Вы находитесь на странице: 1из 11

Permasalahan hukum

Ada kesalahan diagonasa. Diagnoasa bayi tunggal dan mati – kenyataan bayi kembar, bayi I hidup dan
bayi II mati. Dengan dingnoasa bayi tunggal dan mati, kelahiran dengan menggunakan cunam
muzaeux. Akibat yang dianggap merugikan pasien, ialah timbul luka sedalam kulit kepala masing
masing 1 cm. Apakah dengan akibat itu, peristiwa ini dari sudut hukum pidana merupakan malpraktik
dokter?
IV. ANALISIS HUKUM.
Untuk menjawab permasalahan pokok itu, dirasa perlu mencari jawaban lebih dulu dari banyak
pertanyaan, berikut:
1. Apakah penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati dapat dipandang wajar ataukah tidak? Jawaban
pertanyaan hukum ini bergantung pada: (1) wujud langkah-langkah mengobservasi atau memeriksa
pasien dan (2) fakta-fakta medis yang diperoleh sebagai dasar pertimbangan menarik diagnosa bayi
tunggal mati.
2. Dengan diagnosa bayi tunggal dan mati, apakah dipandang wajar/patut mengambil terapi
persalinan Ny. Tm dengan bantuan cunam muzaeux?
3. Apakah ada cukup indikasi medis hasil observasi dan pemeriksaan yang dipandang telah patut
untuk menggunakan cara/alat lain in casu USG?
4. Apakah upaya menolong persalinan Ny. Tm dengan bantuan alat cunam muzaeux dapat dipandang
sebagai upaya yang luar biasa dalam keadaan daya - paksa (overmacht) demi untuk menyelamatkan
jiwa ibu?
5. Apakah kematian bayi II sebagai akibat (causaal verband) dari penanganan medis yang dilakukan
tim medis/jaga RSSA?
7. Apakah dua luka sedalam kulit kepala bayi hidup dapat dipandang sebagai luka yang
mendatangkan penyakit (ziekte) atau luka yang menghalangi dalam menjalankan pekerjaan atau
jabatan untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 360 ayat 2 KUHP?.
Analisis kasus ini ditujukan untuk menjawab 7 pertanyaan hukum tersebut, dalam rangka menjawab
pertanayaan pokok ialah apakah telah terjadi malpraktik pidana?
1. Permasalahan Hukum yang Pertama.
Apakah penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati dapat dipandang patut / wajar? Jawaban
permasalahan ini bergantung sepenuhnya pada 2 hal.
a. Pertama, tentang sejauh mana ketentuan atau norma-norma kedokteran dalam hal prosedure
penanganan (standar profesi dan standar prosedur operasional) telah diikuti dan dijalankan,
khususnya prosedur penanganan untuk mendapatkan fakta-fakta medis pasien sebagai bahan untuk
menarik diagnosa bayi tunggal dan mati?
b. Kedua, apakah fakta-fakta medis yang ada telah cukup dipandang patut dan wajar dan dapat
digunakan sebagai indikator medis yang dijadikan bahan / dasar pertimbangan dalam hal menarik
diagnosa bayi tunggal dan mati?
Baik prosedurnya maupun fakta-fakta medis yang dijadikan dasar analisis/pertimbangan medis saling
berhubungan, tidak terpisahkan. Maksudnya, ialah apabila: (1) prosedur penanganan yang in casu
mengobservasi atau melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan fakta-fakta medis pasien sebelum
penarikan diagnosa, telah dijalankan menurut prosedur yang benar, dan (2) fakta-fakta medis yang
dijadikan dasar pijakan dalam hal menarik diagnosa telah benar dan wajar, maka tindakan menarik
diagnosa bayi tunggal dan mati telah dianggap wajar/patut dan benar pula, walaupun pada
kenyataannya kemudian (setelah pertolongan medis) diagnosa bayi tunggal salah, dan bayi mati
adalah benar.
Pertimbangannya ialah, dari sudut pandang ilmu kedokteran khususnya kebidanan, bahwa “baik dari
sudut sesuatu cara/ prosedur maupun alat yang digunakan tidak dapat menjamin 100 % ketepatan
diagnosa terhadap keadaan kandungan bayi kembar seorang ibu”. Banyak faktor yang sangat
berpengaruh baik dari sudut prosedurnya, alatnya dan keadaan-keadaan khusus yang ada pada
kandungan ibu tersebut maupun situasi dan kodisi saat observasi dilakukan. Jadi dalam pandangan
ilmu kedokteran, salah diagnosa dapat dipandang wajar sepanjang prosedur pemeriksaan atau
observasi dalam hal mendapatkan fakta-fakta medis telah benar, dan fakta-fakta medis yang
dijadikan dasar penilian juga benar. Seperti dikatakan oleh Oemar Seno Aji, “…, bahwa suatu
diagnosis dan terapi xang kurang benar tidak demikian saja dipertanggungjawabkan kepada dokter
yang bersangkutan, apabila dokter tersebut dengan segala kemampuan yang normal yang ada
padanya dan mengikuti “zorgvuldigheid” yang diperlukan.
Pandangan kedokteran ini sesuai dengan padangan hukum pidana ialah, kesalahan diagnosa atau
kesalahan terapi atau salah diagnosa yang sekaligus salah terapi tidak membeban
pertanggungjawaban pidana sepanjang tidak berakibat kematian atau luka-luka sebagaimana
terdapat dalam UU (KUHP). Titik berat sifat melawan hukumnya perbuatan, bukan semata-mata pada
perbuatan in casu tingkah laku observasi/ pemeriksaannya atau diagnosanya, akan tetapi bergantung
pada akibat, bukan pada kesalahan diagnosa atau salah terapi. Dari sudut hukum pidana, penilaian
sifat melawan hukumnya perbuatan dalam culpa lata medis harus dimulai dari akibat kematian atau
luka (harus luka yuridis), baru kemudian menilai pada tingkah laku medis dalam mengobservasi
(apakah langkah-langkahnya patut disalahkan?) dan diagnosanya.
Akibat tidaklah berdiri sendiri melainkan kumulatif dengan sal`h prosedur / tidak wajarnya prosedur
yang menghasilkan fakta-fakta yang salah. Salah fakta dapat menyebabkan salah diagnosa dan salah
terapi. Pandangan hukum terhadap malpraktik kedokteran tidaklah cukup semata-mata dari sudut
akibat, tetapi menyeluruh dengan mempertimbangkan pula pada langkah-langkah dan sikap batin
dokter sebelum menarik diagnosa dan melakukan tindakan medisnya. Pada malpraktik kedokteran
selalu harus ada hubungan antara sikap batin yang dipersalahkan dengan tindakan medis yang
diambilnya, beserta timbulnya akibat medis yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien.
Oleh karena itulah, maka permasalahan yang pertama ini membahas dan menilai tentang semata-
mata prosedur observasi/ pemeriksaan dan fakta-fakta medis yang didapatnya, dan belum masuk
pada permasalahan pandangan hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana in casu
terhadap akibat perbuatan atas suatu culpa lata medis. Walaupun demikian, dalam bahasan
terhadap permasalahan yang pertama ini dapat digunakan sebagai landasan dan pijakan, karena ada
hubungan yang erat dengan beberapa jawaban dari permasalahan berikutnya, khususnya
permasalahan yang kedua., serta ada hubungan pula dengan jawaban atas permasalahan pokok
hukumnya.
Studi kasus hukum ini akan mencoba memberikan jawaban hukum sedetail mungkin pada setiap sub
permasalahan hukum yang telah ditetapkan, yang maksudnya adalah: (a) dari sudut pandang
manapun - baik dari sudut ilmu kedokteran/ kebidanan, maupun dari sudut ilmu hukum dan norma
hukum (pidana) dan sekecil apapun, dapat diungkap tentang kejelasan untuk menerangkan tentang
apakah patut atau tidaknya kasus bayi Ny. Tm ini diangkat sebagai kasus hukum pidana?. Tinjauan
secara detail ini juga dimaksudkan ialah (b) untuk menghidari unsur-unsur non juridis (seperti emosi
publik) dan motivasi pribadi yang tidak patut yang akan mempengaruhi proses penegakan hukum
secara benar dan transparan. Dalam praktik hukum haruslah dihindari tekanan emosional dalam
proses penanganan suatu perkara, agar tidak terkesan memforsir /memaksakan diri. Satu-satunya
landasan para praktisi hukum dalam menjalankan norma hukum adalah hukum dan fakta-fakta
hukum yang ada.
a. Hal yang Pertama, Tentang Prosedur/Langkah-langkah.
Tentang kronologis peristiwa, telah digambarkan langkah-langkah perlakuan penanganan medis
terhadap Ny. Tm baik oleh perorangan maupun bersama, yang untuk singkatnya ialah:
1) Langkah Awal, yang antara lain menanyakan tentang identitas dan tujuan kedatangan Ny. Tm;
2) Langkah anamnesis, al menanyakan tentang riwayat: perkawinan, haid, penyakit ibu dan keluarga,
kebiasaan, riwayat persalinan sebelumnya;
3) Langkah pemeriksaan Umum, yang pada intinya melakukan pemeriksaan terhadap penyakit/sakit
pada umumnya, al.: tipe badan, tinggi dan berat badan, mulut, tenggorokan, kondisi jantung dan
paru, tekanan darah dll;
4) Pemeriksaan Khusus (kebidanan), dengan langkah khususnya terhadap kehamilan diatas 20
minggu (in casu 39-40 minggu), telah dilakukan (a) pemeriksaan inspeksi / pengamatan luar al.
memeriksa tinggi rahim (b) pemeriksaan palpasi (melalui perabaan) untuk mendapatkan tinggi
fundus/perut, uteri; letak dan keadaan uterus; (c) auskultasi (memeriksa frekuensi denyut jantung
janin dengan doppler dan memeriksa panggul);
5) Pemeriksaan tambahan, dengan pemeriksaan darah lengkap, pengukuran panggul dengan jari.
6) Membuat kesimpulan, menarik diagnosa.
Langkah-langkah yang telah dilakukan diatas, telah sesuai standar prosedur operasional (protap)
sebagaimana dibenarkan oleh ahli kedokteran /kebidanan Universitas Brawijaya yakni Prof. DR.
Soetomo Soewarto, SpOG. Langkah-langkah pelayanan medis tersebut telah sesuai pula dengan
literatur yang menjadi pegangan para dokter dan bidan dalam penanganan persalinan.
Jadi dalam hal prosedur penanganan terhadap bayi Ny. Tm dalam hal menarik diagnosa bayi tunggal
mati, telah benar sesuai dengan standar prosedur operasional yang pada umumnya berlaku dalam
praktik kedokteran/kebidanan, artinya tidak ada sesuatu langkah yang salah atau dilampaui. Oleh
karena itu dalam perlakuan pada tahap pemeriksaan untuk mendapatkan fakta-fakta medis telah
dijalankan dengan benar. Artinya pada tahap ini tidak terdapat culpa mengenai langkah-langkah.
Karena langkah-langkah telah benar. Tidak mungkin ada culpa pada langkah, dalam langkah yang
pada kenyataannya benar.
b. Hal yang Kedua, tentang Fakta-fakta Medis.
Fakta-fakta medis yang didapat hasil dari langkah-langkah pemeriksaan dijadikan dasar
pertimbangan dalam hal Tim Medis menarik diagnosa bayi tunggal dan mati, ialah:
 inpartu G3 P2002;
 hamil ketiga, dan tidak pernah keguguran;
 tinggi rahim 34 cm.
 merasakan hanya ada 2 bagian besar janin saja.
 usia kehamilan 39-40 minggu;
 dalam fase akan melahirkan
 ketuban telah pecah;
 tali pusat keluar dan sudah tidak berdenyut;
 tidak terdengar detak jantung bayi;
 tidak pernah kelainan kehamilan;
 keterangan Ibu/pasien bahwa sejak pk 24.00 tidak lagi merasakan gerakan janin dalam rahimnya.
Dari sekian fakta-fakta medis tersebut diatas, fakta medis yang paling relevan sebagai dasar
penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati, analisisnya berikut ini.
1) Fakta tinggi rahim 34 cm. Dasar pertimbangan medisnya ialah dari sudut ilmu
kedokteran/kebidanan, mengenai ukuran CM tinggi rahim bagi ibu yang mengandung janin tunggal
normal setelah umur 20 minggu adalah mengikuti umur minggu kandungan, yang artinya jika umur
janin 28 minggu - maka tinggi rahim + 28 cm; dan pada umur 36 minggu – tinggi rahim 36 +/- 2 cm.
Jadi ukuran cm-nya akan mengikuti jumlah minggu usia kandungan ibu. Sedangkan dalam kasus ini
dalam usia janin 39 – 40 minggu dengan tinggi rahim hanya 34 cm, adalah benar untuk janin tunggal
normal. Sedangkan jika janin kembar dengan masa kehamilan 39 – 40 minggu seharusnya tinggi
rahim diatas tinggi rahim dengan kandungan janin tunggal normal, artinya seharusnya diatas 38 cm.
Pada kenyataanya tinggi rahim Ny. Tm hanya 34 cm saja. Oleh sebab itu tinggi rahim 34 cm ini
digunakan sebagai dasar penilaian bayi tunggal adalah wajar dan patut.
2) Fakta medis merasakan hanya ada 2 bagian besar janin saja. Apabila dalam rahim terdapat bayi
kembar normal seharusnya dalam rabaan, terasa setidaknya ada 3 (tiga) bagian besar janin (misalnya
dua kepala satu bokong, atau dua bokong satu kepala). Apabila dalam rabaan terasa hanya ada 2
bagian besar janin saja, keadaan itu sebagai indikator bahwa bayi dalam rahim adalah bayi tunggal.
Apabila janin memang kembar dapat diraba setidak-tidaknya ada 3 bagian besar janin. Tetapi dalam
kasus ini teraba hanya ada 2 bagian janin saja, hal ini wajar karena poisisi kedua janin intrauterin
dengan berat/besar bayi yang berbeda, yang kecil dihimpit oleh janin yang besar.
3) Fakta medis tidak pernah kelainan kehamilan. Fakta medis ini memperkuat diagnosa bahwa
kehamilan ibu Tm tidak ada kelainan in casu janin kembar, dan lebih-lebih lagi dengan janin kembar
posisi intrauterin yang sangat jarang terjadi (+ 0,6 % dari kehamilan kembar)
4) Fakta tali pusat keluar dan tidak berdenyut. Disini ada 2 fakta medis, ialah (1) tali pusat keluar dan
(2) tidak berdenyut. Fakta-fakta medis tersebut diatas ditambah dengan dua fakta medis ini,
memperkuat sangkaan atau prediksi sehingga menarik diagnosa bayi tunggal dan mati. Tali pusat
keluar adalah wajar diprediksi milik bayi tunggal dan mati, karena tidak terdengar detak jantung bayi,
yang diperkuat oleh keterangan ibu bahwa sejak pukul 24.00 sudah tidak lagi merasakan gerakan
janin. Hal ini tertulis dalam buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal hal.
M-83. Juga buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal hal 324. Sesuai pula
dengan Standar Prosedur Operasional RSSA tentang Tali Pusat Tumbung. Apabila ada janin hidup
seharusnya dapat didengar detak jantung janin, yang dengan alat doppler akan terdeteksi.
5) Fakta tidak terdengar detak jantung, sesuai dengan tali pusat tumbung tidak berdenyut. Fakta-
fakta medis ini adalah indikator kuat yang menandakan / memastikan bahwa bayi dalam kandungan
telah mati.
6) Disamping itu postur tubuh ibu gemuk (berat 80 kg dan tinggi 150 cm) dari sudut kedokteran
adalah merupakan faktor kesulitan pula dalam mendiaganosa kandungan.
Atas dasar semua fakta medis tersebut diatas, satu pun tiada yang menandakan bahwa bayi/janin
dalam kandungan adalah kembar, melainkan sebaliknya adalah tunggal dan mati. Oleh karena itu
adalah wajar diagnosa yang ditarik bahwa bayi tunggal dan mati. Apabila dokter lain menilai fakta-
fakta medis yang ada seperti diurai diatas dipastikan akan menarik diagnosa bayi tunggal dan mati
pula, sama dengan yang dilakukan tim medis RSSA.
Apabila penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta medis
hasil dari analisis retrospektif, maka fakta-fakta medis hasil analisis retrospektif ini bersesuaian
bahkan menunjang (hubungan positif) terhadap diagnosa bayi tunggal dan mati. Fakta-fakta medis
sebagai indikator bayi tunggal dan mati yang didapatkan dari analisis retrospektif adalah sebagai
berikut:
1) Posisi kedua janin dalam rahim : intrauterin, ialah bayi I hidup presentasi kepala dengan posisi
dibawah dihimpit bayi II mati; dan bayi II mati presentasi bokong menghimpit bayi I hidup – dengan
tali pusat tumbung dan tidak berdenyut.
2) Berat (besarnya) bayi I hidup hanya 1800 gram (sangat kecil – abnormal) dengan posisinya
terhimpit pula sedangkan bayi II mati 2500 gram (lebih besar).
Dua fakta medis tersebut memperkuat diagnosa bayi tunggal dan mati. Karena walaupun bayi I
hidup, dari posisinya dibawah terhimpit bayi II yang mati, maka sangat wajar/patut tidak dapat
teraba letak bayi I hidup dan tidak terdeteksi detak jantung bayi I hidup tersebut.
Berbagai literatur ilmu kedokteran/kebidanan menyatakan yang pada intinya, bahwa dalam hal bayi
kembar intrauterin dengan selisih berat bayi yang berbeda (kumulatif), yang dapat digunakan sebagai
alasan pembenar dan penguat terhadap diagnosa bayi tunggal dalam kasus ini, dapat dirujuk al
sebagai berikut:
 Prof. DR. Sarwono, SpOG dalam buku Ilmu Kebidanan, yang menyatakan bahwa: kemungkinan
kejadian bayi kembar dengan posisi dalam rahim seperti kehamilan ibu Tm kejadiannya hanya
berkisar 0,6 % saja dari seluruh kehamilan kembar”. Jadi kejadian sebagaimana kehamilan Ny. Tm ini
sangat langka, oleh karena itu wajar tim medis mendiagnosa sebagai bayi tunggal.
 Prof. DR Sarwono, SpOg, juga menyatakan bahwa untuk dapat mendeteksi secara tepat terhadap
kehamilan kembar yang normal dengan salah satu bayi berat kurang dari 2500 gram adalah hanyalah
50 % saja. Sedangkan dalam kasus ini berat bayi yang hidup hanya 1800 gram – jauh dibawah 2500
gram. Artinya tingkat ketepatan diagnosanya akan semakin rendah dari pada tingkat ketepatan rata-
rata yang disampaikan Prof Sarwono tersebut. Dengan posisi dihimpit oleh bayi II mati yang lebih
besar dan berada diatas, adalah sangat wajar untuk tidak dengan mudah dapat diditeksi keberadaan
dan letak bayi I hidup – kembarannya yang lebih kecil, karena terhalang oleh posisi bayi besar yang
menghimpit tadi. Bahwa apa yang ditulis oleh Prof. Sarwono ini merupakan bukti bahwa dalam
bidang kedokteran kesalahan diagnosa adalah hal yang bukan luar biasa.
 William Obstetrics, Chapter 30 Multifetal Fregnancy, menyatakan “Even late in pregnancy it may be
very difficult to identify twins by transabdominal palpation, especially if one twin overlies the other,
if the women is obese, or if hydramnios is present”. Dalam literatur ini juga secara jelas dinyatakan
tentang adanya kesulitan dalam hal mendiagnosa pada bayi kembar dengan posisi menumpuk dan
ditambah lagi tubuh ibu terlampau gemuk seperti Ny. Tm.
Jadi dari dua fakta medis (1) posisi kedua bayi intrauterin dan (2) berat bayi satu dengan posisi
tertindih hanya 1800 gram (tidak normal), dan yang satunya 2500 gram, ditambah lagi postur tubuh
sangat gemuk, tingkat kesulitan diagnosanya sangat tinggi. Dengan ditambah fakta-fakta medis dari
observasi dan pemeriksaan yang telah dilakukan sebagaimana tersebut diatas, maka sangat wajar
apabila tim medis RSSA menarik diagnosa bayi tunggal dan mati. Dokter lain yang setingkat dengan
para dokter yang menangani kasus ini dipastikan mengalami kesulitan yang sama dengan para dokter
ini, dan akan menarik kesimpulan yang sama pula. Doktrin hukum pidana mengenai culpa
membenarkan analisis hukum ini.
Kesimpulan bahasan permasalahan hukum pertama, ialah:
Bahwa oleh karena dalam hal pemeriksaan terhadap Ny. Tm telah dilakukan secara benar sesuai
prosedur, dan penarikan diagnosa bayi tunggal mati didasarkan pada fakta-fakta medis yang akurat
dan benar, maka penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati adalah wajar/patut dan sepenuhnya
dapat diteloransi. Oleh karena itu maka tidak ada sesuatu culpa lata dalam hal penarikan diagnosa
bayi tunggal dan mati.
2. Permasalahan Hukum yang Kedua.
Permasalahan hukum yang kedua, ialah dengan diagnosa bayi tunggal dan mati, apakah terapi
pertolongan persalinan dengan bantuan cunam muzeaux dapat dipandang wajar/patut?
Setelah menarik diagnosa bayi tunggal dan mati (yang telah dipandang wajar), kemudian
memutuskan perlakuan medis/terapi, ialah:
a. menunggu persalinan spontan;
b. observasi kondisi ibu dan kemajuan persalinan;
c. evaluasi setiap 2 jam; dan
d. pemberian keterangan dan edukasi pada ibu dan keluarganya.
Memutuskan perlakuan medis/terapi sebagaimana tersebut huruf (a) s/d (d) adalah telah benar -
sesuai dengan prosedur penanganan (Standar Prosedur Operasional RSSA / Buku IMPAC / Buku
Acuan Nasional) terhadap kehamilan dengan tali pusat tumbung yang sudah tak berdenyut dalam
kondisi seperti Ny. Tm. Pada saat memutuskan perlakuan medis tersebut, tidak ada indikasi harus
segera/memaksa untuk segera dilakukan persalinan, karena belum kala pengeluaran bayi
(pembukaan rahim baru 6 cm, yang artinya belum lengkap, dan tidak boleh dilakukan pemaksaan
kelahiran sebelum pembukaan rahim lengkap 10 cm).
Pada evaluasi pertama, dilakukan dr Ks yang berdasarkan perolehan data medis yang ada, maka dr Ks
mendiagnosa bahwa “proses persalinan berjalan dengan baik, kondisi ibu baik, pembukaan leher
rahim mencapai 8 cm (semula 6 cm). Diagnosa tetap. Direncanakan menunggu 2 jam lagi” (lihat
perkembangan berikutnya - tunggu pembukaan rahim lengkap: 10 cm).
Dua jam kemudian evaluasi ke-2 oleh dr Ks, dan berdasarkan fakta medis yang ada, dr Ks
mendiagnosa bahwa: Ibu sudah memasuki kala pengeluaran bayi (pembukaan jalan rahim sudah
lengkap 10 cm) dengan konstraksi rahim menurun, ibu dalam keadaan kelelahan, kepala janin tidak
turun. Diagnosa lain tetap.
Setelah membuat diagnosa hasil evaluasi tahap kedua, dr Ks melapor pada dr IW, yang kemudian
juga memeriksa dan membuat diagnosa yang ternyata sama dengan diagnosa dr Ks.
Fakta-fakta medis yang ada dan hasil evaluasi tahap ke-2, ialah:
a. konstraksi rahim ibu sudah menurun;
b. ibu sudah memasuki kala pengeluaran bayi – pembukaan rahim 10 cm;
c. persalinan kering (karena ketuban sudah pecah 8 jam sebelumnya);
d. keadaan ibu sudah kelelahan (telah 15 jam menderita).
Berdasarkan fakta-fakta medis tersebut diatas, maka wajar tim medis memprediksi bahwa bayi tidak
dapat lahir spontan (alami) sebagaimana yang diharapkan pada saat - kala pembukaan rahim 6 cm
pada 4 jam sebelumnya.
Apabila lama proses persalinan memanjang lagi – akan mengancam keselamatan jiwa ibu.
Berdasarkan pertimbangan itu, maka tim jaga/medis yang diketuai dr IW memutuskan bahwa
“persalinan segera dilakukan dengan bantuan “cunam muzaeux”. Sebelum dilakukan tindakan medis
pertolongan persalinan sebagaimana yang telah diputuskan, menurut prosedur RS pendidikan -
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari supervisor tim jaga yakni dr. Wo, SpOg. Maka dr.
IW segera menghubungi supervisor dengan mengemukakan kondisi si Ibu, hasil diagnosa dan
rencana perlakuan medisnya beserta alasan-alasannya yang sekaligus meminta persetujuan. Setelah
dr IW mengemukakan diagnosa dan minta persetujuan untuk menolong persalinan dengan cunam
muzaeux beserta alasan-alasananya, dr. Wo, SpOG memberikan persetujuannya.
Dalam hal ini patut dicatat fakta hukum yang penting ialah, bahwa memutuskan terapi untuk segera
menolong persalinan dengan bantuan cunam muzaeux tersebut adalah pada saat yang rawan
/mendesak – setelah fakta-fakta medis mengindikasikan bahwa persalinan tidak dapat spontan dan
akan membahayakan jiwa ibu jika proses persalinan memanjang lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat) alasan pokok untuk segera menolong persalinan
(setelah evaluasi tahap 2) dengan bantuan alat cunam muzeaux tersebut, ialah:
a. Diagnosa bayi tunggal dan mati (yang dipandang sebagai wajar/patut);
b. Fakta-fakta medis hasil evaluasi tahap 2 menunjukkan bahwa:
(1) ibu sudah memasuki kala melahirkan (karena pembukaan rahim sudah 10 cm);
(2) konstraksi rahim menurun;
(3) persalinan kering (ketuban pecah 8 jam sebelumnya);
(4) keadaan ibu sudah kelelahan.
c. Atas pertimbangan terhadap fakta-fakta medis huruf b tersebut, tim memprediksi bahwa ibu tidak
dapat melahirkan spontan, dan bila tidak segera dilakukan pertolongan persalinan – akan
membahayakan jiwa ibu.
d. Telah mendapatkan persetujuan dari dr. Wo, SpOG sebagai supervisor tim jaga (sesuai prosedur RS
pendidikan).
Jelas bahwa dari sudut padang dua hal tersebut diatas, penggunaan cunam muzaeux dianggap wajar
dan patut. Dengan begitu, terhadap akibat 2 luka 1 cm sedalam kulit kepala bayi yang semula
dianggap mati harus dianggap sebagai wajar pula. Itu dari sudut objektif.
Bagaimana dari sudut sikap batin? Dalam hal luka, memang patut disadari sebelumnya. Disini ada
sikap batin. Namun sikap batin ini tersesat pada anggapan bayi mati. Anggapan bayi mati mana
adalah wajar berdasarkan 2 alasan sebagaimana diterangkan diatas. Oleh karena itu sikap batin
terhadap luka kepala bayi hidup juga tersesat hukum (rechtsdwaling). Tersesat hukum oleh sebab
hal-hal yang menurut logika wajar dapat dibenarkan. Tersesat yang wajar termasuk hal yang sulit
dihindari. Menurut hukum pembuat melakukan perbuatan karena tersesat seperti ini, tidak dapat
dipertangungjawabkan.
Kesimpulan permasalahan hukum kedua, ialah: Upaya pertolongan persalinan Ny. Tm yang dilakukan
Tim Medis RSSA baik dilihat dari prosedurnya sebagai RS pendidikan, maupun alasan-alasannya telah
dipandang benar dan patut. Tidak ada sesuatu kurang pemikiran atau kurang penghati-hati
sebagaimana yang diharuskan. Oleh karena itu, penggunaan cunam muzaeux dalam pertolongan
dipandang benar.
3. Permasalahan Hukum Ketiga.
Apakah ada cukup indikasi medis hasil observasi dan pemeriksaan yang dipandang telah patut untuk
menggunakan cara/alat lain in casu USG? Untuk menjawab pertanyaan hukum ini, ada beberapa
yang perlu diterangkan, ialah:
a. Pertama. Agar dapat dibenarkan menggunakan suatu cara/alat misalnya USG atau CT scan
diharuskan ada indikasi medis yang membenarkan dan perlu untuk dapatnya menggunakan cara/alat
untuk tindakan medis tersebut. Bahar Azwar dalam bukunya Sang Dokter mengatakan, bahwa
“pemeriksaan canggih antara lain CT scan, MRI dan sebagainya hanya dilakukan atas indikasi yang
tepat, artinya hanya dilakukan kalau ada alasan khusus untuk melakukannya”.
Dalam hal pemeriksaan standar kebidanan (telah menggunakan alat doppler) yang dilakukan oleh 7
(tujuh) orang dokter baik sendiri-sendiri maupun secara bersama, tidak menemukan indikasi medis
apapun untuk membenarkan menggunakan cara /alat USG dalam hal mengobservasi dan memeriksa
untuk mendiagnosa keadaan kandungan Ny. Tm ini. Indikasi medis yang dibenarkan menggunakan
USG, misalnya ada denyut jantung bayi (yang mengindikasikan kehidupan janin). Tetapi tali pusat
tumbung - tidak berdenyut (yang mengindikasikan bayi mati dalam kandungan).
Dalam contoh kasus yang baru disebutkan diatas, diperlukan pemeriksaan kehamilan dengan alat
USG, karena ada dua indikasi medis yang saling bertentangan. Ratio diperlukan penggunaan alat USG
ialah untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya. Oleh karena indikasi medis untuk
menggunakan USG tidak ditemukan pada kehamilan Ny. Tm, maka langkah untuk tidak menggunakan
USG telah dipandang benar dan patut. Hal ini sesuai dengan standar prosedur operasional RSSA,
Buku IMPAC, Buku Acuan Nasional, dan Buku Panduan Praktis, yang kesemuanya tidak menyebutkan
penggunaan USG dalam pemeriksaan dan obsevasi penanganan kehamilan dengan tali pusat
tumbung.
b. Kedua, mengenai kebiasaan yang berlaku. Apabila kebiasaan yang berlaku pada umumnya dalam
hal pemeriksaan terhadap kandungan ibu di suatu RS dengan fasilitas yang ada pada umumnya RS
yang sama (in casu RS Pemerintah) tidak menggunakan USG, maka pemeriksaan dengan cara yang
pada umumnya berlaku ini dengan menghasilkan diagnosa bayi tunggal dan mati adalah dianggap
wajar dan dibenarkan pula.
c. Ketiga, penggunaan USG disamping pada kasus-kasus tertentu yang ditemukan indikasi yang
memang perlu untuk menggunakannya, juga harus dilakukan oleh dokter yang berkompeten dan ahli
untuk itu, dan tidak digunakan dalam sembarang kasus. Karena itu, dengan alasan ini juga maka
dalam penanganan kasus ini – dibenarkan untuk tidak menggunakan cara lain, karena dengan
langkah-langkah yang umumnya dijalankan pada umumnya persalinan sudahlah cukup.
d. Keempat, penggunaan USG pun tidak menjamin ketepatan diagnosa terhadap kandungan ibu bayi
kembar apabila dilakukan hanya 1 (satu) kali saja. Hanya 67 persen saja kemungkinan ketepatan
diagnosa terhadap bayi kembar dalam kandungan bila hanya dilakukan pemeriksaan satu kali saja.
Dan kemungkinan itu akan semakin rendah apabila bayi kembar tersebut (a) posisinya berhimpitan
(intrauterin) dengan (b) berat/besar bayi yang berbeda – dimana bayi yang kecil berada dibawah
dihimpit oleh bayi yang lebih besar. Lebih-lebih lagi bila postur tubuh ibu gemuk pendek –
sebagaimana pada kasus kehamilan Ny. Tm.
Kesimpulan:
Dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka pemeriksaan standar medis kedokteran yang dilakukan
Tim Medis RSSA dan mendiagnosa bayi tunggal dan mati adalah wajar/patut. Oleh karena itu dari
tinjauan sudut pandang ini juga tidak ada culpa lata medis yang membentuk pertanggungjawaban
hukum pidana terhadap akibat dua luka 1 cm sedalam kulit kepala bayi.
4. Permasalahan Hukum Keempat.
Apakah upaya menolong persalinan Ny. Tm dengan bantuan cunam muzaeux dapat dipandang
sebagai upaya luar biasa dalam keadaan daya-paksa (overmacht) untuk menyelamatkan jiwa ibu?
Dari sudut hasil analisis retrospektif, bahwa fakta medis tentang letak posisi kedua janin (intrauterin)
yang ternyata memang tidak memungkinkan ibu dapat melahirkan spontan (alami), karena bayi I
hidup tidak dapat lahir karena terhalang oleh paha bayi II mati yang berada/menindih bayi I hidup.
Dari analisis retrospektif, telah dapat diprediksi apabila pertolongan persalinan tidak segera
dilakukan dengan bantuan cunam muzeaux dan menunggu lahir spontan, maka nyawa ibu tidak
terselamatkan. Tindakan medis ini dapat dipandang sebagai tindakan dalam kedaan daya-paksa,
khususnya dalam keadaan darurat atau noodtoestand (bagian daya paksa relatif) yang terpaksa
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa ibu, yang dibenarkan dalam hukum pidana (pasal 48 KUHP).
Pertimbangan hukumnya, ialah
a. Menyelamatkan kepentingan hukum yang lebih besar ialah nyawa ibu dengan mengorbankan
kepentingan hukum yang lebih kecil ialah luka sedalam kulit kepala bayi (azas subsidiariteit)
b. Melakukan pilihan pada perbuatan yang mengandung resiko yang paling ringan (azas
proposionaliteit). Dalam keadaan demikian upaya lain yang bisa dilakukan adalah tindakan seksio
sesarea (operasi sesar). Tetapi tindakan ini jauh lebih besar risikonya dari pada dengan menggunakan
bantuan alat cunam muzeaux tersebut.
Jadi satu-satunya upaya untuk menyelamatkan nyawa ibu dalam keadaan yang demikian yang tidak
berisiko tinggi, ialah membantu kelahiran dengan tarikan cunam meazeux sebagaimana yang telah
dilakukan dalam kasus ini. Disini telah berlaku prinsip daya paksa ialah “terkorbankan kepentingan
hukum yang lebih kecil demi untuk mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar”. Dan
ternyata memang resikonya jauh lebih kecil dari pada misalnya dilakukan dengan seksio sesarea
(risiko kematian ibu). Artinya dalam hal ini juga telah berlaku azas “subsidiariteit” dalam hukum, yang
membenarkan setiap pilihan tindakan yang mengandung resiko yang paling ringan. Jadi dari analisis
retrospektif, adalah dibenarkan Tim Medis yang diketuai oleh dr. IW menolong persalinan Ny. Tm
dengan alat bantu cunam muzeaux tersebut.
5. Permasalahan Hukum Kelima.
Apakah kematian bayi II adalah akibat dari (causaal verband) penanganan Tim medis RSSA? Banyak
fakta medis yang membuktikan bahwa sebelum datang dan diterima oleh Tim Jaga/tim medis RSSA
tanggal 7-3-2004 jam 0.4.15, telah terjadi kematian bayi dalam kandungan Ibu, yang dibedakan
antara (a) fakta-fakta medis sebelum persalinan, dan (b) fakta-fakta medis setelah persalinan.
a. Fakta-fakta Medis Sebelum Ibu Melahirkan. Pada saat dilakukan obsevasi dan pemeriksaan medis
terhadap ibu – tanda-tanda / indikator kematian telah terdapat secara nyata, ialah sbb:
1) Tali pusat telah keluar dan tidak lagi berdenyut;
2) Dengan alat doppler – tidak terdengar lagi detak jantung bayi dalam rahim;
3) Keterangan Ibu bahwa sejak pukul 24.00 tidak terasa lagi gerakan bayi dalam kandungan.
b. Fakta-fakta Medis Setelah Bayi II dilahirkan. Setelah bayi II dilahirkan, maka pada jasad bayi
terdapat tanda-tanda/ indikator kematian, ialah:
1) Kulit memutih keabu-abuan;
2) Kulit mengelupas – terutama di dada;
3) Otot teraba sudah lunak;
4) Kulit teraba seperti derik;
Kesimpulan: Dari fakta-fakta medis tersebut diatas telah dapat dipastikan bahwa kematian bayi II
telah terjadi (lebih dari 8 jam) sebelum pertolongan medis dilakukan. Oleh karena itu kematian ini
tidak relevan dengan penanganan medis yang dilakukan oleh tim medis RSSA Malang.
6. Permasalahan Hukum Ke-enam.
Apakah 2 (dua) luka kepala bayi I hidup lebar 1 cm sedalam kulit kepala dapat dikualifisir sebagai luka
yuridis , luka yang dimksud dalam Pasal 360 ayat 2 KUHP?.
Sebagaimana pada analisis hukum terhadap sub permasalahan hukum pertama diatas, yang pada
dasarnya telah ditarik simpulan bahwa dalam penanganan kasus kelahiran bayi Ny. Tm tidak terjadi
culpa lata medis (hukum pidana), baik pada penarikan diagnosa maupun terapinya. Diagnosa dan
terapi dipandang benar dan patut, walaupun diagnosa salah. Maka terhadap akibat luka pada kulit
kepala bayi hidup tidak membentuk pertanggungjawaban hukum pidana.
Namun andaikata di dalam penanganan persalinan Ny. Tm dari sudut hukum pidana ada kesalahan
prosedur atau kesalahan terapi, maka jawaban dari permasalahan hukum yang ke-enam tentang
akibat luka kulit kepala bayi I hidup - barulah menjadi penting. Namun demikian, lepas dari ada atau
tidak adanya pelanggaran standar profesi dan standar prosedur dalam penanganan kasus persalinan
Ny. Tm ini, tetap luka pada kulit kepala bayi I hidup tersebut harus dinilai. Untuk menentukan kasus
ini apakah cukup dasarnya diangkat sebagai kasus malpraktik pidana dengan merujuk Pasal 360
KUHP.
Sebagaimana dalam hukum pidana, luka (letsel) yang diakibatkan oleh suatu tindakan culpa lata, ada
3 (tiga) macam, ialah:
a. luka berat (zwaar lichamelijk letsel);
b. luka yang mendatangkan penyakit (ziekte); dan
c. luka yang dapat menghalangi menjalankan pekerjaan/ jabatan untuk sementara waktu (in de
uitoefening zijner ambts beroepsbezigheden).
Dua luka pada kulit kepala bayi hidup jelas bukan luka berat. Karena tidak termasuk luka
sebagaimana yang secara limitatif telah ditentukan dalam pasal 90 KUHP. Apakah luka yang
mendatangkan penyakit? Dalam doktrin hukum, disebut tidak mendatangkan penyakit diartikan
sebagai tidak mendatangkan penyakit fisik. Atau luka tersebut tidak membawa akibat terganggunya
fungsi dalam organ tubuh orang itu . Oleh sebab itu unsur mendatangkan penyakit harus diartikan
sebagai timbulnya gangguan pada fungsi dalam organ tubuh penderita.
Bertitik tolak pada pengertian ini, apakah dari sudut ilmu kedokteran dua luka pada kulit kepala bayi
hidup dapat dinilai telah menimbulkan gangguan pada fungsi organ tubuh bayi tersebut? Dari logika
medis luka pada kulit kepala bayi I hidup, bukanlah luka yang menggangu fungsi suatu organ tubuh
bayi. Begitu juga dari sudut logika hukum, luka yang demikian belumlah cukup syaratnya untuk dapat
dianggap sebagai luka yang mendatangkan penyakit sebagaimana dikehendaki oleh pasal 360 ayat (2)
KUHP. Pandangan hukum tersebut diatas bersesuaian dengan pandangan kedokteran, yakni
kesimpulan VER yang dikeluarkan oleh RSSA atas permintaan penyidik, bahwa 2 luka sedalam kulit
kepala lebar 1 cm bukanlah luka yang mendatangkan penyakit sebagaimana maksu Pasal 360 KUHP.
Sedangkan luka jenis ketiga, yakni luka yang dapat membawa akibat terganggunya dalam
menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk semenatara waktu, dipastikan tidak relevan dengan kasus
luka pada kulit kepala bayi Ny. Tm ini. Luka jenis ketiga ini sebagai alternatif, apabila luka pada jenis
kedua tidak terpenuhi syaratnya in casu menggangu fungsi organ tubuh manusia yang terluka.
Maksudnya ialah, jika luka sedemikian rupa tidak menggangu fungsi organ tubuh manusia yang
terluka, maka disyaratkan sebagai alternatifnya ialah harus dapat menggangu dalam menjalankan
pekerjaan atau jabatannya untuk sementara waktu. Berarti alternatif ketiga ini ditentukan oleh
Pembuat UU adalah dikhususkan pada luka pada tubuh orang dewasa in casu khususnya orang yang
mempunyai pekerjaan /jabatan, bukan pada bayi. Sebabnya, ialah ukuran yang diberikan oleh UU
hanya ada pada diri orang dewasa dan tidak ada pada bayi.
Kesimpulan, bahwa luka pada kulit kepala bayi I hidup Ny. Tm bukan luka yang mendatangkan
penyakit (ziekte) maupun luka yang dapat menghalangi menjalankan pekerjaan/jabatan sementara
waktu sebagaimana yang dimaksud Undang-undang.
V. KESIMPULAN.
Dari studi kasus ini dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa langkah-langkah observasi dan pemeriksaan terhadap Ny. Tm guna mendapatkan fakta-
fakta medis yang dijadikan dasar penarikan diagnosa bayi tunggal dan mati sesuai dengan standar
profesi dan standar porosedur operasional penanganan medis, dan karena itu dipandang patut dan
benar. Demikian juga fakta-fakta- medis yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pemeriksaan
medis yang dijadikan dasar diagnosa dari sudut ilmu kedokteran telah dipandang patut dan benar.
Oleh karena itu kesimpulan bayi tunggal dan mati, walaupun salah masih dapat ditoleransi untuk
dipandang patut.
2. Bahwa oleh karena menarik kesimpulan bayi tunggal dan mati dipandang patut dan benar, maka
menetapkan terapi dengan membantu kelahiran dengan bantuan cunam muzaeux dipandang patut
dan benar pula.
3. Bahwa dalam observasi / pemeriksaan yang mendapatkan data-data medis sebagai dasar menrik
simpulan bayi tunggal dan mati dengan cara / prosedur standar umum & kebidanan, dengan tidak
menggunakan USG, berdasarkan tidak ditemukannya indikasi medis untuk menggunakan USG, juga
telah dipandang patut dan dibenarkan.
4. Bahwa langkah-langkah perlakuan medis persalinan Ny. Tm sejak awal pemeriksaan sampai
menetapkan terapi untuk segera membantu persalinan dengan cunam muzaeux beserta alasan-
alasannya (al tidak mungkin dapat melahirkan spontan karena ibu kelelahan, persalinan kering, posisi
kepala tetap tidak menurun) dan yang telah mendapat persetujuan supervisor - kemudian
melaksanakannya telah dipandang patut dan benar.
5. Bahwa berdasarkan alasan-alasan diatas yang ternyata diperkuat juga dari hasil analisis
retrospektif, yang mendapatkan data-data medis yang akurat (misalnya letak bayi dan selisih berat
bayi I dan bayi II) yang membuktikan bahwa perlakuan pelayanan medis persalinan Ny. Tm dengan
dibantu alat cunam muzeaux dapat dipandang sebagai upaya medis luar biasa dalam keadaan
overmacht, demi untuk menyelamatkan jiwa ibu.
6. Bahwa 2 luka lebar 1cm sedalam kulit kepala bayi I tidak termasuk luka yuridis sebagaimana
dimaksud pasal 360 ayat (2) KUHP.
7. Bahwa tim medis RSSA yang dalam hal melakukan pelayanan persalinan bayi kembar Ny. Tm, tidak
terdapat culpa lata medis yang membentuk pertanggungjawaban hukum pidana.
8. Menurut kajian hukum pidana kasus ini bukan malpraktik pidana. Belum patut diangkat sebagai
kasus pidana.
9. Dalam studi kasus ini kiranya diperoleh temuan hukum, berikut:
a. Diagnosa salah tidak patut dipersalahkan pada dokter apabila pemeriksaan dan observasi telah
dijalankan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional dan pekerjaan analisis
telah dilakukan secara benar terhadap fakta-fakta medis yang patut dan benar dalam menghasilkan
diagnosa tersebut.
b. Sikap batin dalam menetapkan terapi yang telah sesuai dengan diagnosa yang ditarik melalui
pemeriksaan yang sesuai standar profesi dan standar prosedur atas fakta-fakta medis yang benar
bukan merupakan culpa meskipun kemudian ternyata diagnosa salah.
c. Menggunakan suatu alat/cara dalam penanganan medis dipandang benar dan wajar apabila
ditemukan indikasi medis yang membenarkan untuk menggunakana alat tersebut. Kesalahan
diagnosa bukan merupakan culpa lata medis dalam hal pilihan pemeriksaan menurut standar profesi
dan standar prosedur telah dijalankan – karena tidak ada indikasi untuk penggunaan alat/cara yang
lebih baik – tidak menggunakannya, meskipun tingkat ketepatan diagnosanya lebih tinggi.
d. Melakukan pertolongan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam suatu persalinan harus
merupakan pilihan utama dengan pilihan tindakan medis yang mengandung risiko yang paling ringan.
e. Kesalahan diagnosa atau kesalahan terapi tidak membeban pertangungjawaban pidana apabila
tidak berakibat kematian atau luka sebagaimana ditentukan dalam hukum pidana.
f. Luka sedalam kulit kepala bayi bukanlah merupakan luka sebagaimana yang dimaksud pasal 360
ayat (2) KUHP.

Вам также может понравиться