Вы находитесь на странице: 1из 7

Aku dan ibumu telah bercerai dua tahun setelah kau lahir.

Tapi demi Eunji, kami


merahasiakannya. Mungkin ada banyak peristiwa yang aku lewatkan tanpa menoleh ke
belakang seperti apa kehidupan kalian.

Terkadang aku merasa miris melihat ibumu bekerja sekeras itu hingga malam, tapi aku tidak
bisa berbuat banyak. Orang-orang juga menginginkan kami berpisah, bahkan lebih besar dari
keinginan kami yang harus bertengkah setiap kali kau atau kakakmu membutuhkan banyak
biaya. Kami berpikir jika perceraian salah satu solusi terbaik saat itu.

Aku mungkin terlihat sangat jahat, dan aku akui. Tidak ada lasan lagi yang bisa kuutarakan
penyebab kami bertengkar hingga berpisah, Jeongyeon-ah. Aku dan ibumu benar-benar tidak
bisa bersama lagi. Dan jika itu adalah hal yang paling tidak bisa kau terima, aku
memakluminya.

Terkadang sebuah perpisahan jauh lebih baik, aku telah menjalaninya. Namun satu hal yang
sangat aku sesali, seharusnya aku tetap menggeggam tanganmu dan Eunji.

Aku telah melakukan banyak kesalahan pada kalian. Permohonan maaf saja tidak cukup
untuk membayarnya. Ayah sangat mengerti itu.

..

Nayaeon terkena flu berat, menyebabkan hari ini Heechan saja yang menggandeng
tangannya diantara deretan pepohonan yang menyambut musim semi. Dedaunan hijau mulai
bermunculan bersama pucuk bunga kecil yang dalam waktu dekat akan segera bermekaran.

Kapan Heechan boleh memanggilku ayah?

Pertanyaan itu ia utarakan pada Nayeon tempo hari. Sebuah pertanyaan sederhana namun
membutuhkan penyampaian yang tepat. Heechan cukup besar untuk mengerti apa yang ia
dengar. Selama ini hanya ada Yongmin yang ia yakini sebagai ayahnya, tanpa Nayeon
menjelaskan siapa ayah kandungnya. Heechan tidak pernah memprotes karena ia merasa
belum membutuhkan sosok lelaki sebagai panutan.

Namun kini berubah setelah ada Jeongyeon. Lelaki Yoo itu membuka dunia Heechan. Jika
Jeongyeon atau Nayeon tiba-tiba menjelaskan siapa sebenarnya Jeongyeon, mereka tidak
tahu akan seperti apa reaksi Heechan. Apakah bocah itu akan langsung menerimanya tanpa
membantah? Atau justru kebalikannya, mereka berdua harus siap menjelaskan detail
permasalahan. Dan itu terasa sulit.

“ Paman Chaeng mengajaku bersepeda waktu itu.”

Jeongyeon mengerjap kecil, diambilnya daun kecil yang gugur di atas kepala putranya. “ Kau
suka bersepeda?”

Bocah itu mendongak kemudian mengangguk. Tatapannya bisa Jeongyeon baca, ingin suatu
saat nanti merasakan lagi hal yang serupa.
“ Kalau paman ada waktu lagi, kita bersepeda.”

“ Dimana?”

“ Sepanjang sungai Han, bagaimana?”

“ Call!”

Heechan berlari kecil, meninggalkan Jeongyeon dibelakang. Satu jarinya menunjuk pada
puncak pohon berlatar langit biru lepas. Dikatakannya ada sarang burung diatas sana,
memaksa Jeongyeon ikut mendongak. Heechan mengatakan lagi jika disana ada ayah dan ibu
yang menemani anak-anak burung itu. Meskipun mereka tidak bisa melihat apa isi sarang
burung tersebut, tapi Heechan dengan mudah bercerita seperti apa sang induk merawat anak-
anak mereka.

“ Lalu ayahnya akan bergantian menjaga saat ibunya pergi mencari makan.”

Itu kata Heechan saat mereka memutuskan untuk duduk di bangku taman, melanjutkan
dongeng khas anak-anak. Jeongyeon menyukai saat ini, senyum tidak henti ia berikan.
Memiliki Heechan didalam hidupnya tidak akan pernah ia sesali.

“ Bagaimana anak burung tahu kalau yang dipanggil adalah ayahnya atau ibunya?”

“ Mungkin mereka punya bunyi-bunyian sendiri, paman.”

“ Bukankah suaranya terdengar sama?”

“ A-ah!” Heechan menggeleng. “ Mungkin bunyinya saat memanggil ibunya seperti ini...”
Heechan mulai mencicit kecil, suaranya terdengar sangat imut. Lalu ia tampak berpikir,
mencoba suara yang terdengar sedikit berbeda.

Senyum Jeongyeon memudar. Mungkin sekarang saatnya meminta, ia memfokuskan


pandangannya pada wajah Heechan.

“ Kenapa tidak panggil saja-Appa.” Jeongyeon berkata.

“ Appa?”

“ Hem, seperti misalnya kau memanggil paman dengan sebutan, Appa.”

Heechan mengerjap-erjap. Wajahnya seperti anak kecil usil yang menggoda. “ Appa?”
tanyanya, memastikan lelaki dewasa dihadapannya tidak salah mengucap.

“ Ya, seperti itu. Jeongie Appa. Terdengar menyenangkan bukan?”

“ Paman mau jadi ayah Heechan?”

Memandang wajah polos putranya membuat Jeongyeon mau tidak mau teringat seseorang.
Pertanyaan itu kembali padanya, betapa kata ayah sangat berarti jika seseorang memiliki
seorang putra atau putri.
Ayah, appa. Dua kata itu sama artinya. Jeongyeon ingin Heechan memanggilnya dengan
sebutan itu.

“ Hem, paman mau kau memanggilku, appa.”

Semburat merah tercetak di pipi Heechan, semakin terlihat tatkala tertimpa cahaya matahari
pagi. “ Jeongie Appa!” penuh semangat Heechan mengulangnya lagi hingga senyum
Jeongyeon mengembang seperti orang gila.

“ Appa!”

“ Wae?”

“ Kita kesana ya?”

Demi apapun, saat ini Jeongyeon berada diantara perasaan bahagia dan sedih. Sebesar apapun
ia menyingkirkan bayangan sang ayah, namun ketika ia menghadapi Heechan, pria tua itu
selalu hadir.

Seperti saat ini, sebesar apakah seorang Yoo Tae Joon menginginkan dirinya memanggilnya
dengan sebutan ayah? Jeongyeon mulai merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Akankah
ia memaafkan pria itu? Pria yang telah membuatnya terlahir ke dunia ini.

...

Pernikahan Sanna tinggal menghitung hari, Nayeon ikut sibuk dengan persiapan yang bisa
dikatakan sangat merepotkan. Gaun pengiring pengantin berwarna salem telah ia ambil.
Terpajang rapi di deretan gaun yang sengaja ia tata rapi di dalam lemari khusus.

Gaun ini terlihat cantik ditubuhmu, Nayeonie.

Nayeon masih mengingatnya, salah satu gaun pengantin sederhana yang sedikit bertabur
kristal di bagian dada, tapi terlihat elegan dan sederhana. Sang kakak ipar sepertinya sangat
mengerti selera dirinya, tapi yang menjadi pertanyaannya, kapan Nayeon akan memakainya?
Jeongyeon pernah memintanya untuk hidup bersama menjadi keluarga kecil. Namun ia belum
melihat tanda-tanda lelaki Yoo itu menyematkan cincin atau pengikat apapun. Kecuali
Heechan yang memang sudah diklaim sebagai anaknya.

“ Mommy!”

Nayeon merasakan pinggangnya dipeluk, lengan mungil itu mengunci tubuhnya yang sibuk
dengan baju yang telah terlipat rapi. “ Sudah pulang?”

“ Hem, tadi kita berkeliling Mom.”

“ Benarkah?”

Heechan mengangguk, ditariknya lengan sang ibu lalu mendaratkan kecupan kecil di pipi
Nayeon.
“ Mommy sedang flu, nanti kau tertular.”

“ Tidak apa-apa!” Heechan memundurkan wajahnya, tersenyum kecil lalu berlari


meninggalkan sang ibu menuju halaman depan.

Tumben? Nayeon berbenak. Ia tidak melihat Jeongyeon berjalan melewati pindu depan.

“ Heechan.” Panggilnya

“ Disini, Mom!” nayeon melihat sekeliling hingga pandangannya tertuju pada garasi mobil
dimana Jeongyeon tampak sibuk membetulakn sepeda milik putranya.

“ Rupanya kalian disini.”

“ Hem, Appa mengajakku bersepeda minggu depan.”

Appa? Nayeon terkejut, dia tidak salah mendengar kan? .” Bersepeda? Memang paman
Jeongyeon punya sepeda?”

“ Punya kan, appa?”

Appa? Sekali lagi Heechan menyebut panggilan itu? Apa yang telah lelaki itu lakukan pada
putranya? Nayeon melayangkan tatapan pada Jeongyeon yang sempat tersenyum kecil
padanya.

“ Aku punya sepeda. Minggu depan kami akan mengelilingi tepian Sungai Han, kau mau
ikut?”

Nayeon mengalihkan pandangannya, ia mengangguk tanpa melihat ke belakang. Astaga ada


apa denganku? Jangan menangis, Nayeonie? Ia tiba-tiba terharu.

Jeongyeon mengelap sepeda yang telah ia perbaiki, membiarkan Heechan menaikinya. “ Kau
bisa mencobanya, Chanie.”

“ Benarkah?”

Jeongyeon tersenyum tatkala roda sepeda mulai berputar, Heechan sedikit kikuk pada
mulanya. Mungkin karena sepeda itu telah lama tidak ia naiki. “ Chanie, jangan keluar dari
pintu pagar!”

“ Oke, Appa!”

..

Nayeon melihat dari balik jendela, ia masih mendengar bagaimana Heechan meneriakan kata
Appa tanpa beban. Mungkin Nayeon berhak mendapatkan award sebagai ibu paling cengeng
sedunia hanya karena mendengar putranya memanggil Jeongyeon dengan sebutan ayah.

Secepat ia bisa, jemarinya mengusap air mata yang mulai memenuhi pelupuk mata saat
Jeongyeon berdiri memberikan aba-aba pada Heechan. Melihat punggung lelaki itu
membuatnya terharu, ia ingat permasalah besar yang masih mengganjal Jeongyeon tentang
seorang ayah. Lelaki itu bercerita tentang seorang pria yang ingin di panggil ayah olehnya.
Masa lalu ayah Heechan itu benar-benar menyedihkan.

Namun diantara cerita masa lalu Jeongyeon, hanya satu hal yang ia belum tahu. Perihal Narae
yang ternyata masih satu aliran darah dengan Lelaki Yoo itu. Sama-sama keturunan dari Yoo
Tae Joon.

Narae berlari secepat ia bisa saat sang ayah tidak bisa menggerakan tubuhnya. Kini ia hanya
pasrah saat ranjang rumah sakit membawa pria tua satu-satunya yang ia punyai setelah
ibunya wafat itu diharuskan mendiami ruang ICU. Kondisinya yang dinyatakan terkena
stroke, mau tidak mau membuat Narae Khawatir.

“ Ayah harus kuat.” Narae menggenggam tangan pria tua itu. Dielusnya pelansembari berdoa
jika keajaiban akan menghampiri mereka. Ia tidak siap ditinggalkan, sekalipun telah ada
suami dan keluarga kecil mereka, Narae sangat menyayangi sang ayah melebihi siapapun.

Narae mengangguk kecil, didekatkan telinganya pada bibir sang ayah. “ Aku disini, ayah.”

Kedua mata berhias satu buliran air mata itu perlahan tertutup, napasnya terdengar berat.
Dalam kesunyian, bayangan demi bayangan masalalunya berkelebat. Yoo Jeongyeon. Tae
Joon ingin memanggil nama itu, tapi ia tidak bisa.

..

“ Ayah, apa kabar? Eunji sangat merindukan ayah, “ terlihat semburat senyum di wajah Tae
Joon saat Eunji mendatanginya di alam bawah sadar. Perempuan muda itu terlihat manis
dengan pandangan teduh, mata yang sayu sama seperti dirinya. Gaun putih membungkus
tubuh Eunji, tangannya terulur padanya.

“ Ayah harus pulang ya?”

...

Nayeon sengaja memakai hak sepatu cukup tinggi pada sepatunya agar ia tidak kesulitan
membetulkan dari milik Jeongyeon, lelaki itu diam menatapnya. Heechan telah menghilang
setelah jas menempel di tubuhnya, sepertinya ia senang dengan profesi baru yang akan ia
lakukan nati. Menaburkan bungan di sepanjang jalan menuju altar.

Jemarinya menarik dasi hingga terpasang rapi di leher Jeongyeon. Nayeon membeku saat
Jeongyeon mencium bibirnya tiba-tiba, jemarinya mencengkram pada bahu Jeongyeon saat
lelaki itu menggerakan bibirnya lembut.

Ia membiarkan Jeongyeon memeluk pinggangnya.


..

Sanna terlihat menawan tatkala mendekati altar. Tampak Taecyeon berdiri dengan wajah
penuh senyum menunggu pengantinnya datang. Nayeon duduk di deretan bangku depan,
menarik Heechan selepas menaburkan bunga mawar di sepanjang karpet merah.

“ Appa.” Bisiknya pada Jeongyeon. Heechan membuka telapak tangan, meminta Jeongyeong
menciumnya. “ Wangi kan, appa?”

Jeongyeon mengangguk, tidak sadar jika Nayeon memperhatikan interaksi kecil itu sedari
tadi.

“ Bibi Sanna cantik ya, Mom?”

“ Hem” Nayeon merapikan rambut Heechan. Sang putra duduk diantara dirinya dan
Jeongyeon. Satu kali ia melirik, Jeongyeon tampak khidmat menyimak prosesi pernikahan.
Membuat hati Nayeon berdebar, membayangkan seperti apa mereka nanti tatkala berada pada
posisi Sanna dan Taecyeon? Ah, memikirkannya saja membuat Nayeon harus
menghembuskan napas panjang berkali-kali.

“ Appa, nanti seperti paman Taecyeon juga?”

Jeongyeon menunduk. “ iya, seperti itu.” Wajahnya terlihat tidak sedang bercanda. “ Dan
Mommymu akan secantik Bibi Sanna.”

Nayeon mengerjap dalam hati, konsentrasinya terpecah. Inginnya bersorak tapi malu. Ah,
mungkin saat itu akan tiba. Duganya kemudian, disimpannya trapat dalam hati, ia tersenyum.

...

Narae mengusap sudut bibir sang ayah yang masih berada diatas ranjang. Tiga minggu sudah
mereka menghabiskan waktu di rumah sakit. Dokter mengatakan jika stroke yang dialami
telah tertangani dengan cukup baik. Beberapa saraf yang awalnya mati sebisa mungkin
diberikan terapi agar dapat berfungsi kembali.

“ Selimut ini tidak mengganggu kan, ayah?”

Tuan Yoo menggerakan telunjuk kanannya. Bibirnya yang sedikit bergeser membuatnya
masih sulit untuk berbicara. Kadang Narae harus mendekatkan telinganya agar dapat
mendengar apa yang dikatakan ayahnya.

“ Jihan Oppa menghadiri pernikahan temanku.”

Melalui dua matanya yang bergerak, Tuan Yoo mengerti apa yang dikatakan putrinya.

“ Yang menikah itu kakak iparnya Im Nayeon. Ayah ingatperempuan yang kusapa ketika di
Busan? Yang bersama seorang lelaki itu?”

Tuan Yoo menyimak, merasakan bubur memasuki kerongkongannya perlahan.


“ Yang menikah itu istri dari kakak Nona Im yang sudah meninggal. Merekamasih akrab
meskipun tidak terikat.”

Awan berarak di atas sana, Tuan Yoo menyimak cerita putrinya tentang Nayeon.

“ Lelaki itu yang bersamanya, dia calon suaminya. Selama aku mengenalnya, baru kali itu
aku melihat Nona Im menggandeng seorang pria.”

Jeongyeon. Tuan Yoo masih ingat wajah putranya tersebut saat berbincang dengan Narae.

“ Kudengar mereka telah memiliki putra, tapi aku tidak pernah tahu jika Nona Im memiliki
seorang suami. Apa mungkin mereka memiliki putra tanpa pernikahan?”

Tuan Yoo menatap Narae yang masih bercerita. Kau sudah memiliki putra? Cucuku?

“ Mungkin lain kali aku akan menanyakannya.”

...

Jeongyeon membeku saat Jihan bercerita mengapa istrinya tidak hadir di pesta pernikahan
Sanna. Perasaan bersalah perlahan menyusup ke relung hatinya. Ia tidak sanggup sekedar
bertanya bagaimana keadaan pria tua itu sekarang ini. Yang ia dengar, lelaki yang mengaku
ayahnya itu masih dirawat di sebuah rumah sakit karena kondisi yang belum memungkinkan
untuk dibawa pulang, bahkan sempat merasakan dinginnya ruang ICU selama lima belas hari
lamanya.

Separah apa? Stroke? Apa bisa bergerak?

Tidak dipungkiri, Jeongyeon merasa terganggu. Lalu ia memutuskan untuk meninggalkan


Nayeon dan Jihan. Dihampirinya Chaeyoung yang sepertinya berhasil menebak suasana
hatinya.

“ Ada apa, Jeong?”

Jeongyeon menggeleng, mendengus kecil seraya menggigit bibirnya.

“ Apa ada yang harus aku ketahui?” Lagi Chaeyoung bertanya hati-hati.

“ Dia.” Jeongyeon menunduk sebentar. “ Beliau terkena stroke...”

“ Siapa?”

Jeongyeon menatap wajah Chaeyoung. “ Ayahku...”

Вам также может понравиться

  • Hematoma Intracerebral
    Hematoma Intracerebral
    Документ32 страницы
    Hematoma Intracerebral
    array
    Оценок пока нет
  • Dinamika Masy. & Kebudayaan
    Dinamika Masy. & Kebudayaan
    Документ15 страниц
    Dinamika Masy. & Kebudayaan
    Resky Anzar
    Оценок пока нет
  • Pembentukan Sikap
    Pembentukan Sikap
    Документ21 страница
    Pembentukan Sikap
    Dan Ramdhan
    Оценок пока нет
  • Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
    Документ15 страниц
    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
    array
    Оценок пока нет
  • Kelompok 4
    Kelompok 4
    Документ3 страницы
    Kelompok 4
    array
    Оценок пока нет
  • Craving
    Craving
    Документ6 страниц
    Craving
    array
    Оценок пока нет
  • 10
    10
    Документ10 страниц
    10
    array
    Оценок пока нет
  • Epilog
    Epilog
    Документ5 страниц
    Epilog
    array
    Оценок пока нет
  • Tugas Mandiri Dr. A.J. Pandelaki - Andrew Hukom
    Tugas Mandiri Dr. A.J. Pandelaki - Andrew Hukom
    Документ20 страниц
    Tugas Mandiri Dr. A.J. Pandelaki - Andrew Hukom
    Andrew Hukom
    Оценок пока нет
  • 12
    12
    Документ6 страниц
    12
    Andreas Fallent
    Оценок пока нет
  • Jeongyeon Keluar Dari Flatnya
    Jeongyeon Keluar Dari Flatnya
    Документ17 страниц
    Jeongyeon Keluar Dari Flatnya
    array
    Оценок пока нет
  • Coverr
    Coverr
    Документ1 страница
    Coverr
    array
    Оценок пока нет
  • Maldives
    Maldives
    Документ3 страницы
    Maldives
    array
    Оценок пока нет
  • Coverr
    Coverr
    Документ1 страница
    Coverr
    array
    Оценок пока нет
  • Resume Jurnal
    Resume Jurnal
    Документ4 страницы
    Resume Jurnal
    array
    Оценок пока нет