Вы находитесь на странице: 1из 19

Tata Laksana Hipertensi Berat

Hipertensi yang berhahaya dapat menyebabkan perdarahan serebrovaskular:


ensefalopati hipertensif, dan dapat memicu kejang eklamtik pada perempuan dengan
preeklarnsia. komplikasi lamnya meliputi gagal jantung kongestif afterload dan solusio
plasenta.

Karena itu, National Hiyh Blood Presure Education Program Working Group (2000)
secara khusus merekomendasikan bahwa tata laksana mencakup penurunan tekanan
darah sistolik hingga <160 mmHg. Selain itu, Martin dkk., (2005) melaporkan hasil
pengamatan yang provokatif dan menekankan pentingnya menata laksana hipertensi
sistolik. Mereka melaporkan temuan pada 28 perempuan terpilh dengan preeklamsia
berat yang mengalami stroke terpilih dengan preeklamsia. Sebagian besar stroke yang
dialami perempuan ini ndalah stroke hemoragik 93 % semua perempuan memiliki
tekanan sistolik >160 mmHg sebelum mengalami stroke. Sebahknya, hanya 20 % d
antara perempuan-perempuan tadi Yang memiliki diastolik >10 mm Hg. Tampaknya
paling tidaknya kasus stroke hemoragik yang berkaitan dengan preeklamsia terjadi
perempuan yang memiliki hipertensi kronis (Cunningham, 2005). Hipertensi kronis
menycbabakan timbulnya aneurisma Charcot-Boudhard pada arteia-ateria penetrans
profunda yang merupakan cabang lentikulostriata arteria serebri media. Arteri tersebut
mendarahi ganglia basalis, putamen, talamus, dan substantia alba profunda yang
berdekatan, serta pons dan bagian profunda cerebellum. Pelemahan aneurismal ini
menyebabkan arteria-arteria kecil rentan mengalami ruptur pada kondisi hipertensi
yang terjadi mendadak.

Karens hasil pengamatan tersebut, kebijakan kami adalah memberikan terapi


antihipertensi pada perempuan yang memiliki tekanan darah sistolik >160 mm Hg atau
tekanan darah diastolik >110 mmHg.

Obat Antihipertensi. Terdapat beberapa obat yang tersedia untuk menurunkan


tekanan darah yang sangat tinggi secara cepat pada perempuan dengan penyakit
hipertensi gestasional. Tiga obat yang paling sering digunakan di Amerika Utara dan
Eropa adalah hydralazine, labetatol, dan nifedipine. Scelama bertahun-tahun,
hydialazine parenteral merupakan satu-satunya, di antara ketiga obat ini, yang tersedia.
Namun, saat ditemukannya labetalol parenteral, banyak yang beranggapan bahwa obat
ini sama efektifnya dengan hydralazine untuk penggunaan obstetris. Kemudian,
ditemukan nifedipine yang diberikan per oral, dan obat ini menjadi sangat populer
scbagai terapi lini pertama untuk hipertensi gestasional berat.

Hydralazine. Hydralazine masih merupakan obat antihipertensi yang banyak


digunakan di Amerika Serikat untuk terapi pada perempuan yang mengalami hipertensi
gestasional berat. Hydralazine diberikan secara intravena dalam dosis inisial 5 mg,
diikuti dengan dosis 5 hingga 10 mg dalam interval 15-20 menit hingga tercapainya
respons yang di-harapkan (American College of Obstecricians and Gynecologists,
2002a). beberapa ahli membatasi dosis total sebesar 30 mg per siklus terapi (Sibai,
2003). Respons sasaran antepartuin atau intrapartum adalah penurunan tekanan darah
diastolik hingga 90-100 mm Hg, tetapi tidak lebih rendah dari ini, agar tidak terjadi
perburukan perfusi plasental. Hydralazine yang diberikan dengan cara tadi telah
terbukti sangat efektif dalam mencegah perdarahan otak. Awitan kerjanya dapat
secepat 10 menit. Meskipun secara teoretis, pemberian berulang tiap 15 hingga 20
menit dapat menyebabkan hipotensi yang tidak diharapkan, kami tidak pernah
mengalami hal ini.

Di Parkland Hospital dan University of Alabama di Birmingham Hospital, antara 5 dan


10 persen di antara semua perempuan hamil yang mengalami penyakit hipertensi
intrapartum diberikan obat antihipertensi parenteral. Yang paling banyak digunakan
adalah hydralazine, dengan cara pemberian yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kami
tidak membatasi dosis total hydralazine, dan jarang memerlukan obat antihipertensi
kedua. Kami memperkirakan bahwa setidaknya 5000 perempuan telah mendapatkan
tatalaksana seperti ini selama 40 tahun terakhir di Parkland Hospital. Meskipun kurang
populor di Eropa, menurut Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (2006),
hydralazine digunakan di beberapa pusat layanan kesehatan. Pendapat yang menentang
pengunaan hydralazine sebagai agen lini pertama intrapartum dikeluarkan oleh
Vancouver Group setelah mecta-analisis pertama mereka (Magee dkk., 2003). Mereka
mencapai kesimpulan yang sama setelah melakukan ulasan sistematik yang lebih baru
(Magee dkk., 2009). Namun, pada saat yang sama, Umans dkk., (2009) menyimpulkan
bahwa data keluaran objektif tidak mendukung bahwa salah satu obat lebih unggul
dibandingkan obat lainnya

Gambar 3-21 Efek penurunan tekanan darah akut terhadap kondii jannin. Hydralazine
diberikan diberikan dalam interval 5 menit dan bukan 15 menit tekanan arteri rerata
menurun dari 180 hingga 90 mmHg dalam 1 jam dan dikaitkan dengan brakikardi
janian infus kristaloid meningkatkan tekanan rerata hingga 115 mmHg dan janin
kembali pulih

Seperti halnya obat antihipertensi lain, kecenderungan memberikan dosis inisial


hydralazine yang lebih besar bila tekanan darah lebih tinggi harus dihindari. Respons
terhadap dosis sekecil 5 hingga 10 mg sekalipun tidak dapat diperkirakan berdasarkan
derajat hipertensi. Jadi, protokol kami adalah selalu memberikan 5 mg sebagai dosis
inisial. efek samping yang timbul bila diberikan dosis inisial yang melebihi dosis ini
dipertihatkan pada Gambar 34-21. Perempuan ini memiliki hipertensi kronis yang
dipersulit oleh preeklamsia berat, dan disuntikkan hydralazine lebih sering dari yang
dianjurkan. Tekanan darahnya menurun dalam mengacak 200 perempuan intrnparuun
dengan hipertensi berat untuk mendapatkan salah satu di antara: (1) hydialazine
intravena 5 mg, yang dapat diberikan tiap 20 menit dan diulangi maksimum 5 dosis,
atau (2) labetalol intravena 20 mg dosis awal, diikuti dengan 40 mg dalam 20 menit
dan kemudian 80 mg tiap 20 menit jika diperlukan sampai dosis maksimum 300 mg.
Hasil akhir pada ibu dan neonatus hamper sama. Hydralaziae menyebabkan takikardi
dan paipitasi pada ibu yang lebih signifikan,sedangkan labetalol lebih sering
menyebabkan hipotensi dan bradikardia pada ibu Selain takikardai pada ibu yang
terjadi pada penggunaan hydralazine, dan bradikardia yang sesekali terjadi pada ibu
akibat labetalol kami belura pernah menjumpai aritmia pada penggunaan kedua obat
itu.

Nifedipine. Obat penyekat kanal kalsium ini menjadi popular akibat efektivitasnya
dalam mengendalikan hipertensi akut terkait kehaamilan . Kelompok kerja NHBPEP
(2000) Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (2006) menganjurkan dosis
intial 10 mg .per oral, yang dapat diulang dalam 30 menit jika diperlukan. Nifedipine
yang diberikan siblingual tidak lagi diaanjurkan. Penelttian teracak yang
membandingkan Nifedipine. dengan labetalol menemukan bahwa tidak ada salah satu
obat yang lebih unggul dari yang lain (Scardo dkk.1999; vermillion dkk., 1999).

Obat Anti hipertensI Lain. eberapa obat antihipertensi lain yang umumnya tersedia
telah diteliti dalam uji kelinis, tetapi belum di gunakaan secara luas. Belfort dkk.,
(1990) mcnggunakan antagonis klasium, verapamil, melalui infus intravena dengan
kecepatan 5 hingga 10 mg per jam. tekanan arteti rernta diturunkan sebanyak 20 persen-
Belfort dkk., (1996, 2003) melaporkan bahwa nimodipine yang diberikan melalui infus
kontinyu atau per oral efektif untuk menurunkan tekanan darah pada perempuan
dengan preeklamsia berat. Bolte dkk., (1998, 2001) melaporkan hasil yang baik pada
perempuan preeklamtik yang mendapatkan ketanserin intravena suatu penyekat
reseptor seretrogenik (5HT2A) selektif nitrofruside atau nitrolicine di ajurkann oleh
sebagian ahli jika tidak didapatkan respon optimal terhadap obat ini pertama (National
High Blood Pressure Education Program Working Group, 2000). Dengan kedua obat
terakhir ini, toksisitas sianida pada janin dapat timbul setelah 4 jam. Kami belum
pernah memerlukan salah satunya.karena keberhasilan kami yang konsisten. degan
terapi lini pertama menggunhkan hydralazine, labetalol , atau kombinasi kedua obai ini
dalam pemberian beruntun, tetapi tidak pernah bersamaan

Terdapat obati-obatan antihipertensi yang mungkin bermanfaat untuk terapi


preeklamsia. Dua di antaranya adalah calcitonin gene. related peptide (CGRP). Yang
merupakan vasidilator poten. yang tersusun atas 37 asam amino, dan faktor endogen
mirip digitalis, yang disebut juga steroid kardiotonik (bagrov dan Shapiro, 2008;
Marquez Rodas dkk., 2006).

Diuretik. Diuresis poten dapat .semakin memperuruk perfusi plasenta. Efek yang
segar tammpak mencakup penurunan volume pada kehamilan normal, karena itu,
sebelum perlahiran diuretic tidak di gunaka untuk menurunkan tekanan darah (Zeeman
dk,2009a, Zondervan dkk,1988) kami membatasi pengguanan furesemid atau obat
sejenisnya saat antepartum hanya untuk terapi edema paru.

Terapi Cairan

Larutan Ringer Laktat diberikan secara rutin dalam laju 60 mL hingga tidak melebihi
125 ml. per jam, kecuali terdapat kehilangan cairan berlebihan akibat muntah, diare,
atau diaforesis, atau, yang lebih miingkin, kehiliingan darah dalam, jumlah berlebihan
akibal pelahiran. Oligoria umum dijumpai pada preeklammsia berat. Jadi, bila
digabungkan dengan pengetahuan bahwa volume darah ibu kemungkinan berkurang
dibandingkan pada kehamilan normal, timbul keinginan untuk memperbanyak
pemberiaa cairan intravena. Namun, pernberian cairan yang terkendali. dan konservatif
lebih dipilih untuk perempuan dengan eklamsia tipikal yang sudah memiliki cairan
ekstrasel dalarn jumla berlebihan, yang didistribusikan. Secara tidak seimbang antara
ruang itravaskular dan ekstravaskular. Seperti yang dibahas pada hal. 750, infus cairan
dalam jumlah besarakan membahyakan maldistribusi cairan ekstravaskular sehingga
meningkatkan risiko edema paru dan otak secara nyata (Sciscione, 2003; Sibai 1978b;
Zinaman dkk., 1985).
Edema Paru. Perempuan dengan preeklamsia berat, eklamsi yang mengalami edema
paru umumnya mengalami edema tersebut pascapartum (Cunningham dkk.,1986;
Zinaman dkk.,1985) Pertama, aspirasi isi Iambung, yang dapat terjadi akibat kejang,
anestesia, atau sedasi berlebihan harus disingkirkan. terdapat tiga penyebab lazim
edema paru pada perempuan dengan sindrom preeklamsia berat edema permeabilitas
kapiler paru, edema kardiogenik, atau kombinasi keduanya.

Sebagian besar perempunn dengan preeklamsia berat ,akan mengalami kongesti paru
ringan akibat edema permeabilitas. Hal ini disebabkan oleh perubaban normal pada
kehamilan yang diperburuk oleh sindrom preeklamsia, Penting diketahui tekanan
onkotik plasma menurun secara bermakna pada kehamilan normal aterm karena
terjadinya penurunan kadar albumin dalam serum, dan tekanan onkotik bahkan turun
tebih berat lagi pada preeklamsia (Zinaman dkk.,1985). selain itu, baik peningkatan
tekanan onkotik cairan ekstravaskular maupun peningkatan permeabilitas kapiler telah
di temukan pada perempuan dengan. Preeklamsia (Brown dkk.,1989;0iandkk.,1986).

Pemantuaan Heniodinamtk invasif.Pengetahuan mengenai perubahan patofisiologis


kardiovaskular dan hemodinamik yang berkaitan dengan preeklamsia berat-ekiamsia
dikumpulkan dari penelitian- penelitian yang menggunakan pemantauan invasive dan
kateter arteria puimonalis flow directed (lihat:Gbr, 34-5 dan 34-6), Beberapa ulasaa
telah membahas mengenai pemantauaan seperti . ini dibidang obstetris (Clark dan
Cotton,1988; Nolan elkk.,1992). Dua kondisi yang scring disebut sebagai indikasi
pemantauan invasive adalah preeklamsia yang disertai oliguria atau edema paru. Yang
ironis biasanya justru terapi oliguria berlebihan yang menyebabkan sebagian besar
kasus edema paru, . American College of Obstetricians and Gynaecologists (2002a)
merekomendasikan pemantauan semacam ini hanya dilakukan untuk perempuan
preeklamsi berat yang memiliki penyakit penyerta berupa penyakk jantung berat,
penyaki ginjal berat, atau keduanya, atau pada kasus hipertensi terfrakter, oliguria, dan
edema paru
Penambahan Volume Plasma

Karena sindrom preeklamsia berkaitan dengan hemokonsentrasi yang secara langsung


sebannding dengan keparahan sindrom, upaya-upaya untuk menambah volume darh
tampaknya logis setidaknya secara intuitif (Ganzeevort dkk., 2004). Pemikiran
semacam ini menyebabkan timbulnya kebijakan sebagian klangan untuk menginfuskan
bermacam cairan, polimer polisakarida, konsestrat albumin atau kombinasi cairan-
cairan ini dalam usaha menambah volume.

Namun, terdapat penelitian observasional yang mengambarkan komplikasi yang


membahayakan khususnya edema paru pada usah penambahan volume. Misalnya,
Lopez-Llera dkk., (1982) melaporkan bahwa penambahan volume secara berlebihan
pada lebih dari 700 perempuan dengan eklamsia menyebabkan insiden edema paru
yang tinggi. Beneddti dkk., (1985) melaporkan terjdinya edema paru pada 7 di antara
10 perempuan dengan preeeklamsia berat yang diberikan terapi koloid. Selain itu, sibai
dkk.,(1987b) menyatakan bahwa pemberian infus kristaloid dan koloid secara
berlebihan merupakan penyebab utama edema paru yang terjadi pada 37 pasien
preeklamsia berat-ekiamsia mereka. Umumnya, penelitian-penelitian ini tidak
menggunakan kontrol atau bahkan pembanding (Habek dkk., 2006).
Studi teracak Amsterdam yang dilaporkan oleh Ganzevoort dkk., (2005a,b) merupakan
penelitian yang dirancang dengnn baik untuk menilai penambahan volume. Sebanyak
216 perempuan yang mengalami preeklamsia berat diikutkan dalam penelitian dengan
gesrasi antara 24 dan 34 minggu. Mereka juga melibatkan perempuan dengan eklamsia
yang dipersulit oleh sindrom HELLP, eklamsia, atau restriksi pertumbuhan janin.
Semua perempuan diberikan magnesium sulfat untuk mencegah eklamsia,
betamethasone untuk memactu pematangan paru-paru, ketanserin untuk
mengendalikan hipertensi yang berbahaya, dan infus salin normal dibatasi hanya untuk
memberikan obat. Pada kelompok yang secara acak diberikan terapi penambahan
volume, masing-masing perempuan diberikan 250 mL 6% hidroksietil polisakarida,
yang diinfuskan selama 4 jam. dua kali sehari. Hasil akhir pada ibu dan neonatus (pada
masa perinjtal) kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan
diperlihatkan pada Tabel 34-15. Tidak ada satu variabel pun yang memiliki perbedaan
signifikan di antara kedua kelompok ini. Penting dicatat, morbiditas berat pada ibu dan
angka kematian perinatal yang cukup tinggi terjadi pada tata laksana "konservatif”
mereka (lihatTabel 34-10).

♦ Pencegahan Eklamsia

Telah terdapat sejumlah penelitian teracak yang dirancang untuk menguji efektivitas
proiitaksis kejang pada perempuan dengan hipertensi gestasional, dengan atau tanpa
proteinuria, dan dengan demikian, pada preeklamsia. Pada sebagian besar penelitian
ini, magnesium sulfae dibandingkan dengan antikonvulsan lain atau dengan plasebo.
Pada semua penelitian, magnesium sulfat dilaporkan lebih unggul dari obat
pembanding dalam mencegah eklamsia. Empat pcnelitian terbesar dirangkum dalam
Tabcl 34-16. Lucas dkk.,(1995) melaporkan bahwa terapi magnesium sulfat lebih
unggul dari phenytoin untuk mencegah kejang eklamtik pada perempuan dengan
hipertensi gestasional ttermasuk mereka yang mengalami preeklamsia dalam derajat
keparahan apapun.
Belfott dkk.,(2003) membandingkan magnesium sulfat dan nimodipine—penyekat
kanal kalsium dengan aktivitas vasodilator serebral spesifik—untuk pencegahan
eklamsia. Dalam penelitian teracak tanpa blinding yang melibatkan 1650 perempuan
dengan eklamsia berat, insiden eklamtia pada kebmpok yang mendapat nimodipine
lebih dari tiga kali lipat insiden pada pada kclompok yang diberikan magnesium sulfat,
2,6 versus 0,8 persen.

Penelitian komparatif terbesar adalah MAGncsium Sulfate for prevention Eclampsia


(MAGPlE Trial Collaboration Group, 2002). Lebih dari 10.000 perempuan dengan
preeklamsia berat dari 33 negara dialokasikan secara acak ke kelompok yang
mendapatkan magnesium sulfat atau kelompok plasebo. Perempuan yang diberikan
magnesium memiliki risiko eklamsia yang lebih rendah secara bermakna (58%)
dibandingkan perempuan yang diberikan plasebo. perempuan yang diberikan plasebo
dan mengalami eklamsia diterapi dengan magnesium sulfat. Smyth, dkk. (2009)
melaporkan data lanjutan mengenai bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang diberikan
magnesium sulfat ini. Padn usia sekitar 18 bulan, perlaku anak tidak berbeda pada
kelompok yang terpajan dibandingkan dengan yang tidak terpajan magnesium sulfat.
Siapa yang Seharusnya Diberikan Magnesium Sulfat?

Magnesium akan mencegah berulangnya kejang pada perempuan dengan penyakit


yang juga memburuk. Keparahan penyakit sulit dikuantifikasi sehingga sulit
menemukan tiap perempuan yang akan memperoleh manfaat terbesar dan proflaksis.
Di America Serikat, konsensus saat in. adalah perempuan yang dinilai mengalami
preeklamsia berat harus diberikan proflaksis magnesium sulfat. Rekomcndasi yang
sama juga diberikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists
(2002a). Seperti yang dibahas, kriteria yang menentukan "keparahan" preeklamsia
tidak sepenuhnya sama, dan banyak yang menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh
Kelompok Kerja NHBPEP (2000), yang dicantumkan dalam Tabel 34-1- Untuk
perempuan dengan penyakit "yang tidak parah"—sekali lagi definisinya bervariasi—
panduan tata laksana bahkan lebih tidak jelas.

Di banyak negara lain, dan khususnya setelah disebarluaskannya hasil penelitian


Magpie Trial Collaboration Group (2002), magnesium sulfat sekarang dianjurkan
untuk perempuan dengan preeklamsia berat. Namun, di beberapa ncgara, masih
diperdebatkan apakah terapi hanya perlu diberikan untuk perempuan dengan kejang
eklamtik. Kami bcranggapan bahwa kejang eklamtik berbahaya karena alasan-alasan
yang diuraikan pada hal. 771. Angka kematian ibu yang mencapai 5 persen telah
dilaporkan bahkan pada penelitian-penelitian terbaru (Andersgaard 2006; Benhamou,
2009; Schurte, 2008; Zwart 2008 dkk ) Bahkan, terjadi peningkatan nyata angka
kematian perinatal di negara maju sekaligus di negara yang belum maju (Basso, 2006;
Chawdhury, 2009- Kni 1 7007 Schutte, 2008; Zwatt, 2008, dkk.). Akhirnya,
kemungkinnann terjadinya sekuele neuropsikologis jangka panjang yang disebutkan
oleh Aukes (2007, 2009) dan postman dkk (2009) telah semakin menigkatkan
kekhawatiran bahwa kejang eklammtik mungkin tidak “jinak”

Penelitian Profilaksis Magnesium Sulfat Selektif versus Universal di Parkland


Hospital

Perdebatan di Amerika Serikat saat ini berpusat pada apakah perempuan dengan
hipertensi gestasional yang tidak berat harus diberikan profilaksus magnesium sulfat.
Kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut muncul saat diubahnya protokol
profilaksis magnesium sulfat pada perempuan yang melahirkan di Parkland Hospital
sejak tahun 2000. Sebelum tahun 2000, Lucas dkk.,(1995) telah menemukan bahwa
risiko eklamsia tanpa profilaksis magnesium sebesar 1 di antara 100 (atau kurang)
perempuan yang mengalami preeklamsia ringan. Hingga tahun 2000, semua
perempuan dengan hipertensi gestasional diberikan profilaksis magnesium rumatan
secara intramuskular, seperti yang digambarkan oleh Pritchard pada tahun 1955.
Setelah tahun 2000, kami memberlakukan protokol standar untuk magnesium sulfat
yang diberikan secara intravena. Pada saat yang sama, kami juga mengubah praktik
profilaksis kejang universal kami, yang diberikan pada semua perempuan dengan
hipertensi gestasional, menjadi profilaksis selektif, yang hanya diberikan pada
perempuan yang memenuhi kriteria kami untuk hipertensi gestasional berat. Kriteria-
kriteria ini, yang diperlihatkan pada Tabel 34-17, mencakup perempuan dengan
proteinuria >2+ pada pengukuran spesimen urin hasil kateterisasi dengan carik celup.
Setelah perubahan protokol ini, 60 persen di antara 6431 perempuan dengan hipertensi
gestasional dalam periode \xh tahun diberikan profilaksis magnesium sulfat. Di antara
40 persen dengan hipertensi tidak berat yang tidak diterapi, 27 perempuan mengalami
kejang eklamtik—1 di antara 92. Angka kejadian kejang hanya 1 per 358 pada 3935
perempuan yang memenuhi kriteria berat dan telah diberikan magnesium sulfat;
dengan demikian, merupakan kegagalan terapi. Untuk menilai morbiditas, keluaran
pada 87 perempuan ekiamtik dibandingkan dengan hasil pada 6431 perempuan
hipertensi noneklamtik. Meskipun sebagian besar hasil akhir pada ibu serupa, seperti
yang diperlihatkan pada Tabel 34-18, hampir seperempat perempuan dengan eklamsia
yang menjalani pelahiran bedah Caesar darurat memerlukan anestesia umum. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran besar karena perempuan ekiamtik memiliki edema
laringotrakea dan berisiko tinggi mengalami kegagalan intubasi, aspirasi asam
lambung, dan kematian (American College of Obstetricians and Gynecologists,
2002b). Keluaran pada neonatus juga mengkhawatirkan karena morbiditas gabungan,
yang diperlihatkan pada Tabel 34-18. meningkat nyata sebesar 10 kali lipat pada
perempuan ekiamtik dibandingkan noneklamtik masing-masing 12 versus 1 persen.

Dengan demikian, jika seseorang menggunakan kriteria Parkland untuk hipertensi


gestasional tidak berat, sekitar 1 di antara 100 perempuan yang tidak diberikan
profilaksis magnesium sulfat dapat diperkirakan mengalami kejang ekiamtik.
Seperempat di antaranya kemungkinan akan memerlukan pelahiran dengan bedah
caesar darurat, yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas maternal dan
perinatal akibat anestesia umum. dari hal-hal tersebut, tampaknya pertanyaan utama
mengenai tata laksana hipertensi gestasional tidak berat tetaplah Dapatkah diterima
tindakan menghindari terapi yang tidak diperluknn pada 99 perempuan dengan
menempatkan satu perempuan dalam risiko eklamsia?

Pelahiran

Untuk menghindari risiko pada ibu akibat pelahiran dengan bedah caesar, awalnya
dilakukan langkah-lnngkah untuk mencapai pelahiran pervaginam pada perempuan
dengan eklamsia. Setelah kejang, persalinan sering kali maju secara spontan atau
dapat berhasil diinduksi bahkan pada perempuan yang masih jauh dari aterm
sekalipun (Alanis dkk., 2008). Penyembuhan cepat tidak langsung terjadi setelah
pelahiran melalui jalan apapun, tetapi morbidilitas berat saat masa nifas lebih jarang
terjadi pada perempuan yang melahirkan per vagina.

Kehilangan Darah saat Pelahiran

Hemokonsentrasi atau tidak terdapatnya hypervolemia normal yang diinduksi


kehamilan merupakan gambaran preeklamsia berat-eklamsia yang hampir selalu
ditemukan, seperti yang dihitung oleh Zeeman dkk., (2009) dan diperlihatkan pada
Gambar34-6. Perempuan-perempuan tersebut, yang tidak mengalami hipervolemia
normal pada kehamilan, jauh lebih tidak toleran terhadap kehilangan darah, dalam
jumlah- normal sekalipun, dibandingkan perempuan hamil normotensif. Sangat
penting diketahui bahwa penurunan nyata tekanan darah segera setetah pelahiran
paling sering menandakan terjadinya kehilangan darah dalam jumlah berlebihnn, dan
bukan menandakan pulihnya vasospasme dan kerusakan endotel secara tiba-tiba. Bila
terjadi oliguria pascapelahiran, harus sering dilakukan pengukuran hematokric untuk
membantu mendeteksi kehilangan darah masif. Jika telah diidentifikasi, perdarahan
harus tepat dicata laksana dengan transfusi darah yang dilakukan secara hati-hati.
Analgesia dan Anestesia

Selama 2O tahun terakhir, penggunann analgesia konduksi pada perempuan dengan


sindrom preeklamsia telah terbukti ideal. Masalah-masalah yang awalnya timbul pada
penggunaan metode ini antara lain hipotensi dan berkurangnya perfusi uterus, akibat
penyekatan simpatis pada perempuan yang hanya mengalami hipervolemia dalam
jumlah kecil tersebut Perkembangan teknik-teknik yang menggunakan indukst lambat
analgesia epidural dengan larutan anestetik encer dilaporkan dapat mengurangi
kebutuhan infus cepat kristaloid atau koloid dalam jumlah besar, yang diperlukan untuk
memulihkan hipotensi pada ibu, dan biasanya menghindarkan terjadinya edema paru
(Hoggdkk., 1999; Wallace dkk., 1995). Bahkan, blok epidural dapat mencegah
stimulasi yang disebabkan oleh iniubasi trakea, yang dapat menimbulkan hipertensi
berat mendadak. Peningkatan tekanan darah semacam ini, selanjutnyn, dapat
menycbabkan edema-paru, edema otak, atau perdarahan intrakranial (Lavies dkk.,
1989). Akhirnya, intubasi trakea khususnya dapat sulit dilakukan sehingga berbahaya
bagi perempuan dengan edema jalan napas akibat preeklamsia (American College of
Obstetricians and Gynecologists, 2002b).

Setidaknya dua penelitian teracak telah dilakukan untuk menilai metode-metode


analgesia dun anestesia ini. Wallace dkk., (1995) meneliti 80 perempuan dengan
preeklamtia berat dan rata-rata usia kehamiian 34,8 minggu yang menjalani pelahiran
dengan bedah caesar CITO. Mereka belum diberikan analgesia epidural untuk
persalinan dan diacak untuk mendapatkan anestesia umum, analgesia epidural, atau
analgesia kombinasi epidural-spinal. Tekanan darah rerata mereka sebelum operasi
adalah sckitar 170/110 mm Hg, dan semua memiliki proteinuria. Tata laksana ancstotik
dan obstetric mencakup pemberian terapi obat hipertensi dan pembatasan pemberian
cairan intravena. Keluaran perinatal pada maslng-rnasing kelompok ternyata serupa.
Hipotensi pada ibu yang terjadi akibait analgesia regional ditaaa laksana dengan
pemberian cairan intravena secukupnya. Serupa dengan Ini, tekanan darah ibu
dikendalikan untuk mencegnh terjadinya hipertensi berar pada perempuan yang
menjalani anestesia umum (Gbr. 34-22). Tidak terdapat komplikasi berat pada ibu
maupun janin yang disebabkan oleh salah satu di antara ketiga metode anestesi ini.
Disimpulkan bahwa ketiga metode ini layak untuk digunakan pada perempuan hamil
dengan komplikasi preeklamsia berat, dengan syarat telah dilakukan langkah-langkah
untuk memastikan terlaksananya prosedur yang cermat menurut salah satu metode tadi.
Kesimpulan yang serupa juga diperoleh oleh Dyer dkk., (2003) pada penelitian teracak
mereka mengenai analgesia spinal versus anestesia umum pada 70 perempuan dengan
preeklamsia dan hasil pengukuran denyut jantung janin yang tidak meyakinkan, Dyer,
dkk. (2008) kemudian membuktikan bahwa penurunan tahanan vaskular dan tekanan
darah arteri rerata yang dicetuskan oleh blok epidural dapat dilawan secara efektif
dengan infus phenylephrine, untuk mempertahankan keluaran jantung,

Dalam suatu penelitian dari universitas Alabama di Birmingham, Mead dkk., (2002)
secara acak menempatkan 116 perempuan dengan preeklamsia berat ke kelompok yang
mendapaikan analgesia epidural atau analgesia meperidine intravena terkontr0l-pasien
selama persalinan. Protokol standar membatasi cairan inravena hingga 100 mL/jam.
Iebih banyak perempuai. 9 persen dari kelompok analgesia epidural yang memerlukan
epliedrine karena mengalami hipotensi. Seperti yang diharapkan, perbedaan nyeri lebih
baik pada kelompok epidural, tetapi, selain itu, komplikasi pada ibu dan neonatus
hampir sama di antara kedua kelompok. Satu perempuan dari tiap kelompok
mengalami edema paru.

Di masa lalu beberapa ahli beranggapan bahwa analgesia epidural merupakan faktor
penting dalam tata laksana intrapartum perempuan dcngnn preeklamsia (Oucschc dan
Cheek, 1993 Lucas dkk., (2001) meneliti 738 perempuan yang bersalin di Parkland
Hospital dalam usia kehamilan 36 minggu atau lebih dan telah mengalami hipertensi
gestasional dalam tingkat keparahan yang bervariasi. Pasien secara acak dimasukkan
ke dalam kelompok yang mendapatkan analgesia epidural atau yang mendapatkan
analgesia meperidine terkontrol-pasien. Keluaran pada ibu dan bayi serupa pada kedua
kelompok penelitian. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 34-19, meskipun analgesia
epidural menyebabkan penurunan yang lebih besar pada tekanan arteri rerata ibu
dibandingkan dengan meperidine, epidural tidaklah lebih unggul dalam mencegah
berulangnya hipertensi berat saat fase lanjut persalinan. jadi, analgesia epidural
persatinan tidak boleh salah dianggap sebagai terapi untuk hipertensi.

Karena alasan-alasan tersebut, pemberian cairan secukupnya pada perempuan dengan


preeklamsia berat yang mendapalikan analgesia regional merupakan kunci dalam tata
laksana mereka. Newsome dkk, (1986) mempetlihatkan bahwa blok epidural pada
perempuan dengan preeklamsia berat menyehabkan peningkatan tekanan baji kapiler
paru-paru. Jelas bahwa penggantian volume yang agresif pada perempuan-perempuah
ini meningkatkan risiko meteka mengalami edema paru, khususnya pada 72 jam
pertama pascapartum (Clark dkk., 1985; Cotton dkk, 1986a), jika timbul edema paru,
timbul pula kekhawatiran akan terjadinya edema otak. Terakhir, Heller dkk., (1983)
membuktikan bahwa sebagian besar kasus edema paringolaringeal berkaitan dengan
terapi volume yang agresif.
Hipertensi Berat Persisten Pascapartum

Masalah yang mungkin timbul pada pemberian obat antihipertensi, berupa


memburuknya perfusi uteroplasenta sehingga mengganggu kssejahteraan janin, dapat
dihindari dengan pelahiran. Setelah pelahiran, jika timbul kesuiitan dalmn
mengendalikan hipenensi berat atu jika labetalol aiau hydtalazine intravena telah
digunakan berulang kali, dapat digunakan regimen oral. Contoh-contoh regimen ini
antara Iain labetalol atau penyekat beta lainnya, nifedipine atau penyekat kanal kalsium
lain, dan dapat ditambahkan diurerik thiazide. Hipertensi refrakter atau persisten
kemungkinan terjadi karena mobilisasi cairan edema dan distribusi ulangnya ke dalam
kompartemen intravena, hipertensi kronis yang mendasari, atau biasanya keduanya
(Tan dan deSwiei, 2002). Pada perempuan dcngan hipertensi, kronis dan hipertrofi
ventrikel kiri, hipertensi pascapartum berat dapat menyebabkan edema paru akibat
gagal jantung (Cunningham dkk.,1986; Sihbal dkk., 1987a).

Furosemid

Karena menetapnya hipenensi berat berkaitan dengan awitan dan lama diuresis, serta
mobilisasi cairan ekstrasel, tampaknya logis bahwa diuresis yang dipercepat dengan
furosemid akan mempercepat pengendalian tekanan darah. untuk meneliti hal tersubut,
Ascarclli dkk., (2005) merancang sebuah penelitian teracak yang melibatkan 264
perempuan preeklamtik pascapartum. Setelah awitan diuresis spontan, pasien secara
acak dikelompokkan ke dalam grup yang mendapatkan furosemid oral 20 mg/hari atau
grup yang tidak mendapatkan terapi. Dibandingkan dengan perempuan dengan
penyakit ringan, mereka dengan preeklamsia berat meimliki tekanan darah sisiolik
rerata yang lebih rendah pada hari ke-2142 versus 153 mmHg dan lebili jarang
memerlukan terapi atihipertensi selama sisa periode rawat inap 14 versus 26 persen,
secara bcrurutan.

Kami telah menemukan metode yang sederhana untuk memperkirakan kelebihan


cairan interstitial/ekstraselular. Berat badan pascapartum dibandingkan dengan berat
badan pranatal hasil penimbangan terakhir, baik dari kunjungan poliklinik terakhir atau
saat datang untuk bersalin. Rata-rata, segera setelah perlahiran, berat badan ibu
seharusnya turun 5 hingga 7,5 kilogram, bergantung pada berat lahir, volume cairan
amnion, berat plasenta, dan kehilangan darah. Karena berbagai intervensi, khususnya
infus kristaloid intravena yang dibenkan saat pelaliiran per vagina dengan tindakan atau
bedah caesar, perempuan dengan preeklamsia berat sering memiliki berat badan
pascaparum yang melebihi berat badan pranatal terakhir mereka. Jika penambahan
berat badan ini disertai hipertensi persisten pascapartum, diuresis dengan furosemid
intravena biasanya bermanfaat.

Pertukaran Plasma

Martin dkk., (1995) telah menggambarkan suatu sindrom atipikal berupa menetapnya
preeklamsia berat-eklamsia setelah pelahiran. Para peneliti tadi melaporkan 18
perempuan dengan sindrom seperti ini yang mereka jumpai selama periode 10 tahun.
Mereka menjalankan kebijakan pertukaran plasma tunggal atau multipel untuk
perempuan-perempuan ini. Pada sebagian kasus, 3 L plasma dipertukai kan tiga kali
pajanan 36 hingnya 45 unit donor untuk tiap pasicn sebelum timbulnya respons.
Peneliti Iain telah melaporkan mengenai pertukaran plasma yang dilakukan pada
perempuan pascapartum dengan sindrom HELLP (Forster disk , 2002; Obeidar dkk.
2002). Namun, pada sebagian besar kasus, perbedaan antara sindrom HELLP dan
purpura trombositopenik trombotik atau sindrom uremik heimolitik tidaklah jelas.
berdasarkan pcngalaman kami dengan lebih dari 50.000 perempuan yang mengalami
hipertensi gastasional diantara hampir 400.000 kehamilan yang ditata Iaksana di
Parkland Hospital selama tahun 2009, kami telah menjumpai sangat sedikit perempuan
yang mengalami hipertensi pascapartum persisten, tiombositopcnia, dan gangguan
fungsi ginjnl, yang didiagnosis sebagai mikroangiopati trombotik (Dashe dkk.,1998).
Seperti yang disimpulkan olch Martin dkk.,(2008) setelah menulis ulasan mengenai
166 kehamilan yang dipersulit oleh purpura tromhositopenik trombotik, uji diagnostik
cepat, aktivitas enzim ADAMTS-13,dapat bemianfaat untuk membedakan sebagian
besar di antaranya,

Angiopati Pascapartum. Penyebab lain menetapnya hipertensi, kejang, dan kelainan


sistem saraf pusat disebut sebagai angiopati pascapartum. Penyakit yang juga dikenal
sebagai sindrom vasokonstriksi serebral reversibei ini lebih lazim pada perempuan, dan
berkaitan dengan serangkaian faktor pencetus, termasuk kehamilan dan masa ntfas
(Singlial dkk., 2009). Pada sebagian kasus, vasokonstriksi dapat sedemikian berat
sehingga menyebabkan iskemia otak dan area-area infark. Tata Iaksana yang tepat
belum diketahui hingga saat ini

Вам также может понравиться

  • Demam Tifoid Bimbingan
    Demam Tifoid Bimbingan
    Документ30 страниц
    Demam Tifoid Bimbingan
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Amputasi
    Amputasi
    Документ8 страниц
    Amputasi
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Kata Pengantar Dan Daftar Isi Baru
    Kata Pengantar Dan Daftar Isi Baru
    Документ15 страниц
    Kata Pengantar Dan Daftar Isi Baru
    Ne-Yodavid SheeCumiimencrreett
    Оценок пока нет
  • Laporan Ujian Arif
    Laporan Ujian Arif
    Документ6 страниц
    Laporan Ujian Arif
    Raisa Desti Ardianty
    Оценок пока нет
  • Laporan 30 Partus Genji
    Laporan 30 Partus Genji
    Документ78 страниц
    Laporan 30 Partus Genji
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • CHF Buat Bimbingan
    CHF Buat Bimbingan
    Документ22 страницы
    CHF Buat Bimbingan
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Amputasi File
    Amputasi File
    Документ34 страницы
    Amputasi File
    Elsa Octavia
    100% (1)
  • Aul Dian
    Aul Dian
    Документ23 страницы
    Aul Dian
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Refrat Neurodermatitis
    Refrat Neurodermatitis
    Документ26 страниц
    Refrat Neurodermatitis
    esiajidah
    Оценок пока нет
  • Seorang Laki
    Seorang Laki
    Документ88 страниц
    Seorang Laki
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Referat Bedah Dermatologi Krysna
    Referat Bedah Dermatologi Krysna
    Документ37 страниц
    Referat Bedah Dermatologi Krysna
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Referat Bedah Dermatologi PDF
    Referat Bedah Dermatologi PDF
    Документ33 страницы
    Referat Bedah Dermatologi PDF
    Shinta Dewi Wulandari
    Оценок пока нет
  • Lembar Pengesahan LAPSUS
    Lembar Pengesahan LAPSUS
    Документ5 страниц
    Lembar Pengesahan LAPSUS
    Libert Valentine
    Оценок пока нет
  • Seorang Laki
    Seorang Laki
    Документ1 страница
    Seorang Laki
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Read Me!!!
    Read Me!!!
    Документ1 страница
    Read Me!!!
    ibamdgani
    Оценок пока нет
  • N 2
    N 2
    Документ1 страница
    N 2
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Tugas Dok Nunung
    Tugas Dok Nunung
    Документ4 страницы
    Tugas Dok Nunung
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • WhatsApp Image 2018-11-08 at 18.40.45
    WhatsApp Image 2018-11-08 at 18.40.45
    Документ2 страницы
    WhatsApp Image 2018-11-08 at 18.40.45
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Juma Tan
    Juma Tan
    Документ42 страницы
    Juma Tan
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Liga Inggris 2018
    Liga Inggris 2018
    Документ9 страниц
    Liga Inggris 2018
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Rsud Waled
    Rsud Waled
    Документ10 страниц
    Rsud Waled
    ibamdgani
    Оценок пока нет
  • Case PEB
    Case PEB
    Документ51 страница
    Case PEB
    iffah_hanif2954
    Оценок пока нет
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Документ25 страниц
    Daftar Isi
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Документ3 страницы
    Daftar Isi
    ibamdgani
    Оценок пока нет
  • Abortus
    Abortus
    Документ37 страниц
    Abortus
    devita
    Оценок пока нет
  • Omsk Type Maligna
    Omsk Type Maligna
    Документ41 страница
    Omsk Type Maligna
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Infanticide Kuliah
    Infanticide Kuliah
    Документ30 страниц
    Infanticide Kuliah
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Propanolol Menurunkan Sistemik Oksidatif Stress Dan Endotoxemia Pada
    Propanolol Menurunkan Sistemik Oksidatif Stress Dan Endotoxemia Pada
    Документ7 страниц
    Propanolol Menurunkan Sistemik Oksidatif Stress Dan Endotoxemia Pada
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет
  • Cover
    Cover
    Документ1 страница
    Cover
    Qays Abdul Gani
    Оценок пока нет