Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Karena itu, National Hiyh Blood Presure Education Program Working Group (2000)
secara khusus merekomendasikan bahwa tata laksana mencakup penurunan tekanan
darah sistolik hingga <160 mmHg. Selain itu, Martin dkk., (2005) melaporkan hasil
pengamatan yang provokatif dan menekankan pentingnya menata laksana hipertensi
sistolik. Mereka melaporkan temuan pada 28 perempuan terpilh dengan preeklamsia
berat yang mengalami stroke terpilih dengan preeklamsia. Sebagian besar stroke yang
dialami perempuan ini ndalah stroke hemoragik 93 % semua perempuan memiliki
tekanan sistolik >160 mmHg sebelum mengalami stroke. Sebahknya, hanya 20 % d
antara perempuan-perempuan tadi Yang memiliki diastolik >10 mm Hg. Tampaknya
paling tidaknya kasus stroke hemoragik yang berkaitan dengan preeklamsia terjadi
perempuan yang memiliki hipertensi kronis (Cunningham, 2005). Hipertensi kronis
menycbabakan timbulnya aneurisma Charcot-Boudhard pada arteia-ateria penetrans
profunda yang merupakan cabang lentikulostriata arteria serebri media. Arteri tersebut
mendarahi ganglia basalis, putamen, talamus, dan substantia alba profunda yang
berdekatan, serta pons dan bagian profunda cerebellum. Pelemahan aneurismal ini
menyebabkan arteria-arteria kecil rentan mengalami ruptur pada kondisi hipertensi
yang terjadi mendadak.
Gambar 3-21 Efek penurunan tekanan darah akut terhadap kondii jannin. Hydralazine
diberikan diberikan dalam interval 5 menit dan bukan 15 menit tekanan arteri rerata
menurun dari 180 hingga 90 mmHg dalam 1 jam dan dikaitkan dengan brakikardi
janian infus kristaloid meningkatkan tekanan rerata hingga 115 mmHg dan janin
kembali pulih
Nifedipine. Obat penyekat kanal kalsium ini menjadi popular akibat efektivitasnya
dalam mengendalikan hipertensi akut terkait kehaamilan . Kelompok kerja NHBPEP
(2000) Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (2006) menganjurkan dosis
intial 10 mg .per oral, yang dapat diulang dalam 30 menit jika diperlukan. Nifedipine
yang diberikan siblingual tidak lagi diaanjurkan. Penelttian teracak yang
membandingkan Nifedipine. dengan labetalol menemukan bahwa tidak ada salah satu
obat yang lebih unggul dari yang lain (Scardo dkk.1999; vermillion dkk., 1999).
Obat Anti hipertensI Lain. eberapa obat antihipertensi lain yang umumnya tersedia
telah diteliti dalam uji kelinis, tetapi belum di gunakaan secara luas. Belfort dkk.,
(1990) mcnggunakan antagonis klasium, verapamil, melalui infus intravena dengan
kecepatan 5 hingga 10 mg per jam. tekanan arteti rernta diturunkan sebanyak 20 persen-
Belfort dkk., (1996, 2003) melaporkan bahwa nimodipine yang diberikan melalui infus
kontinyu atau per oral efektif untuk menurunkan tekanan darah pada perempuan
dengan preeklamsia berat. Bolte dkk., (1998, 2001) melaporkan hasil yang baik pada
perempuan preeklamtik yang mendapatkan ketanserin intravena suatu penyekat
reseptor seretrogenik (5HT2A) selektif nitrofruside atau nitrolicine di ajurkann oleh
sebagian ahli jika tidak didapatkan respon optimal terhadap obat ini pertama (National
High Blood Pressure Education Program Working Group, 2000). Dengan kedua obat
terakhir ini, toksisitas sianida pada janin dapat timbul setelah 4 jam. Kami belum
pernah memerlukan salah satunya.karena keberhasilan kami yang konsisten. degan
terapi lini pertama menggunhkan hydralazine, labetalol , atau kombinasi kedua obai ini
dalam pemberian beruntun, tetapi tidak pernah bersamaan
Diuretik. Diuresis poten dapat .semakin memperuruk perfusi plasenta. Efek yang
segar tammpak mencakup penurunan volume pada kehamilan normal, karena itu,
sebelum perlahiran diuretic tidak di gunaka untuk menurunkan tekanan darah (Zeeman
dk,2009a, Zondervan dkk,1988) kami membatasi pengguanan furesemid atau obat
sejenisnya saat antepartum hanya untuk terapi edema paru.
Terapi Cairan
Larutan Ringer Laktat diberikan secara rutin dalam laju 60 mL hingga tidak melebihi
125 ml. per jam, kecuali terdapat kehilangan cairan berlebihan akibat muntah, diare,
atau diaforesis, atau, yang lebih miingkin, kehiliingan darah dalam, jumlah berlebihan
akibal pelahiran. Oligoria umum dijumpai pada preeklammsia berat. Jadi, bila
digabungkan dengan pengetahuan bahwa volume darah ibu kemungkinan berkurang
dibandingkan pada kehamilan normal, timbul keinginan untuk memperbanyak
pemberiaa cairan intravena. Namun, pernberian cairan yang terkendali. dan konservatif
lebih dipilih untuk perempuan dengan eklamsia tipikal yang sudah memiliki cairan
ekstrasel dalarn jumla berlebihan, yang didistribusikan. Secara tidak seimbang antara
ruang itravaskular dan ekstravaskular. Seperti yang dibahas pada hal. 750, infus cairan
dalam jumlah besarakan membahyakan maldistribusi cairan ekstravaskular sehingga
meningkatkan risiko edema paru dan otak secara nyata (Sciscione, 2003; Sibai 1978b;
Zinaman dkk., 1985).
Edema Paru. Perempuan dengan preeklamsia berat, eklamsi yang mengalami edema
paru umumnya mengalami edema tersebut pascapartum (Cunningham dkk.,1986;
Zinaman dkk.,1985) Pertama, aspirasi isi Iambung, yang dapat terjadi akibat kejang,
anestesia, atau sedasi berlebihan harus disingkirkan. terdapat tiga penyebab lazim
edema paru pada perempuan dengan sindrom preeklamsia berat edema permeabilitas
kapiler paru, edema kardiogenik, atau kombinasi keduanya.
Sebagian besar perempunn dengan preeklamsia berat ,akan mengalami kongesti paru
ringan akibat edema permeabilitas. Hal ini disebabkan oleh perubaban normal pada
kehamilan yang diperburuk oleh sindrom preeklamsia, Penting diketahui tekanan
onkotik plasma menurun secara bermakna pada kehamilan normal aterm karena
terjadinya penurunan kadar albumin dalam serum, dan tekanan onkotik bahkan turun
tebih berat lagi pada preeklamsia (Zinaman dkk.,1985). selain itu, baik peningkatan
tekanan onkotik cairan ekstravaskular maupun peningkatan permeabilitas kapiler telah
di temukan pada perempuan dengan. Preeklamsia (Brown dkk.,1989;0iandkk.,1986).
♦ Pencegahan Eklamsia
Telah terdapat sejumlah penelitian teracak yang dirancang untuk menguji efektivitas
proiitaksis kejang pada perempuan dengan hipertensi gestasional, dengan atau tanpa
proteinuria, dan dengan demikian, pada preeklamsia. Pada sebagian besar penelitian
ini, magnesium sulfae dibandingkan dengan antikonvulsan lain atau dengan plasebo.
Pada semua penelitian, magnesium sulfat dilaporkan lebih unggul dari obat
pembanding dalam mencegah eklamsia. Empat pcnelitian terbesar dirangkum dalam
Tabcl 34-16. Lucas dkk.,(1995) melaporkan bahwa terapi magnesium sulfat lebih
unggul dari phenytoin untuk mencegah kejang eklamtik pada perempuan dengan
hipertensi gestasional ttermasuk mereka yang mengalami preeklamsia dalam derajat
keparahan apapun.
Belfott dkk.,(2003) membandingkan magnesium sulfat dan nimodipine—penyekat
kanal kalsium dengan aktivitas vasodilator serebral spesifik—untuk pencegahan
eklamsia. Dalam penelitian teracak tanpa blinding yang melibatkan 1650 perempuan
dengan eklamsia berat, insiden eklamtia pada kebmpok yang mendapat nimodipine
lebih dari tiga kali lipat insiden pada pada kclompok yang diberikan magnesium sulfat,
2,6 versus 0,8 persen.
Perdebatan di Amerika Serikat saat ini berpusat pada apakah perempuan dengan
hipertensi gestasional yang tidak berat harus diberikan profilaksus magnesium sulfat.
Kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut muncul saat diubahnya protokol
profilaksis magnesium sulfat pada perempuan yang melahirkan di Parkland Hospital
sejak tahun 2000. Sebelum tahun 2000, Lucas dkk.,(1995) telah menemukan bahwa
risiko eklamsia tanpa profilaksis magnesium sebesar 1 di antara 100 (atau kurang)
perempuan yang mengalami preeklamsia ringan. Hingga tahun 2000, semua
perempuan dengan hipertensi gestasional diberikan profilaksis magnesium rumatan
secara intramuskular, seperti yang digambarkan oleh Pritchard pada tahun 1955.
Setelah tahun 2000, kami memberlakukan protokol standar untuk magnesium sulfat
yang diberikan secara intravena. Pada saat yang sama, kami juga mengubah praktik
profilaksis kejang universal kami, yang diberikan pada semua perempuan dengan
hipertensi gestasional, menjadi profilaksis selektif, yang hanya diberikan pada
perempuan yang memenuhi kriteria kami untuk hipertensi gestasional berat. Kriteria-
kriteria ini, yang diperlihatkan pada Tabel 34-17, mencakup perempuan dengan
proteinuria >2+ pada pengukuran spesimen urin hasil kateterisasi dengan carik celup.
Setelah perubahan protokol ini, 60 persen di antara 6431 perempuan dengan hipertensi
gestasional dalam periode \xh tahun diberikan profilaksis magnesium sulfat. Di antara
40 persen dengan hipertensi tidak berat yang tidak diterapi, 27 perempuan mengalami
kejang eklamtik—1 di antara 92. Angka kejadian kejang hanya 1 per 358 pada 3935
perempuan yang memenuhi kriteria berat dan telah diberikan magnesium sulfat;
dengan demikian, merupakan kegagalan terapi. Untuk menilai morbiditas, keluaran
pada 87 perempuan ekiamtik dibandingkan dengan hasil pada 6431 perempuan
hipertensi noneklamtik. Meskipun sebagian besar hasil akhir pada ibu serupa, seperti
yang diperlihatkan pada Tabel 34-18, hampir seperempat perempuan dengan eklamsia
yang menjalani pelahiran bedah Caesar darurat memerlukan anestesia umum. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran besar karena perempuan ekiamtik memiliki edema
laringotrakea dan berisiko tinggi mengalami kegagalan intubasi, aspirasi asam
lambung, dan kematian (American College of Obstetricians and Gynecologists,
2002b). Keluaran pada neonatus juga mengkhawatirkan karena morbiditas gabungan,
yang diperlihatkan pada Tabel 34-18. meningkat nyata sebesar 10 kali lipat pada
perempuan ekiamtik dibandingkan noneklamtik masing-masing 12 versus 1 persen.
Pelahiran
Untuk menghindari risiko pada ibu akibat pelahiran dengan bedah caesar, awalnya
dilakukan langkah-lnngkah untuk mencapai pelahiran pervaginam pada perempuan
dengan eklamsia. Setelah kejang, persalinan sering kali maju secara spontan atau
dapat berhasil diinduksi bahkan pada perempuan yang masih jauh dari aterm
sekalipun (Alanis dkk., 2008). Penyembuhan cepat tidak langsung terjadi setelah
pelahiran melalui jalan apapun, tetapi morbidilitas berat saat masa nifas lebih jarang
terjadi pada perempuan yang melahirkan per vagina.
Dalam suatu penelitian dari universitas Alabama di Birmingham, Mead dkk., (2002)
secara acak menempatkan 116 perempuan dengan preeklamsia berat ke kelompok yang
mendapaikan analgesia epidural atau analgesia meperidine intravena terkontr0l-pasien
selama persalinan. Protokol standar membatasi cairan inravena hingga 100 mL/jam.
Iebih banyak perempuai. 9 persen dari kelompok analgesia epidural yang memerlukan
epliedrine karena mengalami hipotensi. Seperti yang diharapkan, perbedaan nyeri lebih
baik pada kelompok epidural, tetapi, selain itu, komplikasi pada ibu dan neonatus
hampir sama di antara kedua kelompok. Satu perempuan dari tiap kelompok
mengalami edema paru.
Di masa lalu beberapa ahli beranggapan bahwa analgesia epidural merupakan faktor
penting dalam tata laksana intrapartum perempuan dcngnn preeklamsia (Oucschc dan
Cheek, 1993 Lucas dkk., (2001) meneliti 738 perempuan yang bersalin di Parkland
Hospital dalam usia kehamilan 36 minggu atau lebih dan telah mengalami hipertensi
gestasional dalam tingkat keparahan yang bervariasi. Pasien secara acak dimasukkan
ke dalam kelompok yang mendapatkan analgesia epidural atau yang mendapatkan
analgesia meperidine terkontrol-pasien. Keluaran pada ibu dan bayi serupa pada kedua
kelompok penelitian. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 34-19, meskipun analgesia
epidural menyebabkan penurunan yang lebih besar pada tekanan arteri rerata ibu
dibandingkan dengan meperidine, epidural tidaklah lebih unggul dalam mencegah
berulangnya hipertensi berat saat fase lanjut persalinan. jadi, analgesia epidural
persatinan tidak boleh salah dianggap sebagai terapi untuk hipertensi.
Furosemid
Karena menetapnya hipenensi berat berkaitan dengan awitan dan lama diuresis, serta
mobilisasi cairan ekstrasel, tampaknya logis bahwa diuresis yang dipercepat dengan
furosemid akan mempercepat pengendalian tekanan darah. untuk meneliti hal tersubut,
Ascarclli dkk., (2005) merancang sebuah penelitian teracak yang melibatkan 264
perempuan preeklamtik pascapartum. Setelah awitan diuresis spontan, pasien secara
acak dikelompokkan ke dalam grup yang mendapatkan furosemid oral 20 mg/hari atau
grup yang tidak mendapatkan terapi. Dibandingkan dengan perempuan dengan
penyakit ringan, mereka dengan preeklamsia berat meimliki tekanan darah sisiolik
rerata yang lebih rendah pada hari ke-2142 versus 153 mmHg dan lebili jarang
memerlukan terapi atihipertensi selama sisa periode rawat inap 14 versus 26 persen,
secara bcrurutan.
Pertukaran Plasma
Martin dkk., (1995) telah menggambarkan suatu sindrom atipikal berupa menetapnya
preeklamsia berat-eklamsia setelah pelahiran. Para peneliti tadi melaporkan 18
perempuan dengan sindrom seperti ini yang mereka jumpai selama periode 10 tahun.
Mereka menjalankan kebijakan pertukaran plasma tunggal atau multipel untuk
perempuan-perempuan ini. Pada sebagian kasus, 3 L plasma dipertukai kan tiga kali
pajanan 36 hingnya 45 unit donor untuk tiap pasicn sebelum timbulnya respons.
Peneliti Iain telah melaporkan mengenai pertukaran plasma yang dilakukan pada
perempuan pascapartum dengan sindrom HELLP (Forster disk , 2002; Obeidar dkk.
2002). Namun, pada sebagian besar kasus, perbedaan antara sindrom HELLP dan
purpura trombositopenik trombotik atau sindrom uremik heimolitik tidaklah jelas.
berdasarkan pcngalaman kami dengan lebih dari 50.000 perempuan yang mengalami
hipertensi gastasional diantara hampir 400.000 kehamilan yang ditata Iaksana di
Parkland Hospital selama tahun 2009, kami telah menjumpai sangat sedikit perempuan
yang mengalami hipertensi pascapartum persisten, tiombositopcnia, dan gangguan
fungsi ginjnl, yang didiagnosis sebagai mikroangiopati trombotik (Dashe dkk.,1998).
Seperti yang disimpulkan olch Martin dkk.,(2008) setelah menulis ulasan mengenai
166 kehamilan yang dipersulit oleh purpura tromhositopenik trombotik, uji diagnostik
cepat, aktivitas enzim ADAMTS-13,dapat bemianfaat untuk membedakan sebagian
besar di antaranya,