Вы находитесь на странице: 1из 34

PRESENTASI KASUS

KETOASIDOSIS DIABETIK DENGAN


INFEKSI SALURAN KEMIH

Disusun oleh :
Dyah Ratnasih Khulaidah G4A016120

Pembimbing :
dr. Pugud Samodro, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
KETOASIDOSIS DIABETIK DENGAN
INFEKSI SALURAAN KEMIH

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Dyah Ratnasih Khulaidah
G4A016120

Telah disetujui
Pada tanggal Agustus 2017

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Pugud Samodro, Sp. PD


NIP. 19670526 200312 1 001
BAB I
PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai


dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl) disertai
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (Perkeni, 2015). Keadaan ini terjadi
akibat adanya defisiensi insulin absolut atau relatif dab peningkatan hormon
kontra regulator yang menyebabkan lipolisis berlebihan sehingga terbentuklah
benda-benda keton. KAD perlu segera diidentifikasi dan ditangani karena jika
terlambat ditangani dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan DM (Tarigan, 2014).
Penyebab tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Onset baru atau berhenti
menggunakan insulin adalah penyebab paling umum pada pasien dengan DM tipe
1. Pada beberapa pasien DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan pencetus
yang jelas dan setelah diberikan insulin keadaannya cepat membaik (Tarigan,
2014). Pada pasien DM, 40% penyebab KAD adalah adanya infeksi, 25% akibat
pengobatan insulin tidak teratur, dan 15% akibat diabetes yang baru didiagnosis.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran
kemih (ISK) dan peneumonia. Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin
lesion atau infeksi tenggorokan. Selain itu, obat-obatan yang diketahui dapat
mempengaruhi metabolisme karbohidrat jugadapat menjadi pencetus KAD
(Hamdy, 2017).
KAD berperan dalam 14% penyebab pasien diabetes dirawat di rumah sakit
dan 16% dalam morbiditas yang berhubungan dengan penyakit diabetes. Hampir
50% pasien diabetes usia muda yang masuk ke rumah sakit berhubungan dengan
KAD (Hamdy, 2017). Angka kematian pada KAD berkisar 0,5-0,7% tergantung
pada kualitas pelayanan kesehatan yang menangani. KAD masih merupakan
masalah yang berat di rumah sakit, terutama rumah sakit dengan fasilitas minimal
(Tarigan, 2014). Angka kematian KAD menjadi lebih tinggi pada beberapa
keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard luas,
pasien usia lanjut, kadar glukosa awal yang tinggi, dan kadar keasaman darah
yang rendah (Gotera dan Dewa, 2010).

1
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Arcawinangun RT 06/05
Tanggal Masuk IGD : 23 Juli 2017
Tanggal Pemeriksaan : 26 Juli 2017

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan Utama : tubuh terasa lemas
b. Onset : 1 minggu SMRS
c. Keluhan tambahan : kesemutan pada kedua tangan dan kaki
Pasien merupakan rujukan dari RS Amanda dengan GDS 590. Pasien
mengeluh badan terasa lemas sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu.
Pasien mengeluh pusing berputar namun tidak ada keluhan pada
penglihatan maupun pendengaran. Pasien mengeluh kesemutan di kedua
tangan dan kaki. Kesemutan dirasakan terus menerus dan hampir setiap
saat. Pasien mengakui sudah didiagnosis DM sejak 4 tahun yang lalu dan
rajin menggunakan suntik insulin. Sebelumnya pasien pernah merasakan
keluhan serupa hingga hampir pingsan kurang lebih 2 bulan yang lalu.
Sebelumnya pasien belum pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan
yang sama. Pasien mengaku merasa mual ketika pertama kali merasakan
gejala, namun saat ini sudah tidak mengeluh mual maupun muntah. BAB
dan BAK lancar, namun pasien mengeluh saat BAK terasa anyang-
anyangan. Pasien tidak mengeluh demam, diare, sesak, flu, batuk, nyeri
telan, atau gatal-gatal di badan.

2
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : diakui
e. Riwayat penyakit asma : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat penyakit gula : diakui
e. Riwayat penyakit asma : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Rumah satu dan
rumah lainnya berdekatan. Rumah terletak di dalam gang kecil yang
sering dilewati motor. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga
baik.
b. Home
Rumah pasien berdinding tembok. Lantai belum berupa keramik,
memiliki ventilasi yang cukup. Pasien tinggal bersama istri, anak, dan
suami dari anak.
c. Personal Habit
Pasien rajin kontrol ke Puskesmas. Pasien menggunakan insulin
suntik. Pola makan pasien terkontrol. Pasien makan 3x sehari dengan

3
nasi dan sayur mayur. Pasien tidak suka minum kopi dan rajin minum
air putih.
d. Occupation
Pasien adalah seorang buruh bangunan. Dalam sehari pasien bekerja
sekitar 8 jam selama 1 minggu.
e. Drug and diet
Pasien menggunakan insulin suntik. Diet pasien terkontrol.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan tanggal 26 Juli 2017
- Keadaan Umum : tampak sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis
- Vital Sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90x/menit, reguler
RR : 20x/menit
Suhu : 36,7 0C
- Antopometri
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 50 kg
IMT : 18.37
- Status Generalis
Kepala : Mesocephal, simetris, tidak terdapat venektasi
temporal, rambut hitam, tidak mudah di cabut,
distribusi merata
Mata : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 4 mm, Conjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, eksoftalmus (-)
Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung dan discharge
Telinga : Tidak terdapat discharge, hiperemis, deformitas
Tidak terdapat nyeri tekan
Mulut : Bibir dan lidah tidak sianosis, bau nafas aseton (-),
nafas kussmaul (-)

4
Leher : Pembesaran (-), JVP 5+2 cm
- Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Hemithorax dextra = sinistra
Palpasi : Vocal Fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru, batas paru hepar
di SIC V LMCD
Auskultasi : SD Vesiculer +/+, ronki basah kasar -/-, ronki
basah halus -/-, wheezing -/-
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, Pulsasi epigastrium (-),
pulsasi parasternal (-)
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup
Batas Jantung:
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC V 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1 > S2, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak terdapat
pembesaran
Ekstrimitas
Superior : edema (-), tremor (-), sianosis (-), akral hangat (+)
Inferior : edema (-), tremor (-), sianosis (-), akral hangat (+)

5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Klinik Utama Amanda Tanggal 21 Juli 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Darah Lengkap
Hb 13.1 gr/dL P:14 - 18
Leukosit 5.1 103/ul 4.0 - 10.0
Hematokrit L 36.9 % 37.0 - 50.0
Eritrosit 4.06 106/ul 3.50 - 5.50
Trombosit 272 103/ul 150 - 450
MCV 91.0 fL 82 - 95
MCH 32.4 Pg 27 - 31
MCHC 35.6 % 32 - 36
Hitung Jenis
Segmen 55 % 50 - 70
Limfosit 30 % 20 - 40
Monosit H 14 % 3-9
Kimia klinik
GDS H 580 mg/dL ≤ 180
Kreatinin H 1.55 mg/dL 0.50-1.30
Ureum 31 mg/dL 10 – 50

Urinalisa

Warna Kuning Negatif


jernih

pH 6.0 6.0-7.5

Berat jenis 1.020 1.003-1.030

Protein Positif + Negatif

Glukosa Positif +++ Negatif

6
Urobilinogen Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Darah (Hb) Positif ++ Negatif

Keton Positif ++ Negatif

Lekosit esterase Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Sedimen
- Lekosit 3-7/LPB 1-2/LPB
- Eritrosit 10-15/LPB 1-2/LPB
- Epitel 3-7/LPk 1-2/LPk

Kristal
- Monohydrate Negatif Negatif
calcium
oxalate
- Asam urat Negatif Negatif

Bakteri Positif + Negatif

Pemeriksaan RSMS Tanggal 23 Juli 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Darah Lengkap
Hb 13.2 gr/dL 11.2 - 17.3
Leukosit 5140 ul 3600 - 10600
Hematokrit L 38 % 40 - 52
Eritrosit L 4.3 106/ul 4.4 - 5.9
Trombosit 165.000 ul 150.000 - 440.000
MCV 87.1 fL 80 – 100
MCH 30.4 Pg 26 - 34
MCHC 34.9 % 32 - 36
RDW 11.7 % 11.5 – 14.5
MPV 11.7 fl 9.4 - 12.4

7
Hitung Jenis
Basofil 1.0 % 0-1
Eosinofil H 8.6 % 2–4

Batang L 0.2 % 3–5

Segmen L 44.3 % 50 - 70
Limfosit 37.7 % 25 - 40
Monosit 8.0 % 2-8
Kimia klinik
SGOT L 11 u/L 15 – 37
SGPT 20 u/L 16 – 63
Ureum darah 24.8 mg/dL 14.98 – 38.52
Kreatinin darah 1.13 mg/dL 0.70 – 1.30
GDS H 341 mg/dL ≤ 200
HbA1c >14.0 % < 7.0
Natrium 137 mmol/L 136 – 145
Kalium 4.1 mmol/L 3.4 – 4.5
Klorida 104 mmol/L 96 – 108
Kalsium L 7.7 mg/dL 8.5 – 10.1

Tanggal 23 Juli 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS ≤ 200
H 341 mg/dL
(17.37)
GDS ≤ 200
H 311 mg/dL
(22.39)

8
Tanggal 24 Juli 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS ≤ 200
H 242 mg/dL
(08.08)

Tanggal 25 Juli 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Kimia Klinik
GDS ≤ 200
H 301 mg/dL
(08.01)

Tanggal 26 Juli 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS ≤ 200
H 291 mg/dL
(12.30)

Tanggal 27 Juli 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS ≤ 200
H 356 mg/dL
(09.58)

Tanggal 28 Juli 2017


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS ≤ 200
H 315 mg/dL
(06.51)

9
Tanggal 29 Juli 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Kimia Klinik

GDS ≤ 200
H 309 mg/dL
(08.21)

E. DIAGNOSA
1. Ketoasidosis Diabetik
2. DM
3. ISK

F. TATALAKSANA
1. Ketoasidosis Diabetik
a. Diagnosis:
1) Pemeriksaan Laboratorium
Cek kadar darah rutin, GDS, Urin lengkap
b. Terapi
- Diet DM Lunak
- Inf NaCl 0.9% 20 tpm
- Inj novorapid 3x12 U SC
- Inj levemir 0-0-10 IM
- PO Alprazolam 3x ½
c. Monitoring: keluhan, keadaan umum, vital sign, GDS
d. Edukasi:
1) Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, prognosa,
dan pengobatan.
2) Penjelasan mengenai diet pada pasien dengan Diabetes Mellitus
e. Prognosis: dubia ad malam
2. ISK
a. Diagnosis:
1) Pemeriksaan laboratorium:

10
Cek darah lengkap, Kimia klinik (Serum Creatinin, Ureum)
b. Terapi
- Inj ceftriaxon 1x2 gr IV
- PO Urinter 3x2
c. Monitoring: vital sign, keluhan, urinalisa
d. Edukasi: Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit,
prognosa dan pengobatan.
e. Prognosis: dubia ad bonam

11
HASIL FOLLOW UP PASIEN SELAMA DI RUMAH SAKIT

Ruangan/ Perkembangan Terapi yang Assesment


Tanggal diberikan
IGD S: Pasien datang ke IGD - O2 4lpm NK KAD,
23-07-2017 RSMS rujukan dari RS - Inf NaCl 0.9% ISK
Amanda dengan GDS loading 1000 cc
590. Pasien mengeluh lanjut 20 tpm
badan terasa lemas - Inj Ceftriaxon
sejak kurang lebih 1 1x2 gr IV (st)
minggu yang lalu. - Cek ulang GDS
Pasien mengeluh
pusing berputar namun
tidak ada keluhan pada
penglihatan maupun
pendengaran. Pasien
mengeluh kesemutan
di kedua tangan dan
kaki.
O: KU/Kes : lemah/CM
Vital sign :
TD : 120/80 mmHg
N : 90x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,5 0C

Mata: CA-/- SI-/-

Leher: tidak teraba


massa, JVP
5+2cmH2O

Pulmo : SD Ves +/+,


Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -
/-

Cor: teraba SIC V 2


jari lat LMCS. S1>S2,
regular, M(-), G(-)

12
Abdomen: datar,
BU+Normal. Tidak
terdapat nyeri tekan

Ekstrimitas: edema -/-


/-/-, akral hangat
+/+/+/+

GDS: 311 H

Aster S: Pasien dipindahkan ke - IVFD NaCl 0.9% KAD,


24-07-2017 Aster. Pasien IV 20 tpm ISK
mengeluhkan pusing, - Inj Ceftriaxon
kesemutan di kedua 1x2 gr IV (st)
tangan dan kaki - Inj insulin 20 U
O : KU/Kes : sedang/CM
Vital sign :
TD: 120/90 mmHg
N: 80x/menit
RR: 20x/menit
S: 36 0C

GDS: 242 H
Aster S : Pasien merasa - IVFD NaCl 0.9% KAD,
25-07-2017 kesemutan sedikit IV 20 tpm ISK
berkurang, sudah tidak - Inj Ceftriaxon
BAB 5 hari 1x2 gr IV (st)
O : KU/Kes : sedang/CM - Inj Levemir 0-0-
Vital sign : 10 IM
TD: 110/80 mmHg - Inj novorapid 3x4
N: 80x/menit U SC
RR: 20x/menit
S: 36,5 0C

GDS: 301 H
Aster S: Pasien mengeluhkan - IVFD NaCl 0.9% KAD,
26-07-2017 kesemutan pada kedua IV 20 tpm ISK
tangan dan kaki, badan - Inj Levemir 0-0-
masih terasa lemas. 10 IM
- Inj novorapid 3x6
O : KU/Kes : sedang/CM U SC
Vital sign : - Inj Ceftiaxon 1x2
TD: 110/89 mmHg gr

13
N: 80x/menit - PO Urinter 3x1
RR: 20x/menit - Diit DM 1500
S: 36,5 0C kkal

GDS: 291 H
Aster S: Pasien masih - IVFD NaCl 0.9% KAD,
27-07-2017 mengeluhkan lemas, IV 20 tpm ISK
kesemutan pada kedua - Inj Levemir 0-0-
tangan dan kaki 16 IM
- Inj novorapid 3x8
O : KU/Kes : sedang/CM U SC
Vital sign : - Inj Ceftriaxon
TD: 120/80 mmHg 1x2 gr
N: 80x/menit - PO Urinter 3x1
RR: 20x/menit - Diit DM 1500
S: 36,5 0C kkal

GDS: 356 H
Aster S: Pasien merasa sedikit - IVFD NaCl 0.9% KAD,
28-07-2017 pusing, keluhan sudah IV 20 tpm ISK
membaik, lemas - Inj Levemir 0-0-
berkurang, kesemutan 16 IM
bekurang - Inj novorapid
3x12 U SC
O : KU/Kes : sedang/CM - Inj Ceftriaxon
Vital sign : 1x2 gr
TD: 90/70 mmHg - PO Urinter 3x1
N: 80x/menit - PO Alprazolam
RR: 20x/menit 3x½
S: 36,6 0C
GDS: 315 H

Aster S: Pasien keluhan sudah - IVFD NaCl 0.9% KAD


29-07-2017 membaik, lemas IV 20 tpm ISK
berkurang, kesemutan - Inj Levemir 0-0-
bekurang 16 IM
- Inj novorapid
O : KU/Kes : sedang/CM 3x12 U SC
Vital sign : - Inj Ceftriaxon
TD: 100/70 mmHg 1x2 gr
N: 80x/menit - PO Urinter 3x1
RR: 20x/menit

14
S: 36,5 0C - PO Alprazolam
3x½
GDS: 309 H - Rawat jalan

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600
mg/dl) disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (Perkeni, 2015).
KAD umumnya terjadi pada pasien DM tipe 1, namun tidak jarang
mengenai pasien DM tipe 2. KAD merupakan kondisi dimana terjadi
gangguan metabolis yang kompleks yang dikarakterisasi oleh trias
biokimiawi yaitu hiperglikemia, ketonemia dan atau ketonuria, serta
asidosis metabolik (Hamdy, 2017).
Keadaan ini terjadi akibat adanya defisiensi insulin absolut atau relatif
dab peningkatan hormon kontra regulator yang menyebabkan lipolisis
berlebihan sehingga terbentuklah benda-benda keton. KAD perlu segera
diidentifikasi dan ditangani karena jika terlambat ditangani dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
DM (Tarigan, 2014).

B. Epidemiologi
KAD berperan dalam 14% penyebab pasien diabetes dirawat di rumah
sakit dan 16% dalam morbiditas yang berhubungan dengan penyakit
diabetes. Hampir 50% pasien diabetes usia muda yang masuk ke rumah
sakit berhubungan dengan KAD. KAD sering kali ditemukan dalam
diagnosis DM tipe 1. Insidensi KAD pada pasien DM tipe 1 kurang lebih 2
kasus pada setiap 100 pasien. Pada pasien dengan DM tipe 1, KAD lebih
banyak ditemukan pada pasien usia muda dibangdingkan dengan pasien
usia dewasa atau usia lanjut. KAD lebih umum ditemukan pada pasien
dengan usia kurang dari 19 tahun (Hamdy, 2017).
Angka kematian pada KAD berkisar 0,5-0,7% tergantung pada
kualitas pelayanan kesehatan yang menangani. KAD masih merupakan
masalah yang berat di rumah sakit, terutama rumah sakit dengan fasilitas
minimal (Tarigan, 2014). Angka kematian KAD menjadi lebih tinggi pada

16
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark
miokard luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa awal yang tinggi, dan kadar
keasaman darah yang rendah. Walaupun data komunitas di Indonesia belum
ada, angka insidensi KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe-1 yang rendah. Laporan insiden KAD di
Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada pasien
DM tipe-2 (Gotera dan Dewa, 2010).

C. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Onset baru atau
berhenti menggunakan insulin adalah penyebab paling umum pada pasien
dengan DM tipe 1. Pada beberapa pasien DM tipe 2, kadang-kadang tidak
ditemukan pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin keadaannya
cepat membaik (Tarigan, 2014).
Pada pasien DM, 40% penyebab KAD adalah adanya infeksi, 25%
akibat pengobatan insulin tidak teratur, dan 15% akibat diabetes yang baru
didiagnosis. Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah
infeksi saluran kemih (ISK) dan peneumonia. Infeksi lain dapat berupa
infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan
yang diketahui dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti
kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti
dobutamin dan terbutalin) dapat menjadi pencetus KAD. Obat lain yang
dapat mencetuskan KAD yaitu beta blocker, obat antipsikotik, dan fenitoin
(Gotera dan Dewa, 2010).
Pada tabel berikut ini adalah penyebab umum terjadinya KAD pada
pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2:

Tabel 3.1 Etiologi KAD (Hamdy et al, 2017)

DM Tipe 1 DM Tipe 2
- Defisiensi insulin akut - Infeksi (mis. pneumonia,
- Pengobatan insulin yang terlewat prostatitis, ISK)
- Infeksi (mis. pneumonia, - Obat-obatan (mis. kortikosteroid,
prostatitis, ISK) pentamidine, clozapine)
- Klebsiella pneumoniae
- Stres emosional

17
D. Patofisiologi
KAD merupakan suatu gangguan metabolik kompleks yang muncul
sebagai konsekuensi dari adanya defisiensi insulin absolut atau relatif yang
diikuti dengan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, kortisol,
GH, epinefrin) (Thomas et al, 2016). Defisiensi insulin dapat muncul pada
individu dengan infeksi, insufisiensi dosis insulin, dan pengobatan yang
tidak teratur. Glukoneogenesis hepatik, glikogenesis akibat defisiensi
insulin, dan hormon kontra regulator berlebih menyebabkan munculnya
hiperglikemi berat (Hamdy, 2017). Defisiensi insulin akan menyebabkan
meningkatnya proteolisis dan menurunkan sintesis protein yang
menyebabkan bertambahnya substrat glukoneogenik pada proses
glukoneogenesis. Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra
regulator juga akan menyebabkan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan memperparah hiperglikemi (Hamdy, 2017).
Sel tubuh akan menggunakan sel lemak sebagai sumber energi ketika
tubuh mengalami insufisiensi insulin. Sisa metabolisme sel lemak inilah
yang menyebabkan munculnya asidosis (Mumme, 2015). Defisiensi insulin
akan menyebabkan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa
(lipolisis), oksidasi asam lemak hepatik, dan pembentukan badan keton
yang mendasari munculnya ketonemia dan asidosis. Badan keton umumnya
terdiri atas aseton, beta-hidrosibutirat, dan asetoasetat (BMJ, 2015).
Badan keton terbentuk dari asetil koenzim A (Asetil CoA) terutama di
mitokondria sel hepatosit ketika utilisasi karbohidrat tidak adekuat akibat
defisiensi insulin. Kadar asetil CoA yang tinggi dalam sel akan menghambat
kompleks piruvat dehidrogenase, namun mengaktivasi karboksilase piruvat.
Hal ini akan menyebabkan oksaloasetat memasuki proses glukoneogenesis
dan bukan siklus krebs, yang juga dihambat oleh peningkatan kadar
Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NADH) yang merupakan akibat dari
defisiensi insulin. Kadar asetil CoA yang berlebih pada akhirnya akan
memperparah kondisi ketogenesis (Hamdy, 2017).
Peningkatan konsentrasi substansi asam organik di darah yang
progresif akan menyebabkan tubuh memasuki kondisi ketonemia. Pada

18
awalnya, tubuh akan berusaha untuk mengkompensasi kondisi ini dengan
buffer alami tubuh. Ketika keton yang terakumulasi melebihi kemampuan
tubuh untuk mengekstraksi metabolit ini, keton akan dibuang melalui urin
dan menyebabkan munculnya ketonuria (Thomas et al, 2016). Jika kondisi
ini tidak segera ditangani, individu akan menunjukkan kondisi asidosis
metabolik yang jelas secara klinis, dengan penurunan pH dan bikarbonat
yang signifikan. Kompensasi respiratori pada kondisi asidosis akan
menyebabkan munculnya napas Kussmaul, dimana napas pasien akan
menjadi semakin lambat dan dalam seiring dengan peningkatan kondisi
asidosis (Hamdy, 2017). Keton, terutama β-hidroksibutirat menyebabkan
munculnya mual dan muntah yang memperburuk kondisi hilangnya cairan
dan elektrolit. Produksi aseton juga akan menyebabkan munculnya bau
napas khas pada pasien KAD (BMJ, 2015).
Kondisi hiperglikemi akan meningkatkan ambang batas absorbsi
glukosa di ginjal dan menyebabkan munculnya glukosuria. Glukosuria akan
menyebabkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan hiperosmolaritas. Ekskresi
air di urin akan semakin meningkat akibat diuresis osmotik yang disebabkan
kondisi glukosuria. Peningkatan ekskresi air akan menyebabkan dehidrasi
berat, rasa haus, hipoperfusi jaringan dan asidosis laktat. Kombinasi kondisi
hiperglikemi, diuresis osmotik, hiperosmolaritas serum, dan asidosis
metabolik akan menyebabkan gangguan elektrolit berat (Thomas et al,
2016). Gangguan elektrolit yang paling jelas adalah turunnya kadar
potasium tubuh. Turunnya kadar potasium ini disebabkan oleh perpindahan
potasium dari intraseluler ke ekstraseluler sebagai akibat dari perpindahan
ion hidrogen yang terakumulasi di ekstraseluler pada kondisi asidosis.
Sebagian besar potasium ekstraseluler akan dibuang melalui urin akibat
diuresis osmotik. Serum osmolaritas yang tinggi juga akan menyebabkan
perpindahan air dari intraseluler ke ekstraseluler, menyebabkan
hiponatremia translokasi. Sodium juga akan dibuang melalui urin akibat
diuresis osmotik (Hamdy, 2017).

19
Gambar 3.1 Patogenesis KAD dan SHH (Thomas, et al)
Selain lipolisis, tubuh juga merespon kondisi sel yang kekurangan
glukosa dengan meningkatkan serum glukosa. Salah satu mekanisme tubuh
untuk mencapai hal ini adalah dilepaskannya hormon kontra regulator, yang
pada akhirnya akan memperburuk hiperglikemi. Hormon seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan GH memiliki efek meningkatkan glukosa darah
dan juga berperan sebagai antagonis insulin (Beard, 2011). Glukagon
merupakan hormon yang disekresi oleh sel alfa pankreas yang
meningkatkan proteolisis, mentransportasi asam amino ke sel hepar, dan
mengubah asam amino menjadi prekursor glukosa pada proses
glukoneogenesis. Katekolamin menstimulasi lipolisis di jaringan adiposa,
menurunkan sekresi insulin, dan meningkatkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis di hepar. Kortisol berperan sebagai antagonis insulin
dengan mempromosikan gen transkripsi enzim katabolik ke dalam sel
ekstrahepatik. Kortisol juga menstimulasi gukoneogenesis di
hepar.Sementara GH memobilisasi asam lemak untuk digunakan sebagai
sumber energi dan menghamat ambilan glukosa oleh insulin di sel perifer.

20
Hal ini menyebabkan peningkatan sintesis protein dan mempertahankan
kondisi hiperglikemi (Mumme, 2015).

E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala KAD umumnya muncul dalam waktu 24 jam.
Umumnya KAD terjadi pada pasien yang sudah terdiagnosis diabetes. Pada
pemeriksaan fisik, sebaiknya petugas kesehatan juga mencari gejala
penyakit yang kemungkinan bisa menjadi pencetus KAD, seperti gejala ISK,
pneumonia, dan infark miokardium (Hamdy, 2017). Trias metabolik utama
yang terjadi pada pasien KAD yaitu adanya hiperglikemia, ketosis, dan
asidosis metabolik (Mumme, 2015). Manifestasi klinis KAD yang
umumnya dapat ditemukan yaitu (Jameson, 2013):
1. Gejala
a. Mual muntah
b. Poliuria/polidipsi
c. Nyeri abdomen
d. Napas pendek-pendek
2. Tanda
a. Tanda dehidrasi (nadi cepat dan lemah, kulit dan lidah kering,
peningkatan CRT)
b. Napas berbau seperti aseton
c. Napas Kusmaul
d. Takikardi
e. Takipneu
f. Letargi
Gejala mual muntah umumnya muncul pada pasien KAD. Apabila
pasien diabetes mengalami gejala muntah, maka sebaiknya dijadikan
indikasi pemeriksaan laboratorium untuk mengecek ada tidaknya kondisi
DKA. Kondisi hiperglikemia menyebabkan munculnya glukosuria dan
takikardi. Hipotensi dapat muncul akibat kombinasi penurunan volume
intravaskuler dan vasodilatasi perifer. Sementara gejala klasik dari KAD

21
adalah adanya pernapasan Kussmaul dan napas berbau khas (Jameson,
2013).

F. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis KAD yang cepat sangatlah penting untuk mengurangi
moorbiditas dan mortalitas. KAD dikarakterisasi oleh hiperglikemia,
ketosis, dan asidosis metabolik (Jameson, 2013). Penegakkan diagnosis
KAD dilakukan melalui kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat
pengidap diabetes, seperti gejala-gejala klasik diabetes yaitu poliuri,
polidipsi, rasa lelah, dan kram otot. Sementara dari pemeriksaan fisik bisa
ditemukan tanda-tanda dehidrasi, napas Kussmaul, gangguan pada tanda
vital (hipotensi, takikardi, takipnea), dan tanda gejala dari pennyakit
penyerta (Tarigan, 2014).
Pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan pada pasien KAD
adalah pemeriksan darah dan urin. Pemeriksaan urin biasanya memberikan
hasil berupa glukosa dan keton positif. Pemeriksaan urin juga membantu
dalam mengidentifikasi kemungkinan organisme infektif. (Thomas et al,
2016). Secara umum, hasil yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
laboratorium KAD adalah (Tarigan, 2014):

Tabel 3.2 Hasil pemeriksaan laboratorium KAD (Tarigan, 2014)

KAD Ringan KAD Sedang KAD Berat


Glukosa Plasma >250 >250 >250
(mg/dL)
pH Arteri 7.25-7.30 7.00-7.24 <7.00
Serum Bikarbonat 15-18 10-15 <10
(mEq/L)
Keton urin Positif Positif Positif
Keton serum Positif Positif Positif
Anion gap >10 >12 >12
Osmolalitas serum Variasi Variasi Variasi
(mOsm/kg)
Kesadaran Sadar Sadar/Mengantuk Sopor/koma

22
G. DD
KAD harus dibedakan dengan Status Hiperglikemi Hiperosmolar
(SHH), karena walaupun pengelolaannya hampir sama namun prognosisnya
sangat berbeda. Pada SHH hiperglikemi biasanya gejala lebih berat, dan
selalu disertai dengan gangguan kesadaran tanpa ketoasidosis yang berat
(Tarigan, 2014). SHH sendiri merupakan salah satu dari 2 gangguan
metabolik yang bisa muncul pada pasien DM. SHH merupakan kondisi
emergensi dengan mortalitas mencapai 5-10%. SHH umumnya ditemukan
pada pasien diabetes dengan kondisi penyerta yang menyebabkan adanya
penurunan intake cairan, contohnya pada pasien lanjut usia dengan persepsi
haus yang sudah menurun. Infeksi merupakan kondisi yang paling sering
mencetuskan SHH, namun kondisi lain seperti stroke atau infark
miokardium juga dapat menjadi pencetus (Avichal, 2017).
Berbeda dengan pasien KAD, pasien dengan SHH umumnya tidak
menunjukkan kondisi ketoasidosis, namun mengapa hal ini terjadi masih
belum jelas. Salah satu faktor yang berkontribusi adalah adanya limitasi
ketogenesis akibat hiperosmolaritas, kadar asam lemak bebas yang lebih
rendah, availabilitas insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis
damun tidak cukup untuk menghambat hiperglikemi, dan adanya resistensi
hepatik terhadap glukagon pada pasien (Thomas et al, 2016).
KAD dan SHH dapat dibedakan dari hasil pemeriksaan laboratorium,
dengan hasil sebagai berikut (Jamerson, 2013):

23
Tabel 3.3 Perbedaan KAD dan SHH (Jamerson, 2013)

H. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan KAD, keberhasilan penatalaksanaan
membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan
elektrolut, identifikasi faktor predisposisi komorbid, dan pemantauan pasien
secara ketat (Gosmanov et al, 2014). Prinsip pengelolaan pasien KAD
adalah sebagai berikut (Hamdy, 2017):
1. Koreksi dehidrasi dengan cairan IV
2. Koreksi hiperglikemi dengan insulin
3. Koreksi gangguan elektrolit, terutama hilangnya potasium
4. Koreksi keseimbangan asam-basa
5. Pengobatan infeksi jika ada
Penatalaksanaan segera terhadap koreksi cairan dan hilangnya
elektrolit pada satu jam pertama perawatan diikuti dengan koreksi
hiperglikemi dan asidosis selalu dianjurkan (Thomas et al, 2016).

24
1. Terapi cairan
Resusitasi cairan merupakan langkah penting dalam
manajemen pasien dengan KAD. Cairan IV akan menggantikan cairan
ekstravaskuler dan intravaskuler dan hilangnya elektrolit. Cairan IV
juga akan membantu mencairkan glukosa darah dan hormon kontra
regulator (Hamdy, 2017). Tujuan utama penggantian cairan adalah
sebagai berikut (NHS, 2010):
a. Restorasi volume cairan
b. Klirens keton
c. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Rata-rata jumlah cairan yang hilang pada pasien DKA adalah
sebanyak 6-9 L. Tujuan terapi cairan adalah untuk merestorasikan
total volume yang hilang dalam 24-36 jam dengan 50% cairan
resusitasi diadministrasikan dalam 8-12 jam pertama (Gosmanov,
2014). Terapi cairan harus diberikan secara bertahap karena koreksi
cairan yang terlalu cepat dapat menyebabkan munculnya edema
serebri. Terapi cairan inisial adalah pemberian 1-1.5 L NaCl 0.9%
pada 1 jam pertama manajemen pasien KAD. Status cairan, status
kardio, output urin, tekanan darah, dan kadar elektrolit harus
dimonitor secara ketat (BMJ, 2015).
Resusitasi volume intravaskuler dan ekstravaskuler akan
mengurangi hiperglikemi dengan menstimulasi diuresis osmotik jika
fungsi ginjal masih cukup baik dan meningkatkan aksi insulin perifer.
Jika kadar glukosa <200-250 mg/dl, cairan IV sebaiknya diganti
menjadi NaCl 0.45% dengan dekstrose untuk menghindari
hipoglikemis. Kondisi yang harus diperhatikan adalah jika pasien
memiliki penyakit yang mengakibatkan retensi cairan seperti gagal
jantung kongestif atau gagal ginjal. Monitor urin output adalah
langkah yang sangat penting dalam manajemen pasien KAD
(Gosmanov, 2014).

25
2. Terapi insulin
Administrasi insulin sangatlah penting pada pasien KAD karena
akan mempromosikan utilisasi glukosa di jaringan perifer,
mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan menekan
ketogenesis. Pemberian insulin secara IV merupakan cara yang lebih
direkomendasikan. Namun, resusitasi insulin sebelum restorasi
volume tidak direkomendasikan karena dapat memperparah dehidrasi
(Gosmanov, 2014).
Insulin sebaiknya diberikan secara IV 2 jam setelah inisiasi
terapi cairan. Dosis insulin yang disarankan adalah bolus insulin 0.1
U/kgBB/jam. Infusi sebesar 0.14 U/kgBB/jam direkomendasikan
apabila tidak tersedia bolus (Westerberg, 2013). Dengan pemberian
insulin IV dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma
dengan kecepatan 50-100 mg/dl setiap jam dengan target glukosa
turun sampai 200 mg/dl. Apabila target sudah tercapai, kecepatan
insulin diturunkan menjadi 0.02-0.05 U/kgBB/jam (Tarigan, 2014).
Penurunan glukosa optimal adalah hingga 100 mg/dl/jam. Pastikan
glukosa darah tidak turun lebih dari 200 mg/dl dalam 4-5 jam pertama
perawatan. Hipoglikemia dapat terjadi secara cepat pada koreksi
ketoasidosis akibat peningkatan sensitivitas insulin (Hamdy, 2017).
3. Koreksi elektrolit
Potasium umumnya menurun pada pasien dengan KAD. Kadar
potasium sebaiknya dimonitor setiap 2 jam pada stadium awal KAD.
Umumnya hidrasi dapat menurunkan kadar potasium karena
terjadinya pelarutan potasium di darah, sementara terapi insulin dan
koreksi asidosis dapat menyebabkan ambilan potasium oleh sel
(Westerberg, 2013). Pemberian suplemen potasium yang disarankan
adalah sebagai berikut (Hamdy, 2017):
a. Kadar potasium >6 mEq/L: suplemen tidak perlu diberikan
b. Kadar potasium 4.5-6 mEq/L: berikan infus KCL 10 mEq/jam
c. Kadar potsaium 3-4.5 mEq/L: berikan infus KCL 20 mEq/jam

26
Infus potasium dihentikan apabila kadar potasium >5 mEq/L.
Monitoring kadar potasium sebaiknya tetap dilakukan setelah
pemberian KCL untuk menghindari terjadinya hipokalemia. Monitor
jantung juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya aritmia
(Tarigan, 2014).
4. Koreksi asam-basa
Koreksi bikarbonat masih merupakan terapi yang kontroversial
pada pasien dengan KAD. Beberapa studi menunjukkan bahwa
pemberian bikarbonat tidak menghasilkan perbaikan klinis yang
signifikan, dan terapi telah diasosiasikan dengan munculnya
hipokalemia. ADA (American Diabetes Association)
merekomendasikan koreksi bikarbonat hanya pada pasien dengan pH
<6.9 dengan pemberian infus 100 mEq NaHCO3 dalam 400 mL
akuades dengan pemberian KCL sebanyak 200 mL/jam selama 2 jam.
Infus diberikan setiap 2 jam sampai pH pasien >6.9 (Westerberg,
2013).
Koreksi bikarbonat yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko
hipokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema serebri,
dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal (Tarigan, 2014).
Bikarbonat umumnya tidak dikoreksi karena asidosis akan membaik
dengan terapi lainnya. Pemberian bikarbonat diasosiasikan dengan
edema serebri terutama pada pasien anak-anak (Hamdy, 2017).

27
Gambar 3.2 Algoritma penatalaksanaan KAD (Westerberg, 2013)

28
I. Komplikasi
Komplikasi KAD yang paling umum adalah hipoglikemia dan
hipokalemia akibat penggunan insulin dan bikarbonat yang berlebihan.
Komplikasi ini biasanya dapat dihindari dengan dosis insulin yang rendah.
Pada fase penyembuhan KAD, pasien umumnya menunjukkan kondisi
hiperkloremia yang biasanya tidak memberikan banyak makna klinis.
Asidosis hiperkloremia muncul akibat hilangnya ketoanion dalam jumlah
banyak yang biasanya dimetabolisme menjadi bikarbonat, dan infusi klorida
dalam jumlah besar selama terapi cairan (Gosmanov et al, 2015).
Komplikasi KAD yang paling parah adalah edema serebral. Edema
serebral terjadi pada 0.5-1% dari semua kasus KAD, dengan persentase
mortalitas 21-24%. Pasien yang berhasil sembuh dari kondisi ini beresiko
tinggi untuk mengalami gangguan neurologis. Edema serebral umumnya
terjadi pada anak-anak, walaupun ada kasus yang dilaporkan pada pasien
dewasa. Faktor resiko yaitu usia muda, diabetes onset baru, durasi gejala
yang lama, asidosis berat, kadar Na rendah, hidrasi cepat, dan adanya cairan
di perut. Gejala adanya edema serebral yang harus segera dievaluasi adalah
(Westerberg, 2013):
5. Nyeri kepala
6. Muntah persisten
7. Hipertensi
8. Bradikardi
9. Letargi
10. Perubahan kondisi neurologis
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak
dapat muncul sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti
penurunan tekanan koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan
kadar cairan pada paru dan penurunan compliance paru. Pasien dengan
KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang
diukur pada awal pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada
paru pada pemeriksaan fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk
menjadi edema paru (Gosmanov et al, 2015).

29
Gambar 3.3 Komplikasi Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Gosmanov
et al, 2015).

J. Prognosis
Prognosis pasien KAD yang segera ditangani baik, terutama pada
pasien usia muda tanpa infeksi yang mendasari. Prognosis yang buruk
biasanya didapatkan pada pasien lanjut usia dengan infeksi berat (mis.
infark miokard, sepsis, atau pneumonia). KAD yang ditangani dengan tepat
jarang menimbulkan efek residu. Dalam 3 dekade terakhir, angka mortalitas
KAD telah turun hingga 7.96-0.67% (Hamdy, 2017).

30
BAB IV
KESIMPULAN

1. Diagnosis kasus ini adalah Ketoasidosis Diabetik (KAD) dengan Infeksi


Saluran Kemih (ISK). Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Ketoasidosis diabetik adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl) disertai tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (Perkeni, 2015). Trias metabolik utama
yang terjadi pada pasien KAD yaitu adanya hiperglikemia, ketosis, dan
asidosis metabolik
3. Penyebab tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pada pasien DM, 40%
penyebab KAD adalah adanya infeksi, 25% akibat pengobatan insulin tidak
teratur, dan 15% akibat diabetes yang baru didiagnosis. Infeksi yang diketahui
paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih (ISK) dan
peneumonia. Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau
infeksi tenggorokan.
4. Pada penatalaksanaan KAD, keberhasilan penatalaksanaan membutuhkan
koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolut, identifikasi
faktor predisposisi komorbid, dan pemantauan pasien secara ketat.
Penatalaksanaan segera terhadap koreksi cairan dan hilangnya elektrolit pada
satu jam pertama perawatan diikuti dengan koreksi hiperglikemi dan asidosis
selalu dianjurkan

31
DAFTAR PUSTAKA

Avichal, D. 2017. Hyperosmolar Hyperglycemic State. Tersedia di:


http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview (diakses 19
Agustus 2017)
BMJ. 2015. Diabetic Ketoacidosis. Tersedia di: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/162/highlights/overview.html (diakses 19 Agustus 2017)
Gosmanov, A.R, Elvira O.G., dan Abbas E.K. 2015. Hyperglycemic Crises:
Diabetic Ketoacidosis (DKA), And Hyperglycemic Hyperosmolar State
(HHS). Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279052/
(diakses 19 Agustus 2017)
Gosmanov, A.R., Elvira, O.G., Erika D. 2014. Management of Adlt Diabetic
Ketoacidosis. Diabetes Metab Syndr Obes. 7(2014): 255-264
Gotera, W., dan Dewa G.A. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD).
J Peny Dalam. 2(2): 126-138
Hamdy, Osama. 2017. Diabetic Ketoacidosis. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/118361-overview (diakses 19
Agustus 2017)
Jameson, J.L. 2013. Diabetes Mellitus dalam Harrison’s Endocrinology 3rd Edition.
Philadelphia: McGraw Hill Edu
Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. 2010. The Management of
Diabetic Ketoacidosis in Adults. Tersedia di:
http://www.diabetes.nhs.uk/document.php?o=1336 (diakses 19 Agustus
2017)
Mumme, L.E. 2015. Diabetic Ketoacidosis: Pathophysiology and Treatment.
Liberty University. 2(1): 1-9
NHS. 2010. The Management of Diabetic Ketoacidosis in Adults. UK: BSPED
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia. Jakrta: Perkeni
Tarigan, T.J. 2014. Ketoasidosis Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 2 Edisi VI. Jakrta: InternaPublishing
Thomas, N., Nitin, K., Jachin V., dan Senthil V.K. 2016. A Practical Guide to
Diabetes Mellitus Seventh Edition. New Delhi: Jaypee Brothers edical
Publishers (P) Ltd
Westerberg, D.P. 2013. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. Am Fam
Physician. 1(87): 337-346

32

Вам также может понравиться