Вы находитесь на странице: 1из 51

BAB I

PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di


seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular.
Sementara, sepertiga dari seluruh populasi dunia saat ini berisiko tinggi untuk
mengalami major cardiovascular events. WHO mencatat sekitar 17 juta orang
meninggal karena penyakit ini dan sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung
dan stroke setiap tahunnya. Di Amerika setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah
sakit karena angina pectoris tak stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian
mendapat serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun.1
Penyakit Jantung Koroner (PJK) saat ini merupakan salah satu penyebab
utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.
Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni
sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang
disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat
orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK.1,2
Sindrom koroner akut merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. Mekanisme terjadinya SKA adalah disebabkan oleh karena proses
pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh
adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi,
trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi. Manifestasi klinis SKA dapat berupa
angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-ST elevation myocardial infarction /
NSTEMI, atau ST elevation myocardial infarction / STEMI sampai kematian jantung
mendadak. 2,3
Paradigma pengobatan atau strategi terapi medis penderita SKA berubah dan
mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasil-hasil penelitian mengenai
patogenesis SKA dan petunjuk-petunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat
dalam terapi medis tersebut mencakup terapi untuk mengendalikan faktor risiko
(terpenting statin untuk dislipidemia, obat antihipertensi terutama obat ACE-I, obat
penghambat reseptor A-II), obat-obat baru antitrombotik, gagal jantung, dan aritmia.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung

Jantung terletak dalam mediastinum di rongga dada, yaitu diantara kedua


paru – paru. Pericardium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan: lapisan
dalam disebut pericardium viseralis dan lapisan luar disebut pericardium parietalis.
Perikardium parietalis melekat pada tulang dada di sebelah depan, dan pada kolumna
vertebralis di sebelah belakang, sedangkan kebawah pada diafragma. Perikardium
viseralis langsung melekat pada permukaan jantung. Jantung sendiri terdiri dari tiga
lapisan. Lapisan terluar disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan otot
yang disebut miokardium, sedangkan lapisan terdalam yaitu lapisan endotel disebut
endokardium.4,5
a. Atrium Kanan
Darah yang berasal dari pembuluh vena ini masuk kedalam atrium kanan
melalui vena kava superior, inferior dan sinus koronarius. Dalam muara vena
kava tidak ada katup – katup sejati. Yang memisahkan vena kava dari atrium
jantung ini hanyalah lipatan katup atau pita otot yang rudimenter. Karena itu
peningkatan tekanan atrium kanan akibat bendungan darah di bagian kanan
jantung akan di balikkan kembali ke dalam vena sirkulasi sistemik.
Sekitar 80% alir balik vena ke dalam atrium kanan akan mengalir secara
pasif ke daalam ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis. Dua persen
sisanya akan mengisi ventrikel secara aktif ini dinamakan atrial kick.
b. Ventrikel Kanan
Sirkulasi pulmonal merupakan sistem aliran darah bertekanan rendah,
dengan resistensi yang jauh lebih kecil terhadap aliran darah dari ventrikel
kanan, dibandingkan tekanan tinggi sirkulasi sistemik terhadap aliran darah
dari ventrikel kiri. Akibatnya tebal dinding ventrikel kanan hanya sepertiga
dari tebal dinding ventrikel kiri.

2
c. Atrium Kiri
Atrium kiri menerima darah dari yang sudah dioksigenasi dari paru – paru
melalui keempat vena pulmonalis. Antara vena pulmonalis dan atrium kiri
tidak ada katup sejati. Karena itu, perubahan tekanan dalam atrium kiri
mudah sekali membalik retrograd ke dalam pembuluh paru – paru.
Peningkatan tekanan atrium kiri berdinding tipis dan bertekanan rendah.
Darah mengalir dari atrium kiri ke dalam ventrikel kiri melalui katup mitralis.
d. Ventrikel Kiri
Ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang cukup tinggi untuk
mengatasi tahanan sirkulasi sistemik, dan mempertahankan aliran darah ke
jaringan – jaringan perifer.
Pada kontraksi, tekanan ventrikel kiri meningkat sekitar lima kali lebih
tinggi daripada tekanan ventrikel kanan; bila ada hubungan abnormal antara
kedua ventrikel maka darah akan mengalir dari kiri ke kanan melalui robekan
tersebut. Akibatnya jumlah jumlah aliran darah dari ventrikel kiri melalui
katup aorta ke dalam aorta akan berkurang.
2.1.1 Vaskularisasi jantung

Jantung mendapat vaskularisasi dari arterie coronaria dextra dan sinistra,


yang berasal dari aorta ascendens tepat diatas valva aortae. Arteri coronaria
dan percabangan utama terdapat dipermukaan jantung, terrletak di dalam
jaring ikat subepicardial.

Arteria coronaria dextra berasal dari sinus anterior aorta dan berjalan ke
depan di antara trunkus pulmonalis dan auricula dextra. Arteri ini berjalan
turun hampir ventrikel di dalam sulcus atrio-ventrikulare dextra. Cabang–
cabangnya

3
1. Ramus coni arteriosis, mendarahi facies anterior conus pulmonalis
(infundibulum ventrikulare dexter) dan bagian atas dinding anterrior
ventrikulare dexter.

2. Ramus ventriculare anteriores, mendarahi fasies anterior ventrikulus


dexter. Ramus marginalis dexterr adalah cabang yang terbesar dan berjalan
sepanjang pinggir bawah fasies kostalis untuk mencapai apex cordis.

3. Ramus ventrikulare posterrior mendarahi facies diaphragmatica ventrikulus


dexter.

4. Ramus Interventrikulare posterior(desendens), berjalan menuju apeks pada


sulkus interventrikulare posterior. Memberikan cabang – cabang ke
ventrikulus dexter dan sinister termasuk dinding inferiornya. Memberikan
percabangan untuk bagian posterior septum ventrikulare tetapi tidak untuk
baagian apeks yang menerima pendarahan dari ramus inventrikulus
anterior arterria coronaria sinister. Sebuah cabang yang besar mendarahi
nodus atrioventrikularis.

5. Ramus atrialis, beberapa cabang mendarahi permukaan anterior dan lateral


atrium dexter. Atria nodus sinuatrialis mendarahi nodus dan atrium
dextrum dan sinistra.
Arteria coronaria sinistra, lebih besar dibanndingkan dengan arteria
coronaria dextera, mendarahi sebagian besar jantung, termasuk sebagian
besar atrium kiri, ventrikel kiri dan septum ventrikular. Arteri ini berasal dari
posterior kiri sinus aorta ascendens dan berjalan ke depan di antara trunkus
pulmonalis dan aurikula sinister. Kemudian pembuluh ini berjalan di sulcus
atrioventrikularis dan bercab.nag dua menjadi ramus interventreikular
anterior dan ramus circumflexus.
1. Ramus interventrikularis (descendens) anterior, berjalan ke bawah di dalam
sulcus interventrikularis anterior menuju apex kordis. Pada kebanyakan
orang pembuluh ini kemudian berjalan di sekitar apeks cordis untuk masuk

4
ke sulkus interventrikular posterior darn beranastosis dengan cabang –
cabang terminal arteria coronaria dextra
2. Ramus circumflexus, pembuluh ini melingkari pinggir kiri jantung di
dalam sulkus atrioventrikular. Ramus marginalis merupakan cabang yang
terbesar mendarahi batas kiri ventrikule sinistra dan turun sampai apeks
kordis.

Gambar 2.1. Vaskularisasi Jantung


2.2 Sindrom Koroner Akut
2.2.1 Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. SKA adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi
angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard tanpa
elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark
miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI).
2.2.2 Etiologi
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia dalam Pedoman
tentang Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST-ELEVASI (2004)
menjelaskan tentang patogenesis SKA, secara garis besar ada lima penyebab yang
tidak terpisah satu sama lain. Dengan kata lain penyebab-penyebab tersebut tidak
berdiri sendiri, beberapa pasien mempunyai lebih dari dua penyebab. Antara lain:

5
1. Ruptur Plak
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena
penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak
aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat.
Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari
plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan
penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner
epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik
koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah
yang lebih kecil.
3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena
spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis
progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
4. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan
dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi
plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak
meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat
mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat
mengakibatkan SKA.
5. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi
pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab berupa
penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard,

6
dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik. SKA jenis ini antara
lain karena :
o Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis
o Berkurangnya aliran darah koroner
o Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan
hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak
terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari
satu penyebab dan saling terkait.
2.2.3 Patogenesis 3-7
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama
dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease
(PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat
komplek dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari
aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak
(plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled
macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang
mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan
aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan
adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks,
pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak
aterosklerotik yang tidak stabil.
Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang
peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung
koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya
ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan
trombosis pada SKA. Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan
complication pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda
bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis

7
lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun
pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada
pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh
darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah
proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh
koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark
miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau
progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses
aterosklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA.
Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah
beku yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam
trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri,
dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena
(trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih
banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet. Komponen-komponen yang
berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh darah, aliran darah dan
darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan
antikoagulan alamiah.
Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan
oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis
yang vulnerable mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang
dipicu oleh erosi, fisur, atau rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya
kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic plaques)
dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak (shoulder
region of the plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T
dan lain-lain. (Gambar 2.2.) Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan persentase
penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti
apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko
terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak
(derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan (vulnerability) plak.

8
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding
arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue
factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta
pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus yang
terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner berat
yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil akan
menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian
jaringan. Trombus biasanya transien/labil dan menyebabkan oklusi sementara yang
berlangsung antara 10–20 menit.
Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral
atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan
timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan miokard). Trombus yang terjadi
lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan
tidak dikompesasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard mengalami
nekrosis dikenal dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten
yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih
dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.

Gambar 2.1 Manifestasi Atherothrombosis

9
Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah sebagai
dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama
disebabkan oleh pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat fibrous cups yang
tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups bukan
merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling akibat aktivitas-
aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan matriks
ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM) akibat aktivitas matrix metallo
proteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan kolagen dan aktivitas
inflammatory cytokines. Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa
proses inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-
biologis SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses inflamasi.
Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik.
Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik.
Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi fibrinogen dan
inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat
menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena tergganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis SKA.
Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi
atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi
mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida
(NO) yang dikenal sebagai Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF),
prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin
H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi.
Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet dependent vasocontriction yang
diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent
vasoconstriction diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot
polos pembuluh darah.

10
2.2.4 Faktor Resiko
a. Faktor risiko utama yang tidak dapat dimodifikasi :
Faktor risiko utama yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah
umur, jenis kelamin laki-laki, dan riwayat penyakit penyakit jantung koroner
pada anggota keluarga diusia muda (anggota keluarga laki-laki muda dari
usia 55 tahun atau anggota keluarga perempuan yang lebih muda dari usia
65). Faktor risiko tambahan yang dapat diubah antara lain obesitas dan
jumlah aktivitas fisik. Baru-baru ini marker penentu yang berhubungan
dengan perkembangan arterosklerosis dan sedang dievaluasi sebagai factor
risiko baru adalah naiknya jumlah hal-hal berikut dalam sirkulasi : 1)
Metabolisme asam amino homocysteine, 2) pertikel lipoprotein khusus, dan
3) marker inflamasi tertentu yang terdiri atas reaktan fase akut dar C-reaktif
protein.6
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1. Dislipidemia
Jumlah lipid yang abnormal dalam sirkulasi menjadi bukti tetap dan
terbesar sebagai faktor risiko utama terhadap perkembangan arterosklerosis.
Studi observasional telah menunjukkan hubungan antara negara dengan
konsumsi asam lemak jenuh rendah dengan jumlah kolesterol serum yang
rendah (contohnya Jepang dan Negara-negara di Mediterania), Amerika
serikat dan Negara lainnya dengan konsumsi lemak jenuh dan kolesterolnya
tertinggi memiliki angka kematian yang tinggi terhadap penyakit jantung
koroner.6,7,8
Data yang sama dari studi Framingham menunjukkan bahwa risiko
penyakit jantung iskemik meningkat seiring dengan total kolesterol serum
yang tinggi. Risiko penyakit jantung koroner meningkat kira-kira dua kali
lipat pada individu yang level total kolesterolnya 240 mg/dL dari pada
individu yang level kolesterolnya 200 mg/dL.6
Normalnya, kandungan kolesterol intraseluler dipertahankan dengan
memperketat regulasi asupan kolesterol, sintesis de novo, penyimpanan, dan

11
membuangnya dari sel. Enzim HMG CoA reductase adalah langkah untuk
membatasi biosintesis kolesterol intraseluler dan dikontrol oleh reseptor
terkait endositosis dari partikel LDL sirkulasi. Level kolesterol yang tinggi
dapat menghambat enzim HMG CoA reduktase dan sinyal sel untuk
mengurangi produksi reseptor LDL. Jumlah kolesterol intraseluler yang
cukup pada sel perifer selalu dipicu oleh peningkatan produksi Cholesterol
efflux regulatory protein (CERP), produk yang baru-baru ini teridentifikasi
adalah gen ATP binding Cassette 1 (ABC A-1). CERP memediasi transfer
kolesterol membran ke partikel HDL, yang mengirim kolesterol berlebih
kembali ke hati dalam proses yang dikenal sebagai transport balik kolesterol.
Dengan kemampuan ini dapat membuang lipid intraseluler, HDL melindungi
lagi akumulasi lipid, dan level HDL serum berbanding terbalik dengan
kejadian penyakit arterosklerotik. HDL sering juga disebut sebagai “
kolesterol baik.”6
Sebaliknya, jumlah LDL yang tinggi berhubungan dengan
meningkatnya kejadian arterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Saat
jumlahnya berlebihan, LDL dapat terakumulasi di rongga subendothelial dan
mengalami modifikasi kimia dan merusak tunika intima mengakibatkan
perkembangan arterosklerosis. LDL sering disebut juga “ Lemak Jahat.“6
Kenaikan LDL serum dapat disebabkan berbagai alasan, termasuk diet
tinggi lemak atau dikarenakan kerusakan pada mekanisme penghambatan
reseptor LDL. Pasien dengan kerusakan genetic reseptor LDL (biasanya
heterozigot dengan satu normal dan satu kerusakan gen yang mengkode
reseptor) tidak dapat membuang LDL dari sirkulasi dengan efisien. Keadaan
ini disebut familial hiperkolesterolemia, dan begitu juga dengan individu
yang memiliki LDL plasma tinggi dan berkembang menjadi arterosklerosis
premature. Homozigot yang kekurangan reseptor LDL total dapat bertahan
selama decade pertama kehidupan.6
Meningkatkan bukti keterkaitan trigliserida kaya lipoprotein, seperti
VLDL dan IDL, dalam perkembangan arterosklerosis. Belum sepenuhnya

12
jelas jika partikel ini ikut andil secara langsung dalam aterogenesis atau
secara sederhana ikut serta bersama dengan rendahnya level kolesterol HDL.
Untuk catatan, lemahnya kontrol diabetes mellitus tipe II sering berhubungan
dengan hipertrigliseridemia rendahnya level HDL, sering diikuti dengan
obesitas sentral (meningkatnya ukuran lingkar abdomen) dan hipertensi.
Gabungan dari factor risiko tersebut dapat berhubungan dengan ketahanan
insulin dan khususnya atherogenik. Penyebab sekunder dari rendahnya level
lipid serum terkait dengan penyakit tiroid, ginjal, dan hati.6
2. Merokok
Merokok dapat memicu terjadinya aterosclerosis, melingkupi
meningkatnya proses oksidasi modifikasi dari LDL dan menurunkan HDL
dalam sirkulasi. Kelainan disfungsi endotel pembuluh darah disebabkan
karena jaringan tersebut mengalami hipoksia dan peningkatan adhesi dari
trombosit, peningkatan molekul leukosit dan respon inflamasi stimulasi yang
tidak sesuai dari nervus simpotikus oleh nikotin dan perpindahan dari oksigen
menjadi karbon monoksida pada hemoglobin. Dari percobaan yang dilakukan
pada hewan merokok mempunyai konstribusi dalam terjadinya
aterosklerosis.7,8
Secara kebetulan penghentian terhadap kebiasaan merokok bisa
merubah efek buruknya. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa seseorang
yang sudah berhenti merokok dapat mengurangi terjadinya aterosklerosis dari
pada orang yang merokok. Salah satu studi mengatakan bahwa, setelah 3
tahun berhenti merokok resiko terkena penyakit jantung koroner menjadi
sama dengan orang yang tidak pernah merokok.8
3. Diabetes melitus
Diabetes meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis dan orang
dengan diabetes melitus memiliki 2-3 kali peningkatan kemungkinan terjadi
gangguan pada kardiovaskular. Mekanismenya bisa berhubungan dengan
non-enzim glycation dari lipoprotein pada pasien diabetes (hal tersebut
berhubungan dengan besarnya ambilan kolesterol oleh makrofag scavenger)

13
atau kecenderungan protrombotik dan anti fibrinolitik. Keadaan tersebut
mungkin banyak terjadi pada pasien dengan kondisi ini.6,7
Seseorang dengan diabetes seringkali memiliki fungsi endotel yang
lemah ini dapat diukur dari menurunnya bioavailabilitas dari NO dan
meningkatnya perlekatan leukosit. Contoh : kadar serum glukosa yang terjaga
pada pasien diabetes mengurangi resiko komplikasi mikrovaskuler antaralain
seperti retinophati dan neprophaty.6
Diabetes tipe- II adalah bagian tersering dalam syndrom metabolik
dalam hal ini berhubungan dengan hipertensi, kadar lemak yang abnormal
(hipertrigliserida, HDL rendah, partikel LDL padat) dan bertambahnya
ukuran lingkar perut.6
Kunci pada sindrom adalah adanya resistensi insulin pada sel-sel
peripheral. Faktanya ada resistensi insulin ini muncul untuk mendorong
terjadinya aterosklerosis, lama sebelum berdampak pasien yang didapati
dengan diabetes.3,6,7
4. Hipertensi
Kenaikan tekanan darah (sistolik atau diastolik) memperbesar
kemungkinan untuk beresiko aterosklerosis, peyakit jantung koroner dan
stroke. Hubungan kenaikan darah dengan penyakit kardiovaskular tidak
memperlihatkan hasil akhir yang baik. Lebih dari itu resiko akan terus naik
dengan nilai progresif yang tinggi. Tekanan sistolik diprediksi menurunkan
out come lebih nyata dari pada tekanan diastolik terutama pada usia tua.6,,7,8
Hipertensi mungkin memicu aterosklerosis dengan berbagai cara.
Penelitian yang dilakukan pada bintang memperlihatkan kenaikan tekanan
darah dapat melukai endotel dan meningkatkan permeabilitas dinding
pembuluh darah sehingga lipoprotein menjadi lebih mudah untuk masuk ke
dinding pembuluh darah tersebut. Peningkatan hemodinamik stress dapat juga
meningkatkan jumlah reseptor scanvanger di makrofag, juga meningkatkan
foam sel. Siklus rantai circum ferential, dapat meningkatkan tekanan arteri
yang dapat meningkatkan produksi sel otot polos yang mengikat proteoglikan

14
dan menahan partikel LDL, memacu akumulasi di tunika intima dan
memfasilitasi perubahan oksidatif. Angiotensin II adalah sebuah mediator
hipertensi tidak hanya sebagai vasokontriktor tetapi juga sebagai sitokin pro-
inflamasi. Dengan demikian hipertensi juga dapat menimbulkan proses
aterogenesis yang melibatkan proses inflamasi.6
2.2.5 Klasifikasi2,3
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indicator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan
tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard
secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil
dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila
hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka

15
diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation
Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung
tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma coroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas
(upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan
EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina
sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6
jam dan setiap terjadi angina berulang.
2.2.5.1 Angina Pektoris Tidak Stabil
Angina pektoris tidak stabil atau Unstable angina (UA) adalah keadaan
pasien dengan gejala iskemia sesuai dengan sindroma coroner akut tanpa terjadinya
peningkatan enzim penanda iskemia jantung (CKMB, troponin) dengan atau tanpa
perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen ST, inversi gelombang
T dan elevasi segmen ST yang transien).3
A. Epidemiologi
Gangguan mengancam kehidupan ini adalah penyebab utama perawatan
medis di IGD dan ruang rawat di Amerika Serikat. Pada tahun 2004, National Center
for Health Statistics melaporkan rawat-inap 1,565,000 untuk primer atau sekunder
diagnosis akut koroner sindrom (ACS), 669,000 untuk UA dan 896,000 untuk infark
miokard (MI). Usia rata-rata orang mengalami serangan jantung pertama adaah 65.8
tahun untuk laki-laki dan 70.4 tahun bagi perempuan dan 43% pasien ACS adalah
wanita dari segala usia. Pada tahun 2003, ada 4,497,000 kunjungan ke bagian gawat
darurat Amerika Serikat dengan diagnosa Cardiovascular Disease (CVD).9
Dengan pengobatan farmakologis, berbagai penelitian menunjukkan bahwa
dalam 1 tahun pertama, variasi prosentase penderita ATS yang mengalami IMA
berkisar antara 6-60% dengan tingkat kematian 1-40%. Penelitian Heng dkk
melaporkan bahwa selama perawatan di rumah sakit terdapat 26% penderita ATS

16
dengan angina berulang mengalami IMA. Sedangkan tanpa angina berulang hanya
10%.
Demikian juga Julian melaporkan dalam 1 tahun, 8% penderita ATS
mengalami IMA dengan tingkat kematian 12%. Yetty (1985-1987) di RS Jantung
Harapan Kita meneliti 12 faktor risiko tinggi untuk terjadinya IMA pada ATS antara
lain umur 60 tahun, stres, riwayat angina, riwayat infark, hipertensi, DM, riwayat
keluarga, kebiasaan merokok, rasio torak jantung (CIR) 60% dan angina berulang.
Ternyata didapatkan kebiasaan merokok. CIR 60% dan angina berulang mempunyai
hubungan bermakna terhadap terjadinya IMA pada ATS dan kombinasi dari ketiga
faktor tersebut meningkatkan kejadian IMA. Juga dilaporkan kejadian IMA pada fase
perawatan dari rumah sakit adalah 6,25% dengan tingkat kematian 2,08% sedangkan
pada fase pemeriksaan tindak lanjut 20,45% dengan tingkat kematian 0%.
B. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman. Klasifikasi yang dibuat berdasarkan beratnya serangan angina dan
keadaan klinik.10
Tabel 2.1 Klasifikasi berdasarkan beratnya angina10
Berat
Class I Angina yang berat untuk pertama kali .

Pasien dengan durasi angina kurang dari 2 bulan, bertambah berat


atau terjadi≥ 3 kali perhari, atau angina yang jelas lebih sering dan
timbul dengan aktivitas ringan.
Class II Angina saat istirahat; subakut

Pasien dengan 1 kali atau lebih serangan angina dalam 3 bulan dan
tidak ada serangan dalam 48 jam terakhir.
Class III Angina saat istirahat; akut

Pasien dengan 1 kali atau lebih serangan angina saat istirahat


dalam 48 jam terakhir

17
Tabel 2.2 Klasifikasi berdasarkan keadaan klinis10

Keadaan klinis
Class A Secondary unstable angina
Keadaan ekstrinsik yang telah diidentifikasi kaitannya dengan
pembuluh darah koroner dan iskemia miokard, misalnya, anemia,
infeksi, demam, hipotensi, takiaritmia, tirotoksikosis, hipoksemia
sekunder akibat kegagalan pernapasan
Class B Primary unstable angina
Class C Angina yang timbul setelah UA (dalam 2 minggu MI)

Intensitas
Pengobatan
1. Tidak ada pengobatan atau pengobatan minimal
2. Masih timbul serangan angina walaupun sudah mendapatkan terapi standard
pada kronik UA ( beta-blockers, nitrat dan calcium antagonists oral)

C. Diagnosis
Presentasi klinis angina tidak stabil:
1. Angina saat istirahat biasanya ≥ 20 menit
2. Onset angina baru CCSC kelas III atau IV dalam waktu 4 minggu
presentasi
3. Peningkatan frekuensi dan intensitas angina sebelumnya stabil untuk
CCSC kelas III atau IV
4. Angina dalam waktu 6 minggu setelah infark miokard.4
Dengan anamnesis yang baik dan teliti sudah dapat disimpulkan mengenai
tinggi rendahnya kemungkinan penderita tersebut menderita angina pektoris stabil
atau kemungkinan suatu angina pektoris tidak stabil. Ada 5 hal yang perlu digali dari
anamnesis mengenai angina pectoris yaitu: lokasinya, kualitasnya, lamanya, faktor
pencetus, faktor yang bisa meredakan nyeri dada tersebut. Beratnya nyeri pada

18
angina pectoris dapat dinyatakan dengan menggunakanskala dari Canadian
Cardiovaskuler Society, seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.3 Canadian Cardiovaskuler Society9
Kategori Gambaran
Kelas I Aktifitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-
2 lantai dan lain-lainnya tak menimbulkan nyeri dada. Nyeri
dada akan timbul bila latihan berat, bekerja cepat atau terburu-
buru dan berpergian.
Kelas II Aktifitas sehari-hari agak terbatas, misalnya angina pektoris
akan timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya
seperti berjalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai, dan
berjalan menanjak
Kelas III Aktifitas sehari-hari nyata terbatas, angina pektoris timbuk bisa
berjalan 1-2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai dengan
kecepatan biasa
Kelas IV Angina bisa timbul waktu istirahat sekalipun, hampir semua
kegiatan dapat menimbulkan angina, termasuk mandi dan
menyapu.

Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan Angina Pektoris


Tidak Stabil /NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala semata-mata. Penanda
biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik
yang lebih baik dari pada CK-MB. Troponin T juga didapatkan selama jejas otot,
pada penyakit otot (misal polimiositis), regenerasi otot, gagal ginjal kronik. Hal ini
dapat mengurangi spesifisitas troponin T terhadap jejas otot jantung. Sehingga pada
keadaan-keadadan tersebut, troponin T tidak lagi dapat digunakan sebagai penanda
biokimia.Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan kontraksi dari sel miokard.
Susunan asam amino dari Troponin C sama antara sel otot jantung dan rangka,
sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk
memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam

19
30 hari adalah sama. Kadar serum creatinine kinase (CK) dengan fraksi MB
merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua
penanda tersebut adalah relatif rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6
jam) setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segmen ST
elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB.10
Meskipun mioglobin tidak spesifik untuk jantung, tapi memiliki sensitivitas
yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes negatif dari
mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya nekrosis miokard.
Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai satu- satunya penanda
jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI. Peningkatan kadar CKMB
sangat erat berkaitan dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST,
dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal.
Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan
ringan miokard dan adanya risiko terjadinya perburukan penderita.10
Troponin khusus jantung merupakan penanda biokimia primer untuk SKA.
Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat <6 jam harus diulang saat 6-12
jam setelah onset nyeri dada.10
Tabel 2.4 TIMI Risk Score3
Variabel Skor
Usia ≥ 65 tahun 1
≥3 faktor risiko penyakit jantung coroner( hipertensi, riwayat 1
keluarga, hiperkolesterolemia, diabetes, perokok aktif)
Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir 1
≥ 2 episode angina dalam 24 jamterakhir 1
Peningkatan enzim jantung 1
Devariasi segmen ST ≥ 0.5 mm, yaitu depresi atau elevasi segmen ST 1
yang transien (<20 menit)
Diketahui menderita PJK 1
Skor 0-2 : risiko rendah, 3-4 : risiko sedang,5-7 : risiko tinggi

20
2.3.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner
dengan trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark
miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung.
Penderita SKA perlu penanganan segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di
rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang
harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki prognosis pasien.
Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis dini sampai dengan mulai terapi
reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA harus dimulai sedini
mungkin, reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.7
Pasien yang telah ditetapkan sebagai penderita UAP/NSTEMI harus
istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontinyu untuk mendeteksi iskemia dan
aritmia. Oksigen diberikan pada pasien dengan sianosis atau distres pernapasan.
Perlu dilakukan pemasangan oksimetri jari (finger pulse oximetry) atau evaluasi gas
darah berkala untuk menetapkan apakah oksigenisasi kurang (SaO2 <90%). Morfin
sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera hilang dengan nitrat, bila terjadi
edema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat ACE diberikan bila hipertensi
menetap walaupun telah diberikan nitrat dan penyekat-β pada pasien dengan
disfungsi sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien dengan
diabetes. Dapat diperlukan intra-aortic ballon pump bila ditemukan iskemia berat
yang menetap atau berulang walaupun telah diberikan terapi medik atau bila terdapat
instabilitas hemodinamik berat.7
Ada berbagai cara lain yang diperlukan untuk menurunkan kebutuhan
oksigen jantung antara lain: pasien harus berhenti merokok, karena merokok
mengakibatkan takikardia dan naiknya tekanan darah, sehingga memaksa jantung
bekerja keras. Orang obesitas dianjurkan menurunkan berat badan untuk mengurangi
kerja jantung. Mengurangi stress untuk menurunkan kadar adrenalin yang dapat
menimbulkan vasokontriksi pembulu darah. Pengontrolan gula darah. Penggunaan
kontrasepsi dan kepribadian seperti sangat kompetitif, agresif atau ambisius.3

21
2.2.5.2 Infark Miokard Non ST Elevasi (NSTEMI)
A. Epidemiologi
Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama kematian di amerika
serikat. NSTEMI (Non ST-Elevation Miocardial Infarction) adalah salah satu
manifestasi akut kondisi ini. Pada tahun 2004, pusat nasional untuk statistik
kesehatan dilaporkan dirawat di rumah sakit 896.000 penderita infark miokard (MI).
B. Diagnosis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang epigastrium dengan
ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa
penuh, berat atau tertekan menjadi manifestasi gejala yang sering ditemui pada
NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang
memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki prognosis lebih baik jika
dibandingkan dengan yang nyeri dada pada saat istirahat.Walaupun gejala khas rasa
tidak enak di dada, iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak
khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu
atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien
berusia lebih dari 65 tahun.
a. Anamnesis
Diagnosis adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran
EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada
tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa
tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan
SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan penanda
awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina
sebagai berikut:
• Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
• Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
22
• Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung atau
interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
• Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan
lemas.
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan Angina Pektoris
Tidak Stabil /NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala semata-mata.
Presentasi klinis klasik SKA tanpa elevasi segmen ST berupa:
 angina saat istirahat lebih dari 20 menit (angina at rest)
 angina yang dialami pertama kali dan timbul saat aktivitas yang lebih
ringan dari aktivitas sehari-hari (new onset angina)
 peningkatan intensitas, frekuensi dan durasi angina (angina kresendo)
 angina pasca infark
Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut.
Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa
tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada
wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar
pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar
tidak terjadi kesalahan diagnosis atau bahkan sampai tidak terdiagnosis/ under
estimate .
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari SKA. Keadaan disfungsi ventrikel kiri
(hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk.
c. Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang
dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari
EKG adalah :
1. Depresi segmen ST > 0,05 mV (1/2 kotak kecil)
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV (2 kotak kecil) inversi
gelombang T yang simetris di sandapan prekordial
23
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya
perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan
diagnosis APTS/NSTEMI.
Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan
kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut,
dengan berbagai ciri dan kategori:
• Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak
dijumpai gelombang Q.
• Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T
d. Penanda Biokimia Jantung
Penanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai
nilai prognostik yang lebih baik dari pada CK-MB. Troponin T juga didapatkan
selama jejas otot, pada penyakit otot (misal polimiositis), regenerasi otot, gagal
ginjal kronik. Hal ini dapat mengurangi spesifisitas troponin T terhadap jejas otot
jantung. Sehingga pada keadaan-keadadan tersebut, troponin T tidak lagi dapat
digunakan sebagai penanda biokimia.Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan
kontraksi dari sel miokard. Susunan asam amino dari Troponin C sama antara sel
otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik
dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan
kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari adalah sama. Kadar serum creatinine
kinase (CK) dengan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis
miokard. Keterbatasan utama dari kedua penanda tersebut adalah relatif
rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset serangan.
Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segmen ST elevasi lebih besar pada
pasien dengan peningkatan nilai CKMB.

24
Gambar 2.2 Waktu timbulnya Marka Jantung
Diagnosis NSTEMI ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria,
yaitu
 Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian
nitrat biasa.
 Perubahan elektrokardiografi (EKG)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non
STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan
EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu
dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten
(<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada
STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat
dugaan Non STEMI.
 Peningkatan petanda biokimia.

25
Nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang
disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme
MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light
chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Troponin T atau
Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang lebih baik, karena
lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB.
Pada pasien dengan infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada
daerah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2 minggu.
Tabel 2.5 Perbedaan antara angina tak stabil, NSTEMI dan STEMI :

26
Tabel 2.6 Tingkat peluang SKA NSTEMI

C. Faktor Resiko

27
D. Penatalaksanaan
Tabel 2.7 Penatalaksanaan Awal NSTEMI

28
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen,Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring (Kelas I-C)


2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B) atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).

29
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-
C). jikanyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat
diulang setiaplima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikanpada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga
dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas IIa-B).

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:


1. Anti Iskemia
1.1 Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya
terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup
memadai dibandingkan injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI,
terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak
terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga
diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama
tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada
pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang
dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III
(Kelas I-B). Beberapa penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek
klinik dapat dilihat pada tabel 2.5

30
Tabel 2.8 Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA
Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis parsial Dosis untuk angina

Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,

titrasi sampai

maksimum 2x25

mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

1.2 Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel
kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat
adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang
mengalami aterosklerosis.

1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut
dari episode angina (Kelas I-C).
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena
jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung,
atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang

31
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin
converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
Tabel 2.9. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate
(ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari


Oral (slow release) 120-240 mg/hari

Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg


(trinitrin, TNT, glyceryl
trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

1.3 Calcium channel blockers (CCBs).

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit

atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA.

Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu
CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi
angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi
keluhan angina.

32
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang
telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).

2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan


indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
Tabel 2.10 Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal
kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis

Nifedipine GITS
(long acting) 30-90 mg/hari

Amlodipine 5-10 mg/hari

2. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis
loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-
A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih (Kelas I-A).

3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama


DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau

33
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko
seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).

4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan


sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis (Kelas I-C).

5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik


sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180
mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang
strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-
B).

6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan


ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap
hari (Kelas I-A).

7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti
dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang
dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor
(Kelas I-B).

Tabel 2.11. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA


Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg

Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari

Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

34
3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian
iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan
DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Contoh sediaan obat
berupa eptivibatide.

4. Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet


secepat mungkin.

1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi


antiplatelet (Kelas I-A).

2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan


berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).

3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko


yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan
(Kelas I-A).

4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus


UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan
penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).

5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko

perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).

6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat
molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).

7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu


dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
35
Tabel 2.12. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA
Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan

Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin tidak Bolus i.v. 60 U/g, dosis


terfraksi maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam
target aPTT 11/2-2x kontrol

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko

perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).

2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi


dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen
INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada
penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa
penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.

1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada


indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien
36
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-
A).

2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti


di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).

3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang


intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B).
Tabel 2. 13 Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA
Inhibitor ACE dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg

Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis

Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

5.7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah
menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A).
Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit,
dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas I-
A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

37
2.4.7 Komplikasi
Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI,
sehingga menimbulkan komplikasi seperti :
 Aritmia
 Disritmia
 Defek septum ventrikel
 Ruptur jantung
 Aneurisma ventrikel
 Tromboembolisme
 Gagal jantung
 Shock kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dari output jantung sangat
menurun dan hypotension (tekanan darah sistolik <90 mmHg) dengan
perfusi jaringan perifer tidak memadai, yang terjadi ketika lebih dari
40% dari massa LV telah infark. Hal ini juga dapat mengikuti
komplikasi mekanik parah MI dijelaskan di bawah ini :

1. Hipotensi menyebabkan perfusi koroner menurun, yang


memperburuk kerusakan iskemik
2. Menurunnya stroke volume meningkatkan ukuran LV dan karena
itu menambah kebutuhan oksigen miokard. Meskipun perlakuan
agresif, angka kematian pasien dalam syok kardiogenik lebih besar
dari 70%.

2.2.5.3 Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)


Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis
miokardium akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”,
merupakan penyebab tunggal tersering kematian dan merupakan salah satu diagnosis
rawat inap tersering di negara maju.

38
2.5.3 Diagnosis Dan Pemeriksaan
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri
dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri
dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia,
merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai.
Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di
laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda
fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara.
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST
kurang lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau
kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.

2.5.4 Penatalaksanaan STEMI

1. Perawatan

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik


untuk diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis
pertama adalah saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau
pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di
unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat


nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke
39
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan
EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis
STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi
EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk
mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal
pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang
berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.

Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan
yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target
kualitas berikut ini:

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG


pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi
reperfusi:
a. Untuk fibrinolisis ≤30 menit
b. Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien dating
dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah
sakit yang mampu melakukan IKP)

2. Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,


diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block
(LBBB) yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika
nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.

40
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP.
Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu
tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit
tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu
lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.

A. Intervensi Koroner Perkutan Primer


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut
yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa
pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan
awitan gejala yang telah lama.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri
yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala
pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun
belum diberikan fibrinolysis.
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi
antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stentt
(DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS).
a. Farmakologis Periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya
mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa
aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin
sebelum angiografi (Kelas I-A), disertai dengan
antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat
41
dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat
reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis
pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari) (Kelas I-B).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi
yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila
ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan (Kelas I-
C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer.
Pilihannya antara lain:
I. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa
penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus
digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
II. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor
GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin
yang tidak terfraksi (Kelas IIb-B).
III. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer
(Kelas III-B).
IV. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada
pasien yang direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-
A).
B. Terapi Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting,
terutama pada tempat tempat yang tidak dapat melakukan IKP
pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila
IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman

42
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada
pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis
pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B).
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.

43
Tabel 2.14 Kontraindikasi terapi anti fibrinolitik

Tabel 2.15 Sediaan Fibrinolitik

44
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan


manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (IMA)
yang disertai elevasi segmen ST, dan IMA tanpa elevasi segmen ST. Ketiga penyakit
tersebut mempunyai mekanisme patofisiologi yang sama, yaitu disebabkan oleh
terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis,
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berat atau oklusi pada arteri
koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara angina tak
stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis trombus yang
menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan
thrombus inkomplit/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trobus
komplet/oklusif.
Diagnosis sindrom koroner akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang berupa elektrokardiogram dan biomarker jantung.
Penatalaksanaan pasien dengan sindrom koroner akut dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu penatalaksanaan STEMI dan NSTEACS (UAP & NSTEMI). Pada
pasien STEMI, PCI primer merupakan terapi reperfusi yang lebih dianjurkan
dibanding fibrinolisis sepanjang keterlambatan dari onset gejala 90-120 menit. Selain
itu, terdapat juga terapi awal seperti pemberian oksigen, NTG, beta blocker, morfin,
dan ASA, serta terapi sekunder berupa terapi platelet, beta blocker, terapi penurun
kadar lipid, ACE inhibitor, antagonis aldosteron, dan suplemen diet. Angiografi
koroner direkomendasikan pada semua pasien setelah terapi fibrinolitik dan pada
pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Sedangkan pada pasien NSTEACS,
terdapat empat kategori terapi, yaitu antiiskemik, antikoagulan, antiplatelet dan
revaskularisasi koroner.

45
46
REFERAT / Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A217112/ November 2018

** Pembimbing/ Dr.Hj Elfiani, Sp.PD FINASIM

SINDROM KORONER AKUT

Intan Karnina Putri* Dr.Hj Elfiani, Sp.PD FINASIM*

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN/SMF PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

“Sindrom Koroner Akut”

DISUSUN OLEH

Intan Karnina Putri

G1A217112

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher

Fakultas Kedokteran

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada, 3 Desember 2018

PEMBIMBING

Dr.Hj Elfiani, Sp.PD FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
yang berjudul “Sindrom Koroner Akut” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Penyakit Dalam RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Hj Elfiani, Sp.PD FINASIM


yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Penyakit Dalam RSUD Raden
Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna
kesempurnaan referat ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Jambi, Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................................ i

Halaman Pengesahan ................................................................................................ ii

Kata Pengantar ......................................................................................................... iii

Daftar Isi .................................................................................................................... iv

Bab I Pendahuluan .....................................................................................................1

Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................................2

2.1 Anatomi dan fisiologi jantung .............................................................................2

2.1 Sindrom Koroner Akut ........................................................................................5

2.2.1 Definisi SKA ................................................................................................5

2.2.2 Etiologi SKA ................................................................................................5

2.2.3 Patogenesis SKA ..........................................................................................7

2.2.4 Faktor Resiko SKA ....................................................................................11

2.2.5 Klasifikasi SKA ..........................................................................................15

2.2.5.1 UAP ....................................................................................................16

2.2.5.2 NSTEMI..............................................................................................22

2.2.5.3 STEMI ................................................................................................13

Bab III Kesimpulan ..................................................................................................45

Daftar Pustaka ............................................................................................................v

iv
v

Вам также может понравиться