Вы находитесь на странице: 1из 22

1.

Anatomi Fisiologi Prostat


1.1. Anatomi Prostat
Kelenjar prostat terletak tepat dibawah leher kandung kemih. Kelenjar ini
mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh dua duktus ejakulatorius,
yang merupakan kelanjutan dari vas deferen. Pada bagian anterior difiksasi
oleh ligamentum pubroprostatikum dan sebelah inferior oleh difragma
urogenital. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris
yang berjalan miring dan berakhir pada verumontarum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dan sfingter uretra eksterna secara embriologi,
prostat berasal dari lima evaginasi epitel uretra posterior. Suplai darah
prostat diperdarahi oleh arteri vesikalis inferior dan masuk pada sisi
postero lateralis lever vesika (Wijaya & Putri, 2013)

Prostat adalah organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior


kandung kemih, di depan rectum yang membungkus uretra posterior.
Bentuknya seperti buah kemiri, dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm, dan
beratnya kurang lebih 20gram. Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri
atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot
polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain
(Muttaqin & Sari, 2014)

Gambar 1.1 Anatomi perkemihan pada pria

1
Gambar 1.2 Anatomi Prostat

1.2. Fisologis prostat


1.2.1. Menghasilkan cairan encer yang mengandung ion sitrat, ion
phospat, enzim pembeku, dan profibrinosilin. Selama pengisian
kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens
sehingga cairan encer dapat dikeluarkan untuk menambah lebih banyak
jumlah semen. Sifat yang sedikit basa dari cairan prostat
memungkinkan untuk keberhasilan fertilisasi (gumpalan) ovum karena
cairan vas deferens sedikit asam. Cairan prostat menetralisir sifat asam
dari cairan lain setelah ejakulasi.
1.2.2. Menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk
melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra.
Dibawah kelenjar ini terdapat kelenjar Rulbo Uretralis yang memiliki
panjang 2-5 cm. Fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar

2
ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi
dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa(Wijaya & Putri,2013)

2. Definisi BPH
Benigna Prostat hiperplasia adalah keadaan kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan
untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya & Putri, 2013).

Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang


menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung
kemih dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi
urin(Aulawi, 2014).

Benigna prostatic hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, yang


disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan
uretra parsprostatika (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012)
BPH adalah suatu penyakit perbesaran dari prostat. Kata-kata hipertrofi
seringkali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rancu
dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi kualitas terjadi
pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah. Hiperplasia merupakan
pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (Prabowo &
Pranata, 2014).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BPH adalah


suatu kondisi dimana sistem perkemihan mengalami gangguan yang
disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat mengelilingi saluran
kemih pada pria dengan usia diatas 50 tahun yang mengakibatkan kurang
lancarnya berkemih.

3. Etiologi

3
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui
secara pasti tetapi hanya 2 dua faktor yang mempengaruhi terjadinya BPH
yaitu testis dan usia lanjut (Jitowiyono & Kristyanasari, 2012).

Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya Hyperplasia


prostate adalah (Wijaya & Putri, 2013 : Rendy & Magarenth, 2012)
3.1. Teori hormon dihidrotestoreron (DHT)
Pembesaran prostat diaktifkan oleh testoreron dan DHT. Peningkatan alfa
reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
3.2. Faktor usia
BPH merupakan penyakit yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia
rata-rata 50 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-kira 80%
menderita kelainan ini. Sebagai etiologi sekarang dianggap
ketidakseimbangan endokrin testosteron dianggap mempengaruhi bagian
tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal)
mempengaruhi bagian tengah prostat
Peningkatan usia membuat ketidakseimbangan rasio antara estrogen dan
testosteron. Dengan meningkatnya kadar ekstrogen diguga berkaitan
dengan terjadinya hyperplasia stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya poliferasi sel tetapi
kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma
3.3. Faktor pertumbuhan/Growth
Membuktikan bahwa deferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostate
secara tidak langsung diatur oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth faktor yang selanjutunya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan atuokrim,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
3.4. Meningkatnya masa hidup sel-sel prostate

4
Progam kematian sel (apoptosisi) pada sel prostate adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostate.

4. Patofisiologi
Pembesar prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada
tahap awal terjadi pembesar prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis
yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher, vesika kemudian
detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat sebagai akibatnya serat
detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat dretusor kedalam
mokusa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang trabukulasi. Jika
dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa fisika dapat menerobos
keluar diantara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang
apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase
penebalan detrusorsor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor
akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontransi, sehingga terjadi retensi urine total yang
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Wijaya & Putri
2013).

Pembesaran prostat menyebabkaan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontaksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulaasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami


hiperplasia. Jika prostat membesar, maka akan meluap ke atas kandung kemih

5
sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan
menyumbat aliran urine. Keadaan ini meninggkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine
keluar. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari
kandung kemih berupa: hepertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sekula, dan divertikel kandung kemih. Tekanan intravesikal yang
tinggi diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkeculi pada kedua muara
ureter, tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke
ureter. Keadan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidrofrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal
(Muttaqin & Sari, 2014)

5. Manifestasi Klinis
BPH merupakkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih
dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak
obsetruksi saluran,sehingga klien kesulitan untuk miksi.berikut ini adalah
beberapa gambaran klinis pada klien BPH (Prabowo & Pranata, 2014)
5.1. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine)
kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal
mengeluarkan urine secara spontan dan reguler, sehingga volume urine
masih sebagai besar tertinggal dalam vesika.
5.2. Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis.
Secara fisiologis, vesika urinaria memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan urine melalui kontraksi otot detrusor.
5.3. Pembesaran prostat yaitu ketika dilakukan palpasi rektal.
5.4. Inkontetinesia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam
melakukan kontraksi, sehingga kontrol untuk miksi hilang.
5.5. Lebih sering kencing, disertai nokturia, inkontinensia, dan kemungkinan
hematuria. Yang berakibat infeksi diikuti obstruksi kencing menyeluruh

6
5.6. Gumpalan di tengah yang bisa dilihat (kandung kemih mengalami
distensi) yang mencerminkan kandung kemih yang kosong secara tidak
menyeluruh.

Sedangkan menurut Aulawi (2014) tanda gejala yang muncul pada pasien
penderita Benigna Prostat Hiperplasia adalah :
5.7. Kesulitan mengawali aliran urine karena adanya tekanan pada uretra dan
leher kandung kemih.
5.8. Kekuatan aliran urine yang melemah.
5.9. Aliran urine keluar yang tidak lancar.
5.10. Keluarnya urine bercampur darah.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), pemeriksaan penunjang
yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
6.1. Pemeriksaan colok dubur (Rectal toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah
diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur
dinilai :
6.1.1. Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR)
6.1.2. Mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rectum
6.1.3. Menilai keadaan prostat
6.2. Laboratorium
6.2.1. Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria
6.2.2. Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal
6.3. Pengukuran derajat berat obstruksi
6.3.1. Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan
(normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100
cc)

7
6.3.2. Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125
s/d 150 ml, angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi
ringan 6-8 ml/detik.
6.4. Pemeriksaan lainnya
6.4.1. BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder
6.1.1. USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk
menentukan volume prostat
6.1.2. Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prortas yang
menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat
berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
6.1.3. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.

Menurut Sjamsuhidajat dan Wim De Jong (2010), dengan pemeriksaan


radiologi, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat diperoleh
keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih,
hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah
miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi
defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung,
pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila buli-buli pada gambaran
sistogram tampak terangkat ujung distal ureter membelok keatas berbentuk
seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang
baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap dapat dilakukan sitogram
retrograd.

7. Penatalaksanaan Medis
7.1. Menurut Sjamsuhidjat dan De Jong (2010) dalam penatalaksanaan pasien
dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu :
7.1.1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera

8
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
7.1.2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
7.1.3. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
7.1.4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan Transurethral Resection (TUR) atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

7.2. Menurut Andra saferi dan Yessie Mariza, (2013) penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:
7.2.1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
7.2.2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain :
7.2.2.1 Mengharnbat adrenoreseptor alfa

9
7.2.2.2 Obat anti androgen
7.2.2.3 Penghambat enzim alfa 2 reduktase
7.2.2.4 Fisioterapi

7.2.3. Terapi Bedah


Prostatectomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate
(sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memperbaiki
aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

Prostatektomy diindikasikan untuk hiperplasia dan kanker prostat.


Prostatektomi mencakup bedah pengangkatan sebagian atau keseluruhan
kelenjar prostat. Pendekatan pembedahan dapat transuretra (melalui
uretra), atau melalui suprapubis (abdomen bawah dan leher kandung
kemih), perineal (anterior rektum), atau insisi retropubis (abdomen bawah,
tidak dilakukan reseksi leher kandung kemih). (Carpenito, 2010)

8. Komplikasi
Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada
hipertropi prostat adalah :
8.1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
8.2. Proses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
8.3. Hernia/hemoroid
8.4. Hematuria.
8.5. Sistitis dan Pielonefritis

9. Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang membutuhkan
perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses
keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk

10
memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum melalui suatu
pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan,
dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan.
9.1. Fokus Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien
dengan BPH adalah sebagai berikut :
9.1.1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah.
Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang
terjadi karena kekurangan volume cairan.
9.1.4. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan
yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,
perubahan perilaku.
9.1.3. Eliminasi
Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan
dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah
terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain
terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya
konstipasi.
9.1.4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia,

11
mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji
adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
9.1.5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan
dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan
adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung
bawah.
9.1.6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor
keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat
penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-
tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre
operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.

9.1.7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
9.1.8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi maupun
post operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin analisa,
kultur urin, urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel darah
putih. Sedangkan pada post operasinya perlu dikaji kadar hemoglobin
dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi.

12
10. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian pada
pasien dengan BPH adalah :
10.1. Pre operasi
Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu :
10.1.1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi
vesika, penebalan destrusor dan disuria).
Batasan Karakteristik :
10.2.2..1. Perubahan selera makan
10.2.2..2. Perubahan tekanan darah
10.2.2..3. Perubahan frekuensi jantung
10.2.2..4. Perilaku distraksi (mis., berjalan mondar mandir, mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
10.2.2..5. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah)
10.2.2..6. Masker wajah (mis., mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis)
10.2.2..7. Laporan isyarat
10.2.2..8. Diaforesis
10.2.2..9. Sikap melindungi area nyeri
10.2.2..10. Fokus menyempit (mis.., gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang
dan lingkungan)
10.2.2..11. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
10.2.2..12. Sikap tubuh melindungi
10.2.2..13. Dilatasi pupil
10.2.2..14. Melaporkan nyeri secara verbal
10.2.2..15. Fokus pada diri sendiri
10.2.2..16. Gangguan tidur.

13
10.1.2. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi
anatomik (penebalan destrusor dan retensi urin).
Batasan Karakteristik :
10.1.2..1. Anyang – anyangan
10.1.2..2. Disuria
10.1.2..3. Dorongan berkemih
10.1.2..4. Inkotensia urine
10.1.2..5. Retensi urine
10.1.2..6. Sering berkemih

10.1.3. Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan


prosedur operasi).
Batasan Karakteristik :
10.1.3.1. Gelisah
10.1.3.2. Insomnia
10.1.3.3. Agitasi
10.1.3.4. Wajah tegang
10.1.3.5. Tremor tangan
10.1.3.6. Peningkatan keringat
10.1.3.7. Jantung berdebar debar
10.1.3.8. Peningkatan tekanan darah
10.1.3.9. Peningkatan denyut nadi
10.1.3.10. Peningkatan frekuensi pernapasan
10.1.3.11. Gelisah
10.1.3.12. Ketakutan
10.1.3.13. Berfokus pada diri sendiri
10.1.3.14. Nyeri abdomen
10.1.3.15. Gangguan tidur
10.1.3.16. Diare

14
10.2. Pasca operasi
Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu :
10.2.1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi dengan diuresis dari drainase kandung kemih yang terlalu
cepat.
Batasan Karakteristik :

10.2.1.1. Perubahan status mental


10.2.1.2. Penurunan tekanan darah
10.2.1.3. Penurunan tekanan nadi
10.2.1.4. Penurunan volume nadi
10.2.1.5. Penurunan turgor kulit
10.2.1.6. Penurunan turgor lidah
10.2.1.7. Penurunan haluaran urine
10.2.1.8. Penurunan pengisian vena
10.2.1.9. Membrane mukosa kering
10.2.1.10. Kulit kering
10.2.1.11. Peningkatan hematokrit
10.2.1.12. Peningkatan suhu tubuh
10.2.1.13. Peningkatan frekuensi nadi
10.2.1.14. Peningkatan konsentrasi urine
10.2.1.15. Penurunan berat badan tiba-tiba (kecuali pada ruang ketiga)
10.2.1.16. Haus
10.2.1.17. Kelemahan

10.2.2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya


kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
Batasan Karakteristik :
10.2.2.1. Perubahan selera makan
10.2.2.2. Perubahan tekanan darah

15
10.2.2.3. Perubahan frekuensi jantung
10.2.2.4. Perilaku distraksi (mis., berjalan mondar mandir, mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
10.2.2.5. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah)
10.2.2.6. Masker wajah (mis., mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis)
10.2.2.7. Laporan isyarat
10.2.2.8. Diaforesis
10.2.2.9. Sikap melindungi area nyeri
10.2.2.10. Fokus menyempit (mis.., gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
10.2.2.11. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
10.2.2.12. Sikap tubuh melindungi
10.2.2.13. Dilatasi pupil
10.2.2.14. Melaporkan nyeri secara verbal
10.2.2.15. Fokus pada diri sendiri
10.2.2.16. Gangguan tidur.

10.2.3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neurovakuler (nyeri).
Batasan Karakteristik :
10.2.3.1. Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam
lingkungan, termasuk mobilitas di tempat tidur, berpindah
dan ambulasi
10.2.3.2. Keengganan untuk melakukan pergerakan
10.2.3.3. Keterbatasan rentang gerak
10.2.3.4. Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot

16
10.2.3.5. Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protocol-
protokol mekanis dan medis
10.2.3.1. Gangguan koordinasi

11. Intervensi keperawatan

Tabel 11.1 Intervensi Keperawatan Pre Operasi


No Dx NOC NIC
1 Setelah dilakukan NIC : Manajemen Nyeri
DS : tindakan keperawatan a) Kaji secara menyeluruh tentang
1. Pasien diharapkan nyeri nyeri termasuk lokasi, durasi,
mengataka berkurang atau hilang. frekuensi, intensitas, dan faktor
n nyeri saat penyebab
berkemih b) Observasi isyarat non verbal dari
DO : ketidaknyamanan terutama jika
1. Ekspresi tidak dapat berkomunikasi secara
wajah klien efektif
tampak c) Berikan analgetik dengan tepat.
meringis d) Berikan informasi tentang nyeri,
2. Klien seperti penyebab nyeri, berapa
tampak lama akan berakhir, dan antisipasi
gelisah ketidaknyamanan dari prosedur.
3. Klien e) Ajarkan teknik non farmakologi
tampak (misalnya : relaksasi, distraksi).
lemah
4. Tanda –
tanda vital
dalam batas
abnormal

17
2 Setelah dilakukan NIC : Manajemen Eliminasi
DS : tindakan keperawatan a) Jelaskan pada klien tentang
1. Klien diharapkan pola perubahan dari pola eliminasi.
mengataka eliminasi urin kembali b) Dorong klien untuk berkemih tiap
n susah normal. 2-4 jam dan bila dirasakan.
buang air c) Perkusi/palpasi area suprapubik
kecil sejak d) Observasi aliran dan kekuatan
4 hari urine, ukur residu urine pasca
sebelum berkemih
masuk RS. e) Monitor laboratorium : urinalisa
DO : dan kultur, BUN, kreatinin
1. Pasien f) Kolaborasi dengan dokter untuk
tampak pemberian obat antagonis dan alfa
pucat. adrenergik (prazosin). `
2. Distensi
bladder.
3. Pembesaran
prostat yaitu
ketika
dilakukan
palpasi
rektal.

3 Setelah dilakukan NIC : Anxiety Reduction (Penurunan


DS : tindakan keperawatan kecemasan)
1. Pasien diharapkan cemas a) Gunakan pendekatan yang
mengataka berkurang/hilang. menenangkan
n bingung NOC : Anxiety Control, b) Jelaskan semua prosedur dan apa

18
dan cemas Coping, Impulse control yang dirasakan selama prosedur
dengan apa c) Temani pasien untuk memberikan
yang dia keamanan dan mengurangi takut
alami dan d) Dorong keluarga untuk menemani
rasakan. e) Intrsuksikan pasien menggunakan
DO : teknik relaksasi.
1. Pasien f) Berikan mengenai informasi
terlihat diagnosis, tindakan dan prognosis.
bingung
2. Pasien
terlihat
gelisah.
3. Pasien
terlihat
cemas
dengan
keadaannya
saat ini.

Tabel 11.2 Intervesi Keperawatan Post Operasi


No Dx NOC NIC
1 Setelah dilakukan NIC : Fluid Management
DS : tindakan perawatan a) Pertahankan catatan intake dan
1. Pasien proses keperawatan output yang akurat
mengeluh diharapkan kebutuhan b) Monitor vital sign
pusing, cairan dan elektrolit c) Monitor status hidrasi (kelembaban
merasa terpenuhi. membran mukosa, nadi adekuat)
lemah, letih, d) Kolaborasikan pemberian cairan
mual, intravena (IV)
munah dan e) Masukan oral

19
haus. f) Hitung balance cairan
DO :
1. Penurunan
tekanan
darah
2. Suhu
meningkat
3. Turgor kulit
menurun
4. Lidah
kering dan
kasar.
5. Mukosa
mulut
kering.
2 Setelah dilakukan NIC : Manajemen Nyeri
DS : tindakan keperawatan a) Kaji secara mnyeluruh tentang nyeri
1. Pasien diharapkan nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi,
mengatakan berkurang atau hilang intensitas, dan faktor penyebab
nyeri pada b) Observasi isyarat non verbal dari
luka post ketidaknyamanan terutama jika tidak
op, seperti dapat berkomunikasi secara efektif
tertusuk – c) Ajarkan teknik non farmakologi
tusuk. (misalnya; relaksasi, distraksi)
DO : d) Kolaborasi medis pemberian
1. Pasien analgetik dengan tepat
tampak
meringis
kesakitan
menahan
nyeri saat di

20
palpasi.
3 Setelah dilakukan NIC : Exercise Therapy Ambulation
DS tindakan keperawatan a) Bantu pasien untuk menggunakan
1. Pasien diharapkan pasien fasilitas alat bantu jalan dan cegah
mengatakan dapat meningkatkan kecelakaan atau jatuh
tidak mobilisasi pada b) Tempatkan meja klien pada posisi
mampu tingkat yang paling yang mudah dijangkau/diraih
melakukan tinggi c) Monitor pasien dalam menggunakan
aktivitas alat bantu jalan yang lain
sendiri, dan d) Intruksikan pasien/pemberi
memiliki pelayanan ambulansi tentang teknik
ketergantun ambulansi
gan dengan
keluarganya
.
DO :
1. Pasien
terlihat
berbaring
lemas
ditempat
tidur dan
segala
aktivitas
dibantu
keluarga.

21
12. Daftar Pustaka
Andra, Saferi Wijaya & Putri, Yessie Mariza. (2013). KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah (Keperawatab Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika.

Aulawi, K. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha


Publishing.

Jitowiyono, S. (2012). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Edisi 2.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Muttaqin, A & Sari, K. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Pranata, Andi Eka & Prabowo, Eko. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar. Yogyakarta : Nuha Medika.

Sjamsuhidajat, R & Wim, De Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC.

Wijaya, S. A. & Putri, M. Y.( 2013). Keperawatan Medikal Bedah:


Keperawatan Dewasa, Teori, Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha
Medika.

22

Вам также может понравиться