Вы находитесь на странице: 1из 25

MAKALAH EKOFISIOLOGI HEWAN

“ADAPTASI FISIOLOGI CAIRAN TUBUH


HEWAN AQUATIK DAN TERESTERIAL”

DISUSUN OLEH :

SUKINI (1610247824)

DOSEN PENGAMPU : DR. FITRA SUZANTI, M.Si

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


UNIVERSITAS RIAU
2017

ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Makalah ini membahas tentang “Adaptasi Fisiologi Cairan Tubuh Hewan
Aquatik dan Teresterial“, dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan pihak
yang mendorong atau memotivasi pembuatan makalah ini supaya lebih baik dan lebih efisien.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibuk Dr. Fitra Suzanti, M.Si sebagai dosen
pembimbing dalam menyerahkan penyusunan makalah ini.

Makalah ini disajikan secara sistematis dan kami sebagai penulis berusaha untuk
menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan supaya mudah di mengerti oleh semua
mahasiswa/i. Selain itu,untuk mempermudah dalam memahami makalah ini disusun atas
beberapa info tambahan dari berbagai buku dan internet.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak,demikian pula dengan makalah ini,masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu kami sebagai penulis mohon maaf jika ada kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Saran dan kritik dari ibu/bapak sangat saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Atas kritik dan sarannya penulis ucapkan terimakasih.

Pekanbaru, Desember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................................. i


Daftar Isi ........................................................................................................................................ ii

I. PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
1.3. Tujuan ............................................................................................................................ 2

II. PEMBAHASAN .................................................................................................................... 3


2.1. Tinjauan Umum Adaptasi Fisiologi ............................................................................... 3
2.2. Proses Homoestatis dan Osmoregulasi .......................................................................... 5
2.3. Osmoregulasi pada Hewan di Lingkungan Aquatik ..................................................... 8
2.4. Osmoregulasi pada Hewan di Lingkungan Teresterial ................................................. 10
2.5. Mekanisme Adaptasi Fisiologi....................................................................................... 13

III. KESIMPULAN ....................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air berfungsi sebagai zat pelarut nutrien dalam tubuh, untuk dapat digunakan oleh sel.
Air tidak dapat dipisahkan dari komponen diet, karena keseimbangan air sangat diperlukan
dalam metabolisme dan semua material metabolisme akan dapat dimanfaatkan sel tubuh jika
sudah terlarut dalam air. Oleh sebab itulah sebagian besar tubuh terdiri atas air. Seluruh
cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraseluler dan kompartemen
ekstraseluler. Cairan ekstraseluler ini yang bergerak secara konstan dalam tubuh (Yoxall dan
Hird, 1980) .
Cairan ekstraseluler dengan kandungan ion dan nutriennya diperlukan oleh sel untuk
mempertahankan kehidupan sel. Semua sel hidup memerlukan lingkungan (cairan) di sekitar
sel, sehingga cairan ekstra seluler disebut lingkungan internal dalam tubuh. Sel akan mampu
untuk hidup, bertumbuh dan berfungsi secara optimal sepanjang tersedia oksigen, glukosa,
asam amino, ion, dan substansi lemak dengan konsentrasi yang cukup dalam lingkungan
internal, stabilitas lingkungan internal itu dipertahankan oleh fungsi regulasi dari ginjal
(Guyton dan Hall, 2006).
Regulasi normal cairan dalam tubuh untuk mempertahankan keseimbangan
(homeostasis) lingkungan internal banyak faktor yang terlibat seperti kandungan elektrolit
cairan, asam basa cairan tubuh, osmolalitas plasma, peranan hormon (antidiuretik,
angiotensin II) dan pengeluaran Na dari ginjal (Wingfield, 2009; Hartanto, 2007; Einstein et
al. 1995).
Banyak organ dalam tubuh yang berfungsi untuk mempertahankan homeostasis dalam
sel seperti paru-paru menyediakan oksigen untuk kebutuhan sel, ginjal mempertahankan
stabilitas konsentrasi ion, dan saluran cerna menyediakan nutrien untuk sel (Guyton dan Hall,
2006). Perubahan keseimbangan air dalam tubuh akan merangsang reseptor di hipotalamus,
inisiasi dari rangsangan pada reseptor ini akan mengawali mekanisme pemasukan air ke
dalam tubuh dengan timbulnya rasa haus (Wingfield, 2009).
Air merupakan pelarut yang sangat baik dan mempertahankan komposisi kimia yang
seimbang dalam metabolisme sel. Air merupakan komponen utama dalam darah, yang
berfungsi sebagai media transpor, membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan, mengeluarkan
karbondioksida dan metabolit dari jaringan. Darah juga membawa antibodi dan sel darah
putih untuk melindungi sel dari penyakit. Air juga berperan penting dalam regulasi suhu

ii
tubuh, melalui berbagai jalan. Pertama, darah akan membawa panas dari jaringan atau organ
yang bekerja menuju ke vena superfisial untuk mentransper panas tubuh ke kulit yang
selanjutnya dilepas ke lingkungan melalui proses radiasi, konveksi dan konduksi. Kedua,
Pengeluaran panas juga dapat ditingkatkan melalui evaporasi air dari respirasi (Hall, 1983).

1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah itu Adaptasi Fisiologi?
2. Bagimanakah proses homoestatis dan osmoregulasi ?
3. Bagaimanakah proses osmoregulasi pada hewan Aquatik dan teresterial ?
4. Bagaimanakah adaptasi fisiologi hewan untuk mencegah kehilangan air yang terlalu
besar ?
5. Bagaimanakah organ yang berperan dalam mekanisme adaptasi fisiologi tersebut ?

1.3.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Homoestatis dan Osmoregulasi
2. Mengetahui pergerakan cairan tubuh pada hewan
3. Mengetahui adaptasi fisiologi hewan untuk mencegah kehilangan air yang terlalu
besar
4. Mengetahui organ yang berperan yang berperan dalam mekanisme adaptasi fisiologi
tersebut.

ii
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Umum Adaptasi Fisiologi
Adapatasi mempunyai pengertian yaitu suatu kemampuan dari makhluk hidup untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan menjaga kelestariannya. Berdasarkan cara daripada makhluk hidup
beradaptasi dengan lingkungannya, adaptasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu adaptasi
morfologi, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi fisiologi ini merupakan
upaya penyesuaian fungsi alat-alat tubuh makhluk hidup terhadap lingkungannya. Biasanya
adaptasi fisiologi melibatkan zat-zat kimia tertentu untuk membantu proses metabolisme
tubuh. Adaptasi fisiologi tidak mudah diamati seperti pada adaptasi morfologi dan adaptasi
tingkah laku. Alasannya adalah karena adaptasi fisiologi berkaitan erat dengan fungsi tubuh.
Adaptasi fisiologi ini dapat terjadi pada semua makhluk hidup baik hewan, tumbuhan dan
manusia.
Adapatasi fisiologi adalah penyesuaian fungsi fisiologi alat-alat atau organ-organ tubuh
terhadap lingkungannya.
 Hewan ruminansia, misalnya sapi, kambing, kerbau. Makanan hewan tersebut adalah
rumput-rumputan, di dalam saluran pencernaannya terdapat enzim selulase, enzim ini
berfungsi untuk mencerna selulose yang menyusun dinding sel tumbuhan, dengan enzim
selulase maka makanan menjadi lebih mudah dicerna.
 Kucing, apabila hewan ini berteduh kadar metabolisme badan kucing tersebut akan
direndahkan supaya kadar kehilangan air di dalam badan berkurang.
 Musang juga beradaptasi dengan cara menyemburkan cairan untuk mengelakkan
dirinya daripada musuh. Kelenjar bau yang dimiliki oleh musang tersebut membuat musuh
tidak kuat dan pergi karena baunya
 Teredo navalis, adalah mollusca yang biasa hidup pada kayu galangan kapal, kayu
tiang-tiang pelabuhan. Mollusca ini dapat merusak kayu karena makanannya berupa kayu.
Di dalam saluran pencernaan Teredo terdapat enzim selulase untuk membantu
menguraikan selulose yang ada pada kayu yang menjadi makanannya.
 Ikan yang hidup di laut lebih sedikit mengeluarkan urin dibandingkan dengan ikan
yang hidup di air tawar. Air laut lebih banyak mengandung garam. Kadar garam yang
tinggi juga menyebabkan cairan tubuh keluar terus menerus. Garam juga masuk ke dalam

ii
tubuh dan harus dikeluarkan. Untuk menyesuaikan diri, ikan banyak meminum air laut dan
sedikit mengeluarkan urin.
 Ikan yang hidup di air tawar, sedikit minum air dan banyak mengeluarkan urine dan
menggunakan insangnya secara aktif untuk mengikat garam yang terlarut dalam air supaya
ikan tidak kelebihan air atau kembung.
 Hewan onta yang punya kantung air di punuknya untuk menyimpan air agar tahan
tidak minum di padang pasir dalam jangka waktu yang lama.
 Burung hantu memiliki penglihatan dan pendengaran yang sangat tajam yang
memungkinkannya untuk dapat melihat di malam hari
 Anjing laut yang memiliki lapisan lemak yang tebal untuk bertahan di daerah dingin
dengan menahan panas tubuh tetap tertahan.
 Herbivora adalah hewan yang memakan tumbuh-tumbuhan. Sebagai contoh adalah
sapi. Sapi memakan rumput, dimana sapi dapat mencerna rumput dan daun yang
mengandung banyak serat (selulosa) dengan bantuan enzim selulase. Enzim selulase
tersebut diproduksi oleh mikroorganisme yang terdapat di rumen.
 Nyamuk adalah hewan yang menghisap darah, baik darah manusia atau darah hewan,
nyamuk ini memiliki zat antikoagulan atau antipembeku darah. Zat ini memiliki kegunaan
untuk menjaga agar darah yang dihisap oleh nyamuk tersebut tetap dalam keadaan cair dan
tidak membeku.
 Pada manusia, jumlah eritrosit dalam darah berbeda-beda tergantung dari tempat
tingal manusia tersebut. Manusia yang tinggal di daerah pengunungan atau dataran tinggi,
memiliki eritrosit dengan jumlah yang lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang
tinggal di dataran rendah. Hal ini disebabkan karena jumlah atau kadar dari oksigen di
daerah pegunungan lebih sedikit sehingga dibutuhkan Hb (hemoglobin) yang lebih banyak
untuk mengikat oksigen. Apabila Hb yang dibutuhkan banyak, jumlah eritrosit juga akan
meningkat.

ii
2.2. Proses Homoestatis dan Osmoregulasi
Pemasukan air ke dalam tubuh bersumber dari air minum, air yang terkandung dalam
makanan, dan air hasil dari proses oksidasi karbohidrat, protein, dan lemak (Edney1983).
Pemasukan air kedalam tubuh bervariasi diantara individu dan pada setiap individu pada hari
yang berbeda,karena sangat bergantung atas iklim,kebiasaan, dan tingkat aktivitas. sangat
bervariasi tergantung atas jenis hewan. Air keluar melalui kulit, karena difusi dari permukaan
dan keringat. Jumlah yang keluar melalui keringa tmasing-masing hewan bervariasi
tergantung atas jumlah kelenjar keringat pada kulit. Keluar melalui feses, jumlahnya sangat
sedikit dan pada masingmasing hewan volume bervariasi tergantung atas diet yang diberikan.
Keluar melalui urin. Pada anjing dan kucing dan hewan domestik yang lainjumlahnya 20
ml/kgBB/hari (Hall, 1983;Lorenz et al 1987; Wingfield, 2009). Air yang keluar melalui
sistem respirasi, kulit, dan feses di ketahui sebagai kehilangan cairan yang tidak terelakan,
dengan jumlah 20 ml/kgBB/hari. Hewan yang sehat mampu mempertahankan cairan dan
keseimbanganelektrolit dengan sedikit fluktuasi dari normal (Wingfield 2009; Lorenz et al
1987). Penyebab paling umum kehilangan cairan melalui gastrintestinal akibat muntah, diare,
drainase fistula, infeksi, obstruksi usus, dan luka bakar (Pandey dan Singh, 2003). Pada
pasien demam, dilaporkan terjadi kehilangan cairansebanyak 100 sampai 150 ml per hari
setiap peningkatan 1 0C suhu tubuh dari normal (Heitz dan Horne, 2005). Homeostasis cairan
tubuh dapat dipertahankan jika eksresi air dan elektrolit harus seimbang dengan asupan ke
dalam tubuh. Jika intake lebih besar dari eksresi maka jumlah substansi dalam tubuh
meningkat, begitujuga sebaliknya jika intake lebih kecil dari eksresi maka substansia dalam
tubuh akan menurun.
Intake air dan elektrolit juga sangat berhubungan dengan pola makan dan minum
hewan, untuk keseimbangan ini maka ginjal akan mengatur proses pengeluaran cairan tubuh
melalui produksi urine. Tahapan produksi urine dimulai darikerja glomerulus dalam
menyaring plasma darah. Filtrate glomerulus akan menuju tubulus renalis yang meliputi
tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal, tubulus kolektipus, dan terakhir duktus
kolektivus kemudian menjadi urin. Dalam proses itu beberapa substansia akan di reabsorpsi
kembali di tubulus menuju darah dan beberapa substansi juga ada disekresikan oleh darah ke
tubulus (Guyton dan Hall, 2006).
Osmoregulasi adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi
kehidupan ikan sehingga proses-proses fisiologis berjalan normal. Ikan mempunyai tekanan
osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, oleh karena itu ikan harus mencegah kelebihan
air atau kekurangan air, agar proses-proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat berlangsung

ii
dengan normal. Pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh pada ikan ini disebut osmoregulasi
(Rahardjo, 1980).
Proses osmoregulasi yang terjadi adalah pengaturan konsentrasi ion-ion bukan
konsentrasi cairan tubuh, dimana proses ini juga membutuhkan energi. Bila ikan air tawar
dimasukkan dalam medium air laut maka yang akan terjadi adalah pemasukan air dalam
tubuh ikan dari medium dan juga berusaha mengeluarkan sebagian garam-garam dari dalam
tubuhnya. Bila ikan tidak dapat melakukan proses ini, maka sel-sel ikan akan pecah (turgor)
dan jika terjadi sebaliknya ikan akan kekurangan cairan atau biasa disebut dehidrasi
(Soeseno, 1997).
Proses osmosis terjadi pada sel hidup di alam. Perubahan bentuk sel terjadi jika
terdapat pada larutan yang berbeda. Sel yang terletak pada larutan isotonik, maka volumenya
akan konstan. Dalam hal ini, sel akan mendapat dan kehilangan air yang sama. Banyak
hewan-hewan laut cairan selnya bersifat isotonik dengan lingkungannya. Jika sel terdapat
pada larutan yang hipotonik, maka sel tersebut akan mendapatkan banyak air, sehingga bisa
menyebabkan lisis (pada sel hewan), atau turgiditas tinggi (pada sel tumbuhan). Sebaliknya,
jika sel berada pada larutan hipertonik, maka sel banyak kehilangan molekul air, sehingga sel
menjadi kecil dan dapat menyebabkan kematian. Pada hewan, untuk bisa bertahan dalam
lingkungan yang hipotonik atau hipertonik, maka diperlukan pengaturan keseimbangan air,
yaitu dalam proses osmoregulasi (Marshall dan Grosell, 2006).
Secara umum proses osmoregulasi adalah upaya atau kemampuan untuk mengontrol
keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme
pengaturan tekanan osmose. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan
konsentrasi cairan tubuh dengan lingkungan disekitarnya. Jika sebuah sel menerima terlalu
banyak air maka ia akan meletus, begitu pula sebaliknya, jika terlalu sedikit air, maka sel
akan mengerut dan mati. Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang
zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.
Hal ini penting dilakukan terutama oleh organisme perairan karena :
1. Harus terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan.
2. Membran sel yang merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak
cepat.
3. Adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan.
Dalam proses inti osmoregulasi, terjadi suatu peristiwa osmosis, dimana perpindahan
cairan yang encer ke cairan yang pekat shingga akan tercipta suatu kondisi konsentrasi yang
sama dan disebut dengan isotonis. Isotonis adalah dua macam larutan yang mempunyai

ii
tekanan osmotik sama (isoosmotik) Pada kondisi Osmoregulasi: isotonis adalah tekanan
osmotik dua macam cairan misal: tekanan osmotik antara cairan tubuh dan air laut
(lingkungan hidup hewan).
Alasan utama hewan harus melakukan osmoregulasi adalah karena perubahan
keseimbangan jumlah air dan zat terlarut di dalam tubuh memungkinkan terjadinya
perubahan arah aliran air/zat terlarut menuju ke arah yang tidak diharapkan. Kriteria Hewan
dalam Osmoregulasi:
a. Hewan Osmoregulator, yaitu hewan yang mampu melakukan osmoregulasi dengan baik.
b. Hewan Osmokonformer, yaitu Hewan yang tidak mampu mempertahankan tekanan
osmotik. Hewan osmokonformer harus beradaptasi agar tetap bisa hidup dengan syarat
perubahan lingkungan tidak besar dan dalam kisaran toleransi tetapi jika perubahan
lingkungan terlalu besar maka untuk tetap hidup hewan osmokonformer harus bermigrasi
karena jika tidak hewan tersebut akan mati.
Lingkungan dimana hewan hidup dapat mendukung dan dapat pula mengancam kehidupan
hewan tersebut sehingga diperlukan mekanisme osmoregolasi. Mekanisme osmoregulasi
setiap hewan berbeda-beda denga nvariasi yang sangat luas tergantung kemampuan dan jenis
organ tubuh hewan serta kondisi lingkungan hewan.
Terhadap lingkungan hidupnya, ada hewan air yang membiarkan konsentrasi cairan
tubuhnya berubah-ubah menngikuti perubahan mediumnya (osmokonformer). Kebanyakan
invertebrata laut tekanan osmotic cairan tubuhnya sama dengan tekanan osmotic air laut.
Cairan tubuh demikian dikatakan isotonic atau isosmotik dengan medium tempat hidupnya.
Bila terjadi perubahan konsentrasi dalam mediumnya,maka cairan tubuhnya disesuaikan
dengan perubahan tersebut (osmokonformitas).
Sebaliknya ada hewan yang mempertahankan agar tekanan osmotik cairan tubuhnya
relative konstan lebih rendah dari mediumnya (hipoosmotik)atau lebih tinggi dari mediumnya
(hiperosmotik). Untuk mempertahankan cairan tubuh relatif konstan, maka hewan
melakukan regulasi osmotic(osmoregulasi), hewannya disebut regulator osmotic
atau osmoregulator. Ada dua macam regulasi osmotic yaitu regulasi hipoosmotik dan regulasi
hiperosmotik. Pada regulator hipoosmotik, misalnya ikan air laut, hewan ini selalu
mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya lebih tinggi daripada mediumnya (air tawar).
Pada dasarnya lingkungan hidup hewan dapat dibagai menjadi lingkungan air dan
lingkungan darat. Lingkungan air masih dibedakan menjadi lingkungan air laut dan air tawar.
Sedikit sekali hewan darat yang benar-benar telah meninggalkan lingkungan air. Misalnya
serangga dan beberapa hewan darat yang lain, meskipun dianggap paling berhasil beradaptasi

ii
dengan kehidupan didarat, namun hidupnya sedikit banyak masih berhubungan langsung
dengan air tawar. Kebanyakan hewan selain serangga, hidup didalam air atau sangat
tergantung pada air.
Komposisi cairan tubuh kebanyakan hewan, khususnya konsentrasi komponen utama,
mereflesikan komposisi air lautan permulaan,tempat nenek moyang hewan pertama kali
muncul. Air laut mengandung sekitar 3,5% garam. Ion utama adalah
natrium,khlorida,magnesium,sulfat dan kalsium yang berada dalam jumlah yang besar.
Jumlah kosentrasi garam di lingkungan sangat bervariasi sesuai tempat geografisnya. Di
lautan tengah dimana penguapan tinggi tidak diikuti dengan jumlah yang sama masuknya air
tawar dari sungai, maka lautan tengah memiliki kandungan garam mendekati 4%. Dilain
daerah khususnya di daerah pesisir,kandungan agak rendah dibandingkan dengan lautan
terbuka,tetapi jumlah relative ion-ion terlarut agak konstan

2.3. Osmoregulasi pada Hewan di Lingkungan Aquatik


Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung
pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan
konsentrasi media hidupnya. Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai strategi dalam
menangani komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan. Untuk ikan-ikan potadrom yang
bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke
dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan
tubuhnya dapat terjadi dengan cara meminum sedikit air atau bahkan tidak minum sama
sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi dengan membuangnya dalam bentuk
urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air
mengalir secara osmose dari dalam tubuhnya melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan,
sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Sedangkan untuk ikan-ikan
eurihalin, memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik
dalam tubuhnya dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak
selalu tetap, maka proses ormoregulasi seperti halnya ikan potadrom dan oseanodrom tetap
terjadi (Kaneko, dkk., 2002).
Karena tekanan osmosis air laut lebih tinggi daripada cairan tubuh ikan maka air akan
mengalir dari dalam tubuh ikan ke lingkungannya melalui difusi melewati ginjal dan
mungkin juga kulit, sebaliknya garam-garam akan masuk ke dalam tubuh juga melalui proses
difusi, karenanya ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan keseimbangan

ii
konsentrasi garam antara tubuh dan lingkungan dengan cara memperbanyak minum air laut
(Fujaya, 1999).
Secara umum kulit ikan merupakan lapisan kedap, sehingga garam di dalam tubuhya
tidak mudah “bocor” ke dalam air. Satu-satunya bagian ikan yang berinteraksi dengan air
adalah insang. Air secara terus-menerus masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang. Proses
ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu terjadi sebagai akibat dari
kadar garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya.
Sebaliknya, garam akan cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini berlangsung
secara seimbang. Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh ikan ini dikenal dengan
sebutan osmoregulasi. Tujuan utama osmoregulasi adalah untuk mengontrol konsentrasi
larutan dalam tubuh ikan. Apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang terjadi,
ikan yang bersangkutan akan mati, karena akan terjadi ketidakseimbangan konsentrasi larutan
tubuh yang akan berada di luar batas toleransinya (Takeuchi, dkk., 2003).
Ada tiga pola regulasi ion dan air, yakni : (1) Regulasi hipertonik atau hiperosmotik,
yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi
media, misalnya pada potadrom (ikan air tawar). (2) Regulasi hipotonik atau hipoosmotik,
yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi
media, misalnya pada oseandrom (ikan air laut).; (3) Regulasi isotonik atau isoosmotik, yaitu
bila konsentrasi cairan tubuh sama dengan konsentrasi media, misalnya ikan-ikan yang hidup
pada daerah estuari.
Organ-organ yang berperan dan berfungsi pada proses osmoregulasi yaitu : (1)
Insang, pada insang sel-sel yang berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel chloride yang
terletak pada dasar lembaran-lembaran insang; (2) Ginjal, melakukan dua fungsi
utama:pertama, mengekskresikan sebagian besar produk akhir metabolisme tubuh,
dan kedua, mengatur konsentrasi cairan tubuh; (3) Usus, Meminum air laut adalah sumber
utama air pada teleostei oseanodrom untuk mengembalikan air yang hilang melalui difusi
insang, ginjal, dan mungkin pula melalui kulit (Fujaya, 2004).
Masalah yang dihadapi hewan air tawar kebalikan dari masalah yang dihadapi hewan
laut, yaitu Tekanan Osmotik cairan tubuh hewan air tawar lebih tinggi dari lingkungannya
(hiperosmotik/hipertonis) sehingga dapat memungkinkan pemasukan air yang berlebihan dan
kehilangan garam. Masuknya air ke dalam tubuh mengakibatkan ion dari tubuh keluar. Hal
ini harus dibatasi, oleh karena itulah hewan memiliki permukaan tubuh yang impermeabel
terhadap air sehingga ion dapat dipertahankan di dalam tubuh. Akan tetapi pada
kenyataannya air tetap masuk ke dalam tubuh melalui insang yang terbuka. Untuk itu

ii
antisipasi kekurangan ion dapat dilakukan dengan cara transpor aktif sehingga ion masuk ke
dalam tubuh dalam bentuk garam sedangkan antisipasi kelebihan ion dapat dilakukan dengan
cara difusi ion keluar tubuh dalam bentuk garam.
Hewan akutik tidak selamanya menetap di habitat yang tetap (air laut atau air
tawar)saat tertentu masuk ke daerah payau, misalnya salmon, lamprey, dan belut.
Perpindahan antara air tawar dan air bergaram merupakan bagian dari siklus hidup yang
normal sehingga hewn-hewan tersebut harus memiliki kemampuan adaptasi yang baik
terhadap perubahan kadar garam (kadar garam di daerah payau selalu berubah). Ketika laju
hewan meningkat maka akan masuk ion terlarut dalam jumlah berlebih dan harus dikeluarkan
melalui tubulus malpighi dan rektum atau papila anal yang berfungsi mengeluarkan kelebihan
garam pada medium pekat dan mengambil ion secara aktif pada medium encer.

2.4. Osmoregulasi pada Hewan di Lingkungan Teresterial


Keuntungan bagi hewan yang hidup di lingkungan darat adalah mudah memperoleh
oksigen sedangkan kerugiannya adalah sulitnya menjaga keseimbangan air dan ion sehingga
mudah terancam dehidrasi. Kehilangan air dari tubuh pada hewan darat dapat terjadi melaui
penguapan, dimana penguapan tersebut dipengaruhi oleh kandungan uap air di atmosfer,
tekanan barometrik, gerakan udara, luas permukaan penguapan, dan suhu. Vertebrata yang
berhasil berkembang di lingkungan darat memperoleh air dari air minum dan makanan.
Untuk menghemat air vertebrata melakukan berbagai cara yang cukup bervariasi, misalnya
memiliki kulit yang kering dan bersisik, menghasilkan feses kering, menghasilkan asam urat,
dan mereabsorbsi urin encer yang di kandung kemih. Pengaturan keseimbangan air berkaitan
erat dengan proses mempertahankan suhu tubuh. Pada hewan mamalia perolehan air berasal
dari minuman, makanan, dan air metabolik serta dari lingkungan yang berupa uap air
sedangkan kehilangan air dapat terjadi melalui keringat.
Pergerakan cairan ekstraseluler keseluruh bagian tubuh hewan melalui dua tahap yaitu
tahap pertama pergerakan darah dalam tubuh didalam buluh darah, tahap kedua pergerakan
cairan dari kapiler ke celah antar sel (Guyton dan Hall,2006).
Untuk mempertahankan efektivitas cairan tubuh, volume cairan yang bersirkulasi sangat
dipengaruhi pengaturan keseimbangan ion Na plasma, yang berhubungan sangat erat dengan
perubahan ion Na pada ginjal. Hal-hal yang berpengaruh pada proses ini yaitu nervus
simpatik, angiotensin II, aldosteron, sekresi ADH, dan eksresi ion Na melalui ginjal (Einstein
et al., 1995; Hartanto, 2007). Volume cairan yang menurun merangsang baroresptor arterial

ii
sehingga terjadi hipotensi, hal ini berakibat peningkatan tonus nervus simpatik perifer,
peningkatan tonus ini akan mengawali proses kompensasi untuk mengembalikan volume
cairan yang bersirkulasi. Proses kompensasi: kontriksi vena untuk meningkatkan aliran vena;
peningkatan kontraksi otot jantung untuk peningkatan output jantung; vasokontriksi arteri
untuk meningkatkan tekanan darah; peningkatan sekresi renin untuk meningkatkan kadar
angiotensin II (vasokontriksi); dan peningkatan resorpsi ion Na di tubular ginjal (Edney,
1983).
Perpindahan air dan zat terlarut di dalam tubuh yang melewati membran sel melalui
proses Difusi, osmosis dan Pompa Na-K. Proses difusi dan osmosis merupakan proses pasif
sedangkan pompa Na-K merupakan proses aktif. Proses aktif memerlukan energi (ATP)
untuk terjadinya proses itu, sedangkan proses pasif tidak memerlukan energi (Hartanto,2007).
Ada lima sistem utama yang mengatur keseimbangan ion H+ dalam cairan tubuh,
yaitu 1) sistem buffer kimiawi asam-basa di dalam cairan ekstraseluler, adalah molekul yang
segera berikatan dengan asam atau basa; 2) pusat nafas yang meregulasi pelepasan CO2 Ion
hidrogen disekresikan dan bikarbonat direabsorpsi di semua bagian tubulus kecuali di loop
henle. Bikarbonat direabsorbsi kira-kira 80-90% di tubulus proksimal , kemudian sisanya
direabsorbsi di dibagian lain dari tubulus. Ion hidrogen disekresikan ke lumen tubulus di
tubulus proksimal, segmen tebal loop henle, dan tubulus dista melalui mekanisne
countertranspor sodium-hidrogen. Sekresi aktif primer ion H+ terjadi pada tipe yang dalam
darah dan mengatur tekanan CO2 (PCO2) darah; 3) Buffer kimia dalam sel; 4) Regulasi pada
ginjal yang dapat mengekresikan asam (H+) atau reabsorbsi basa (Bikarbonat); 5) mobilisasi
buffer dari tulang (Yoxall dan Hird, 1980). Sistem buffer kimiawi dalam darah tidak
mengeluarkan atau menambah ion H+ ke dalam darah hanya mengikatnya sampai terjadi
keseimbangan. Sistem respirasi mengeluarkan CO2 dan H2CO3 dari tubuh, sedangkan ginjal
memberikan respon yang lambat terhadap peningkatan konsentrasi ion H+ dalam darah,
tetapi hanya ginjal yang mampu mengeluarkan asam atau basa dari dalam tubuh dan berperan
sangat besar dalam regulasi asam-basa (Guyton dan Hall, 2006).
Sebagian besar Amphibi adalah hewan air atau semi akuatik. Telurnya
diletakkan dalam air, dan larvanya adalah hewan air yang bernafas dengan insang. melalui
metamorphosis, kebanyakan Amphibi (tidak semua) mengubah alat pernafasannya
dengan paru-paru. Beberapa salamander tetap memiliki insang dan tetap hidup dalam air
setelah dewasa. Dan kebanyakan katak dilain pihak berubah menjadi hewan darat, meskipun
biasanya masih tetap memilih habitat berair.

ii
Regulasi osmotic Amphibi mirip ikan air tawar, kulitnya berperan sebagai organ
osmoregulasi utama. Pada saat hewan berada dalam air tawar,terdapat aliran osmotic air
ke dalam tubuhnya melalui kulit. Sehingga urin yang akan dikeluarkan akan
menjadi sangat encer. Sebaliknya, apabila tidak sedang berada di air, katak dapat
mereabsorbsi kembali air yang terdapat di kandung kemih.
Sehingga, urin yang akan dihasilkan akan menadi pekat. Barsama urin ikut terbuang
garam-garam. Selain itu, garam dan mineral juga dapat dilepaskan melalui kulitnya.
Katak dan salamander umumnya adalah hewan air tawar, akan mati dalam beberapa jam
bila ditaruh dalam air laut, jadi katak dan salamander adalah regulator
hiperosmotik sempit. Namun ada sejenis katak pemakan kepiting, hidup didaerah rawa
mangrove, mencari makan dan berenang dalam air laut.Pada saat katak berada dalam air laut
ia menjadi hewan hiosmotik. Untuk mencegah kehilangan air osmotic melalui kulitnya, katak
menambah umlah urea dalam darahnya, yang dapat mencapai 480 mmol urea perliter.
Mekanisme ini beralasan, sebab kulit amphibi relative permeable terhadap air, sehingga
secara sedarhana untuk mencegah kehilangan air dibuat konsentrasi osmotic darah
seperti mediumnya.
Karena urea essensial bagi katak untuk hidup normal, maka urea ditahan dalam tubuh dan
tidak diekskresikan bersama urin. Pada hiu, urea ditahan melalui reabsorbsi aktif dalam tubuli
ginjal. Pada katak pemakan kepiting, urea ditahan dengan mereduksi volume urin pada saat
katak berada dalam air laut. Nampaknya urea tidak direabsorbsi secara aktif, sebab
konsentrasi urea dalam urin tetap dalam keadaan sedikit di atas urea dalam plasma. Katak
pemakan kepiting, yang muda memiliki toleransi lebih besar terhadap salinitas tinggi dari
pada yang dewasa. Pada katak muda, pola regulasi osmotiknya mirip dengan
teleostei sedangkan yang dewasa mirip Elasmobrankhii
Hewan dari kelas reptile, meliputi ular, buaya, dan kura-kura memiliki kulit yang
kerimg dan bersisik. Keadaan kulit yang kering dan bersisik tersebut diyakini merupakan cara
beradaptasi yang baik terhadap kehidupan darat, yakni agar tidak kehilangan banyak air.
Untuk lebih menghemat air, hewan tersebut menghasilkan zat sisa bernitrogen dalam bentuk
asam urat, yang pengeluarannya hnya membutuhkan sedikit air. selain itu, Reptil juga
melakukan penghematan air dengan menghasilkan feses yang kering. Bahkan, Kadal dan
kura-kura pada saat mengalami dehidrasi mampu memanfaatkan urin encer yang dihasilkan
dan disimpan dikandung kemihnya dengan cara mereabsorbsinya.
Pada burung pengaturan keseimbangan air ternyata berkaitan erat dengan proses
mempertahankan suhu tubuh. Burung yang hidup didaerah pantai dan memperoleh makanan

ii
dari laut (burung laut) menghadapi masalah berupa pemasukan garam yang berlebihan. Hal
ini berarti bahwa burung tersebut harus berusaha mengeluarkan kelebihan garam dari
tubuhnya. Burung mengeluarkan kelebihan garam tersebut melalui kelenjar garam, yang
terdapat pada cekungan dangkal dikepala bagian atas, disebelah atas setiap matanya, didekat
hidung. Apabila burung laut menghadapi kelebihan garam didalm tubhnya, hewan itu akan
menyekresikan cairan pekat yang banyak mengandung NaCl. Kelenjar garam ini hanya aktif
pada saat tubuh burung dijenuhkan oleh garam.
Pada mamalia kehilangan air dan garam dapat terjadi lewat keringat. Sementara, cara
mereka memperoleh air sama seperti vertebrata lainnya, yaitu dari air minum dan makanan.
Akan tetapi, untuk mamalia yang hidup dipadang pasir memperoleh air denga cara minum
merupakan hal yang mustahil sebagai contoh kangguru. Kangguru tidak minum air, tetapi
dapat bertahan dengan menggunakan air metabolic yang dihasilkan dari oksidasi glukosa.

2.5. Mekanisme Adaptasi Fisiologi Hewan Mengurangi Perubahan Lingkungan


Internal
Dehidrasi berasal dari kata dehydration, yang berarti pengeringan. Dalam fisiologi,
istilah dehidrasi sering digunakan untuk menunjukkan kondisi tubuh yang kekurangan cairan.
Dehidrasi dapat dialami hewan apabila tubuhnya kehilangan air dalam jumlah besar sehingga
jumlah air dalam tubuh sedikit daripada yang seharusnya. Kehilangan air dari dalam tubuh
secara berkepanjangan dapat menyebabkan pengeringan.
Ancaman dehidrasi dari lingkungan terestrial ternyata berkaitan erat dengan peluang
terjadinya penguapan air secara besar-besaran dari dalam tubuh hewan. Tingkat penguapan
yang tinggi sangat dipengaruhi oleh suhu udara yang tinggi dan kelembaban yang rendah
serta faktor fisika lain seperti kecepatan aliran udara (angin) dan luas permukaan benda yang
mengalami penguapan.
Ancaman dehidrasi merupakan faktor pembatas bagi penyebaran hewan di daerah
teresterial.Agar dapat hidup pada lingkungan teresterial, hewan harus melakukan berbagai
upaya untuk menghindarkan diri dari ancaman dehidrasi.
Contoh : Upaya yang dilakukan oleh hewan unisel (protozoa) untuk menghindarkan diri dari
bahaya dehidrasi, yaitu dengan cara membentuk dinding protektif (kista) saat kondisi
lingkungan sangat panas dan kering.

ii
Dari Gambar 1.1. tampak bahwa pada keadaan yang tidak menguntungkan, tropozoit
akan membentuk kista. Apabila keadaan lingkungan sudah baik ( sesuai dengan kebutuhan
hidup protozoa ), sel vegetatif yang baru akan muncul dari dalam kista tersebut.
Menurut C.Bernard, stabilitas lingkungan internal merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh
organisme yang ingin bertahan hidup dalam lingkungannya. Oleh W.B. Cannon, konsep
tentang stabilitas lingkungan internal tersebut selanjutnya diperkenalkan dengan istilah
homoestatis. Sekalipun homo berarti sama serupa/sama namun baik Bernard maupun Cannon
tidak mengartikan kata homoestatis sebagai keadaan lingkungan internal yang konstan secara
mutlak. Keadaan konstan yang dimaksud ialah konstan relatif yang dinamis. Apakah kondisi
lingkungan internal hewan dapat berubah ? Mengapa kondisi lingkungan internal hewan
berubah ?
Perubahan kondisi lingkungan internal dapat timbul karena dua hal, yaitu adanya
perubahan aktivitas sel tubuh dan perubahan lingkungan eksternal yang berlangsung secara
terus menerus. Untuk menyelenggarakan seluruh aktivitas sel dalam tubuhnya, hewan selalu
memerlukan pasokan berbagai bahan dari lingkungan luar secara konstan, misalnya oksigen,
nutrien, dan garam. Sementara itu, aktivitas sel juga menghasilkan bermacam-macam hasil
sekresi sel yang bermanfaat dan berbagai zat sisa, yang dialirkan ke lingkungan internal
(yaitu cairan ekstraseluler atau CES). Apabila aktivitas sel berubah, pengambilan zat dari
lingkungan eksternal dan pengeluaran berbagai zat dari dalam sel ke lingkungan internal juga
berubah. Perubahan aktivitas sel semacam itu akan mengubah keadaan lingkungan internal.
Perubahan lingkungan internal yang ditimbulkan oleh sebab mana pun (penyebab pertama
atau kedua) harus selalu dikendalikan agar kondisi homoestatis selalu terjaga.

ii
Mekanisme pengendalian kondisi homoestatis pada hewan berlangsung melalui
sistem umpan balik. Akan tetapi, kita tidak boleh lupa bahwa ada dua macam sistem umpan
balik, yaitu umpan balik positif dan negatif.
Sistem umpan balik negatif dapat didefinisikan sebagai perubahan suatu variabel yang
dilawan oleh tanggapan yang cenderung mengembalikan perubahan tersebut ke keadaan
semula. Sebagai contoh, peristiwa yang terjadi pada burung dan mamalia pada waktu
mempertahankan suhu tubuhnya supaya tetap konstan. Peningkatan suhu tubuh sebesar 0,50C
akan mendorong timbulnya tanggapan yang akan mengembalikan suhu tubuh ke suhu awal,
yaitu suhu yang seharusnya. Pada mamalia, suhu tubuh yang seharusnya ialah 37 0C. Dengan
demikian sistem umpan balik negatif pada contoh diatas akan selalu membawa sistem
fisiologis kepada suhu tubuh 370C.
Peristiwa yang terjadi pada sistem umpan balik positif berlawanan dengan peristiwa
pada sistem umpan balik negatif. Pada sistem umpan balik positif, perubahan awal suatu
variabel akan menghasilkan perubahan yang semakin besar, misalnya proses pembekuan
darah. Proses pembekuan darah sebenarnya bekerja melalui mekanisme umpan balik positif,
yang bertujuan untuk menghentikan pendarahan. Namun, hasil dari proses tersebut
selanjutnya bermakna sangat penting untuk mempertahankan volume darah yang bersirkulasi
agar tetap konstan.
Mekanisme umpan balik positif tidak terlibat dalam proses menjaga kondisi
homoestatis, tetapi terlibat dalam penyelenggaraan fungsi fisiologis tertentu (antara lain
proses pembekuan darah) dan fungsi sel saraf. Dalam penyelenggaraan fungsi sel saraf, akan
terjadi urutan berikut. Pada awal proses pembentukan potensial aksi, sistem umpan balik
positif bekerja dengan meningkatkan pemasukan ion Na+. Peningkatan pemasukan ion Na+
tersebut akan berlangsung terus hingga membran sel saraf benar-benar terdepolarisasi.
Sistem umpan balik tersusun atas tiga komponen utama, yaitu reseptor, pusat
integrasi, dan efektor. Antara reseptor dan pusat integrasi dihubungkan oleh saraf sensorik,
sedangkan antara pusat integrasi dan efektor dihubungkan oleh saraf motorik. Reseptor
berperan sebagai pemantau perubahan yang terjadi di lingkungan, baik lingkungan luar
maupun dalam tubuh hewan. Dalam sistem tubuh, reseptor berfungsi sebagai transduser
biologis, yaitu komponen struktural dalam tubuh hewan yang memiliki kemampuan untuk
mengubah suatu bentuk energi menjadi bentuk energi yang lain. Dalam sistem umpan balik,
reseptor bekerja dengan cara mengubah suatu bentuk energi yang di deteksi dari lingkungan
(misalnya energi listrik atau energi kimia) menjadi potensial aksi. Potensial aksi yang
terbentuk akan menjalar melalui serabut saraf aferen menuju pusat integrasi (pusat pengatur).

ii
Pusat integrasi pada hewan biasanya berupa otak atau korda spinalis. Peran pusat
integrasi ialah membandingkan informasi yang diterimanya dengan keadaan yang seharusnya
(keadaan yang diharapkan). Sebagai contoh, hipotalamus yang terletak di dasar otak mamalia
berfungsi sebagai pusat integrasi, antara laian dalam proses pengendalian suhu tubuh yang
terselenggara dengan sistem umpan balik negatif. Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut,
hipotalamus bekerja dengan menentukan jenis tanggapan yang sesuai, yaitu tanggapan yang
dapat membawa kepada suhu tubuh yang seharusnya ( suhu harapan atau suhu ideal,370C).
Penentuan jenis tanggapan dilakukan dengan membandingkan informasi suhu dari
termoreseptor dengan suhu harapan. Apabila informasi yang diterima menggambarkan bahwa
suhu tubuh sama dengan atau lebih dari 37,50C, pusat integrasi akan memerintahkan efektor
untuk memberikan tanggapan yang dapat menurunkan suhu tubuh, misalnya dengan cara
berkeringat, melebarkan pembuluh darah di kulit, atau kedua-duanya. Efektor ialah struktur
dalam tubuh hewan yang berfungsi sebagai organ penghasil tanggapan biologis, yang dapat
berupa sel otot atau kelenjar dan bekerja atas perintah dari pusat integrasi.
Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa pusat integrasi pada sistem umpan
balik negatif adalah organ yang memiliki “catatan” nilai/harga tertentu mengenai variabel
yang dikendalikannya. Nilai/harga tertentu tersebut selanjutnya dinyatakan sebagai suatu nilai
patokan. Nilai patokan merupakan nilai harapan atau nilai ideal dari suatu variabel yang harus
selalu dipertahankan. Nilai patokan seperti diuraikan diatas hingga saat ini masih merupakan
konsep hipotetik. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tubuh hewan dapat
beradaptasi terhadap suatu variabel dengan kisaran nilai tertentu. Sebagai contoh, kisaran
suhu tubuh mamalia yang dapat diadaptasi ialah antara 36,5-37,50C, derajat keasaman (pH)
plasma darah berkisar antara 7,35-7,45, sedangkan konsentrasi ion K+ dalam plasma berkisar
antara 3-5,5 mmol per liter.
Cara berfungsinya sistem umpan balik negatif dalam mengendalikan kondisi
homoestatis (khususnya dalam menjaga homoestatis suhu tubuh) dapat dilihat pada
Gambar1.2. Dari gambar 1.2 dapat diketahui bahwa pengendalian homoestatis sesungguhnya
merupakan keseimbangan antara masukan (input) dan keluaran (output). Dalam mengatur
suhu tubuh, sistem termoregulasi bekerja untuk menyeimbangkan perolehan panas dengan
pelepasan panas. Pernahkah kita membayangkan apa yang akan terjadi jika sistem
termoregulasi bekerja dengan sistem umpan balik positif ? Tentu saja suhu tubuh akan
menjadi kacau. Apabila sistem umpan balik positif bekerja dalam termoregulasi, rangsang
awal berupa peningkatan suhu tubuh/lingkungan akan menimbulkan tanggapan yang

ii
meningkatkan suhu tubuh menjadi lebih tinggi. Hal tersebut tidak akan memulihkan suhu
tubuh ke suhu harapan, tetapi akan memperbesar kenaikan suhu.
Peningkatan suhu tubuh yang berlebihan akan sangat membahayakan hewan. Pada
Gambar 1.2. dicontohkan bahwa rangsang awal berupa penurunan suhu lingkungan
eksternal. Hal tersebut mendorong efektor untuk menghasilkan respons yang dapat
mengembalikan suhu tubuh ke suhu yang di harapkan.

Pada manusia, nilai patokan untuk suhu tubuh ialah 370C. Akan tetapi, sebenarnya
suhu tubuh yang dapat diterima berada dalam kisaran ± 10C. Dalam tubuh hewan, berbagai
variabel fisiologis yang berbeda memiliki kisaran yang berbeda. Misalnya, derajat keasaman
(pH) plasma darah berkisar antara 7,35-7,45, sedangkan konsentrasi ion K+ dalam plasma
darah berkisar antara 3-5,5 mmol per liter. Tidak satu pun kondisi dalam tubuh yang selalu
ada pada tingkat yang benar-benar konstan. Pada hewan ditemukan adanya tingkatan
homoestatis. Suatu variabel akan dikendalikan secara lebih ketat daripada variabel lainnya.
Biasanya, variabel yang dikendalikan secara lebih ketat merupakan variabel yang lebih
penting daripada variabel yang dikendalikan secara kurang ketat. Mari kita perhatikan kisan
pH darah, yang dikendalikan secara sangat ketat sehingga kisarannya hanya bergerak antara
7,15-7,45. Perubahan pH, yang sangat kecil sekalipun, akan berpengaruh terhadap struktur
maupun fungsi/aktivitas enzim. Sementara, perubahan enzim (baik struktur maupun
fungsinya) akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan reaksi dalam sel.
Memperhatikan uraian di atas maka jelas bahwa yang dimaksud kondisi homoestatis
dalam lingkungan internal hewan ialah keadaan homoestatis yang dinamis. Keadaan
demikian sering juga dinyatakan sebagai keseimbangan dinamis atau dynamic equilibrium.
Mekanisme pengendalian kondisi homoestatis seperti yang diuraikan di atas
merupakan mekanisme pengendalian secara fisiologis dengan melibatkan sistem saraf, yang

ii
biasanya bekerja sama dengan sistem endokrin. Kita juga dapat menjumpai mekanisme
pengendalian kondisi homoestatis secara fisiologis yang agak berbeda dari mekanisme yang
sudah kita pelajari. Mekanisme tersebu sering disebut feed forward. Feed forward merupakan
aktivitas antisipatori, berkaitan dengan perilaku hewan yang dimaksudkan untuk
memperkecil (meminimalkan) kerusakan/gangguan pada sistem hidup, sebelum terjadi
kerusakan yang lebih parah. Contoh yang baik untuk feed forward ialah peristiwa makan dan
minum pada saat bersamaan. Memasukkan makanan ke dalam tubuh akan meningkatkan
osmolalitas isi usus, dan hal ini dapat mendorong pelepasan air dari jaringan tubuh ke lumen
usus untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Oleh karena itu, makan tanpa diikuti
minum berpotensi menyebabkan dehidrasi sehingga homoestatis osmotik tubuh akan
terganggu. Untuk memperkecil gangguan tersebut, sejumlah hewan melakukan makan dan
minum pada saat yang bersamaan.
Proses pengendalian kondisi homoestatis juga dapat terjadi melalui mekanisme non
fisiologis. Mekanisme semacam ini dapat dijumpai pada beberapa spesies hewan aquatik,
baik vertebrata maupun invertebrata. Hewan- hewan tersebut pada umumnya merupakan
golongan poikiloterm, sementara air merupakan lingkungan yang sulit mengalami perubahan
suhu. Oleh karena itu, pemilihan air sebagai tempat hidup bagi hewan poikiloterm merupakan
cara yang tepat untuk menjaga homoestatis suhu tubuh mereka.

ii
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Secara umum proses osmoregulasi adalah upaya atau kemampuan hewan air untuk
mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui
mekanisme pengaturan tekanan osmose.
2. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya perbedaan konsentrasi cairan tubuh
dengan lingkungan disekitarnya. Jika sebuah sel menerima terlalu banyak air maka ia akan
meletus, begitu pula sebaliknya, jika terlalu sedikit air, maka sel akan mengerut dan mati.
3. Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak
diperlukan oleh sel atau organisme hidup.

3.2. Saran
Penulis mengetahui bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, kritik, maupun petunjuk dari segala pihak
untuk menyempurnakan laporan yang penulis sajikan ini.

ii
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April 2013.


Arsih, Fitri. 2012. Fisiologi Hewan. Padang : UNP Press.
Campbell. 2004. Biologi Jilid Kelima-Jilid 3. Jakarta : Erlangga.
Djarijah, AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius.
Yogyakarta.
Effendie, M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Jakarta.
Fujaya, Y. 1999. Bahan Pengajaran Fisiologi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Kanisius
Kaneko, T., Shiraishi, K., Katoh, F., Hasegawa, S., dan Hiroi, J. 2002. Chloride cells during
early life stages of fish and their functional differentiation. Fisheries Science 68: 1-9.
Lesmana Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mahyuddin dan Kholish, 2011. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Rukmana R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Malang : IKIP Malang.
Suyanto, SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.
Suyanto, A. 1998. Mammals of Flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The Natural
Resources of Flores Island, pp. 78-87. Research and Development Centre for
biology, The Indonesian Institute of Sciences, Bogor.
Takeuchi, K., H. Toyohara, dan M. Sakaguchi. 2000. Effect of hyper- and hypoosmotic stress
on protein in cultured epidermal cell of common carp. Fisheries Science 66: 117-
123
Wulangi. S kartolo. Prinsip-prinsip fisiologi Hewan. DepDikBud : Bandung.
http://lita-artiyani190.blogspot.co.id/2010/12/posting-3-osmoregulasi.html

http://dokumen.tips/documents/makalah-osmoregulasi-pada-amfibi.html

ii
ii
ii

Вам также может понравиться