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian,

hal tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat

kelalaian pengelola.

Produk pendanaan yang dapat menggunakan prinsip al-mudharabah adalah

tabungan dan deposito berjangka. Selanjutnya, Siamat (2004) mengemukakan bahwa

berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana (penabung), prinsip

al-mudharabah dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah dan

mudharabah muqayyadah.

a. Mudharabah Muthlaqah adalah kerjasama antara pemilik dana

(shahibul maal) dan mudharib (bank) yang cakupannya sangat luas dan tidak

dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan wilayah bisnis. Artinya,

pemilik dana memberikan bank kekuasaan yang sangat besar dalam

penggunaan dana simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan

penghimpunan dana, prinsip mudharabah mutlaqah dapat diterapkan untuk

pembukaan rekening tabungan dan deposito berjangka.

b. Mudharabah Muqayyadah
Jenis mudharabah al-muqayyadah merupakan simpanan dana khusus dimana

pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank.

Mudharabah al-muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah

mutlaqah dimana mudharib (bank) dibatasi jenis usaha, waktu, atau tempat

usaha.

B. Penyaluran Dana

Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan bank syariah harus tetap

berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank Indonesia. Oleh

karena itu, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima

dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang

berkaitan dengan penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau pembiayaan yang

dilakukan bank syariah dalam melaksanakan operasinya menurut Siamat (2004)

secara garis besar dapat dibedakan ke dalam 4 kelompok sebagai berikut :

1. Prinsip jual beli (Bai’)

2. Prinsip bagi hasil

3. Prinsip sewa menyewa (ijarah)

4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh

1. Prinsip Jual Beli (Bai’)

Dalam penerapan prinsip syariah terdapat 3 jenis prinsip jual beli (bai’) yang

banyak dikembangkan oleh perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan modal

kerja dan produksi, yaitu bai’ al- murabahah, bai’ as-salam dan bai’ al-istishna. Bai’

al-murabahah pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh nasabahnya,

bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dipesan

atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual kembali barang tersebut kepada

nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang disepakati. Nasabah sebagai

pembeli dalam hal ini dapat memilih jenis transaksi tunai, cicilan, atau angguhan.

Umumnya, nasabah memilih metode pembayaran secara cicilan. Adapun bai’ as-

salam adalah pembelian suatu barang yang penyerahannya dilakukan kemudian hari

sedangkan pembayarannya dilaksanakan di muka secara tunai. Bai’ as-salam dalam

perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk produksi

agribisnis atau hasil pertanian atau hasil industri lainnya. Bai’ al-istishna pada

dasarnya merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan

pembayaran di muka, baik dilakukan dengan cara tunai, cicil, atau ditangguhkan.

Untuk melaksanakan skim bai’ al-istishna kontrak dilakukan di tempat pembuat

barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang

yang dipesan atau dibeli sesuai spesifikasi pesanan yang disebutkan dalam kontrak

kemudian menjualnya kembali kepada pembeli. Prinsip bai’ al- istishna ini

menyerupai bai’ as-salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan di

muka, dicicil, atau ditangguhkan. Sementara dalam skim bai’ assalam dilakukan

secara tunai (Siamat, 2004).

2. Prinsip bagi hasil

Bagi hasil atau profit sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah

terdiri dari empat jenis akad, yaitu al-mudharabah, al-musyarakah, al-muzara’ah,

dan al-musaqah (Siamat, 2004). Namun yang paling banyak diimplementasikan


dalam perbankan syariah adalah dua prinsip bagi hasil pertama, yaitu al-mudharabah

dan al-musyarakah. Oleh karena itu, yang akan dibahas hanyalah prinsip bagi hasil

dengan akad al-mudharabah dan al-musyarakah.

a. Al-Musyarakah

Antonio (2004) mendefinisikan al-musyarakah secara singkat namun jelas,

yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana

masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan

bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

An-Nabhani (1996) mengemukakan bahwa menurut makna syariat, syirkah adalah

suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha

dengan tujuan memperoleh keuntungan. Musyarakah dalam perbankan biasanya

diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama

menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Modal yang disetor bisa berupa

uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment, atau intangible asset

(seperti hak paten dan goodwill), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai

dengan uang. Semua modal digabung untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan

dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan

kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.

Prinsip al-musyarakah (al-musyarakah aqad) menurut Siamat (2004) dapat

dibagi ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:

1. Syirkah al’inan
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing

pihak menyerahkan suatu bagian/porsi modal dan ikut aktif dalam usaha/kerja.

Porsi setoran modal masing-masing dibagi sesuai kesepakatan, dan tidak harus

sama besar. Demikian pula keuntungan atau kerugian yang terjadi jumlahnya

tidak harus sama dan dilakukan berdasarkan kontrak atau perjanjian.

2. Syirkah Mufawadhah

Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing

pihak menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut

berpartisipasi dalam pekerjaan. Demikian pula tanggung jawab dan beban utang

dibagi oleh masing-masing pihak.

3. Syirkah A’mal (Syirkah Abdan atau Sanaa’i)

Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang memiliki keahlian

atau profesi yang sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dimana keuntungan

dibagi bersama.

4. Syirkah Wujuh

Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang masing-masing

memiliki reputasi dan kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.

5. Syirkah Al-Mudharabah

Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang satu

menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian.

Beberapa ahli fiqih berpendapat bahwa al-mudharabah tidak dikelompokkan ke

dalam prinsip al-musyarakah

b. Al- Mudharabah
Al-Mudharabah pada dasarnya adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak

atau lebih di mana salah satu pihak menyediakan dana dan pihak lainnya

menyediakan tenaga atau keahlian. Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah

sebagai suatu perjanjian kerjasama antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik

modal atau shahibul maal) menyediakan seluruh kebutuhan modal, sedangkan pihak

lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha yang diperoleh akan dibagi

berdasarkan perjanjian atau kesepakatan. Sebaliknya apabila usaha mengalami

kerugian yang disebabkan bukan karena kesalahan atau kelalaian pihak pengelola

(mudharib), kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pemilik modal (shahibul

maal).

Siamat (2004) mengemukakan bahwa prinsip al- mudharabah dapat

digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu al-mudharabah muthlaqah dan al-

mudharabah muqayyadah. Implementasi konsep al-mudharabah muthlaqah dalam

perbankan syariah diatur sebagai berikut:

1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus

berupa uang tunai. Apabila modal diserahkan secara bertahap, tahapannya harus

jelas dan disepakati bersama.

2. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah diperhitungkan dengan

cara:

1. Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)

2. Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau

waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian
kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti

penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.

4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak

mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan

sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban, atau menunda pembayaran

kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.

Karakteristik mudharabah muqayyadah dalam penerapannya di dalam

perbankan syariah pada dasarnya sama dengan persyaratan mudharabah mutlaqah

bagi perbankan syariah yang telah dijelaskan di atas. Perbedaannya adalah

penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang

sepenuhnya ditetapkan oleh bank sebagai shahibul maal.

3. Prinsip Sewa Menyewa

Sewa menyewa pada dasarnya merupakan transaksi sewa guna usaha atau

leasing. Oleh karena itu sebagaimana dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam

bentuk sewa guna usaha dengan hak opsi atau financial lease dan sewa guna usaha

tanpa hak opsi atau operating lease. Dalam syariah Islam prinsip sewa menyewa ini

dibedakan berdasarkan akad, yaitu al-ijarah dan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik

(Siamat, 2004).

Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu

barang atau jasa dengan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa

diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut. Al-Ijarah al-Muntahiya

Bittamlik adalah akad atau perjanjian yang merupakan kombinasi antara jual-beli dan
sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah di mana nasabah (penyewa)

diberi hak untuk membeli atau memiliki obyek sewa pada akhir akad (Siamat, 2004).

4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad al-Qardh

Antonio (2004) memberikan pengertian al-qardh sebagai pemberian harta

kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain qardh

berarti meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Penerapan prinsip al-qardh

dalam perbankan syariah biasanya dilakukan kepada orang atau nasabah yang sangat

memerlukan dana, terutama kepada nasabah yang kurang mampu atau usaha kecil.

Pinjaman yang diberikan tidak disertai tambahan. namun biasanya bank mengenakan

uang administrasi yang nilainya relatif kecil dan meminta jaminan.

C. Jasa-Jasa Bank Syariah

Jenis jasa yang diberikan perbankan syariah kepada nasabah berdasarkan akad

dengan mendapatkan imbalan atau fee, antara lain al-wakalah, hawalah, kafalah,

rahn. Dalam aplikasi perbankan, al-wakalah terjadi apabila nasabah memberikan

kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu,

seperti pembukaan L/C, inkaso, dan transfer uang. Al-Hawalah adalah pengalihan

utang dari orang yang berutang (debitur) kepada orang lain yang wajib

menanggungnya. Transaksi ini pada dasarnya merupakan pemindahan beban utang

dari debitur menjadi tanggungan pihak lain yang berkewajiban menanggung

pembayaran utang. Al-Kafalah adalah garansi atau jaminan yang diberikan oleh

penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung kewajiban pihak kedua

(tertanggung) apabila tertanggung tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sebagaimana

halnya dalam praktek bank konvensional, perbankan syariah pada dasarnya dapat
memberikan jaminan berupa garansi bank kepada nasabahnya. Al-Rahn adalah harta

atau aset yang harus diserahkan oleh peminjam (debitur) sebagai jaminan atas

pinjaman yang diterimanya dari bank. Tujuan pemberian fasilitas ini oleh bank adalah

untuk membantu nasabah dalam pembiayaan usahanya (Siamat, 2004).

2.2.4 Konsep pengakuan dan pengukuran akuntansi bank syariah

A. Pengakuan dan pengukuran pendapatan

Ikatan Akuntan Indonesia (2004) mendefinisikan pendapatan sebagai arus

masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan

selama suatu periode bila arus masuk itu mengkibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak

berasal dari kontribusi penanam modal. FASB melalui SFAC No. 6 (Nasrullah,

2001:20) memberikan definisi pendapatan sebagai aliran masuk atau peningkatan lain

suatu aktiva sebuah entitas atau pelunasan utang (atau kombinasi dari keduanya) dari

pengiriman atau produksi barang, pemberian jasa atau aktivitas lainnya yang

merupakan kegiatan utama dan masih berlangsung dari entitas tersebut.

Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menjelaskan tentang definisi pengakuan,

bahwa pengakuan merupakan proses pembentukan suatu pos yang memenuhi

definisi unsur serta kriteria pengakuan dibawah ini, dalam neraca dan laporan laba

rugi:

a. Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan

dengan pos tersebut akan mengalir dari atau ke dalam perusahaan; dan
b. Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yag dapat diukur

dengan andal.

Pengakuan dilakukan dengan menyatakan pos tersebut baik dalam kata-kata

maupun dalam jumlah uang dan mencantumkannya ke dalam neraca atau laporan laba

rugi. Pos yang memenuhi kriteria tersebut harus diakui dalam neraca atau laporan

laba rugi. Kelalaian untuk mengakui pos semacam itu tidak dapat diralat melalui

pengungkapan kebijakan akuntansi yang digunakan maupun melalui catatan atau

materi penjelasan.

Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi kalau kenaikan manfaat ekonomi

di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan aktiva atau penurunan kewajiban

(misalnya, kenaikan bersih aktiva yang timbul dari penjualan barang atau jasa atau

penurunan kewajiban yang timbul dari pembebasan pinjaman yang masih harus

dibayar.

Pengukuran adalah proses penetapan jumlah uang untuk mengakui dan

memasukkan setiap unsur laporan keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi.

Proses ini menyangkut pemilihan dasar pengukuran tertentu. Pendapatan harus

diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. Jumlah

tersebut diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima

perusahaan, dikurangi jumlah diskon dagang dan rabat volume yang diperbolehkan

perusahaan (IAI, 2004).

B. Pengakuan dan Pengukuran pembiayaan mudharabah

IAI (2003) menjelaskan tentang pengakuan dan pengukuran pembiayaan

mudharabah sebagai berikut:


1. Pembiayaan mudharabah dalam bentuk kas diakui pada saat pembayaran sebesar

jumlah uang yang diberikan bank kepada pengelola dana.

2. Pembiayaan mudharabah yang diberikan dalam bentuk aktiva non kas dinilai

sebesar nilai wajar aktiva non kas. Selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva

non kas diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank pada saat penyerahan

kepada pengelola dana.

3. Pembiayaan mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap

pembayaran.

4. Biaya yang terjadi akibat akad mudharabah tidak dapat diakui sebagai bagian

pembiayaan mudharabah kecuali telah disepakati bersama.

5. Pembayaran kembali pembiayaan mudharabah oleh mudharib akan mengurangi

pembiayaan mudharabah.

6. Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang sebelum dimulainya

pekerjaan/proyek karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya

kelalaian atau kesalahan pihak mudharib, maka kerugian tersebut mengurangi

pembiayaan mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank. Apabila kehilangan

tersebut terjadi setelah dimulainya pekerjaan, hal itu tidak mempengaruhi

penilaian pembiayaan mudrahabah .

7. Apabila seluruh pembiayaan mudrahabah hilang dan bukan disebabkan oleh

kelalaian atau kesalahan mudharib, maka pembiayaan mudharabah diakhiri dan

kerugian yang timbul diakui sebagai beban bank.


8. Apabila akad mudharabah diakhiri sebelum jatuh tempo dan saldo pembiayaan

mudharabah tidak langsung dibayar oleh mudharib, maka pembiayaan

mudharabah diakui sebagai piutang mudharabah jatuh tempo.

9. Penyisihan penghapusan pembiayaan mudharabah harus dibentuk sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

10. Pengakuan keuntungan/laba pembiayaan mudharabah diakui pada periode

terjadinya hak bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati.

11. Pengakuan kerugian pembiayaan mudrahabah diakui pada saat terjadinya

kerugian tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.

12. Kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib diakui sebagai

piutang mudharabah jatuh tempo.

C. Pengakuan dan Pengukuran Pembiayaan Musyarakah

IAI (2004) menjelaskan tentang pengakuan dan pengukuran pembiayaan

musyarakah sebagai berikut:

a. Pengakuan dan pengukuran awal pembiayaan musyarakah:

1. Pembiayaan musyarakah diakui pada saat pembayaran tunai atau penyerahan

aktiva non kas kepada mitra musyarakah

2. Pengukuran pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:

1) pembiayaan musyarakah dalam bentuk: kas dinilai sebesar jumlah yang

dibayarkan dan aktiva non kas dinilai sebesar nilai wajar dan jika

terdapat selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva non kas, maka

selisih tersebut diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank pada saat

penyerahan.
2) Biaya yang terjadi akibat akad musyarakah (misalnya, biaya studi

kelayakan) tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan musyarakah

kecuali ada persetujuan dari seluruh mitra musyawarah.

b. Pengukuran bagian bank atas pembiayaan musyarakah setelah akad

1. Bagian bank atas pembiayaan musyarakah permanen dinilai sebesar nilai

historis (jumlah yang dibayarkan atau nilai wajar aktiva nonkas pada saat

penyerahan modal musyarakah) setelah dikurangi dengan kerugian, apabila

ada.

2. Bagian bank atas pembiayaan musyarakah menurun

dinilai sebesar nilai historis sesudah dikurangi dengan bagian pembiayaan

bank yang telah dikembalikan oleh mitra (yaitu sebesar harga jual yang wajar)

dan kerugian, apabila ada. Selisih antara nilai historis dan nilai wajar bagian

pembiayaan musyarakah yang dikembalikan diakui sebagai keuntungan atau

kerugian bank pada periode berjalan

3. Jika akad musyarakah yang belum jatuh tempo diakhiri

dengan pengembalian seluruh atau sebagian modal, maka selisih antara nilai

historis dan nilai pengembalian diakui sebagai laba atau rugi pada periode

berjalan.

4. Pada saat akad diakhiri, pembiayaan musyarakah yang

belum dikembalikan oleh mitra diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada

mitra.

c. Pengakuan laba atau rugi musyarakah


1. Laba pembiayaan musyarakah diakui sebesar bagian bank sesuai dengan

nisbah yang disepakati atas hasil usaha musyarakah. Sedangkan rugi

pembiayaan musyarakah diakui secara proporsional sesuai dengan kontribusi

modal.

2. Apabila pembiayaan musyarakah permanen melewati satu periode pelaporan,

maka laba diakui dalam periode terjadinya sesuai dengan nisbah bagi hasil

yang disepakati dan rugi diakui dalam periode terjadinya kerugian tersebut

dan mengurangi pembiayaan musyarakah.

3. Apabila pembiayaan musyarakah menurun melewati satu periode pelaporan

dan terdapat pengembalian sebagian atau seluruh pembiayaan, maka laba

diakui dalam periode terjadinya sesuai dengan nisbah yang disepakati, dan

rugi diakui dalam periode terjadinya secara proporsional sesuai dengan

kontribusi modal dan mengurangi pembiayaan musyarakah.

4. Pada saat akad diakhiri, laba belum diterima bank dari pembiayaan

musyarakah yang masih performing diakui sebagai piutang kepada mitra.

Untuk pembiayaan musyarakah yang non performing diakhiri maka laba yang

belum diterima bank tidak diakui tetapi diungkapkan dalam catatan atas

laporan keuangan.

5. Apabila terjadi rugi dalam musyarakah akibat kelalaian atau kesalahan mitra

pengelola usaha musyarakah, maka rugi tersebut ditanggung oleh mitra

pengelola usaha musyarakah. Rugi karena kelalaian mitra musyarakah

tersebut diperhitungkan sebagai pengurang modal mitra pengelola usaha,

kecuali jika mitra mengganti kerugian tersebut dengan dana baru.


2.3 Pandangan Islam terkait konsep pelaksanaan mudharabah dan musyarakah

2.3.1 Beberapa prinsip mudharabah

a. Yadul Amanah

Konsep mudharabah memiliki prinsip bahwa modal yang dikelola

oleh mudharib (pekerja) adalah yadul amanah artinya ia tidak menanggung

apapun ketika modal tersebut hilang, berkurang atau rusak kecuali jika hal itu

disebabkan oleh kelalaiannya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di

kalangan fuqaha. Ibnu Munzir (Al-Qudamah, 1985:44) mengatakan bahwa

seluruh ahli ilmu sebagaimana yang kami ketahui sepakat bahwa perkataan

yang dijadikan patokan dalam hal modal adalah amil sebab ia adalah amin

(orang yang dipercaya).

Al-Kasany seorang ulama bermadzhab Hanafy (87:1982)

mengatakan “Modal sebelum dibelanjakan oleh mudharib adalah amanah di

tangannya sebagaimana halnya barang titipan (wadi’ah)”. Ibnu Abdil Bar dari

Madzhab Maliky (Ibnu Fuad, 2006:389) mengatakan bahwa orang yang

menjadi muqaridh (mudharib) adalah terpercaya, diterima ucapannya

terhadap apa yang ia klaim tentang hilangnya harta dan setiap kerugian

padanya.

Asy-Syarbiny dari madzhab Syafiiy (Ibnu Fuad 2006:343)

mengatakan perkataan tentang jaminan harta qiradh bahwa tidak ada

tanggungan atas pekerja karena hilangnya seluruh atau sebagian harta. Hal itu
karena ia adalah pihak yang dipercaya (amin) maka ia tidak menanggung hal

tersebut kecuali karena kelalaiannya.

Al-Ghazali (Ibnu Fuad 2006:130) mengatakan bahwa jika terjadi

perselisihan antara pemilik modal dan pekerja maka yang dimenangkan

adalah ucapan pekerja karena ia adalah pihak yang dipercaya selama ia tidak

lalai sebagaimana halnya barang titipan jika tejadi perselisihan maka yang

dimenangkan adalah pihak yang dititipi. Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali

(1982:44) juga menyatakan hal yang senada “Pihak amil adalah orang yang

dipercaya (amin) dalam harta mudharabah karena ia adalah pihak pengelola

harta milik orang lain dengan izinnya yang tidak dikhususkan untuk

manfaatnya saja. Oleh karena itu ia adalah amin”.

Dengan demikian jika seorang melakukan transaksi mudharabah

dimana satu pihak bertindak sebagai pemilik modal sementara pihak lain

bertindak sebagai pengelola maka jika terdapat keuntungan maka kedua belah

pihak berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan bagian yang telah

disepakati. Sementara jika terdapat kerugian usaha maka sepenuhnya menjadi

tanggungjawab pemodal kecuali jika pihak pengelola melakukan kelalaian

atau tindakan di luar kewajaran yang mengakibatkan kerugian.

b. Biaya pengelolaan

Seorang mudharib di samping berhak atas bagian keuntungan dari

modal yang dikelolanya, iapun berhak atas biaya dalam operasi pengelolaan

tersebut. Meski demikian biaya operasional tersebut oleh para fuqaha

diberikan batasan-batasan yang tegas mengenai item-item apa saja yang bisa
dibiayai dengan modal dan mana saja yang menjadi tanggungan pihak

pengelola.

Imam al-Kasany (1982) menyatakan bahwa seorang mudharib

(pengelola) berhak atas harta mudharabah. Salah satunya adalah nafkah

dalam perjalanan ke luar kota yakni adalah biaya-biaya yang dibutuhkan

untuk melakukan perjalanan ke luar kota dalam rangka pengelolaan modal

seperti biaya makan, minum, pakaian, kendaraan untuk melakukan pejalanan,

biaya penginapan, dan pembantu yang menyertai dalam perjalanan. Hal ini

karena menurutnya kentungan dalam mudharabah bisa ada atau tidak

sementara pihak mudharib tentu tidak akan melakukan perjalanan dalam

rangka pengelolaan modal dengan menggunakan harta milik orang lain

dengan kompensasi yang bisa dia dapatkan dan bisa tidak. Padahal

pembiayaan tersebut merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan. Jika tidak

maka konsumen tentu tidak mungkin dapat melakukan transaksi dengan harta

yang dimudharabahkan. Di samping itu perjalanan yang dilakukan oleh

mudharib hanya demi harta tersebut bukan yang lain.

Oleh karena itu pembelanjaan pada keadaan tersebut merupakan izin

yang bersifat kontekstual (dalalah) dari pemilik modal untuk menafkahkan

dari harta mudharabah yang sama dengan izin yang dinyatakan dengan

tekstual (nash) dalam kesepakatan yang telah dibuat dengan pihak pemilik

modal. Namun jika ia tidak melakukan perjalanan maka nafkah pada dirinya

tidak ada. Alasannya adalah baik ia mengelola harta ataupun tidak maka

nafkah hidup pada dirinya tetap dibutuhkan. Jika ia mengambil biaya nafkah
dari modal maka ia harus menanggungnya dan dianggap utang yang harus

dibayar atau dikurangkan dari bagian yang ia peroleh setelah pembagian

keuntungan.

Ibnu Qudamah (1985) kemudian memberikan rincian dalam aktivitas

apa saja yang harus ditanggung mudharib dan aktivitas yang pembiayaannya

dapat diambil dari modal. Ia menyatakan bahwa seorang amil harus

melakukan sendiri apa yang secara tradisi dapat dilakukan oleh dirinya sendiri

seperti menyebarkan pakaian, menawarkan kepada pembeli, menawar

harganya, melakukan akad pembelian dengannya, mengambil harga, menutup

dan memasukkannya ke dalam tempat penyimpanan, dan sebagainya dan ia

tidak mendapatkan upah atas hal tersebut karena konpensasinya adalah

keuntungan dari proses tersebut. Jika ia mengupah orang lain untuk

melakukan hal tersebut maka karyawan tersebut statusnya adalah ajir khas

(yang menjadi tanggungannya) karena ia bekerja untuk dirinya. Adapun usaha

yang pada umumnya tidak dapat dikerjakan oleh amil seperti pengadaan

barang, memindahkannya ke toko maka bagi seorang amil boleh tidak

melakukannya dan ia bisa menyewa orang lain untuk mengerjakannya.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh imam Ahmad bahwa aktivitasnya di

dalamnya tidak disyaratkan karena sulitnya untuk menetapkan syarat tersebut

sehingga dikembalikan kepada tradisi yang berlaku (‘urf).

Dengan demikian, pihak pengelola memiliki hak untuk

mempergunakan modal usaha untuk membiayai berbagai kebutuhan transaksi.

Namun demikian ia tidak memiliki hak untuk mendapatkan gaji sebagai


kompensasi dari proses pengembanan modal tersebut termasuk gaji karyawan

yang membantunya karena kompensasi akan ia peroleh dari keuntungan usaha

tersebut.

c. Pembagian Keuntungan

Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang hak mudharib atas

keuntungan dari pengelolaan harta mudharabah. Namun mereka berbeda

pendapat kapan keuntungan tersebut menjadi hak mudharib.

Jumhur fuqaha yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan salah

satu pendapat yang paling menonjol di kalangan Hanbaly berpendapat bahwa

pihak pengelola berhak atas bagiannya setelah adanya pembagian keuntungan

bukan ketika telah nampak keuntungan (Ibnu Fuad, 2006). Al-Kasany (1982)

mengatakan bahwa disyaratkan pembagian keuntungan adalah setelah

penyerahan modal dan tidak sah pembagian keuntungan sebelum penyerahan

modal. Alasannya karena keuntungan adalah tambahan dan tambahan itu

sendiri tidak terjadi kecuali setelah selamatnya asal (modal) dan jika harta

tetap berada di tangan mudharib maka hukumnya masih dalam kondisi proses

mudharabah. Jika dibenarkan pembagian keuntungan sebelumnya keuntungan

maka dibenarkan pula pembagian furu’ sebelum asal dan hal ini tidak

diperkenankan.

Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa tidak ada pembagian

keuntungan kecuali setelah sempurnanya penyerahan modal. Setelah terdapat

kelebihan dari modal yang dikembalikan maka sisa tersebut dibagi sesuai

dengan apa yang disyaratkan. Mereka mengatakan bahwa pemilik modal dan
para pengelola tidak membagi keuntungan hingga masa berlakuya habis atau

keduanya ridha atas pembagian apabila seorang meminta pengembalian

(Ibnu Fuad, 2006).

Sementara itu Ibnu Qudamah (1985) menuturkan bahwa seorang

mudharib tidak boleh mengambil sedikitpun keuntungan hingga ia

menyerahkan modal kepada pemiliknya. Jika terdapat keuntungan dan

kerugian maka keuntungan tersebut dipotong dari kerugian baik keuntungan

dan kerugian itu berlangsung dalam waktu yang sama, atau keuntungan terjadi

pada suatu transaksi dan kerugian terjadi pada transaksi lainnya atau

keuntungan pada satu perjalanan sementara dalam perjalanan lain mengalami

kerugian. Karena makna keuntungan sendiri adalah kelebihan atas modal dan

sesuatu yang tidak mengalami pertambahan maka tidak dikatakan untung.

Kami tidak menemukan adanya perbedaan dalam hal ini. Adapun pemilikan

amil terhadap bagian dari keuntungan maka hal itu terjadi tatkala keuntungan

tersebut telah nampak sebelum pembagian berlangsung.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para fuqaha berbeda

pendapat dalam kapan waktu pembagian keuntungan. Sebagian mengatakan

bahwa pembagian dilakukan setelah penyerahan modal dan sebagian lagi

setelah perhitungan. Meski demikian mereka tidak berbeda pendapat bahwa

proses penyerahan keuntungan tersebut dilakukan setelah modal diserahkan

kepada pemilik modal.

d. Mudharabah atas Mudharabah


Bank syariah dalam praktiknya terkenal dengan konsep bagi hasilnya

baik dari segi pendanaan maupun pembiayaan. Bank sebagai amil (pengelola)

melakukan akad mudharabah dengan pihak yang lain dimana modal yang

diperolehnya dari suatu akad mudharabah diberikan kepada pihak lain untuk

dikelola. Ada beberapa pendapat di kalangan fuqaha yang terkait dengan hal

ini.

Sayyid Sabiq (1983) mengatakan bahwa seorang amil tidak boleh

memudharabahkan harta mudharabah kepada pihak lain. Jika hal terebut

dilakukan maka hal tersebut masuk dalam kategori melampaui batas. Ia

kemudian mengutip pendapat Ibnu Rusydi dalam Bidayatu al-Mujtahid bahwa

tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha yang masyhur bahwa jika seorang

amil menyerahkan modal qiradh kepada pihak pengelola lain maka ia wajib

menanggungnya jika mengalami kerugian. Namun jika mengalami kentungan

maka keuntungan tersebut dibagi berdasarkan apa yang telah disyaratkan

sebelumnya (kepada pemilik modal pertama), kemudian orang yang

mengelola memperoleh bagian dari sisa harta yang ia peroleh dari keuntungan

tersebut sebagaimana yang telah disyaratkan.

Dengan demikian jika pihak bank syariah sebagai mudharib

meminjamkan modal tersebut kepada nasabah dengan sistem mudharabah

maka jika pihak nasabah mengalami kerugian maka kerugian tersebut tidak

boleh dibebankan kepada pemilik modal pertama. Jadi sepenuhnya menjadi

tanggungan bank. Demikian pula kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada

pihak nasabah jika kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaiannya.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk cabang Malang

(PT BMI) yang berlokasi di jalan Kawi 36A, Malang. Penulis memilih PT BMI

sebagai lokasi penelitian karena PT BMI merupakan pelopor dan bank syariah

pertama yang berdiri di Indonesia, yang mana pada awal masa krisis pertengahan

tahun 1997, BMI merupakan bank syariah yang tetap tegar di saat tumbangnya

bank-bank konvensional di tanah air.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menurut

Sugiyono (2004:11) yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel

mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan,

atau menghubungkan dengan variabel yang lain.

3.3 Sumber dan jenis data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Indriantoro dan Supomo (2002:146) mendefinisikan data primer dan

sekunder sebagai berikut: “data primer merupakan sumber data penelitian yang

diperoleh secara langsung dari sumber asli tanpa perantara, sedangkan data sekunder
adalah data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media

perantara .”

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data

kuantitatif. Data yang diperlukan berupa sejarah singkat PT BMI, perlakuan

akuntansi yang diterapkan di dalamnya, serta laporan keuangan tahunan PT BMI

periode 2005 dan 2006.

3.4 Metode pengumpulan data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan berbagai data yang diperlukan

dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara yaitu dengan melakukan komunikasi secara langsung pada

pihak terkait yang dalam hal ini yaitu PT BMI dengan cara memberikan

sejumlah pertanyaan untuk mendapatkan data dan informasi secara jelas

dan lengkap.

b. Observasi, yaitu pengamatan langsung terhadap obyek studi yaitu PT BMI

untuk mendapatkan informasi dan data yang dibutuhkan sebagai dasar

analisis serta mengkonfirmasikan obyektifitas dan keakuratan mengenai

hal yang diperoleh baik dalam studi pustaka maupun dalam penelitian itu

sendiri.

c. Dokumentasi, dilakukan dengan cara mengumpulkan, menyalin, melihat,

serta mengevaluasi laporan serta dokumen-dokumen yang terkait dengan

obyek penelitian

3.5 Operasionalisasi variabel


Hal-hal pokok yang menjadi fokus penelitian adalah:

a. Mudharabah

Mudharabah yaitu perjanjian antara pemilik modal (dalam bentuk uang atau

barang) dengan pengusaha. Dalam perjanjian ini pemilik modal bersedia membiayai

sepenuhnya suatu proyek atau usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek

tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Penerapan secara teknis

bentuk mudharabah dalam perbankan dapat diterapkan dalam transaksi perolehan

dana maupun penyaluran dana.

b. Musyarakah

Musyarakah yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik

modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan akan dibagi

sesuai perjanjian antara pihak-pihak tesebut. Penerapan secara teknis perbankan

bentuk musyarakah dapat diterapkan dalam penyaluran dana.

c. Pendapatan

Pendapatan merupakan aliran masuk yang berasal dari manfaat ekonomi yang

menambah aktiva atau mengurangi kewajiban bila aliran masuk aktiva tersebut

berasal dari aktivitas normal.

d. Pendapatan Bagi Hasil

Pendapatan bagi hasil yaitu pendapatan yang diperoleh oleh bank bagi hasil

yang berasal dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah.

3.6 Metode analisis data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif kualitatif, yaitu analisis data dengan cara memberikan penjelasan dengan

memberikan predikat kepada variabel yang diteliti sesuai dengan kondisi yang

sebenarnya (Arikunto:1993).

Langkah-langkah yang dilakukan setelah memperoleh data serta untuk

menggambarkan perlakuan akuntansi pendapatan bagi hasil PT BMI Malang adalah

sebagai berikut:

1. Menggambarkan apakah pendapatan bagi hasil pada PT BMI sudah

sesuai dengan konsep Islam.

2. Menggambarkan produk-produk dan operasional BMI, serta penerapan

perlakuan akuntansi pendapatan bagi hasil pada PT BMI.

3. Menggambarkan apakah terdapat kesesuaian antara perlakuan

akuntansi pendapatan bagi hasil pada BMI dengan PSAK No. 59

tentang Akuntansi Perbankan Syariah.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Sejarah singkat PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk

PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan pada tahun 1991, diprakarsai oleh

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan

operasinya pada bulan Mei 1992. Dengan dukungan nyata dari eksponen Ikatan

Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim,

pendirian Bank Muamalat juga menerima dukungan masyarakat, terbukti dari

komitmen pembelian saham perseroan senilai Rp 84 miliar pada saat

penandatanganan akta pendirian perseroan. Selanjutnya, pada acara silaturahmi

peringatan pendirian tersebut di Istana Bogor, diperoleh tambahan komitmen dari

masyarakat Jawa Barat yang turut menanam modal senilai Rp 106 miliar.

Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah didirikan, Bank

Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Pengakuan ini

semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai bank syariah pertama dan terkemuka

di Indonesia dengan beragam jasa maupun produk yang terus dikembangkan. Pada

akhir tahun 90an, Indonesia dilanda krisis moneter yang memporakporandakan

sebagian besar perekonomian Asia Tenggara. Sektor perbankan nasional tergulung

oleh kredit macet di segmen korporasi. Bank Muamalat pun terimbas dampak krisis.
Di tahun 1998, rasio pembiayaan macet (NPF) mencapai lebih dari 60%.

Perseroan mencatat rugi sebesar Rp 105 miliar. Ekuitas mencapai titik terendah, yaitu

Rp 39,3 miliar, kurang dari sepertiga modal setor awal. Dalam upaya memperkuat

permodalannya, Bank Muamalat mencari pemodal yang potensial, dan ditanggapi

secara positif oleh Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah,

Arab Saudi. Pada RUPS tanggal 21 Juni 1999 IDB secara resmi menjadi salah satu

pemegang saham Bank Muamalat. Oleh karenanya, kurun waktu antara tahun 1999

dan 2002 merupakan masa-masa yang penuh tantangan sekaligus keberhasilan bagi

Bank Muamalat. Dalam kurun waktu tersebut, Bank Muamalat berhasil membalikkan

kondisi dari rugi menjadi laba berkat upaya dan dedikasi setiap Kru Muamalat,

ditunjang oleh kepemimpinan yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat,

serta ketaatan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni.

Melalui masa-masa sulit ini, Bank Muamalat berhasil bangkit dari

keterpurukan. Diawali dari pengangkatan kepengurusan baru dimana seluruh anggota

direksi diangkat dari dalam tubuh Muamalat, Bank Muamalat kemudian menggelar

rencana kerja lima tahun dengan penekanan pada (i) tidak mengandalkan setoran

modal tambahan dari para pemegang saham, (ii) tidak melakukan PHK satu pun

terhadap sumber daya insani yang ada, dan dalam hal pemangkasan biaya, tidak

memotong hak Kru Muamalat sedikitpun, (iii) pemulihan kepercayaan dan rasa

percaya diri Kru Muamalat menjadi prioritas utama di tahun pertama kepengurusan

direksi baru, (iv) peletakan landasan usaha baru dengan menegakkan disiplin kerja
Muamalat dan (v) pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan serta

menumbuhkan peluang usaha menjadi sasaran Bank Muamalat.

4.1.2 Prinsip-prinsip operasional BMI

Prinsip operasional PT Bank Muamalat Indonesia dalam pembiayaan dan

penyaluran dana dibagi menjadi tiga bagian:

1. Sistem bagi hasil

2. Sistem jual beli;

3. Sistem fee (jasa)

1. Sistem bagi hasil

Sistem bagi hasil diterapkan pada suatu pembiayaan dari pemilik dan kepada

pengelola dana. Sistem ini berlaku pada nasabah penabung dan bank. Pihak

nasabah penabung akan memperoleh bagi hasil dari keuntungan usaha

peminjaman dana bank. Produk bagi hasil ini adalah mudharabah dan

musyarakah

2. Sistem jual beli

Sistem jual beli yang diterapkan Bank Muamalat Indonesia harus sesuai dengan

syarat-syarat jual beli yang sah. Nasabah bank akan melakukan pembelian atas

nama bank, dalam hal ini bank adalah sebagai pembeli. Kemudian bank akan

menjual barang yang telah dibeli tersebut kepada nasabah dengan harga pokok

ditambah margin laba untuk bank dengan sistem pembayaran ditangguhkan.

Biasanya nasabah akan mencicil pembayaran pokok dan margin labanya selama

periode tertentu.
3. Sistem fee (jasa)

Sistem fee yang diterapkan di BMI tidak memiliki perbedaan secara prinsip

dengan bank lainnya. Sistem ini meliputi segala jasa non pembiayaan yang

diberikan oleh bank seperti bank garansi, kliring, transfer, inkaso, dan lain-

lainnya.

Setelah keluarnya perundang-undangan perbankan, maka pada sisi

pengerahan dana masyarakat atau pendanaan terdapat tiga bentuk simpanan yaitu

giro, tabungan dan deposito. Penerapan tiga bentuk simpanan tersebut yang sesuai

dengan prinsip syariah adalah: simpanan giro, mengikuti prinsip Al Wadiah atau

Al Mudharabah (bagi hasil) dan deposito mengikuti prinsip Al Mudharabah.

4.1.3 Produk dan jasa PT Bank Muamalat Indonesia

Produk dan jasa pada Bank Muamalat Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, yaitu:

a. Produk Penghimpunan Dana Masyarakat

1. Giro Wadiah

Simpanan giro wadiah adalah bentuk simpanan (titipan) dana milik

masyarakat yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

menggunakan media cek, bilyet giro dan pemindahbukuan

2. Deposito Bagi Hasil Mudharabah

Merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perorangan maupun

badan hukum) di Bank Muamalat yang penarikannya hanya dapat dilakukan


dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dengan

bank, dengan mendapatkan perolehan bagi hasil secara syariah Islam. Simpanan
dana masyarakat akan dikelola melalui pembiayaan kepada sektor riil yang halal dan baik saja, sehingga

memberikan bagi hasil yang halal. Tersedia dalam jangka waktu 1, 3, 6, dan 12 bulan.

3. Tabungan Bagi Hasil Mudharabah

Tabungan Mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di Bank Muamalat yang

penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang

disepakati dalam perjanjian. Tabungan ini dapat berupa Tabungan Arafah, Tabungan

Ummat dan Shar- ε

b. Produk Penyaluran dana

1. Murabahah

Merupakan akad jual beli barang antara Nasabah dan Bank dengan

menyatakan harga perolehan/harga beli dan keuntungan (margin) yang

disepakati kedua belah pihak. Bank membiayai (membelikan) kebutuhan

nasabah, yang kemudian dijual kepada nasabah dengan harga pokok ditambah

keuntungan yang diketahui dan disepakati bersama, Nasabah melakukan

pembayaran dengan mengangsur selama jangka waktu tertentu.

2. Mudharabah

Akad kerjasama antara bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) dengan

nasabah sebagai pelaksana usaha (mudharib) untuk mengelola usaha yang

produktif dan halal, dengan hasil keuntungan dibagi berdasar nisbah yang

disepakati di awal akad.


3. Mudharabah Muqayyadah

Perjanjian kerjasama antara nasabah dengan bank, dimana nasabah hanya

boleh menggunakan modal yang diberikan untuk melaksanakan proyek yang

telah ditentukan. Pembagian hasil keuntungan dari proyek dilakukan sesuai

nisbah yang disepakati bersama.

4. Musyarakah

Kerjasama antara bank dan nasabah, di mana masing-masing pihak

menyertakan modal dalam jumlah tertentu sesuai kesepakatan. Proyek ini

boleh dikelola oleh salah satu pemberi dana atau oleh pihak lainnya, pemilik

dana boleh melakukan intervensi dalam manajemen proyek. Pembagian

keuntungan dilakukan sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian

ditanggung masing-masing pihak berdasarkan besarnya modal yang diberikan.

5. Istishna’

Akad jual beli barang berdasarkan pesanan antara nasabah dan bank, dengan

spesifikasi tertentu seperti jenis, tipe/model, kualitas dan jumlah yang

disyaratkan nasabah. bank memesan kepada produsen. Setelah barang jadi,

bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga yang telah

disepakati sebelumnya.

6. Rahn (Gadai Syariah)

Bekerja sama dengan perum pegadaian membentuk Unit Layanan Gadai

Syariah (ULGS). Rahn (gadai syariah) adalah perjanjian penyerahan barang


atau harta berupa emas/perhiasan/kendaraan sebagai jaminan berdasarkan

hukum gadai.

c. Jasa Layanan

1. ATM

Layanan ATM 24 jam yang memudahkan nasabah melakukan penarikan dana

tunai, pemindahbukuan antar rekening, pemeriksaan saldo, pembayaran

Zakat-Infaq-Sedekah dan tagihan telepon.

2. SalaMuamalat

Merupakan layanan phone banking dan call center yang memberikan

kemudahan kepada nasabah, setiap saat dan dimanapun nasabah berada untuk

memperoleh informasi mengenai produk, saldo dan informasi transaksi,

pemindahbukuan antar rekening, serta kemudahan untuk mengubah PIN.

3. Pembayaran Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS)

Jasa yang memudahkan Nasabah dalam membayar ZIS, baik ke lembaga

pengelola ZIS Bank Muamalat maupun ke lembaga-lembaga ZIS lainnya yang

bekerjasama dengan Bank Muamalat, melalui mesin ATM Muamalat dan

seluruh cabang Bank Muamalat.

4. Jasa-jasa lain

Bank Muamalat juga menyediakan jasa-jasa perbankan lainnya kepada

masyarakat luas, seperti transfer, collection, standing instruction, bank draft,

referensi bank dan sebagainya.


4.2 Pembahasan

4.2.1 PENERIMAAN PENDAPATAN BAGI HASIL PADA PT BMI

Komponen pendapatan yang terdapat pada laporan laba rugi PT BMI terdiri

dari pendapatan operasional utama dan pendapatan di luar operasi. Pendapatan

operasional utama merupakan pendapatan yang diperoleh PT BMI sehubungan

dengan pengelolaan dana dari investasi nasabah baik yang dikelola sendiri oleh pihak

BMI maupun yang disalurkan oleh PT BMI kepada pihak yang membutuhkan dana.

Pendapatan operasional utama terdiri dari pendapatan yang berasal dari

kegiatan jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, dan penyertaan. Pendapatan yang

berasal dari kegiatan jual beli terdiri dari pendapatan margin murabahah, salam

paralel, dan ishtishna paralel. Pendapatan yang berasal dari kegiatan sewa-menyewa

terdiri dari pendapatan sewa ijarah, sedangkan pendapatan yang berasal dari kegiatan

bagi hasil terdiri dari pembiayaan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.

Dalam kaitannya dengan pembiayaan musyarakah dan mudharabah, bank di

sini bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Dana yang digunakan bank

untuk membiayai proyek adalah dana yang berasal dari simpanan nasabah dalam

bentuk penanaman dana. Bank akan menyalurkan dana kepada pihak pengelola dana

yang membutuhkan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini secara

administratif hampir sama dengan syarat-syarat peminjaman pada bank konvensional,


akan tetapi Bank Muamalat lebih menekankan pada persyaratan yang bebas maghrib

(maksiyat, gharar, riba).

Sebelum memberikan pembiayaan, bank melakukan fungsi proyeksi untuk

menilai kelayakan sebuah usaha dan menilai sejauh mana proyek tersebut dapat

memberikan tingkat pengembalian serta menetapkan nisbah bagi hasil yang akan

diterima. Secara umum, prosedur perolehan pembiayaan mudharabah dan

musyarakah di Bank Muamalat adalah sebagai berikut:

1. Calon nasabah mengajukan permohonan pembiayaan dengan mengisi

formulir, dilengkapi identitas pemohon serta surat jaminan.

2. Petugas melakukan survei terhadap usaha yang akan dibiayai. Perbedaan

dengan bank konvensional adalah bank konvensional tidak

mempermasalahkan jenis usaha yang akan dibiayai, sedangkan pada bank

syariah, sangat memperhatikan jenis usaha apa yang akan dibiayai dimana

usaha tersebut harus merupakan usaha yang halal dan baik sepanjang hasil

survey yang dilakukan petugas.

3. Petugas menganalisis data-data usaha yang akan dibiayai.

4. Petugas mengajukan hasil analisa kepada pimpinan untuk mendapatkan

persetujuan realisasi pembiayaan.

5. Petugas menyiapkan akad perjanjian realisasi pembiayaan setelah menerima

surat asli jaminan.

6. Penandatanganan akad perjanjian pembiayaan oleh nasabah dengan pimpinan

7. Pembayaran pembiayaan oleh teller/kasir.


Proyek yang dibiayai oleh Bank Muamalat baik musyarakah maupun

mudharabah rata-rata mempunyai jangka waktu proyek yang tidak lebih dari satu

tahun. Pembiayaan yang diberikan kepada pihak pengelola dana adalah pembiayaan

dalam bentuk kas dan bukan dalam bentuk aktiva non kas.

Pelaksanaan pembiayaan mudharabah pada Bank Muamalat dibagi dalam dua

jenis yaitu mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah

muqayyadah (investasi terikat). Pada mudharabah muthlaqah, pemilik dana

memberikan kebebasan kepada bank dalam mengelola investasi. Sedangkan pada

mudharabah muqayyadah, bank menyalurkan dananya sesuai dengan permintaan dan

persyaratan dari pemilik dana dalam hal ini adalah nasabah atau investor yang

memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara dan obyek

investasi.

Laba mudharabah dibagi antara pihak pengelola dana dengan pihak bank

secara proporsional sesuai dengan kesepakatan nisbah yang telah ditentukan di muka.

Sedangkan rugi dibebankan seluruhnya kepada bank sepanjang kerugian tersebut

bukan terjadi karena kelalaian dari pihak pengelola modal.

Secara lebih rinci, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan


berdasarkan Mudharabah ini, perlakuannya kurang lebih sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh,
dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan
usaha;
b. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak
dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai
e. Pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah
yang disepakati;
f. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika
nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang
mengakibatkan kerugian usaha;
g. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu
investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
h. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya
berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad;
i. Pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi
pendapatan (revenue sharing);
j. Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan
laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
k. Pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad untuk
pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan
secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan
l. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila
nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad
karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Secara garis besar, pelaksanaan pembiayaan mudharabah muqayyadah dan
mutlaqoh hampir sama, perbedaannya terletak pada:
a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada
nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan
persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor;
b. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank;
c. Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko
kerugian usaha yang dibiayai, resiko sepenuhnya ditanggung oleh investor
d. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang
perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;

Pelaksanaan pembiayaan musyarakah juga hampir sama dengan mudharabah.

Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk

membiayai suatu usulan proyek atau usaha tertentu, baik yang sudah berjalan maupun

yang baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut berikut bagi hasil

yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank. Kebanyakan yang

dilakukan pada Bank Muamalat adalah mitra mengembalikan modal tersebut secara

bertahap setiap bulannya. Musyarakah ini dapat bersifat musyarakah permanen

maupun menurun. Dalam musyarakah permanen, bagian modal setiap mitra

ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad, sedangkan

dalam musyarakah menurun, bagian modal bank akan dialihkan secara bertahap

kepada mitra, sehingga bagian modal bank akan menurun dan pada akhir masa akad

mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut. Musyarakah yang dilaksanakan oleh Bank

Muamalat adalah musyarakah menurun. Akad yang disepakati dapat berubah-ubah

sesuai dengan kebijakan dan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Laba musyarakah dibagi secara proporsional sesuai dengan modal yang

disetorkan (yaitu berupa kas) atau sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh semua

mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional sesuai dengan modal yang

disetorkan bank.

4.2.2 Pandangan Islam terhadap pelaksanaan mudharabah dan musyarakah


Pendapatan bagi hasil yang diperoleh PT BMI berasal dari pembiayaan

mudharabah dan musyarakah sehingga praktik pembiayaan yang menghasilkan

pendapatan bagi hasil ini harus diketahui dan dicocokkan dengan hukum syara’

untuk dapat menilai apakah pendapatan bagi hasil tersebut telah sesuai dengan hukum

Islam.

Terkait dengan temuan-temuan dalam studi kasus pada Bank Muamalat,

penulis akan menyoroti beberapa hal yang berkaitan dengan prinsip mudharabah dan

musyarakah yang dilaksanakan pada Bank Muamalat yang kemudian dicocokkan

dengan pendapat jumhur ulama.

a. Yadul Amanah

Konsep mudharabah memiliki prinsip bahwa modal yang dikelola oleh

mudharib (pekerja) adalah yadul amanah artinya ia tidak menanggung apapun ketika

modal tersebut hilang, berkurang atau rusak kecuali jika hal itu disebabkan oleh

kelalaiannya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha.

Dalam setiap permohonan pinjaman dana dalam pembiayaan mudharabah,

pihak bank mengharuskan adanya aset yang dijadikan jaminan (collateral) oleh

mudharib untuk lebih meyakinkan pihak bank akan kejujuran mudharib. Jika pihak

mudharib gagal mengembalikan modal yang dipinjamnya sesuai dengan jumlah dan

waktu yang telah disepakati maka jaminannya akan dilelang. Jika nilai jaminan

tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai hutangnya, maka selisih tersebut akan

dikembalikan ke pihak nasabah.

Bank Muamalat yang dalam hal ini berposisi sebagai mudharib bagi

nasabah penyimpan dana, sekaligus merupakan shahibul maal bagi pihak yang
membutuhkan dana, melakukan pengambilan barang jaminan dari mudharib untuk

menjamin dan mempertanggungjawabkan pengelolaan dana pihak nasabah, karena

pada hakikatnya pihak nasabah menanamkan dan mempercayakan dana di Bank

Muamalat atas dasar motif keamanan, dan agar dana yang mereka titipkan tersebut

mengalami peningkatan dengan dikelola oleh pihak bank. Oleh sebab itu, pihak bank

sebagai mudharib akan berusaha untuk meningkatkan serta menjaga stabilitas jumlah

nilai yang akan dibagihasilkan kepada pihak penyimpan dana.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa praktek ini

yaitu pengambilan jaminan oleh pihak bank karena pihak muhdarib tidak bisa

mengembalikan dana mudharabah, telah menyalahi prinsip yang telah dikemukakan

sebelumnya yaitu memposisikan mudharib sebagai pihak yang tidak akan

menanggung kerugian yang tidak diakibatkan oleh kelalaiannya. Transaksi-transaksi

yang berkaitan dengan pengambilan jaminan tersebut dikategorikan sebagai transaksi

yang fasid (rusak). Agar transaksi mudharabah tersebut tidak terkategori transaksi

yang fasid, maka konsekuensinya transaksi tersebut dibatalkan atau syarat yang rusak

tersebut yakni keharusan memberikan jaminan jika nasabah mengalami kerugian

ditiadakan.

b. Pembagian keuntungan

Tidak ada perbedaan di kalangan para fuqaha tentang hak mudharib atas

keuntungan dari pengelolaan harta mudharib. Namun mereka berbeda pendapat

kapan keuntungan tersebut menjadi hak mudharib. Meski demikian mereka tidak

berbeda pendapat bahwa proses penyerahan keuntungan tersebut dilakukan setelah

modal diserahkan kepada pemilik modal.


Dalam kasus pembiayaan mudharabah pada PT BMI, pihak pengelola

diwajibkan membayar angsuran dari modal yang dipinjamnya berdasarkan

kesepakatan di dalam akad secara berkala (setiap akhir bulan laporan) terlepas besar

kecilnya angsuran tersebut. Angsuran tersebut terdiri dari pokok pinjaman ditambah

dengan bagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah yang telah ditetapkan dalam

akad. Padahal sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para fuqaha bahwa pemberian

keuntungan itu dilakukan hanya ketika modal tersebut telah dikembalikan kepada

pemilik modal sehingga jelas apakah proses mudharabah itu menguntungkan atau

tidak.

Pendapatan yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah ini, dalam

pandangan Islam, diakui pada saat mudharib telah menyetorkan seluruh modal yang

dipinjamnya. Jika terdapat kelebihan dari modal yang telah dimudharabahkan tadi,

maka laba diakui ketika laba tersebut telah nampak dan diperhitungkan sesuai dengan

nisbah yang disepakati, sehingga terdapat jaminan yang pasti akan diterimanya

pendapatan tersebut. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa pendapatan tersebut

diakui pada saat pendapatan telah direalisasi berupa kas yang diserahkan. Besarnya

nilai dari pendapatan tersebut diukur sebesar jumlah yang akan atau yang telah

diterima bank setelah diperhitungkan sesuai dengan proporsi bagi hasil yang telah

ditentukan di dalam akad.

Pelaksanaan pembagian keuntungan pada PT BMI, sebagaimana yang telah

dikemukakan di atas, ternyata belum sesuai dengan pembagian keuntungan yang telah

disyaratkan dalam Islam. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan waktu pengakuan dan

penerimaan pendapatan bagi hasil oleh shahibul maal. Bank menerima pendapatan
bagi hasil tersebut secara angsuran bersamaan dengan angsuran pokok pinjaman, dan

sekaligus mengakuinya saat pendapatan tersebut telah terealisasi, sedangkan Islam

mensyaratkan pembagian keuntungan dilaksanakan pada saat modal telah diserahkan

sepenuhnya kepada shahibul maal.

c.Biaya Pengelolaan

Seorang mudharib disamping berhak atas bagian keuntungan dari modal

yang dikelolanya, iapun berhak atas biaya atas operasi pengelolaan tersebut. Meski

demikian biaya operasional tersebut oleh para fuqaha diberikan batasan-batasan yang

tegas. Biaya-biaya yang boleh dibebankan atas dana mudharabah yaitu biaya-biaya

yang dikeluarkan sehubungan dengan pengelolaan harta mudharabah saja. Selain itu,

tidak diperbolehkan seorang mudharib untuk membebankannya kepada dana

mudharabah, seperti nafkah hidup sehari-hari, dan sebagainya.

Dengan demikian, pihak pengelola memiliki hak untuk mempergunakan

modal usaha untuk membiayai berbagai kebutuhan transaksi. Namun demikian ia

tidak memiliki hak untuk mendapatkan gaji sebagai kompensasi dari proses

pengembangan modal tersebut termasuk gaji karyawan yang membantunya karena

kompensasi akan ia peroleh dari keuntungan usaha tersebut. Dengan kata lain, pihak

shahibul maal yaitu bank, harus ikut menanggung segala biaya yang timbul akibat

dari transaksi-transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah.

Bank Muamalat mempergunakan metode revenue sharing dalam

perhitungan bagi hasil yang akan diterima dari mudharib. Jika menggunakan metode

revenue sharing, maka bank memperoleh bagiannya dari jumlah pendapatan yang

diterima oleh mudharib pada periode tersebut sebelum dikurangi dengan biaya-biaya
yang terkait dengan pengelolaan dana mudharabah yang bersangkutan. Dengan

menggunakan metode revenue sharing, menggambarkan bahwa pihak mudharib

menanggung biaya-biaya operasionalisasi usaha yang dikurangi dari pendapatan bagi

hasil yang menjadi bagian mudharib setelah dibagikan kepada pihak shahibul maal,

sehingga akan memperkecil jumlah pendapatan yang seharusnya diterima. Dengan

demikian, walaupun pihak shahibul maal telah menerima bagian dari bagi hasil

tersebut, dan mengakui adanya pendapatan akan tetapi pihak mudharib tetap

mempunyai peluang untuk mengalami kerugian, jika biaya-biaya operasionalnya

lebih besar dibandingkan dengan pendapatannya. Hal ini menunjukkan bahwa pihak

mudhariblah yang sepenuhnya menanggung biaya operasional tersebut.

Penjelasan dan pemaparan di atas menghantarkan penulis pada kesimpulan

bahwa penggunaan metode revenue sharing dalam menghitung penerimaan bagi

hasil telah menyalahi prinsip bagi hasil yang ada di dalam Islam. Hal ini didasarkan

pada pernyataan para fuqaha bahwa mudharib berhak untuk membebankan biaya-

biaya yang menyangkut operasionalisasi usaha pada dana mudharabah, sehingga

shahibul maal juga harus ikut menanggung biaya operasional tersebut.

d.Mudharabah atas Mudharabah

Seorang amil tidak boleh memudharabahkan harta mudharabah kepada

pihak lain. Jika hal tersebut dilakukan maka hal tersebut termasuk ke dalam kategori

melampaui batas. Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha yang masyhur bahwa jika

seorang amil menyerahkan modal qiradh kepada pihak pengelola lain maka ia wajib

menanggungnya jika mengalami kerugian (Sayyid Sabiq,1983).


Pada faktanya, PT Bank Muamalat Indonesia ketika melakukan

penyaluran dana berupa pembiayaan mudharabah kepada pihak yang memerlukan

dana, maka sejatinya pihak perbankan tersebut telah memudharabahkan harta

mudharabah. Hal ini dapat dilihat dari akad yang disepakati antara bank dengan

pihak yang menyimpan dana serta akad yang disepakati antara bank dengan pihak

yang memerlukan dana. Akad yang ditetapkan dengan pihak penanam dana adalah

akad mudharabah, dimana pihak penanam dana bertindak sebagai shahibul maal dan

pihak bank bertindak sebagai mudharib. Adapun akad yang ditetapkan dengan pihak

yang memerlukan dana juga merupakan akad mudharabah. Dalam hal ini bank

bertindak sebagai shahibul maal dan pihak yang memerlukan dana bertindak sebagai

mudharib. Adapun mengenai pembiayaan yang diberikan kepada pihak yang

memerlukan dana merupakan dana yang berasal dari pihak penanam dana. Sehingga,

praktik semacam ini termasuk dalam kategori praktik memudharabahkan harta

mudharabah.

Dengan demikian, jika pihak pengelola mengalami kerugian maka kerugian

tersebut tidak boleh dibebankan kepada pemilik modal pertama (nasabah atau

investor). Jadi, kerugian tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan bank. Demikian

pula kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada pihak pengelola jika kerugian

tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaiannya.

Sikap PT Bank Muamalat Indonesia yang melakukan mudharabah

atas mudharabah ini termasuk dalam kategori melampaui batas dan jika tetap

melakukan hal tersebut maka konsekuensinya kerugian apapun dari pengelolaan harta

tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada pemilik modal sebagaimana yang


dinyatakan oleh Ibnu Rusydi pada pembahasan sebelumnya. Dalam praktiknya, PT

BMI memang tidak membebankan kerugian dari pengelolaan harta mudharabah

kepada para nasabahnya, akan tetapi langkah PT BMI yang memudharabahkan harta

mudharabah itu tetap termasuk dalam kategori melampaui batas sehingga tidak

sesuai dengan syariah Islam.

Pelaksanaan keempat poin yang penulis temukan di atas yang belum sesuai

dengan syariah Islam, tidak terlepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang

diterapkan di Indonesia. Terkait dengan konsep yadul amanah dalam mudharabah,

sistem kapitalisme secara tidak langsung memaksa seseorang untuk tidak

mempercayai orang lain. Dalam kapitalisme, sebuah kesuksesan dilihat dari materi.

Tolok ukur untuk melihat seseorang pun didasarkan pada materi. Sehingga seseorang

mau bekerja sama juga didasarkan karena materi. Begitu pula halnya dengan

perbankan. Dalam hal ini perbankan mau memberikan pembiayaan mudharabah

karena bank telah memprediksi jumlah laba yang akan diperoleh, sehingga pihak

bank secara otomatis akan mengambil jaminan mudharabah ketika mudharib

mengalami kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang dipergunakan oleh

bank untuk memberikan pembiayaan mudharabah adalah berdasarkan materi bukan

sistem kepercayaan seperti yang telah disyaratkan di dalam Islam.

Dalam hal pembagian keuntungan, Bank Muamalat menerima pendapatan

bagi hasil per bulan secara angsuran. Metode yang digunakan untuk mendapatkan

keuntungan ini mempergunakan revenue sharing di mana bank tidak ikut

menanggung biaya pengelolaan mudharabah. Bank Muamalat menjalankan hal ini

karena Bank Muamalat dituntut untuk memberikan bagi hasil kepada nasabah
penyimpan dana setiap bulannya. Sebagaimana diketahui, secara mayoritas, motif

nasabah dalam menyimpan dana di bank syariah tidak semata-mata karena bank

syariah tersebut menerapkan syariah Islam, akan tetapi mereka hanya ingin

memperoleh keuntungan dan tidak mau menanggung kerugian. Hal ini juga

merupakan imbas dari sistem kapitalisme yang menjadikan manusia hanya

berorientasi kepada materi dengan jalan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya

dengan resiko yang sekecil-kecilnya.

Perbankan syariah yang ada saat ini belum bisa dikatakan ideal karena

sebagian besar kegiatan operasionalnya khususnya pada pembiayaan mudharabah

dan musyarakah masih terpengaruh aturan-aturan kapitalis. Perbankan syariah dapat

dikatakan ideal jika berada dalam sebuah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi

Islam akan bisa terwujud dengan politik ekonomi Islam yang diterapkan oleh

pemerintahan Islam.

4.2.3 Perlakuan Akuntansi untuk Pendapatan Bagi Hasil

4.2.3.1 Definisi Pendapatan Bagi Hasil

Berdasarkan uraian definisi pendapatan yang telah dibahas pada landasan

teori, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik pendapatan terdiri dari dua hal,

yaitu:

1. Pendapatan merupakan aliran masuk yang berasal dari manfaat ekonomi yang

menambah aktiva atau mengurangi kewajiban

2. Pendapatan yang berupa aliran masuk aktiva tersebut berasal dari aktivitas

normal.
Pendapatan bagi hasil yang diperoleh oleh PT BMI adalah pendapatan

dalam bentuk nisbah (proporsi) sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan

mudharib (pihak pengelola). Pendapatan ini diperoleh dari pembiayaan mudharabah

dan musyarakah. PT BMI menerima pendapatan ini dalam bentuk kas pada saat

nasabah menyerahkannya pada akhir periode akad untuk pembiayaan dengan jangka

waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran

kas masuk (cash in flow) usaha nasabah.

Kegiatan utama PT Bank Muamalat Indonesia sebagai lembaga perbankan

adalah kegiatan penyimpanan dana, yang terdiri dari tabungan, giro, deposito, serta

kegiatan penyaluran dana yang terdiri dari pembiayaan murabahah, mudharabah,

musyarakah, istishna, dan rahn. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah di sini

menghasilkan pendapatan bagi hasil yang merupakan kegiatan operasi normal

perusahaan sebagai produk penyaluran dana dan bukanlah kegiatan yang insidental.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa

pendapatan bagi hasil dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah tersebut dapat

memenuhi definisi sebagai pendapatan. Hal ini didasarkan pada dua alasan, pertama:

pendapatan bagi hasil merupakan pendapatan yang memberikan/menyebabkan

penambahan aktiva dalam bentuk kas atau adanya aliran masuk aktiva dalam bentuk

kas ke dalam kesatuan usaha. Kedua: aliran masuk aktiva dalam bentuk kas tersebut

merupakan aliran masuk aktiva yang berasal dari kegiatan normal sebagai sebuah

bank.

4.2.3.2 Pengakuan Pendapatan Bagi Hasil


Pengakuan pendapatan bagi hasil yang diperoleh dari pembiayaan

mudharabah dan musyarakah telah diatur dalam PSAK No. 59, sehingga perlakuan

pendapatan bagi hasilnya mengacu pada PSAK No 59.

a. Pengakuan Pendapatan Mudharabah

PT Bank Muamalat Indonesia mengakui pendapatan bagi hasil dari

pembiayaan mudharabah atas dasar kas (cash basis) yaitu sebesar sejumlah uang kas

yang telah diterima dari nasabah yang dihitung berdasarkan nisbah yang telah

disepakati. Adapun jika pembiayaan tersebut melewati satu periode pelaporan maka

keuntungan pembiayaan diakui pada saat terjadinya hak bagi hasil sesuai dengan

nisbah yang disepakati. Penggunaan dasar kas ini dilandasi oleh suatu dasar

pemikiran. Pendapatan bagi hasil akan dihitung dari persentase tertentu dari

keuntungan nyata dari sebuah proyek atau usaha yang didanai pihak bank.

Keuntungan nyata ini mengandung unsur ketidak pastian. Ada kemungkinan nasabah

memperoleh keuntungan dan kemungkinan pula terjadi kerugian. Ada kemungkinan

keuntungan yang didapatkan berbeda-beda antar satu periode dengan periode yang

lain bahkan antara bulan yang satu dengan bulan yang lain. Unsur ketidakpastian

dalam keuntungan usaha atau proyek inilah yang membuat PT BMI tidak mengakui

pendapatan secara akrual.

Aliran aktiva yang masuk berupa kas hanya dapat diketahui apabila nasabah

benar-benar telah menyetorkannya atau ketika keuntungan tersebut sudah menjadi

hak shahibul maal sewaktu diperhitungkan. Penggunaan dasar kas ini sejalan dengan

konsep konservatif dalam akuntansi yang menyatakan bahwa pendapatan tidak diakui
sesegera mungkin untuk menjamin bahwa laporan keuangan mendekati realisasi

sesungguhnya.

Untuk mengantisipasi agar bank tidak mengalami kerugian, maka sebelum

merealisasikan pembiayaan bank terlebih dahulu membuat proyeksi yield untuk

memperhitungkan perkiraan pendapatan bagi hasil yang akan diperoleh. Apabila

besar kemungkinan proyek yang akan didanai tersebut memberikan keuntungan,

maka bank akan merealisasikan pembiayaan tersebut. Akan tetapi jika setelah

diperhitungkan ternyata diperkirakan proyek tidak bisa memberikan keuntungan yang

diharapkan, maka bank tidak akan memberikan pembiayaan.

b. Pengakuan Pendapatan Musyarakah

Seperti halnya pada pendapatan mudharabah, pengakuan pendapatan

musyarakah juga diakui pada saat kas diserahkan kepada pihak bank, sehingga

walaupun pembiayaan musyarakah melewati suatu periode pelaporan, maka

pendapatan tersebut tetap diakui pada saat periode terjadinya sesuai dengan nisbah

bagi hasil yang disepakati. jika pada saat akad diakhiri, pihak pengelola memperoleh

laba dan belum diserahkan kepada pihak bank, maka laba yang belum diterima

tersebut akan diakui sebagai piutang kepada mitra.

Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa pengakuan pendapatan,

baik mudharabah maupun musyarakah yang dilaksanakan pada PT BMI telah

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia

dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Kedua pendapatan tersebut

diakui pada periode terjadinya hak bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati

dan pada saat pendapatan berupa kas telah diserahkan kepada shahibul maal (bank).
4.2.3.3 Pengukuran Pendapatan Bagi Hasil

PSAK No. 23 memberikan kriteria tentang pengukuran pendapatan adalah

sebagai berikut:

a. Pendapatan diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang

dapat diterima.

b. Imbalan yang diterima dalam bentuk kas atau setara kas, dan jumlah

pendapatan adalah jumlah kas atau setara kas yang diterima atau yang dapat

diterima.

Pendapatan bagi hasil yang diterima PT BMI baik dari pembiayaan

mudharabah maupun musyarakah diakui atas dasar cash basis, maka pendapatan

bagi hasil diukur sebesar jumlah kas yang diterima atau yang akan diterima.

Pendapatan bagi hasil dihitung dari jumlah proporsi yang diterima dari mudharib,

dikalikan dengan perbandingan antara proyeksi angsuran pendapatan bagi hasil

dengan angsuran pokok pembiayaan mudharabah. Ilustrasi pendapatan bagi hasil dari

penentuan akad hingga perhitungan proporsi pendapatan dapat dihitung sebagai

berikut:

Seorang pedagang membutuhkan modal untuk memulai sebuah usaha baru

sebesar Rp 90.000.000. Modal ini akan dikembalikan dalam jangka waktu 3 tahun.

Perkiraan omzet penjualan perbulan adalah sebesar Rp 25.000.000. Proyeksi yield

yang diharapkan Bank Muamalat selaku shahibul maal dalam bisnis ini adalah

sebesar Rp10.800.000. Perhitungan bagi hasil mempergunakan metode revenue

sharing. Proyeksi angsuran adalah sebagai berikut:

Angsuran pokok : 90.000.000 : 36 bulan = Rp 2.500.000


Angsuran bagi hasil : 10.800.000 : 36 bulan = Rp 300.000

Total proyeksi angsuran Rp 2.800.000

Proyeksi revenue secara konservatif mengikuti revenue sesuai pengalaman yang ada

yaitu Rp 25.000.000 / bulan.

Perhitungan nisbah bagi hasil sebagai berikut:

Nisbah Bank Muamalat : Rp 2.800.000 x 100% = 11,20%


Rp 25.000.000

Nisbah Nasabah : 100% - 11,20% = 88,80%

Nisbah bagi hasil antara bank dan nasabah adalah 11,20% : 88,80%

Realisasi hasil penjualan setiap bulannya adalah sebagai berikut:

Omzet penjualan bulan I = 29.000.000

Bulan II = 15.000.000

Bulan III = 9.000.000

Dan seterusnya.

Distribusi bagi hasil adalah sebagai berikut:

Realisasi penjualan I : Rp 29.000.000

- nisbah Muamalat 11,20%, porsi penerimaan adalah = Rp 3.248.000

- distribusi dari penerimaan Rp 3.248.000 adalah:

1. Porsi angsuran pokok = (2.500.000:2.800.000) x 3.248.000

= Rp 2.900.000

2. Porsi bagi hasil pendapatan bank = (300.000 : 2.800.000) x 3.248.000

= Rp 348.000

Jurnal pada saat penerimaan laba bagi hasil adalah:


Kas Rp 348.000

Pendapatan bagi hasil mudharabah Rp 348.000

Jurnal pada saat penerimaan angsuran adalah:

Kas Rp 2.900.000

Pembiayaan mudharabah Rp 2.900.000

Realisasi penjualan II : Rp 15.000.000

- Nisbah Muamalat 11,20%, porsi penerimaan adalah = Rp 1.680.000

- Distribusi dari penerimaan Rp 1.680.000 adalah:

1. Porsi angsuran pokok = (2.500.000:2.800.000) x 1.680.000

= Rp 1.500.000

2. Porsi bagi hasil pendapatan bank = (300.000 : 2.800.000) x 1.680.000

= Rp 180.000

Jurnal pada saat penerimaan laba bagi hasil adalah:

Kas Rp 180.000

Pendapatan bagi hasil mudharabah Rp 180.000

Jurnal pada saat penerimaan angsuran adalah:

Kas Rp 1.500.000

Pembiayaan mudharabah Rp 1.500.000

Dan seterusnya.
Pengukuran pendapatan musyarakah tidak jauh berbeda dengan pendapatan

mudharabah, karena pada prinsipnya keduanya menghasilkan pendapatan bagi hasil,

yang membedakan hanyalah pada besarnya prosentase modal yang diserahkan kepada

pihak mudharib/mitra. Sehingga dari sisi penentuan nisbah pada waktu akad maupun

perhitungan pendapatan bagi hasilnya sama dengan pendapatan mudharabah. Jika

dicontohkan sama seperti perhitungan di atas, maka jurnalnya adalah sebagai berikut:

Realisasi penjualan I:

Jurnal pada saat penerimaan laba bagi hasil adalah:

Kas Rp 348.000

Pendapatan bagi hasil musyarakah Rp 348.000

Jurnal pada saat penerimaan angsuran adalah:

Kas Rp 2.900.000

Pembiayaan musyarakah Rp 2.900.000

Realisasi penjualan II

Jurnal pada saat penerimaan laba bagi hasil adalah:

Kas Rp 180.000

Pendapatan bagi hasil musyarakah Rp 180.000

Jurnal pada saat penerimaan angsuran adalah:

Kas Rp 1.500.000

Pembiayaan musyarakah Rp 1.500.000

Dan seterusnya.
Pendapatan bagi hasil pada PT BMI diukur sebesar jumlah kas yang diterima

atau yang akan diterima oleh bank. Hal ini sesuai dengan kriteria pengukuran

pendapatan secara umum yang terdapat pada PSAK No. 23 tentang pendapatan.

Selain itu, pengukuran pendapatan bagi hasil secara khusus juga telah ditetapkan

dalam PSAK No. 59 yaitu dinilai sebesar proporsi yang telah disepakati dalam akad.

Dengan demikian, pengukuran pendapatan bagi hasil pada PT BMI telah

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam SAK baik yang

menyangkut pendapatan secara umum atau pendapatan bagi hasil yang telah diatur

secara khusus sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

4.2.3.4 Penyajian

Laporan keuangan yang disajikan oleh Bank Muamalat Indonesia terdiri dari

komponen neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas,

laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana zakat,

infak, dan shadaqah, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan, dan

catatan atas laporan keuangan. Laporan laba rugi salah satunya menyajikan

pendapatan bagi hasil yang terdiri dari pendapatan mudharabah dan pendapatan

musyarakah pada perkiraan pendapatan operasional utama, disamping perkiraan

pendapatan dan beban lainnya.

Laporan keuangan PT Bank Muamalat Indonesia diterbitkan tiap triwulan.

Dalam pembahasan ini, penulis menyajikan laporan keuangan khususnya laporan

perhitungan laba rugi periode September 2006 dan 2005 yang melaporkan

perhitungan laba rugi dari bulan Januari hingga September. Hal ini karena penulis

ingin mengambil penyajian laporan terbaru untuk dibandingkan dengan periode


sebelumnya mengingat laporan tahunan terbaru untuk periode 2006 belum disajikan

oleh PT BMI.

Laporan keuangan khususnya laporan perhitungan laba rugi PT Bank

Muamalat Indonesia disajikan sebagai berikut:

Tabel III
PT BANK MUAMALAT INDONESIA, TBK
LAPORAN PERHITUNGAN LABA/RUGI
Periode Januari s.d September 2006 dan 2005
(Dalam Jutaan Rupiah)

NO POS-POS 2006 2005


I PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL
A. Pendapatan Dari Penyaluran Dana
1. Dari Pihak Ketiga Bukan Bank
a. Pendapatan Margin Murabahah 356,341 244,974
b. Pendapatan Bersih Salam Paralel - -
c. Pendapatan Bersih Isthisna Paralel
i. Pendapatan Isthisna 5,297 6,077
ii. Harga Pokok Isthisna - -
d. Pendapatan Sewa Ijarah 25,668 24,769
e. Pendapatan Bagi Hasil Mudharabah 291,008 229,770
f. Pendapatan Bagi Hasil Musyarakah 52,683 47,797
g. Pendapatan Dari Penyertaan - -
h. Lainnya 42,364 43,297
2. Dari Bank Indonesia
a. Bonus SWBI 19,632 8,840
b. Lainnya - -
3. Dari Bank-bank Lain Di Indonesia
a. Bonus Dari Bank Syariah Lain 9 18
b. Pendapatan Bagi Hasil Mudharabah
i. Tabungan Mudharabah - -
ii. Deposito Mudharabah 600 290
iii. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank 1,956 1,851
iv. Lainnya 61 131
c. Lainnya 4,577 1,871
B. Pendapatan Operasional Lainnya
1. Jasa Investasi Terikat (Mudharabah Muqayyada) 667 1,067
2. Jasa Layanan 21,825 11,353
3. Pendapatan Dari Transaksi Valuta Asing 5 100
4. Koreksi PPAP - -
5. Koreksi Penyisihan Penghapusan Transaksi
Rekening Administratif - -
6. Lainnya 2,147 762
II Bagi Hasil Untuk Investor Dana Investasi Tidak
Terikat - -
1. Pihak Ketiga Bukan Bank
a. Tabungan Mudharabah 103,393 71,238
b. Deposito Mudharabah 293,253 170,229
c. Lainnya 22,601 21,622
2. Bank Indonesia
a. FPJPS Syariah - -
b. Lainnya - -
3. Bank-bank Lain di Indonesia dan Diluar
Indonesia
a. Tabungan Mudharabah - -
b. Deposito Mudharabah 1,675 304
c. Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank 55 -
d. Lainnya - 45
III Pendapatan Operasional Setelah Distribusi Bagi
Hasil Untuk Investor Dana Investasi Tidak Terikat
(I - II) 403,863 359,529
IV Beban (Pendapatan) Penyisihan Penghapusan
Aktiva 26,966 40,098
V Beban (Pendapatan) Estimasi Kerugian
Komitmen dan Kontijensi - -
VI Beban Operasional Lainnya
A. Beban Bonus Titipan Wadiah 1,572 742
B. Beban Administrasi dan Umum 48,276 58,086
C. Beban Personalia 59,638 54,017
D. Beban Penurunan Nilai Surat Berharga - -
E. Beban Transaksi Valuta Asing - 16
F. Beban Promosi 32,603 16,959
G. Beban Lainnya 89,981 62,298
VII Laba (Rugi) Operasional 144,827 127,313
Pendapatan Dan Beban Non Operasional
VIII Pendapatan Non Operasional 224 4,457
IX Beban Non Operasional 12,606 5,861
X Laba (Rugi) Non Operasioal (12,382) (1,404)
XI Laba (Rugi) Tahun Berjalan 132,445 125,909
XII Taksiran Pajak Penghasilan - -
XIII Jumlah Laba (Rugi) 132,445 125,909

Sumber: www.muamalatbank.com
Pendapatan operasional dari penyaluran dana merupakan pendapatan utama

pada Bank Muamalat karena memberikan proporsi pendapatan yang lebih besar..

Pendapatan operasional ini merupakan pendapatan yang diperoleh dari penyaluran

dana nasabah oleh bank kepada pihak ketiga melalui berbagai produknya.

Pendapatan ini merupakan pendapatan yang nantinya akan dibagihasilkan kembali

dengan nasabah penyimpan dana. Oleh karena itu, pendapatan dari transaksi-transaksi

ini diklasifikasikan kepada pendapatan dari penyaluran dana.

Pendapatan operasional lainnya merupakan pendapatan yang diperoleh Bank

Muamalat Indonesia yang tidak terkait dengan penyaluran dan penggunaan dana yang

disimpan oleh nasabah. Pendapatan ini diperoleh bank berkaitan dengan kegiatan

bank dalam operasionalisasi lainnya yang masih berhubungan dengan aktivitas

perbankan. Pendapatan ini murni merupakan hak bagi Bank Muamalat karena tidak

dibagihasilkan kembali kepada nasabah penyimpan dana.

Pendapatan operasi utama terdiri dari pendapatan dari transaksi murabahah,

istishna, dan pendapatan bagi hasil dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah.

Pendapatan margin murabahah dan istishna diakui pada saat terjadinya, apabila akad

berakhir pada periode laporan keuangan yang sama; atau selama periode akad secara

proporsional apabila akad melampaui suatu periode laporan keuangan. Pendapatan

dari transaksi murabahah diakui dengan menggunaan metode akrual. Pendapatan dari

transaksi istishna dan bagi hasil dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah

diakui pada saat angsuran diterima secara tunai.

Pendapatan operasi utama lainnya terdiri dari pendapatan dari Sertifikat

Wadiah Bank Indonesia, pendapatan bagi hasil surat berharga syariah dan imbalan
dari hiwalah. Pendapatan operasi utama lainnya diakui pada saat pendapatan

diterima.

Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat merupakan bagian bagi

hasil milik pihak ketiga yang didasarkan pada prinsip mudharabah mutlaqah atas

hasil pengelolaan dana mereka oleh bank. Sistem bagi hasil bank dengan pemilik

dana menggunakan revenue sharing.

Jumlah pendapatan margin dan bagi hasil atas pembiayaan yang diberikan dan

dari aktiva produktif lainnya yang akan dibagikan kepada nasabah penyimpan dana

dan bank, dihitung secara proporsional sesuai dengan alokasi dana nasabah dan bank

yang dipakai dalam pembiayaan yang diberikan dan aktiva produktif lainnya yang

disalurkan. Dari jumlah pendapatan margin dan bagi hasil yang tersedia untuk

nasabah tersebut kemudian dibagihasilkan ke nasabah penabung dan bank sebagai

mudharib sesuai dengan porsi nisbah bagi hasil yang telah disepakati bersama

sebelumnya. Sedangkan untuk nasabah giro diberikan bonus berdasarkan

kebijaksanaan bank. Pendapatan margin dan bagi hasil atas pembiayaan yang

diberikan dan aktiva produktif lainnya yang memakai dana bank seluruhnya menjadi

milik bank, termasuk pendapatan dari transaksi bank berbasis imbalan. Pendapatan

provisi dan komisi yang berkaitan langsung dengan kegiatan pembiayaan diakui

sebagai pendapatan pada saat diterima.

PT Bank Muamalat Indonesia telah menyajikan perkiraan pendapatan bagi

hasil baik yang diterima dari pembiayaan mudharabah maupun musyarakah dengan

mengacu pada PSAK No. 59 tentang akuntansi perbankan syariah. Komponen-

komponen yang disajikan dalam laporan keuangannya telah sesuai dengan kriteria-
kriteria yang telah ditetapkan IAI dalam SAK 59 yaitu neraca, laporan laba rugi,

laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan perubahan dana investasi terikat,

laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak, dan shadaqah, laporan sumber

dan penggunaan dana qardhul hasan, dan catatan atas laporan keuangan. Penyajian

laporan perhitungan laba rugi ini tidak lagi mengacu pada ketentuan PSAK No. 31

tentang akuntansi perbankan melainkan sesuai dengan PSAK No. 59 tentang

akuntansi bank syariah.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis laksanakan pada PT Bank

Muamalat Indonesia Tbk cabang Malang, maka penulis dapat mengambil kesimpulan

sebagai berikut:

PT Bank Muamalat Indonesia sebagai salah satu bank syariah yang berada di

Indonesia di dalam menjalankan kegiatan operasionalnya mempunyai dua fungsi

yaitu berperan sebagai lembaga penyimpanan dana dan sebagai lembaga penyaluran

dana kepada masyarakat. Kegiatan utamanya adalah melakukan penghimpunan dana

dari masyarakat dan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada masyarakat

yang membutuhkan. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga penyaluran

dana, PT BMI mempunyai beberapa produk, di antaranya adalah pembiayaan yang

berdasarkan pada prinsip bagi hasil yaitu mudharabah dan musyarakah.

Pelaksanaan pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang terkait dengan

perolehan pendapatan pada PT BMI masih banyak yang belum sesuai dengan prinsip-

prinsip Islam. Hal tersebut terlihat dalam beberapa hal yang penulis temukan, di
antaranya adalah terkait dengan prinsip yadul amanah, biaya pengelolaan, pembagian

keuntungan dan memudharabahkan kembali harta mudharabah.

PT BMI akan menggunakan barang jaminan mudharib sebagai ganti

pembiayaan yang tidak dapat dikembalikan oleh mudharib sekalipun hal tersebut

bukan diakibatkan oleh kelalaian mudharib. Hal ini bertentangan dengan konsep

yadul amanah dalam mudharabah. Selain itu, PT BMI mempergunakan metode

revenue sharing dalam memperhitungkan bagi hasil yang akan diterima dari

mudharib. Penggunaan metode ini mengakibatkan shahibul maal (PT BMI) tidak ikut

serta menanggung biaya operasional yang dikeluarkan oleh mudharib untuk

mengelola harta mudharabah. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan konsep

mudharabah dalam Islam yang mengharuskan shahibul maal ikut serta menanggung

biaya yang dikeluarkan atas pengelolaan harta mudharabah. Dalam hal pembagian

keuntungan, PT BMI menerima keuntungan yang dibagihasilkan disertai dengan

pengembalian modal secara angsuran setiap bulan. Keuntungan ini seharusnya

diterima oleh bank ketika pembiayaan telah selesai dan modal telah dikembalikan

seluruhnya oleh mudharib. Selanjutnya, pembiayaan mudharabah oleh bank syariah

dikategorikan sebagai kegiatan yang melampaui batas karena jika memudharabahkan

kembali harta mudharabah, maka pemilik dana awal tidak boleh menanggung

kerugian baik yang diakibatkan oleh kelalaian pihak mudharib atau tidak.

Pendapatan bagi hasil yang diterima oleh PT Bank Muamalat Indonesia

adalah pendapatan dari transaksi normal/transaksi utama perusahaan yaitu diperoleh

dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Pendapatan yang diterima adalah

dalam bentuk sejumlah kas sesuai dengan proporsi yang telah disepakati kedua belah
pihak. Apabila mengacu pada definisi pendapatan oleh SAK, maka pendapatan bagi

hasil yang diterima oleh PT Bank Muamalat Indonesia memenuhi kriteria definisi

pendapatan.

PT BMI mengakui keuntungan yang diperoleh sebagai pendapatan pada saat

mudharib telah menyerahkan kas yang merupakan hak PT BMI sesuai dengan

proporsi yang telah disepakati. Unsur ketidakpastian atas keberhasilan pembiayaan

tersebut merupakan alasan PT BMI mempergunakan metode cash basis untuk

mengakui pendapatannya. Di sisi lain, Standar Akuntansi Keuangan juga mengatur

bahwa pendapatan bagi hasil diakui pada saat kas telah diterima (cash basis),

sehingga pengakuan pendapatan oleh PT BMI sesuai dengan SAK.

Pendapatan bagi hasil diukur berdasarkan sejumlah kas yang menjadi hak PT

Bank Muamalat Indonesia. Jumlah rupiah pendapatan bagi hasil tersebut dipengaruhi

oleh nisbah (proporsi) pembagian bagi hasil dan jumlah pendapatan yang diperoleh

mudharib. Pendapatan bagi hasil disajikan dalam laporan keuangan pada laporan

laba rugi dan dimasukkan dalam pos pendapatan operasional utama. Pengukuran dan

penyajian pendapatan bagi hasil ini telah sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan dalam Standar Akuntansi Keuangan.

5.2 Saran

Fenomena berkembangnya bank syariah di negeri ini merupakan suatu hal

yang patut disyukuri. Kehadiran bank-bank tersebut setidaknya mampu memberikan

jalan keluar bagi mereka yang bermaksud untuk menjalankan kegiatan muamalah
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kesadaran masyarakat untuk kembali kepada

syariah harus didukung dengan baik dan metode yang ditempuh untuk merealisasikan

hal tersebut pun harus metode yang sesuai dengan syariah Islam.

Dalam pelaksanaan operasionalnya, Bank Muamalat Indonesia memang

belum seratus persen sesuai dengan konsep muamalah dalam Islam. Walaupun

demikian usaha Bank Muamalat untuk melaksanakan sebagian kecil dari sektor

ekonomi yang berdasarkan Islam haruslah dihargai. Untuk itu, dengan tidak

mengurangi semangat dalam berekonomi secara Islam, penulis bermaksud untuk

memberikan masukan berupa saran kepada Bank Muamalat Indonesia yaitu:

1. PT Bank Muamalat Indonesia hendaknya tetap konsisten dalam menyesuaikan

transaksi-transaksinya dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam

syariah Islam dengan melaksanakan kegiatan yang hanya sesuai dengan

syariah Islam, mengingat komitmen awal dari Bank Muamalat Indonesia

adalah menjadi bank pertama yang murni syariah.

2. Ikut serta dalam mengembangkan aturan-aturan terkait perbankan syariah

serta selalu mengikuti perkembangan aturan terbaru khususnya mengenai

praktik akuntansi perbankan syariah.

3. Tidak mengutamakan keuntungan semata, tapi ikut menanggung segala resiko

yang terjadi akibat pembiayaan mudharabah sehingga kerugian tidak hanya

ditanggung oleh mudharib. Inilah yang membedakan antara bank syariah

dengan bank konvensional yang hanya berorientasi pada laba.

4. Akad bagi hasil hendaknya tidak merugikan pihak mudharib dari sisi

pembagian keuntungan. Digunakannya metode revenue sharing dalam


pembagian keuntungan mengakibatkan mudharib menanggung sendiri biaya

operasional terkait pengelolaan pembiayaan mudharabah. Untuk itu, penulis

menyarankan agar PT BMI menggunakan metode profit and loss sharing

untuk seluruh pembiayaan mudharabah, dalam penerimaan pendapatannya

sehingga pembiayaan tersebut benar-benar membantu pelaksanaan usaha

secara riil yang dapat menguntungkan kedua belah pihak atas dasar

kesepakatan dan kerelaan bersama. Agar bank tetap mendapatkan keuntungan

yang diharapkan, maka bank bisa membuat kesepakatan untuk meningkatkan

besarnya proporsi bagi hasil yang akan diterima dengan persetujuan dari pihak

mudharib.

5. Apabila bank ingin memberikan pembiayaan mudharabah, yang merupakan

salah satu fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, maka penulis

menyarankan untuk menggunakan akad mudharabah muqayyadah, di mana

bank bertindak sebagai agen investasi antara shahibul maal (pihak pemilik

dana) dan mudharib (pihak yang membutuhkan/pengelola dana) sehingga

dalam hal ini, bank tidak melakukan mudharabah atas mudharabah.

6. Jika Bank Muamalat Indonesia ingin melaksanakan kegiatan operasionalnya

seratus persen sesuai dengan syariah Islam, maka yang dilakukan tidak hanya

semata-mata memperbaiki sistem ekonomi yang ada menjadi sistem ekonomi

Islam, melainkan ikut serta mengusahakan penerapan syariah Islam secara

komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan yang akan mendukung

terlaksananya perekonomian Islami.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Kasany, Alauddin.1982. Bada’iu as-Shanaiy fi Tartib as Syara’iy, Beirut: Daar al-

Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qudamah, Ibnu. 1985. Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal as

Syaibany, Beirut: Daar al-Ihya at-Turath al-Arabiy.

An-Nabhani, Taqiyyuddin. 1996. Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,

Surabaya:Risalah Gusti.

Anonimous. Akuntansi Bank Syariah dan Bank Konvensional : Serupa Tetapi

Tak Sama, 2000, No 7 th I Maret, Media Akuntansi, hlm. 68.

Antonio, M. Syafi’i. 2004. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Cetakan kedelapan,

Jakarta:Gema Insani Press.

Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen Penelitian, Cetakan kedua, Jakarta: Rineka

Cipta.

Atorf, Nasser. 1999. Prinsip dasar operasional perbankan syariah, produk-produk dan

tantangannya Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, II (3): iii.

Azhari, Indra. 2004. Short Course Bank Syariah, Yogyakarta: The Sharia Banking

Training Center.

Budi, Suryo S. 2003. Sistem perbankan masa depan, ”bank syariah”

Arthavidya, IV (3): 175.


Fuad al Jaar Allah, Ibnu. 2006. Syirkah al Mudharabah fi al Fiqh al Islamy,

http://www.saaid.net (diakses tanggal 25 September 2006).

http://www.muamalatbank.com (diakses tanggal 09 Januari 2007).

Ikatan Akuntan Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta:Salemba

Empat.

---------------------------------, 2003, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia,

Jakarta:Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia.

Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono. 2002. Manajemen Perbankan, Teori dan

Aplikasi, Yogyakarta:BPFE.

Muhammad. 2002. Pengantar Akuntansi Syariah, Edisi Pertama, Jakarta:Salemba

Empat.

Nasrullah. 2001, Perlakuan Akuntansi Pendapatan Bagi Hasil Pada Bank Syariah

(Studi Kasus Pada BPRS “Bhakti Haji” Bululawang Malang), Skripsi tidak

diterbitkan. Malang Fakultas Ekonomi Universitas Gajayana Malang.

Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh as Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr.

Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan, Kebijakan Moneter dan

Perbankan, Edisi Kelima, Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis, Cetakan Keenam, Bandung:CV. Alfabeta.

Warren, Carl S, James M. Reeve, Philip E. Fess, tanpa tahun, Pengantar Akuntansi,

Terjemahan oleh Aria Farahmita, Amanugrahani, dan Taufik H, 2005, Jakarta,

Salemba Empat.

Вам также может понравиться