Вы находитесь на странице: 1из 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Post Partum


Masa nifas atau post partum disebut juga peurpeurium yang
berasal dari bahasa latin yaitu dari kata “Peur” yang berarti bayi dan
“Parous” yang berarti melahirkan. Masa nifas ( Peurpeurium ) dimulai
setelah pasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembal
seperti keadaan sebelum hamil ( Anggraini, 2010).
World Health Organization (WHO) 2013 menggambarkan periode
pascanatal sebagai fase paling kritis dan paling diabaikan dalam kehidupan
ibu dan bayi, sebagian besar kematian ibu dan/ atau bayi baru lahir terjadi
selama periode pascanatal.
Postpartum merupakan situasi dimana krisis bagi ibu, pasangan
dan keluarga karena adanya berbagai perubahan yang terjadi baik secara
fisik, psikologis, maupun struktur keluarga dan terjadi proses
adaptasi/penyesuaian. Adaptasi dimulai dari bayi lahir sampai kembalinya
kondisi tubuh ibu seperti semula sebelum hamil, dan berlangsung dalam
kurun waktu 6-8 minggu (Murray & McKinney, 2009). Selama waktu ini,
ibu dipantau untuk fungsi perdarahan, usus dan kandung kemih, dan
perawatan bayi, dan kesehatan bayi juga dipantau (Vernon. D, 2009).
Periode postpartum 6-12 jam ibu biasanya dipantau oleh perawat
atau bidan karena komplikasi dapat timbul pada periode ini. Perdarahan
postpartum dapat terjadi. Setelah melahirkan di mana plasenta menempel
pada dinding uterus, dan uterus berkontraksi untuk mencegah kehilangan
darah. Setelah kontraksi berlangsung fundus (atas) rahim dapat dipalpasi
sebagai massa yang kuat di tingkat pusar. Penting bahwa uterus tetap kuat
dan perawat atau bidan akan sering melakukan penilaian terhadap fundus
dan jumlah perdarahan. Pijat uterus biasanya digunakan untuk membantu
kontraksi Rahim (Mayo Clinic staff, 2015).

4
5

Pada waktu 2-4 hari pasca persalinan produksi ASI ibu mulai
diproduksi, namun masih kesulitan dalam menyusui Tidur ibu sering
terganggu karena malam hari terjaga normal pada bayi baru (McGuire E,
2013). Dalam masa postpartum tersebut perubahan dan adaptasi pada ibu
postpartum yaitu fisiologis dan dan psikologis. Adaptasi fisiologis dan
psikologis yang terjadi pada ibu postpartum, yaitu:
1. Adaptasi fisiologis
a. Uterus terjadi proses involusi dimana kembalinya uterus ke
keadaan normal setelah melahirkan, adanya kontraksi pada uterus,
nyeri.
b. Serviks akan terasa lunak setelah melahirkan
c. Vagina yang tadinya terdistensi dengan dinding yang halus
perlahan akan mengecil dan tonusnya akan kembali
d. Abdomen masih tampak menonjol seperti saat hamil, dan selama
dua minggu pertama akan berelaksasi. Butuh 6 minggu agar
didnding abdomen kembali ke keadaan sebelum hamil
e. Sistem pencernaan. Pada ibu postpartum akan merasa lapar setelah
melahirkan dan porsi makan meningkat. Defekasi spontan baru
akan terjadi 2-3 setelah postpartum karena berkurangnya tonus otot
diusus selama melahirkan, masa nifas, dehidrasi.
f. Payudara pada ibu post partum terjadi penurunan kadar kadar
hormone (estrogen, progesteron, hCG, prolactin, kortisol, dan
insulin). Selama 24 jam pertama pada terjadi perubahan jaringan
payudara. Keluar kolostrum, cairan kuning, dan jernih. Payudara
akan terasa penuh setelah dan berat saat kolostrum berubah
menjadi susu dalam 72-96 jam setelah melahirkan.
g. Perubahan pada volume darah ibu postpartum bergantung pada
beberapa faktor seperti hilangnya darah saat melahirkan dan
jumlah cairan ekstravaskular.
h. Peningkatan curah jantung pada postpartum akan tetap meningkat
minimal 48 jam pertama karena peningkatan volume sekuncup.
6

i. Perubahan postpartum pada sistem saraf karena adaptasi ibu hamil


serta trauma selama persalina dan melahirkan
j. Perubahan sistem muskoloskeletal ibu terjadi saat hamil dan
kembali saat masa nifas yang mana termasuk relaksasi dan
hipermobilitas sendi dan perubahan pusat gravitasi ibu sebagai
respon terhadap uterus yang membesar. Sebagian sendi kembali
sebelum hamil, dan sendi kaki tidak kembali.
k. Pada ibu postpartum akan keluar cairan dari uterus setelah
melahirkan. Cairan berwarna merah hari 1-3 (Lokia rubra), cairan
berwarna merah kekuningan pada hari ke 3-7 (Lokia
Sangunolenta), pada hari ke 8-14 cairan berwarna merah muda atau
kecoklatan (Lokia Serosa) dan >14 hari cairan berwarna putih atau
kekuningan (Lokia Alba).

2. Adaptasi psikoligis
1. Fase taking In biasanya ditetapkan 1 hingga 2 hari setelah
melahirkan, waktu refleksi karena dalam jangka waktu 2 hingga 3
bersifat pasif atau hanya peduli pada diri sendiri. Untuk hari
pertama atau kedua setelah kelahiran, ibu baru membutuhkan
makanan tambahan dan istirahat. Ibu dengan bedah caesar bahkan
membutuhkan lebih banyak istirahat. Semua ibu baru juga perlu
"mengasuh" diri mereka agar mereka dapat berhasil melahirkan
bayi baru mereka. Para ayah baru juga mungkin mengalami
kesulitan menyesuaikan diri dengan menjadi orang tua.
2. Fase Taking Hold berlangsung mulai 3 sampai 10 hari setelah
melahirkan, waktu untuk melakukan tindakan sendiri dan membuat
keputusan tanpa bergantung pada orang lain. Selama fase ini, orang
tua fokus pada belajar merawat bayi baru mereka. Perubahan
suasana hati sementara dan perasaan rentan di pihak ibu baru tidak
jarang terjadi. Setiap pasangan mungkin merasa terabaikan karena
7

mereka menjadi lebih terlibat dengan bayi, mengabaikan


kebutuhan atau perasaan pasangan mereka
3. Fase Letting Go berlangsung dari 10 setelah melahirkan, fase
menerima tanggung jawab baru. Fase ini Ibu sudah mulai dapat
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Terjadi
peningkatan akan perawatan diri dan bayinya. Ibu merasa percaya
diri akan peran barunya, lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan
dirinya dan bayinya. Dukungan suami dan keluarga dapat
membantu merawat bayi. Kebutuhan akan istirahat masih
diperlukan ibu untuk menjaga kondisi fisiknya.

2.2. Definisi Sectio Caesaria


Section caesaria adalah suatu pembedahan guna melahirkann anak
lewat insisi pada dindig abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010).
WHO (2015) operasi Caesar atau seksio sesarea (SC) sering
diperlukan ketika persalinan per vaginam akan membahayakan bayi atau
ibu. Persalinan SC dilakukan karena adanya permasalahan saat persalinan
atau ada masalah pada ibu maupun bayi, seperti kehamilan kembar,
tekanan darah tinggi pada ibu, kelahiran sungsang, atau masalah dengan
plasenta atau tali pusat. Persalinan caesar dapat dilakukan berdasarkan
bentuk panggul ibu atau riwayat riwayat operasi caesar sebelumnya,
kelahiran pervagina setelah bedah caesar dimungkinkan. SC dilakukan
hanya ketika diperlukan secara medis. Namun saat ini, SC dilakukan tanpa
alasan medis atas permintaan oleh seseorang biasanya ibu.
American Congress of Obstetricians and Gynecologists (2013)
menjelaskan SC dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan
persalinan pada ibu hamil ynag memiliki resiko pada kehamilan berisiko.
SC membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh sekitar enam minggu,
daripada kelahiran normal. Yenie (2016) mengemukakan Peningkatan
risiko termasuk masalah pernapasan pada bayi dan emboli cairan ketuban
8

dan perdarahan postpartum pada ibu. SC tidak digunakan sebelum 39


minggu kehamilan tanpa alasan medis.
Turner R (2010) operasi caesar dianjurkan ketika persalinan
normal mungkin menimbulkan risiko bagi ibu atau bayi. Kondisi yang
memungkinkan terjadiya resiko bagi ibu dan bayi yaitu:
1. Persalinan lama atau gagal berkembang (distosia)
2. Gawat janin
3. Prolaps tali pusat
4. Ruptur uterus
5. Hipertensi pada ibu atau bayi setelah ketuban pecah (air pecah)
6. Takikardia pada ibu atau bayi setelah ketuban pecah (air pecah)
7. Masalah plasenta (plasenta praevia, plasenta abruption atau plasenta
akreta)
8. Induksi persalinan gagal
9. Bayi besar dengan berat> 4.000 gram (makrosomia)
10. Presentasi abnormal (posisi sungsang atau melintang).
Komplikasi lain kehamilan, kondisi yang sudah ada sebelumnya
dan penyakit penyerta, seperti:

1. Infeksi HIV pada ibu dengan viral load yang tinggi (HIV dengan viral
load ibu yang rendah tidak selalu merupakan indikasi untuk operasi
caesar)
2. Pre-eclampsia
3. Penyakit menular seksual, seperti wabah herpes genital sebelum onset
persalinan (yang dapat menyebabkan infeksi pada bayi jika lahir
melalui vagina)
4. Seksio caesar sebelumnya (longitudinal)
5. Ruptur uterus sebelumnya
6. Masalah sebelumnya dengan penyembuhan perineum (dari persalinan
sebelumnya atau penyakit Crohn)
7. Nyeri Bicornuate
9

2.3. Placenta Akreta


2.3.1 Definisi
Plasenta akreta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga
atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo,2008).
Plasenta akreta adalah kondisi tidak lazim karena vili korionik melekat pada
miometrium (Strigth, 2008). Seberapa parah plasenta akreta adalah
tergantung pada seberapa dalam vili korionik telah ditembus (McCulloch,
2015). Kondisi ini dapat ditemukan sebagai(Strigth, 2008):
1. Plasenta akreta, yaitu vili korionik plasenta melekat pada lapisan
permukaan miometrium uterus.
2. Plasenta inkreta, yaitu vili korionik plasenta masuk jatuh ke dalam
miometrium uterus.
3. Plasenta perkreta, yaitu vili korionik plasenta menembus miometrium
uterus dan sering kali melekat ke struktur abdomen (misalnya, kandung
kemih atau intestin).
Plasenta akreta dapat dibagi lagi menjadi plasenta akreta total ( jika seluruh
permukaannya melekat dengan erat pada dinding rahim.), plasenta akreta
parsial (jika hanya beberapa bagian dari permukaannya lebih erat
berhubungan dengan dinding rahim dari biasa), dan plasenta akreta lokal yang
berdasarkan jumlah jaringan plasenta yang terlibat dalam invasi ke
miometrium.

2.3.2 Etiologi, Tanda , dan Gejala


a. Etiologi
Menurut Committee Opinion, (2012) menyatakan bahwa
patogenesis plasenta akreta tidak jelas, tetapi ada beberapa teori yang
diusulkan. Abnormal vaskularisasi yang dihasilkan dari proses jaringan
parut setelah dioperasi dengan sekunder hipoksia lokal yang mengarah
ke rusaknya desidualisasi dan invasi trofoblas yang berlebihan
tampaknya menjadi hal yang paling menonjol, atau setidaknya
10

merupakan teori yang paling didukung sampai saat ini, menjelaskan


patogenesis plasenta akreta pada tahap ini.
Plasenta akreta ini terkait dengan penyimpangan yang ada di lapisan
rahim dan tingkat tinggi alpha-fetoprotein (protein yang dihasilkan oleh bayi
yang dapat dideteksi dalam darah ibu). Plasenta akreta terjadi akibat adanya
kelainan desidua misalnya karena desidua yang terlalu tipis. Meskipun begitu,
penyebab pasti plasenta akreta belum diketahui.
Sebenarnya risiko seorang wanita terkena plasenta akreta bisa terus
meningkat tiap kali dirinya hamil, terlebih lagi jika berusia di atas 35
tahun.Selain itu, kasus plasenta akreta juga banyak ditemukan pada wanita
yang sebelumnya melakukan operasi rahim, termasuk operasi caesar. The
American Pregnancy Association memperkirakan bahwa wanita yang
memiliki lebih dari satu akun sesar untuk 60 persen dari semua kasus plasenta
akreta (Cricino, ).
Selain kondisi di atas, risiko untuk terkena plasenta akreta juga tinggi
apabila seorang wanita:
1. Memiliki posisi plasenta pada bagian bawah rahim ketika hamil.
2. Menderita plasenta previa (plasenta menutupi sebagian atau seluruh
dinding rahim).
3. Menderita fibroid rahim submukosa (rahim tumbuh menonjol ke dalam
rongga rahim).
4. Memiliki jaringan parut atau kelainan pada endometrium (dinding rahim
bagian dalam).

b. Tanda dan gejala


Kebanyakan pasien dengan plasenta akreta tidak menunjukkan gejala.
Gejala yang terkait dengan plasenta akreta mungkin termasuk perdarahan
vagina dan kram. Temuan ini sebagian besar terlihat dalam kaitannya dengan
plasenta previa, yang merupakan faktor risiko terkuat untuk plasenta akreta.
Meskipun jarang, presentasi berpotensi bencana adalah bahwa sakit perut akut
dan sion hipotensi karena syok hipovolemik dari rahim pecah detikondary ke
11

plasenta percreta. Skenario kritis ini dapat terjadi kapan saja selama kehamilan
dari trimester pertama yang penuh-kehamilan istilah dalam ketiadaan tenaga
kerja. (Jang dan Chen dalam Berkley and Abuhamad, 2013)
Tanda dan Gejala lain yang dapat di temukan pada pasien plasenta akreta
yaitu :
1. Plasenta gagal terlepas setelah 30 menit setelah bayi lahir
2. Perdarahan hebat bisa terjadi bergantung pada bagian plasenta yang
terkena
3. Histerektomi cesarian.
4. Ruptura uteri spontan pada trimester kedua dan ketiga,
5. Perdarahan intraperitoneal,yang bisa menimbulkan kematian.
6. Plasenta akreta derajat ringan dapat terjadi dandapat menimbulkan
perdarahan postpartum hebat, tetapi tidak membutuhkan manajemen yang
agresif yang diperlukan pada plasenta akreta derajat berat.
7. Perdarahan vagina selama trimester terakhir serta plasenta previa yang
telah didiagnosis melalui USG atau MRI adalah gejala yang menunjukkan
bahwa akreta plasenta juga mungkin. Kadang-kadang lebih histerektomi
juga diperlukan. Namun, gejala akreta plasenta mungkin tidak sebatas itu.
8. Untuk bayi, kelahiran prematur dan masalah menyusul adalah perhatian
yang paling penting bagi para ibu yang didiagnosis dengan plasenta akreta.
Pendarahan selama pengiriman dan memisahkan plasenta dari dinding
uterus adalah masalah mengancam kehidupan bagi ibu dengan plasenta
akreta dan kasus yang lebih rumit seperti plasenta inkreta dan percreta.

2.3.3 Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terjadi karena tidak terdapat lapisan
spongiosa dari desidua. Benurschke dan Kaufmann menjelaskan bahwa
kondisi ini adalah konsekuensi dari kegagalan rekonstruksi endometrium atau
desidua basalis setelah proses penyembuhan luka insisi SC. Secara histologis
biasanya tampak sebagai gambaran trofoblas yang menginvasi miometrium
12

tanpa keterlibatan desidua. Hal ini menjadi masalah saat proses persalinan
dimana plasenta tidak akan terlepas dan akan terjadi perdarahan masif.

2.3.4 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi plasenta akreta banyak dan mencakup kerusakan pada
organ-organ lokal, perdarahan pasca operasi, emboli air ketuban, DIC,
transfusi darah, sindrom gangguan pernapasan akut, tromboemboli pasca
operasi, morbiditas karena infeksi, kegagalan multi sistem organ, dan
kematian. Selain itu, .komplikasi yang bisa terjadi akibat plasenta akreta
seperti keguguran dan kelahiran prematur. Terlebih lagi jika pendarahan
yang dialami terlihat parah, dissaminated intravascular coagulopathy
memerlukan tindakan histerektomi, cedera operasi pada ureter, kandung
kemih, dan organ visera lainnya, adult respiratory distress syndrome, gagal
ginjal, hingga kematian. Jumlah darah yang hilang saat persalinan pada
wanita dengan plasenta akreta rata-rata 3000– 5000ml. Dibeberapa senter,
plasenta akreta menjadi penyebab utama dilakukannya histerektomi cesarian.
Komplikasi dari plasenta akreta seperti emboli paru atau
tersumbatnya arteri paru-paru oleh gumpanan darah, infeksi, dan masalah
pada kehamilan berikutnya (meliputi plasenta akreta yang kambuh, kelahiran
prematur, dan keguguran) juga bisa terjadi apabila masih ada bagian plasenta
yang melekat di dinding rahim. Komplikasi genital, saluran kemih yang
umum dan termasuk cystotomy pada sekitar 15% kasus dan cidera ureter
sekitar 2% kasus. Oleh karena itu diagnosis prenatal yang akurat sangat
penting untuk meminimalkan risiko ini.

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Ultrasonografi
Ultrasonografi transvaginal dan transabdominal adalahteknik
diagnostik pelengkap dan harus digunakan sesuai kebutuhan.USG
transvaginal aman untukpasien dengan plasenta previa dan
13

memungkinkan lebih lengkap dalam hal pemeriksaan segmen bawah


rahim.
Secara keseluruhan, ultrasonografi grayscale cukup untuk
mendiagnosis plasenta akreta, dengan sensitivitas 77-87%,spesifisitas 96-
98%, nilai prediksi positif 65-93%, dan nilai prediksi negatif
98%.Penggunaan daya Doppler, warna Doppler, atau pencitraan tiga
dimensi tidak secara signifikan meningkatkansensitivitas diagnostik
dibandingkan dengan yang dicapai oleh ultrasonografi grayscale saja.
Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti berikut
ini:
First Trimester
1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus
telah berkorelasi dengan peningkatan insidenplasenta akreta pada
trimester ketiga.
2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental
bed pada trimester pertama berkorelasi denganplasenta akreta.
3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang
penting. Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS
tertanam ke bekas luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada
dasar kandung kemih (Figure 1). Jika tidak ditangani, implantasi
bekas luka caesar dapat menyebabkan kelainan utama pada plasenta
seperti plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan implantasi
pada bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung
kehamilan dengan methotrexate di bawah bimbingan USG.
14

Meskipun ada laporan kasus terisolasi dari plasenta akreta


didiagnosispada trimester pertama atau pada saatabortususia kehamilan<
20 minggu,nilai prediktif trimester pertama USGuntuk diagnosis ini
masih belum diketahui.USG pada trimester pertamatidak boleh
digunakan secara rutin untuk menegakkan atau mengecualikan diagnosis
plasentaakreta. Atau, karenaasosiasi mereka dengan plasenta akreta,
wanita dengan plasenta previa atau "plasenta letak rendah " yang
melintas pada bekas luka uterus pada awal kehamilan harus menjalani
follow up pencitraan pada trimester ketiga dengan memperhatikan
adanya potensi karena plasenta akreta.
15

Second and Third Trimesters


1) Beberapa vascular lacunae dalam plasenta telah memiliki korelasi
dengan sensitivitas yang tinggi (80% -90%) dan tingkat positif palsu
rendah untuk plasenta akreta (Figure 2) .Placenta lacunae pada
trimester kedua tampaknya memiliki sensitivitas dan positive
predictive value sangat tinggi dibanding marker lainuntuk plasenta
akreta.
2) Kehilangan zona hipoekhoik retroplasenta yang normal, juga disebut
sebagai hilangnya ruang yang jelas antara plasenta dan rahim, adalah
salah satu penanda (Figure 3). Temuan sonografi ini telah dilaporkan
memiliki tingkat deteksi sekitar 93% dengan sensitivitas 52% dan
spesifisitas 57%. Nilai rerata false positive, bagaimanapun, telah
berada di kisaran 21% atau lebih tinggi. Penanda ini tidak boleh
digunakan sendiri, karena hal ini sangat tergantung pada sudut
pengambilan saat USG dan dapat absen pada plasenta anterior yang
normal.
3) Kelainan pada permukaan antara serosa uterus dengan kandung
kemih termasuk gangguan garis, penebalan garis, ketidakteraturan
garis, dan peningkatan vaskularisasi pada pencitraan warna Doppler
(Figure 4) . Normal permukaan antara serosa uterus dengan kandung
kemih adalah garis tipis lebar yang halus tanpa ireguleritas atau
vaskular yang meningkat (Figure 5). Kelainan permukaan antara
uterus serosa-kandung kemih ini meliputi, penebalan, ireguleritas,
peningkatan vaskularisasi, seperti varises dan bulging plasenta ke
dalam dinding posterior kandung kemih.
16

Temuan USG di bawah ini berhubungan erat dengan sensitifitas dan


spesifisitas yang tinggi untuk plasenta akreta.
4) Ekstension dari vili ke dalam miometrium, serosa, ataukandung
kemih mengarahkan ke plasenta akreta.
5) Ketebalan miometrium retroplasenta kurang dari 1 mm merupakan
temuan yang karakteristik.
6) Aliran darah turbulen melalui lacunae pada Dopplersonografi terkait
dengan plasenta akreta.
Multipel vascular lacunae dalam plasenta, atauSwiss cheese appearance,
adalah salah satu yang paling penting sonografi plasenta akreta di
trimester ketiga.Patogenesis temuan ini mungkin terkait
denganperubahan jaringan plasenta akibat paparan jangka panjang dari
pulsatile blood flow.Ketika multipel,terutama 4 atau lebih lacunae,
17

temuan ini telah berkorelasidengan tingkat deteksi 100% untuk plasenta


akreta.Penanda ini juga memiliki tingkat positif palsu rendah, tetapi harus
dicatat bahwa plasenta akreta telah dilaporkan dengan tidak adanya
multipel vascular lacunae pada plasenta.

Kriteria USG untuk plasenta akreta menurut RCOG Guideline antara lain
yakni:
Greyscale:
 Hilangnya zona sonolucent retroplasenta
 Zona sonolucent retroplasenta yang tidak teratur
 Penipisan atau gangguan dari hyperechoic serosa-bladder interface
 Kehadiran massa exophytic fokal yang menyerang kandung kemih
 abnormal placenta lacunae
Doppler:
 Difus atau fokal aliran lacunar
 danau vaskular dengan aliran turbulen (peak cystolic velocity >15 cm
/detik)
 Hipervaskularisasi serosa-bladder interface
 markedly dilated vessels over peripheral subplacental zon
3D Power Doppler:
 Banyak koheren pembuluh darah melibatkan seluruh pertemuan
antara serosa uterus dengan kandung kemih (basal viewl)
 Hipervaskularisasi (lateral view)
18

 Sirkulasi cotyledonal dan intervilli yang tak terpisahkan, chaotic


branching, detour vessels (lateral view).

2. Magnetic resonance imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging lebih mahal daripada ultrasonografi
dan membutuhkan baik pengalaman dan keahlian dalam evaluasi invasi
plasenta abnormal.Meskipun kebanyakan studi telah menyarankan
akurasi diagnostik yang sebandingMRI dan USG untuk plasenta
akreta,MRI dianggap sebagai modalitas tambahan dan menambahkan
sedikit dengan akurasi diagnostik ultrasonografi. Namun,ketika ada
temuan USG ambigu atau kecurigaandari akreta plasenta posterior,
dengan atau tanpa plasenta previa, ultrasonografi mungkin tidak cukup.
Sebuah studi prospektif seri dari 300 kasus yang dipublikasikan pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa MRI mampu menguraikan anatomi
invasidan menghubungkannya dengan sistem vaskular anastomosis
19

daerah sekitar. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa


menggunakan MRI irisan aksial dapat mengkonfirmasi invasi dari
parametrium dan kemungkinan keterlibatan ureter.
Kontroversi seputar penggunaan berbasis kontras gadolinium
meskipun menambah spesifisitas diagnosis plasenta akretadengan
MRI.Penggunaankontras gadolinium MRI memungkinkan untuk lebih
jelas melukiskan permukaa relatif luar plasenta terhadap miometrium dan
membedakan antara heterogen pembuluh darah dalam plasenta dari yang
disebabkan olehpembuluh darah ibu. Ketidakpastian mengenai risiko
efek ke janin oleh gadolinium karena mampu melintasiplasenta dan
mudah memasuki sistem peredaran darah janin, The Contrast Media
Safety Committee of the European Society of Urogenital Radiology dari
literatur terakhir menentukan bahwa tidak ada pengaruh pada janin yang
dilaporkansetelah penggunaan media kontras gadolinium. Namun,
American College of Radiologyguidance document for safe MRI
practices merekomendasikan bahwa gadolinium intravena harus
dihindari selama kehamilan dan harus digunakan hanya jika benar-benar
penting.
Peran MRI dalam mendiagnosis plasenta akreta masih
diperdebatkan. Dua studi banding terakhir telah menampilkan sonografi
dan MRI sebanding: dalam studi pertama 15 dari 32 wanita terdiagnosis
akreta(sensitivitas 93% dibandingkan 80% dan spesifisitas 71%
dibandingkan 65% untuk USG dibandingkan MRI); distudi kedua 12 dari
50 wanita akhirnya memiliki akreta dan MRI dan Doppler menunjukkan
tidak ada perbedaan dalam hal mendeteksi plasenta akreta (P = 0,74),
meskipun MRI lebih baik dalam mendeteksi kedalaman infiltrasi di kasus
plasenta akreta (P <0,001). Banyak penulis telah menganjurkan MRI bagi
perempuan yang pada temuan USGnya inconclusive.
20

Fitur MRI utama plasenta akreta meliputi:


● uterine bulging
● intensitas sinyal heterogen dalam plasenta
● dark intraplacental bands pada pencitraan T2.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat sensitivitas MRI 80%-
85% dengan spesifisitas 65%-100% dalam hal mendiagnosis
plasenta akreta.

3. Pemeriksaan laboratorium
Ada faktor risiko plasenta akreta yang dapat diperiksa dengan
skrining MSAFP seperti untuk cacat tabung saraf dan
aneuploidies.Hungdan temannya (1999) menganalisis lebih dari 9300
wanita diskrining untuk Down syndrome pada 14 sampai 22
minggu.Mereka melaporkan 54 kali lipat meningkat risiko untuk akreta
pada wanita dengan plasenta previa. Risikountuk akreta meningka 8x
lipat bila kadar MSAFP melebihi2,5 MoM; itu meningkat 4x lipat ketika
kadar free beta-hCG yang lebih besar dari 2,5 MoM; dan itu meningkat
tiga kali lipat saat usia ibu adalah 35 tahun atau lebih.
4. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat
berdasarkan hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan
histerektomi. Diagnosis definitif tergantung pada visualisasi dari villi
chorialis yang menginvasi atau tertanam pada miometrium dengan tidak
adanya desidua di lapisan antara mereka.

2.3.6 Pengobatan dan atau Pencegahan


Tindakan yang dapat di lakukan pada pasien plasenta akreta yaitu
dengan melepaskan secara manual.Pada plasenta akreta yang parsialis dapat
dilepaskan secara manual tetapi plasenta akreta kompleks tidak boleh
21

dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi


dinding rahim.

2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Mengindentifikasi plasenta akreta pada klien .petugas harus waspasa
terhadap status risiko klien.
b. Membantu dengan terapi dan intervensi yang cepat. Untuk itu siapkan
D&C (dilatasi dan Kuretasi)atau histerektomi.
c. Memberi dukungan fisik dan emosional
d. Memberi penyuluhan klien dan keluarga
Plasenta akreta idealnya diterapi dengan histerektomi total
perabdominal.Sebagai tambahan, sebagai konsensus universal beranggapan
bahwa plasenta sebaiknya dibiarkan pada tempatnya, usaha untuk melepaskan
plasenta sering mengakibatkan perdarahan masif.Akan tetapi, dokter harus
menyadari bahwa plasenta akreta yang bersifat fokal dapat terjadi dan tidak
membutuhkan terapi yang agresif.Operasi plasenta akreta lebih baik
dilakukan secara elektif dengan persiapan yang baik dibandingkan dengan
operasi darurat. Terminasi kehamilandirencanakan pada usia kehamilan 36-37
minggu, setalah dilakukan pemeriksaankematangan paru dengan
amniosintesis.
Jika amniosintesis gagal menunjukkan paru-paru telah matang, jika
pasienstabil bisa dilakukan persalinan pada usia kehamilan 38 minggu, atau
lebih cepat, jika pasien perdarahan atau sudah dalam proses
persalinan.Penelitian yang membandingkan histerektomi peripartum yang
emergensidan elektif menemukan bahwa wanita dengan histerektomi
emergensi memilikiangka perdarahan intraoperatif yang lebih tinggi, yang
menyebabkan terjadinyahipotensi intraoperatif, dan lebih
membutuhkan transfusi dibandingkan wanita yang melakukan histerektomi
obstetrik elektif. Pencegahan komplikasi idealnya membutuhkan pendekatan
22

multi disipliner.Pasien sebaiknya dikonsul sebelum operasi dan disediakan


darah untuk persiapan transfusi.
Walaupun persalinan yang direncanakan merupakan pilihan
terbaik,namun harus dibuat perencanaan akan kemungkinana adanya
persalinan emergensi jika dibutuhkan. Hal yang penting bahwa persalinan
dilakukan oleh dokter kandungan yang berpengalaman dengan spesialis bedah lainnya
seperti urolog, dan spesialis onkologi ginekologi jika tersedia. Penting untuk
meminimalkan jumlah perdarahan dan yakin bahwa perdarahan yang terjadi
diganti secara benar dan adekuat karena perdarahan yang terjadi sering dalam jumlah
yang banyak, penggantian dengan packed red blood cells, beresiko
menimbulkan disseminated intravascular coagulopathy. Oleh karenanya
faktor koagulasi harus diberikan secara adekuat dan cepat. Transfusi darah
segar dan penggunaan sel darah yang disimpan sebelumnya dapat mengurangi
kebutuhan transfusi dengan menggunakan donor lainnya. Beberapa senter
melakukan hemodilusi normovolemik akut untuk mengurangi kebutuhan
darah.Anastesi regional menunjukkan lebih aman didalammanajemen
plasenta akreta.Oklusi balon kateter dan embolisasi oklusi balon kateter atau
embolisasi pembuluh darah pelvik menurunkan aliran darah ke rahim dan
berpotensi mengurangi perdarahan dan memungkinkan melakukan operasi
lebih mudah, lebih terkontrol, dan mengurangi perdarahan masif. Dua cara
yang berbeda telah dideskripsikan.
Cara pertama, preoperatif dilakukan pemasangan balon kateter
untuk menyumbat arteri iliaka interna.Kateter ini diinflasi setelah bayi lahir,
dan dikontrol selama opersi berlangsung dan dideflasikan setelah operasi
selesai.Cara lainnya kateter dengan atau tanpa balon diletakkan preoperasi
pada arteri iliaka interna, dan embolisasi pembuluh darah dilakukan setelah
bayi lahir dan sebelum dilakukannya histerektomi.
23

2.4 Histerektomi
2.4.1 Definisi
Histerektomi dikenal dengan juga dengan operasi pengangkatan
rahim.Berasal dari kata histera berarti memotong atau mengangkat. Tindakan
ini hanya dilakukan berdasarkan alasan- alasan medis atau indikasi tertentu
(Anonim, 2009).

Histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat rahim


yang dilakukan oleh ahli kandungan (Rasjidi, 2008).

Jadi, dapat disimpulkan histerektomi adalah suatu prosedur


pembedahan mengangkat rahim yang umum dilakukan untuk keganasan atau
bukan keganasan.

2.4.2 Indikasi
1. Adanya tumor jinak rahim, misalnya mioma. Meski jinak, tumor
dapat membesar sehingga dikhawatirkan menekan jaringan di
sekitarnya.
2. Bila terdapat gejala-gejala pra kanker atau hiperplasi selaput rahim
(endometrium) serta prakanker di leher rahim. Histerektomi untuk
prakanker, terutama dilakukan pada wanita yangs udah punya anak
cukup dan tingkat prakankernya tergolong berat, misalnya kanker
leher rahim yang disebut disaplasia berat sampai carcinoma insitu.
3. Kanker pada badan dan leher rahim stadium awal. Kalau itu yang
menjadi alasan akan dilakukan histerektomi radikal. Operasi ini
juga dilakukan pada wanita usia lanjut yang menderita kanker
indung telur dan saluran tuba.
4. Rupture uteri
5. Perdarahan hebat pasca persalinan meliputi:
1) Atoniauteri
2) Afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia pada plasenta
3) Plasenta inkreta dan perkreta
24

4) Couvelaire uterus tanpa kontraksi


5) Uterine terputus
6) Hematoma yang luas pada rahim
6. Kematian janin dalam rahim dan missed abortion dengan kelainan
darah (Mochtar, 2000).

2.4.3 Klasifikasi Histerektomi


1. Histerektomi Abdominal Totalis
Ini merupakan suatu tipe Histerektomi yang sangat dan sering
dilakukan. Selama histerektomi abdominalis totalis, dokter-dokter
sering mengangkat uterus bersama servik sekaligus. Parut yang
dihasilkan dapat berbentuk horizontal atau vertikal, tergantung dari
alasan prosedur tersebut dilakukan dan ukuran atau luasnya area yang
ingin di terapi. Karsinoma ovarium dan uterus, endometriosis, dan
mioma uteri yang besar dapat dilakukan histerektomi jenis ini. Selain
itu histerektomi jenis ini dapat dilakukan pada kasus-kasus nyeri
panggul, setelah melalui suatu pemeriksaan serta evaluasi penyebab
dari nyeri tersebut, serta kegagalan terapi secara medikamentosa.
Setelah dilakukan prosedur ini wanita tidak dapat mengandung seorang
anak. Maka dari itu metode ini tidak dilakukan pada wanita usia
reproduksi, kecuali pada kondisi-kondisi yang sangat serius seperti
karsinoma. Histerektomi abdominal totalis memperbolehkan operator
mengevaluasi seluruh kavum abdomen serta panggul, dimana sangat
berguna pada wanita-wanita dengan karsinoma atau penyebab yang
tidak jelas. Dokter juga perlu melihat kembali keadaan medis untuk
memastikan tidak terjadinya resiko yang diinginkan saat metode ini
dilakukan, seperti jaringan parut yang luas (adhesi). Jika wanita tersebut
mempunyai resiko adhesi, atau ia mempunyai suatu massa panggul
yang besar, histerektomi secara abdominal sangatlah cocok.
25

2. Adhesiolisis (Pembebasan Perlengketan)


Perlengketan pada organ kelamin wanita dapat disebabkan oleh
tiga hal,yakni infeksi, endometriosis, dan riwayat operasi organ perut.
Perlengketan ini sesungguhnya merupakan proses penyembuhan alami
tubuh untuk memperbaiki jaringan yang cedera atau terluka.
Cedera atau luka akibat operasi, infeksi maupun endometriosis ini
diperbaiki dengan membentuk jaringan baru di permukaan jaringan
yang rusak. Jaringan baru yang terbentuk inilah yang dapat
menyebebkan lengketnya organ tersebut dengan luka sayatan operasi
atau dengan organ lain disekitarnya. Pada sebagian orang perlengketan
ini tidak menimbulkan gejala. Apabila perlengketan ini menyebabkan
tarikan, puntiran Atau perubahan posisi dapat menimbulkan berbagai
keluhan terutama nyeri. Pada wanita, selain nyeri, perlengketan ini
dapat pula menimbulkan infertility,terutama apabila perlengketan
terjadi pada organ saluran telur. Diagnosis perlengketan organ kelamin
dalam wanita ini didasarkan pada adanya factor resiko riwayat operasi
perut (open surgery), infeksi,keluhan nyeri serta pemeriksaan dalam
yang mendukung adanya perlengketan organ kelamin dalam. Namun
demikian, seringkali perlengketan ini dijumpai tanpa sengaja saat
dilakukan tindakan laparoskopi diagnostik.Perlengketan ini dapat
dihilangkan dengan melakukan fisioterapi(misalnya Wurn
technique)untuk perlengketan ringan,dan tindakan operatif untuk
perlengketan yang lebih hebat.
3. Histerektomi Vaginalis
Prosedur ini dilakukan dengan cara mengangkat uterus melalui
vagina. Vaginal histerektomi ini merupakan suatu metode yang cocok
hanya pada kondisi-kondisi seperti prolaps uteri, hiperplasi
endometrium, atau displasia servikal. Kondisi ini dapat dilakukan
apabila uterus tidak terlalu besar, dan tidak membutuhkan suatu
prosedur evaluasi operatif yang luas. Wanita diposisikan dengan kedua
kaki terangkat pada meja litotomi. wanita yang belum pernah
26

mempunyai anak mungkin tidak mempunyai kanalis vaginalis yang


cukup lebar, sehingga tidak cocok dilakukan prosedur ini. Jika wanita
tersebut mempunyai uterus yang sangat besar, ia tidak dapat
mengangkat kakinya pada meja litotomi dalam waktu yang lama atau
alasan lain mengapa hal tersebut terjadi, dokter-dokter biasanya
mengusulkan histerektomi secara abdominalis. Secara keseluruhan
histerektomi vaginal secara laparaskopi lebih mahal dan mempunyai
komplikasi yang sangat tinggi dibanding histerektomi secara
abdominal.
4. Histerektomi Vaginal dengan Bantuan Laparoskopi
Metode jenis ini sangat mirip dengan metode histerektomi secara
vaginal hanya saja ditambah dengan alat berupa laparoskopi. Sebuah
laparoskopi adalah suatu tabung yang sangat tipis dimana kita dapat
melihat didalamnya dengan suatu kaca pembesar di ujungnya. Pada
wanita-wanita tertentu penggunaan laparaskopi ini selama histerektomi
vaginal sangat membantu untuk memeriksa secara teliti kavum
abdomen selama operasi. Penggunaan laparoskopi pada pasien-pasien
karsinoma sangat baik bila dilakukan pada stadium awal dari kanker
tersebut untuk mengurangi adanya penyebaran atau jika direncanakan
suatu oovorektomi. Dibandingkan dengan vaginalis Histerektomi atau
abdominal, metode ini lebih mahal dan lebih riskan terjadinya
komplikasi, pengerjaannya lama dan berhubungan dengan lamanya
perawatan di Rumah Sakit seperti pada vaginal histerektomi uterus
tidak boleh terlalu besar.
5. Histerektomi Supraservikal
Supraservikal Histerektomi digunakan untuk mengangkat uterus
sementara serviks ditinggal. Serviks ini adalah suatu area yang dibentuk
oleh suatu bagian paling dasar dari uterus, dan berada di bagian akhir
(atas) dari kanalis vaginalis. Prosedur ini kemungkinan tidak
berkembang menjadi karsinoma endometrium terutama pada bagian
serviks yang ditinggal.
27

Wanita yang mempunyai hasil papsmear abnormal atau kanker


pada daerah serviks tidak cocok dilakukan prosedur ini. Wanita lain
dapat melakukan prosedur ini jika tidak ada alasan yang jelas untuk
mengangkat serviks. Pada beberapa kasus serviks lebih baik ditinggal
seperti pada kasus-kasus endometriosis. Prosedur ini merupakan
prosedur yang sangat simple dan membutuhkan waktu yang singkat.
Hal ini dapat memberikan suatu keuntungan tambahan terhadap vagina,
juga menurunkan resiko terjadinya suatu protrusi lumen vagina
(Vaginal prolaps).
6. Histerektomi Radikal
Prosedur ini melibatkan operasi yang luas dari pada histerektomi
abdominal totalis, karena prosedur ini juga mengikut sertakan
pengangkatan jaringan lunak yang mengelilingi uterus serta
mengangkat bagian atas dari vagina. Radikal histerektomi ini sering
dilakukan pada kasus-kasus karsinoma serviks stadium dini.
Komplikasi lebih sering terjadi pada histerektomi jenis ini
dibandingkan pada histerektomi tipe abdominal. Hal ini juga
menyangkut perlukaan pada usus dan sistem urinarius.
7. Ooforektomi dan Salpingooforektomi (Pengangkatan Ovarium dan
atau Tuba Falopii)
Ooforektomi merupakan suatu tindakan operatif mengangkat
ovarium, sedangkan salpingooforektomi adalah pengangkatan ovarium.
Kedua metode ini dilakukan pada kasus-kasus : kanker ovarium, curiga
tumor ovarium atau kanker tuba falopii (jarang). Kedua metode ini juga
dapat dilakukan pada kasus-kasus infeksi atau digabungkan dengan
histerektomi. Kadang-kadang wanita dengan kanker ovarium atau
payudara tipe lanjut dilakukan suatu ooforektomi sebagai tindakan
preventif atau profilaksis untuk mengurangi resiko penyebaran dari sel-
sel kanker tersebut. Jarang sekali terjadi kelainan secara familial.
28

b. Tingkatan Histerektomi
Berdasarkan luas dan bagian rahim yang diangkat, tindakan
histerektomi dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Histerektomi total : pengangkatan rahim dan serviks, tanpa
ovarium dan tuba falopi
2. Histerektomi subtotal : pengangkatan rahim saja, serviks,
ovarium dan tuba falopi tetap dibiarkan.
3. Histerektomi total dan salpingo-oporektomi bilateral atau dikenal
dengan nama TOTAL ABDOMINAL HISTEREKTOMY AND
BILATERAL SALPHINGO OOPHORECTOMY (TAH-BSO)
: pengangkatan rahim, serviks, ovarium dan tuba falopi. TAH–
BSO merupakan suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat
uterus, serviks, kedua tuba falofii dan ovarium dengan melakukan
insisi pada dinding, perut pada malignant neoplasmatic desease,
leymyoma dan chronic endrometriosis. TAH-BSO adalah suatu
tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada dinding perut
untuk mengangkat uterus, serviks, kedua tuba falopii dan ovarium
pada malignant neoplastic diseas, leymiomas dan chronic
endometriosis.

Ketiga jenis histerektomi ini menutup kemungkinan wanita untuk


hamil, termasuk melalui bayi tabung, tidak dipungkiri pula setelah
operasi histerektomi wanita kerap mengalami depresi, menganggap
29

dirinya bukan wanita lagi. Padahal tanpa rahim sesungguhnya wanita


dapat lebih bisa menikmati hidupnya.
Histerektomi pada gangguan system reproduksi mioma uteri
dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita
yang memiliki leiomioma yang simptomatik atau yang sudah
memenuhi criteria ACOG untuk histerektomi adalah sebagai berikut:
a. Terdapatnya 1 sampai 2 leioma asimptomatik atau yang dapat teraba
dari luar dan dikeluhkan pasien.
b. Perdarahan uterus berlebihan.
c. Rasa tidak nyaman di pelvis akibat mioma uteri.
Histerektomi mengundang dua akibat, yaitu panjang saluran vagina
dan peran leher rahim. Pada histerektomi subtotal, tidak ada perubahan
panjang saluran vagina, sehingga tidak mengganagu hubungan seksual.
Begitu pula histerektomi total. Namun histerktomi radikal dengan
sendirinya memperpendek saluran vagina 1/3 sampai setengahnya.
Dengan terangkatnya rahim beserta leher rahim, banyak yang
beranggapan bahwa kenikmatan seksual pada wanita jadi berkurang
(Anonim,2009).
2.4.4 Pemeriksaan Penunjang
Begitu banyak teknik-teknik operasi pada tindakan histerektomi.
Prosedur operatif ideal pada wanita bergantung pada kondisi mereka
masing-masing. Namun jenis-jenis dari histerektomi ini dibicarakan
pada setiap pertemuan mengenai teknik apa yang dilakukan dengan
pertimbangan situasi yang bagaimana. Namun keputusan terakhir
dilakukan dengan diskusi secara individu antara pasien dengan dokter-
dokter yang mengerti keadaan pasien tersebut. Perlu diingat aturan
utama sebelum dilakukan tipe histerektomi, wanita harus melalui
beberapa test untuk memilih prosedur optimal yang akan digunakan :
1. Pemeriksaan panggul lengkap (Antropometri) termasuk mengevaluasi
uterus di ovarium.
2. Papsmear terbaru.
30

3. USG panggul, tergantung pada temuan diatas.

2.4.5 Prosedur Histerektomi


Histerektomi dapat dilakukan melalui sayatan di perut bagian
bawah atau vagina, dengan atau tanpa laparoskopi. Histerektomi lewat
perut dilakukan melalui sayatan melintang seperti yang dilakukan pada
operasi sesar. Histerektomi lewat vagina dilakukan dengan sayatan pada
vagina bagian atas. Sebuah alat yang disebut laparoskop mungkin
dimasukkan melalui sayatan kecil di perut untuk membantu
pengangkatan rahim lewat vagina.
Histerektomi vagina lebih baik dibandingkan histerektomi perut
karena lebih kecil risikonya dan lebih cepat pemulihannnya. Namun
demikian, keputusan melakukan histerektomi lewat perut atau vagina
tidak didasarkan hanya pada indikasi penyakit tetapi juga pada
pengalaman dan preferensi masing-masing ahli bedah.
Histerektomi adalah prosedur operasi yang aman, tetapi seperti
halnya bedah besar lainnya, selalu ada risiko komplikasi. Beberapa
diantaranya adalah pendarahan dan penggumpalan darah
(hemorage/hematoma) post operasi, infeksi dan reaksi abnormal
terhadap anestesi.

2.4.6 Perawatan Post Histerektomi


Perawatan Post Histerektomi menurut Husodo (2002), pada bedah
kebidanan perabdominan seperti halnya Histerektomi memerlukan
perhatian dan perawatan khusus karena keberhasilan dan kegagalan
operasi sedikit banyaknya ditentukan oleh perawatan pasca bedah yaitu:
1. Perawatan pertama pembalutan luka insisi dibersihkan dengan baik
dan melakukan perawatan luka, medikasi luka. Luka insisi
dibersihkan dengan alkohol secara periodik dan mengobservasi
keadaan luka insisi apakah luka sembuh atau terdapat tanda- tanda
infeksi.
31

2. Sebelum pindah kamar perawatan lakukan observasi tanda- tanda


vital dan jumlah cairan yang masuk dan keluar sampai beberapa
jam pasca bedah.
3. Karena pasien puasa selama 24 jam pertama pasca operasi. Maka
cairan per infus diberikan cukup banyak mengandung elektrolit
agar tidak terjadi dehidrasi, hipertermia dan komplikasi organ
lainnya. Cairan yang diberikan biasanya dekstrosa 5% NaCl, dan
Ringer laktat secara bergantian dengan anjuran 20 tetesan permenit.
4. Pemberian cairan per infus dihentikan setelah penderita flatus, lalu
mulailah pemberian makanan, dan minuman peroral. Sebenarnya
pemberian sedikit minum sudah boleh diberikan pada 6- 10 jam
pasca bedah berupa air putih atau air es hisap yang jumlahnya
dapat dinaikan di hari pertama dan kedua pasca bedah. Setelah
infuse dihentikan, berikan makanan bubur saring, minuman air
buah dan susu, selanjutnya secara bertahap diperbolehkan makan
bubur dan makan makanan biasa.
5. Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa masih nyeri
dirasakan di daerah operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut
dapat diberikan obat-obatan anti sakit dan penenang seperti injeksi
IM pethidin dengan dosis 10- 15 mg. Dengan obat- obat diatas,
pasien yang kurang tenang dan gelisah akan merasa lebih tenang.
6. Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk
membantu jalannya penyembuhan penderita. Seperti miring ke
kanan dan ke kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah
penderita sadar dan berguna untuk menguraikan sisa obat anastesi.
7. Perawatan pengosongan kandung kemih dengan pemasangan
kateter tetap agar menghindari retensi urin. Jika kandung kemih
penuh, menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada pasien dan
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
8. Pemberian obat- obatan seperti : antibiotik dan anti inflamasi
(metronidazol, amoxicillin, dll), urotonika. Jika perlu pada pasien
32

dengan gangguan kontraksi/perdarahan (misoprostol, oksitosin,


methergin, prostatglodin), analgesic/anti nyeri (pethidin, ibuprofen,
morjin) vitamin (vit A, B1, zatbesi) untuk mempercepat proses
penyembuhan, pencegahan infeksi dan menghindari
komplikasilainnya.
9. Melakukan pemeriksaan darah lengkap terutama kadar Hemoglobin
untuk mengetahui apakah kadar Hb ibu rendah atau masih dalam
batas normal setelah operasi ataupun terjadi perdarahan sebelum
dan saat operasi sehingga perlunya kantung darah untuk transfusi
darah sesuai kebutuhan.

2.4.7 Perawatan pasca histerektomi:


48 – 72 jam pertama setelah operasi merupakan saat yang paling
kritis. Pemantauan fungsi sistem kardiovaskular, paru, ginjal, serta respons
berbagai sistem tersebut terhadap pembedahan memungkinkan penilaian
kondisi pasien yang tepat. Perawatan pascaoperasi sebenarnya sudah
dimulai sebelum prosedur dilakukan; sebagai contoh, pasien dengan
PPOK harus menjalani terapi paru intensif sebelum pembedahan dilakukan
untuk memperkecil kemungkinan komplikasi pascaoperasi.

2.4.8 Komplikasi pasca histerektomi


1. Sistem kardiovaskular
Biasanya yang diperlukan hanyalah pemantauan tekanan darah dan
nadi secara cermat. Pada kasus yang jarang, mungkin diperlukan
pemantauan tekanan vena sentral (CVP) atau tekanan bagian arteri
pulmonalis dan kapiler pulmonalis menggunakan sentral atau
kateter Swaan-Ganz.
Labilitas sistem otonom segera sesudah pembedahan dapat
menyebabkan perubahan tekanan darah yang besar. Biasanya
terjadi pergeseran dalam volume plasma dan dapat terjadi
perdarahan tersembunyi. Vasokonstriksi dan takikardia yang
33

ditimbulkan oleh nyeri atau eksitasi, ditambah pemberian cairan


intravena selama prosedur, mungkin menutupi gejala – gejala
tersebut secara temporer. Pada awalnya, pemantauan pemberian
cairan dan pengeluaran urin harus dilakukan dengan frekuensi
sering; frekuensi tersebut kemudian dapat dikurangi.
Takikardia harus dievaluasi secara teliti.Diperlukan kehilangan 25
– 30% volume intravaskuler untuk menimbulkan
potensi.Vasokonstriksi perifer disertai ekstremita yang dingin,
lembab, dan pucat merupakan tanda-tanda hipovolemia yang lebih
lanjut, dapat terjadi perdarahan tersembunyi dalam rongga
intraperitoneum atau retroperitoneum.nyeri hebat baik diruang
pemulihan maupun dibangsal perawatan merupakan sinyal bahwa
perdarahan mungkin terjadi. pemeriksaan hematokrit berulang
seharusnya dapat memastikan kehilangan darah, dan sonografi
dapat mengidentifikasi tempat perdarahan. pada keadaan yang
jarang ini, biasanya diperlukan operasi ulang untuk mencapai
hemostatis.
Pasien yang diketahui mengidap penyakit kardiovaskuler biasanya
berada dibawah pengawasan ahli jantung atau ahli penyakit dalam
yang harus dikonsultasikan praoperasi dan harus dibutuhkan
pascaoperasi.Pengobatan yang harus divberikan untuk penyakit
kardiovaskuler sebelum pembedahan biasanya dapat tetap
dilanjutkan.pasien yang mengidap penyakit katup jantung
memerlukan profilaksis antimikroba untuk mencegah endokarditis
infektif. Harus dilakukan elektrokardiogram praoperasi pada
perempuan berusia lebih dari 4 tahun dan pada mereka yang
diketahui mengidap penyakit kardiovaskuler.
2. Sistem Paru
Hipoventilasi adalah masalah paru pascaoperasi yang paling sering
terjadi.nyeri membatasi gerakan pernapasan merupakan salah satu
34

penyebabnya. selain itu pasien biasanya tidur “dala” karena


anastesia dan pemberian obat antinyeri prarenteral.
Ventilasi alveolus harus dipertahankan dalam keadaan baik.Pada
diskusi praoperasi bersma pasein, harus ditekankan pentingnya
bernapas panjang yang harus dilatih sebelumnya. Pasien penyakit
paru restriktif atau obstruktif dalam derajat apa pun harus
menghindari prosedur elektif, kecuali jika kondisinya optimal. Pada
kasus kasus tertentu mungkin diperlukan rawat inap yang lebih dini
dan tindakan pembersihan paru lebih intensif.Dokter yang
menangani penyakit parunya harus dikonsultasikan praoperasi dan
jika perlu pascaoperasi.
3. Sistem kemih
Pemantauan pengeluaran urin merupakan cara memantau sistem
kardiovaskular dan ginjal, asalkan kita mengetahui cairan apa yang
sudah diberikan dan seberapa banyak cairan kombinasi yang telah
keluar. Pemeriksaan laboratoirum praoperasi biasanya meliputi
pengukuran elektrolit dan kreatinin serum.Pasien gangguan fungsi
ginjal memerlukan terapi cairan yang berbeda intraooperasi dan
pascaoperasi.Konsultasi praoperasi harus dilakukan bagi pasien
gangguan fungsi ginjal.
Bagi pasien yang menjalani histerektomi, biasanya dipasangin
kateter folley di kandung kemih paling tidak semalam sebelum
prosedur. Tindakan ini memungkinkan pasien berbaring di tempat
tidur segera setelah operasi dan memungkinkan kita segera
mengukur pengeluaran urin secara akurat selama jam – jam kritis
secara akurat selama jam – jam kritis setelah pembedahan selesai.
Seiring dikembangkannya anestesi yang lebih baru, somnolen
pasca operasi semakin berkurang dan kebutuhna untuk
memperbaiki pengeluaran urin involuntar (inkontinensia urin stres),
kateter kandung kemih biasanya terpasang lebih lama (sampai 3
hari). Sebagian perempuan tidak dapat berkemih spontan saat
35

kateter dilepas (transuretra) atau dijepit (suprapubis). Jika


praoperasi mereka telah mendapat konseling mengenai hal ini,
mereka tidak akan terlalu enggan untuk pulang dengan kateter
kandung kemih dan kantong urin untuk tidur dan untuk sehari –
hari. Pasien tidak perlu dirawat lebih lama hanya untuk melepas
kateter kandung kemih.
4. Saluran cerna
Setiap kali rongga abdomen dibuka, dapat terjadi gangguan fungsi
usus.Semakin ekstensif manipulasi usus halus dan besar
kemungkinan terjadi perlambatan pemulihan fuungsi normal.
Setiap pasien yang menjalani anestesia umum harus menjalani
anastesi umum harus menjalani puasa (nothing by mouth, NIPO)
sampai ia sadar penuh dan mampu menelan. Setelah bedah
abdomen, petunjuk terbaik untuk mengetahui kapan asupan dapat
oral dimulai dan jenis makanan apa yang dapat diberikan diperoleh
dari informasi pasien (flatus) dan pemeriksaan fisik (bising usus).
Pasien biasanya tidak merasa lapar selama beberapa hari, terapi
mereka mungkin merasa haus sejak hari praoperasi pertama.Mulut
pasien kering, dan pasien diijinkan untuk menyesap air dengan diet
cair jernih pada hari pertama pasca operasi.Jika bising usus sudah
pulih dan pasien sudah flatus, dapat diberikan diet yang
ditingkatkan secara bertahap menuju diet normal. Kita harus
memerhatikan cairan dan elektrolit pasien jika mereka tidak makan,
kadar kalium serum yang rendah (hipokalemia) dapat
menghentikan aktivitas usus (ileus) dan menimbulkan distensi
abdomen.
5. Sistem Vena
Ambulasi dini, stocking penunjang dan/atau pneumatik dan
pemberian heparin profilaktif sangat mengurangi gejala koagulasi
intravaskular. Berbagai penelitian fibrinogen dengan label
radioaktif memperlihatkan bahwa memang terbentuk bekuan
36

divena-vena dalam ekstremitas bawah dimeja operasi. Insiden


pembentukan bekuan setelah histerektomi abdominal (15-50%)
adalah sekitar dua kali lipat dari yang diamati pada histerektomi
vaginal. Kategori pasien berisiko tinggi adalah yang berusia lebih
dari 45 tahun, obesitas dan pengidap diabetes, penyakit paru
kronik, varises yang besar, riwayat trombosis vena, dan gagal
jantung.
Stasis vena merupakan penyebab pembentukan pembekuan, dan
harus dilakukan berbagai usaha untuk mengurangi faktor-faktor
pengontribusinya seminimal mungkin.Faktor pengontribusinya
utama adalah tirah baring yang lama pada periode antara pasien
dirawat dan operasi serta keterlambatan ambulansi setelah operasi.
Olahraga untuk meningkatkan aliran balik dari ekstremitas bawah
dapat dilakukan saat pasien berada ditempat tidur, misalnya melaku
gerakan plantarfleksi dan dorsifleksi kaki.Instruksi ini harus
diberikan sebelum pembedahan sehingga pasien dapat berlatih.
Heparin 5000 unit subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai beberapa
jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sampai pasien dapat
berjalan sangat mengurangi insiden trombosis vena pascabedah
ginekologik mayor.Pemberian ini dapat memperberat perdarahan
sehingga banyak ahli bedah yang menggunakan perangkat
pneumatik pada ekstremitas bawah sampai pasien dapat berjalan.

2.4.9 Persetujuan Untuk Histerektomi


1. Langkah pertama yang seharusnya diambil dalam diskusi sebelum
menganjurkan histerektomi adalah penjelasan mengenai
kemungkinan diagnosis dan alasan yang menjadi dasar tindakan.
gunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, hindarkan
terminologi teknis. gambar-gambar yang telah dipersiapkan
seringkali sangat membantu dalam mempermudah pengertian.
adalah sangat penting bagi dokter untuk meyakinkan bahwa
37

pasiennya (dan pihak lain yang berkepentingan seperti individu


yang berperan aktif dalam mengambil keputusan) mengerti
indikasi untuk operasi dan pembedahan mana yang akan
dilakukan. penjelasan harus termasuk diskusi yang menyeluruh
mengenai pendekatan terapetik alternatif, jika dianggap sesuai
untuk mendiskusikannya. jika tidak sesuai, alasan untuk
menjelaskan pilihan tersebut kepada pasien harus dihindari.
pasien harus diberi kesempatan untuk memilih antara prosedur
yang tersedia dan terapi lainnya, termasuk langkah ekspektatif,
bukan hanya antara penerimaan dan penolakan satu rekomendasi
yang tertentu. berikan cukup waktu bagi pasien untuk
menanyakan pertanyaan dan untuk menimbang keputusannya
dengan cukup mendalam.
2. Sebagai kesatuan bagian proses informed consent adalah
penjelasan mengenai perincian prosedur. diantara prosedur
pembedahan lainnya, histerektomi mungkin merupakan satu yang
paling sering disertai dengan penerimaan yang keliru pada
masyarakat awam. terdapat banyak kebingunan antara perbedaan
ekstirpasi uterus total dan subtotal. bila menurut dokter ahli
ginekologis histerektomi subtotal adalah berupa reseksi
supraservikalis dari fundus uterus, seringkali diinterpretasikan
oleh orang yang tidak mengerti sebagai tindakan dimana tuba dan
ovarium ditinggalkan. penyertaan pengangkatan tuba dan ovarium
harus didiskusikan secara khusus, jika ditemukan. pilihan cara
pembedahan, yaitu vaginal atau abdominal, yang sangat
dipengaruhi oleh pilihan pribadi operator dan sifat penyakit, harus
diperhitungkan pada keinginan pasien, jika mungkin. hal ini juga
berlaku terhadap pilihan insisi, di garis tengah vertikal
subumbilikal atau insisi transversal rendah. jika terdapat hal-hal
yang memaksa untuk melakukan jenis operasi atau insisi tertentu,
pasien harus dijelaskan dengan sesuai.
38

3. Tidak kurang penting adalah perlunya mendiskusikan aspek


sosioekonomi dari pengambilan keputusan untuk menjalani
prosedur pembedahan yang besar, seperti histerektomi. hal ini
termasuk perlunya melakukan pilihan pembedahan kedua,
perkiraan lamanya perawatan di rumah sakit, dan masa pemulihan
yang dihadapi, lama penyembuhan sebelum pasien mampu
melakukan aktifitas rutinnya (seperti merawat rumah, berolahraga
dan bekerja), dan perkiraan biaya operasi jika berkaitan. tentukan
apakah pasien telah mengerti mengenai kemungkinan pengaruh
pada keadaan ekonomis dan fisiknya.
4. Penjelasan mengenai prosedur tidak harus dibatasi pada aspek
teknis pembedahan. dokter harus mendiskusikan pilihan anstesia,
dan yakinkan bahwa pasien mengerti bahwa keputusan akhir
berada ditangan dokter ahli anastesia setelah pemeriksaan
praoperatif yang dilakukannya. juga penting untuk
memberitahukan kepada pasien mengenai apa yang akan dialami
pada masa pemulihan, mulai darei segera setelah operasi sampai
proses operasi sampai proses penyembuhan yang jangka panjang.
5. Pasien harus diinformasikan mengenai semua komplikasi serius
dan sering terjadi dengan histerektomi. diskusi harus meluas
dengan semua material yang relevan dengan proses pengambilan
keputusan oleh pasien. sekurangnya, harus termasuk infeksi
pascaoperasi, perdarahan yang luasn(intraoperatif juga
pascaoperatif), kemungkinan perlunya transfusi darah atau produk
darah, cedera traumatik kepada saluran kemih dan gastrointestinal
dan kemungkinan akibatnya. jika tindakan ternyata mengalami
komplikasi, pasien harus menjalani perawatan yang lebih lama
dan bahkan mungkin diperlukan pembedahan tambahan.
6. Penting bagi dokter untuk menilai pengertian pasien secara terus
menerus mengenai informasi yang diberikan. proses informed
consent harus berupa dialog antara dokter dan pasiennya.
39

mintalah pasien untuk bertanya dan buatlah ia merasa mudah jika


mengerjakan hal tersebut dengan mengumpulkan respon dan
menghindari tindakan tergesa-gesa.

2.4.10 Masalah psikosomatik setelah histerektomi


Dalam tahun-tahun belakangan ini, frekuensi histerektomi telah
menurun karena telah berkembang metode pengobatan untuk keadaan
yang sebelumnya ditangani dengan histerektomi.Efek psikosomatik
pada operasi ini bergantung pada kondisi yang menyebabkan
histerektomi, dan pengetahuan serta sikap pasien terhadap
histerektomi.Beberapa wanita dapat sembuh dengan cepat (setelah 24-
48 jam pertama ketika nyerinya mungkin sedang hebat). Wanita lain
mengalami ketidakberdayaan ringan sampai sedang hingga 3 bulan.
sepertiga wanita tersebut memerlukan waktu 3 bulan untuk sembuh
sama sekali dari operasi, dan 20 persen memerlukan waktu yang lebih
lama. lima sampai sepuluh persen wanita merasakan sehat secara umum
tetapi mengalami gejala usus dan kandung kemih, terutama
inkontinensia stres murni, yang dapat berlangsung selama berbulan-
bulan.
Beberapa wanita merasakan cacat setelah histerektomi dan timbul
ansietas.Hal ini lebih sering terjadi jika pasien mempunyai keyakinan
bahwa image tubuh, kewanitaan dan daya tarik seksualnya berkurang
terjadi karena kesalahpahaman tentang histerektomi. Hal ini meliputi
bahwa:
1. Seorang wanita tidak akan sanggup menikmati hubungan seksual
karena vaginanya menjadi lebih pendek.
2. Ia akan menjadi gemuk
3. Ia akan mengalami depresi berat setelah operasi.
4. 1a akan menjadi seorang post menopause.
Pasien ini harus diyakinkan tentang dua kesalahpahaman pertama
sebelum operasi dilakukan.kesalahpahaman ketiga tidak benar tidak ada
40

bukti bahwa histerektomi meningkatkan depresi klinis, jika wanita tidak


mempunyai penyakit psikiatrik sebelum operasi. kesalahpahaman
keempat hanya akan terjadi jika ovarium ikut diangkat sewaktu operasi,
atau jika ahli bedah merusak suplai darah keovarium. Terdapat
informasi bahwa kurang dari 20 persen wanita berusia 40-50 tahun
mengalami kegagalan ovarium dalam tiga tahun setelah histerektomi
bilateral pada waktu histerektomi.namun, keadaan ini beserta gejala-
gejala monofause setelah ooforektomi bilateral pada waktu
husterektomi dapat dihilangkan jika wanita tersebut diberi terapi
penggantian hormon.
Pertanyaan tentang oofektomi bilateral pada ovarium normal pada
waktu histerektomi masih diperdebatkan.Ekstirpasi ovarium biasanya
tidak dilakukan pada wanita berusia kurang dari 45 tahun, tetapi
beberapa ahli penyakit kandungan melakukannya pada wanita yang
lebih tua. Alasan mereka melakukan oofektomi, pertama jika ovarium
ditinggalkan 1 dari 1000 wanita akan mengalami kanker ovarium, dan
kedua ovarium tidak berfungsi setelah monopause. Wanita tersebut
harus memutuskannya sendiri, setelah berdiskusi dengan dokternya dan
setelah ia mempunyai waktu untuk mempertimbangkannya dan mencari
nasehat jika ia menginginkannya.
Kini histerektomi merupakan prosedur yang aman, tetapi bukan
tanpa mortalitas. Studi epidemiologi histerektomi yang dilakukan
secara nasional di denmark pada tahun 1990 untuk keadaan bukan
kanker, yang disertai oleh bedah mayor lain, menunkukkan bahwa
angka mortalitas dalam 30 hari, walaupun hanya 16 per 10.000 kasus,
empat kali lebih tinggi dari kasus referensi. Temuan ini meberikan
kesan bahwa jika ada alternatif lain untuk histerektomi (seperti pada
kasus perdarahan uterus disfungsional), cara tersebut harus dicoba
dahulu.
Untuk mengurangi masalah psikologik dan fisik yang mungkin
terjadi setelah histerektomi, dokter apakah spesialis atau dokter umum,
41

berkewajiban untuk membicarakan dengan wanita tersebut dengan


pasangannya.Alasan operasi harus dijelaskan, luasnya operasi harus
dibicarakan, alternatif pengobatan dibahas dan masalah yang mungkin
timbul disebutkan. Pada kebanyakan kasus, wanita tersebut harus
diberikan waktu untuk mempertimbangkannya, dan menanyakan lebih
lanjut, jika ia menginginkannya sebelum dilakukan operasi.
42

2.4.11 Pathway
PATHWAYS

FAKTOR RESIKO:

1. Usia >35 tahun Jaringan desidua basalis dan


2. Sebelumnya pernah SC nitabuch
3. Posisi plasenta pada bagian bawah
rahimsaat hamil
4. Memiliki jaringan parut/ kelainan Tidak terbentuk sempurna
endometrium

Resiko infeksi Plasenta Uterus kontraksi


tertekan Penetrasi plasenta Decidua neonetrial
menembus junction/miometrium

Nyeri akut
Desidua terkelupas
Kekurangan Pembuluh darah PLASENTA AKRETA
dan sisa di Hematoma pada
volume cairan plasenta
miometrium desidua basalis
Perdarahan
Kehilangan volume Kehilangan vaskular yang vagina
cairan aktif berlebihan
Ansietas Kurang pengetahuan Resiko infeksi
43

Вам также может понравиться