Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
1
Gambar 1.2 Anatomi Prostat
2
ini menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi
dan fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa(Wijaya & Putri,2013)
2. Definisi BPH
Benigna Prostat hiperplasia adalah keadaan kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan
untuk intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya & Putri, 2013).
3. Etiologi
3
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui
secara pasti tetapi hanya 2 dua faktor yang mempengaruhi terjadinya BPH
yaitu testis dan usia lanjut (Jitowiyono & Kristyanasari, 2012).
4
Progam kematian sel (apoptosisi) pada sel prostate adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostate.
4. Patofisiologi
Pembesar prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada
tahap awal terjadi pembesar prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis
yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher, vesika kemudian
detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat sebagai akibatnya serat
detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat dretusor kedalam
mokusa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang trabukulasi. Jika
dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa fisika dapat menerobos
keluar diantara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang
apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase
penebalan detrusorsor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor
akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontransi, sehingga terjadi retensi urine total yang
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Wijaya & Putri
2013).
5
sehingga pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan
menyumbat aliran urine. Keadaan ini meninggkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan kandung kemih berkontraksi lebih kuat agar dapat memompa urine
keluar. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomi dari
kandung kemih berupa: hepertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sekula, dan divertikel kandung kemih. Tekanan intravesikal yang
tinggi diteruskan keseluruh bagian buli-buli tidak terkeculi pada kedua muara
ureter, tekanan ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke
ureter. Keadan ini jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
hidroureter, hidrofrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal
(Muttaqin & Sari, 2014)
5. Manifestasi Klinis
BPH merupakkan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata lebih
dari 50 tahun. Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak
obsetruksi saluran,sehingga klien kesulitan untuk miksi.berikut ini adalah
beberapa gambaran klinis pada klien BPH (Prabowo & Pranata, 2014)
5.1. Gejala prostatismus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urine)
kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal
mengeluarkan urine secara spontan dan reguler, sehingga volume urine
masih sebagai besar tertinggal dalam vesika.
5.2. Retensi urine sering dialami oleh klien yang mengalami BPH kronis.
Secara fisiologis, vesika urinaria memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan urine melalui kontraksi otot detrusor.
5.3. Pembesaran prostat yaitu ketika dilakukan palpasi rektal.
5.4. Inkontetinesia yang terjadi menunjukkan bahwa detrusor gagal dalam
melakukan kontraksi, sehingga kontrol untuk miksi hilang.
5.5. Lebih sering kencing, disertai nokturia, inkontinensia, dan kemungkinan
hematuria. Yang berakibat infeksi diikuti obstruksi kencing menyeluruh
6
5.6. Gumpalan di tengah yang bisa dilihat (kandung kemih mengalami
distensi) yang mencerminkan kandung kemih yang kosong secara tidak
menyeluruh.
Sedangkan menurut Aulawi (2014) tanda gejala yang muncul pada pasien
penderita Benigna Prostat Hiperplasia adalah :
5.7. Kesulitan mengawali aliran urine karena adanya tekanan pada uretra dan
leher kandung kemih.
5.8. Kekuatan aliran urine yang melemah.
5.9. Aliran urine keluar yang tidak lancar.
5.10. Keluarnya urine bercampur darah.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), pemeriksaan penunjang
yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
6.1. Pemeriksaan colok dubur (Rectal toucher)
Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah
diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur
dinilai :
6.1.1. Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR)
6.1.2. Mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rectum
6.1.3. Menilai keadaan prostat
6.2. Laboratorium
6.2.1. Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria
6.2.2. Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal
6.3. Pengukuran derajat berat obstruksi
6.3.1. Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan
(normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100
cc)
7
6.3.2. Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125
s/d 150 ml, angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi
ringan 6-8 ml/detik.
6.4. Pemeriksaan lainnya
6.4.1. BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder
6.1.1. USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk
menentukan volume prostat
6.1.2. Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prortas yang
menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat
berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.
6.1.3. Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.
7. Penatalaksanaan Medis
7.1. Menurut Sjamsuhidjat dan De Jong (2010) dalam penatalaksanaan pasien
dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu :
7.1.1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
8
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk
pemakaian lama.
7.1.2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
7.1.3. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
7.1.4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan Transurethral Resection (TUR) atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
7.2. Menurut Andra saferi dan Yessie Mariza, (2013) penatalaksanaan pada
BPH dapat dilakukan dengan:
7.2.1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
7.2.2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain :
7.2.2.1 Mengharnbat adrenoreseptor alfa
9
7.2.2.2 Obat anti androgen
7.2.2.3 Penghambat enzim alfa 2 reduktase
7.2.2.4 Fisioterapi
8. Komplikasi
Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada
hipertropi prostat adalah :
8.1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
8.2. Proses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
8.3. Hernia/hemoroid
8.4. Hematuria.
8.5. Sistitis dan Pielonefritis
9. Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang membutuhkan
perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses
keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk
10
memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum melalui suatu
pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan,
dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan.
9.1. Fokus Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses
keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien
dengan BPH adalah sebagai berikut :
9.1.1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah.
Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang
terjadi karena kekurangan volume cairan.
9.1.4. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan
yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental,
perubahan perilaku.
9.1.3. Eliminasi
Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan
dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah
terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain
terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya
konstipasi.
9.1.4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari
anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia,
11
mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji
adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
9.1.5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan
dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan
adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung
bawah.
9.1.6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor
keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat
penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian
paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-
tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre
operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
9.1.7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
9.1.8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi maupun
post operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin analisa,
kultur urin, urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel darah
putih. Sedangkan pada post operasinya perlu dikaji kadar hemoglobin
dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi.
12
10. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian pada
pasien dengan BPH adalah :
10.1. Pre operasi
Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu :
10.1.1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi
vesika, penebalan destrusor dan disuria).
Batasan Karakteristik :
10.2.2..1. Perubahan selera makan
10.2.2..2. Perubahan tekanan darah
10.2.2..3. Perubahan frekuensi jantung
10.2.2..4. Perilaku distraksi (mis., berjalan mondar mandir, mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
10.2.2..5. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah)
10.2.2..6. Masker wajah (mis., mata kurang bercahaya, tampak kacau,
gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis)
10.2.2..7. Laporan isyarat
10.2.2..8. Diaforesis
10.2.2..9. Sikap melindungi area nyeri
10.2.2..10. Fokus menyempit (mis.., gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang
dan lingkungan)
10.2.2..11. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
10.2.2..12. Sikap tubuh melindungi
10.2.2..13. Dilatasi pupil
10.2.2..14. Melaporkan nyeri secara verbal
10.2.2..15. Fokus pada diri sendiri
10.2.2..16. Gangguan tidur.
13
10.1.2. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi
anatomik (penebalan destrusor dan retensi urin).
Batasan Karakteristik :
10.1.2..1. Anyang – anyangan
10.1.2..2. Disuria
10.1.2..3. Dorongan berkemih
10.1.2..4. Inkotensia urine
10.1.2..5. Retensi urine
10.1.2..6. Sering berkemih
14
10.2. Pasca operasi
Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu :
10.2.1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca
obstruksi dengan diuresis dari drainase kandung kemih yang terlalu
cepat.
Batasan Karakteristik :
15
10.2.2.3. Perubahan frekuensi jantung
10.2.2.4. Perilaku distraksi (mis., berjalan mondar mandir, mencari
orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)
10.2.2.5. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek,
menangis, waspada, iritabilitas, mendesah)
10.2.2.6. Masker wajah (mis., mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis)
10.2.2.7. Laporan isyarat
10.2.2.8. Diaforesis
10.2.2.9. Sikap melindungi area nyeri
10.2.2.10. Fokus menyempit (mis.., gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
10.2.2.11. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
10.2.2.12. Sikap tubuh melindungi
10.2.2.13. Dilatasi pupil
10.2.2.14. Melaporkan nyeri secara verbal
10.2.2.15. Fokus pada diri sendiri
10.2.2.16. Gangguan tidur.
16
10.2.3.5. Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protocol-
protokol mekanis dan medis
10.2.3.1. Gangguan koordinasi
17
2 Setelah dilakukan NIC : Manajemen Eliminasi
DS : tindakan keperawatan a) Jelaskan pada klien tentang
1. Klien diharapkan pola perubahan dari pola eliminasi.
mengataka eliminasi urin kembali b) Dorong klien untuk berkemih tiap
n susah normal. 2-4 jam dan bila dirasakan.
buang air c) Perkusi/palpasi area suprapubik
kecil sejak d) Observasi aliran dan kekuatan
4 hari urine, ukur residu urine pasca
sebelum berkemih
masuk RS. e) Monitor laboratorium : urinalisa
DO : dan kultur, BUN, kreatinin
1. Pasien f) Kolaborasi dengan dokter untuk
tampak pemberian obat antagonis dan alfa
pucat. adrenergik (prazosin). `
2. Distensi
bladder.
3. Pembesaran
prostat yaitu
ketika
dilakukan
palpasi
rektal.
18
dan cemas Coping, Impulse control yang dirasakan selama prosedur
dengan apa c) Temani pasien untuk memberikan
yang dia keamanan dan mengurangi takut
alami dan d) Dorong keluarga untuk menemani
rasakan. e) Intrsuksikan pasien menggunakan
DO : teknik relaksasi.
1. Pasien f) Berikan mengenai informasi
terlihat diagnosis, tindakan dan prognosis.
bingung
2. Pasien
terlihat
gelisah.
3. Pasien
terlihat
cemas
dengan
keadaannya
saat ini.
19
haus. f) Hitung balance cairan
DO :
1. Penurunan
tekanan
darah
2. Suhu
meningkat
3. Turgor kulit
menurun
4. Lidah
kering dan
kasar.
5. Mukosa
mulut
kering.
2 Setelah dilakukan NIC : Manajemen Nyeri
DS : tindakan keperawatan a) Kaji secara mnyeluruh tentang nyeri
1. Pasien diharapkan nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi,
mengatakan berkurang atau hilang intensitas, dan faktor penyebab
nyeri pada b) Observasi isyarat non verbal dari
luka post ketidaknyamanan terutama jika tidak
op, seperti dapat berkomunikasi secara efektif
tertusuk – c) Ajarkan teknik non farmakologi
tusuk. (misalnya; relaksasi, distraksi)
DO : d) Kolaborasi medis pemberian
1. Pasien analgetik dengan tepat
tampak
meringis
kesakitan
menahan
nyeri saat di
20
palpasi.
3 Setelah dilakukan NIC : Exercise Therapy Ambulation
DS tindakan keperawatan a) Bantu pasien untuk menggunakan
1. Pasien diharapkan pasien fasilitas alat bantu jalan dan cegah
mengatakan dapat meningkatkan kecelakaan atau jatuh
tidak mobilisasi pada b) Tempatkan meja klien pada posisi
mampu tingkat yang paling yang mudah dijangkau/diraih
melakukan tinggi c) Monitor pasien dalam menggunakan
aktivitas alat bantu jalan yang lain
sendiri, dan d) Intruksikan pasien/pemberi
memiliki pelayanan ambulansi tentang teknik
ketergantun ambulansi
gan dengan
keluarganya
.
DO :
1. Pasien
terlihat
berbaring
lemas
ditempat
tidur dan
segala
aktivitas
dibantu
keluarga.
21
12. Daftar Pustaka
Andra, Saferi Wijaya & Putri, Yessie Mariza. (2013). KMB 2 Keperawatan
Medikal Bedah (Keperawatab Dewasa). Yogyakarta : Nuha Medika.
Pranata, Andi Eka & Prabowo, Eko. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan Edisi 1 Buku Ajar. Yogyakarta : Nuha Medika.
Sjamsuhidajat, R & Wim, De Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
EGC.
22