Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
LAPORAN KASUS
Usia : 53 tahun
Alamat : Koja
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
1.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 5 Desember 2017 di ruang IGD RS PMC
Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 1 jam sebelum masuk IGD
1
menjalar ke punggung dan lengan sebelah kiri, hilang timbul tidak menentu dan lebih
sering timbul saat OS kelelahan setelah beraktifitas. Nyeri tidak hilang dengan istirahat
dan berlangsung terus menerus selama lebih dari 20 menit hingga OS datang ke IGD.
Setiap nyeri timbul disertai dengan keringat dingin, mual dan muntah. OS menyangkal
adanya nyeri perut, BAB dan BAK lancar. Tidak terdapat rasa berdebar-debar, dan sesak.
Tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun sebelumnya.
2
1.3 Pemeriksaan Fisik
4 November 2015
1. Tanda vital :
TD berbaring : 160/90 mmHg
Suhu : 36.7oC
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan
fisik
Kepala Normocephal, warna rambut hitam, penyebaran rambut merata, tidak
mudah dicabut
Mata Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)
P Sonor dikedua lapang paru, batas paru kanan-hepar MCL ICS 5, batas paru
kiri-lambung AAL ICS 5
3
Jantung
Ictus cordis tidak terlihat
I
Ictus cordis teraba di ICS 5 midclavicula sinistra.
P Batas jantung kanan linea sternalis dextra ICS 3-5
Batas jantung kiri ICS V 1 jari medial midclavicula sinistra, Pinggang
P
jantung pada ICS 2 Parasternalis sinistra.
Abdomen
datar, tidak tampak buncit, massa (-)
I
BU (+) normal
A supel, nyeri tekan epigastritum (-), hepar dan lien tidak teraba, balotement
P (-), NT suprapubik (-)
Timpani, shifting dullness (-)
P
Kulit Tidak kering, turgor baik, bercak kemerahan (-), decubitus (-), memar dan
bekas luka (-)
Genitalia tidak diperiksa
eksterna
Ekstremitas CRT <3 detik, akral hangat (+/+), edem pitting (-/-),
palmar eritem (-/-)sianosis -/-, clubbing finger -/-,
4
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Flag Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Darah lengkap
Hemoglobin 12.7 g/dL 12~16
Leukosit 11.6 ribu/uL 5~10
Trombosit 251 ribu/uL 150~400
Hematokrit 36.4 % 37.0~47.0
FUNGSI GINJAL
Ureum 51.0 mg/dL 10.0~50.0
Kreatinin 1.0 mg/dL 0.60~1.10
Gula darah sewaktu 103 mg/dL 70~140
CK * 178 U/L <145
5
4. EKG
5 desember 2017
6 desember 2017
6
7 desember 2017
7
8 desember 2017
8
5. X ray
9
1.4 Diagnosis Kerja
- Acute Coronary Syndrome STEMI anterior
1.5 Penatalaksanaan
1.5.1 Medikamentosa
1.5.2 Non-medikamentosa
- Bed Rest
10
Thorax : S1, S2 reg, murmur (-), gallop (-), SN Vesikuler, Rh -/-, Wh-/-
Abdomen : Supel, BU (+), NT (-), Hepatomegali (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedema (-)
A : ACS STEMI Anteroseptal
P : IVFD Asering 6 tpm
Clopidogrel 1x75mg
Amlodipine 1x10mg
Candesartan 1x16 mg
Thromboaspilet 1 x 80 mg
ISDN 3 x 5 mg
Farmasal 1x100 mg
7 Desember 2016
Hari perawatan ke 2
S : Os mengatakan pegal pada lengan dan badan terasa lemas
O : CM TSS
TD : 120/80 mmHg
N : 67x/menit
RR : 20x/menit
S : 36.5 oC
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : napas cuping hidung (-)
Leher : KGB normal, tiroid normal, JVP normal
Thorax : S1, S2 reg, murmur (-), gallop (-), SN Vesikuler, Rh -/-, Wh-/-
Abdomen : Supel, BU (+), NT (-), Hepatomegali (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedema (-)
A : ACS STEMI Anteroseptal
P : IVFD Asering 6 tpm
Clopidogrel 1x75mg
Amlodipine 1x10mg
11
Candesartan 1x16 mg
Thromboaspilet 1 x 80 mg
ISDN 3 x 5 mg
Farmasal 1x100 mg
8 Desember 2016
Hari Perawatan ke 3
S : keluhan (-)
O : CM, TSR
TD : 120/80 mmHg
N : 75x/menit
RR : 20x/menit
S : 36.5 oC
Mata : CA -/-, SI -/-
Hidung : napas cuping hidung (-)
Leher : KGB normal, tiroid normal, JVP normal
Thorax : S1, S2 reg, murmur (-), gallop (-), SN Vesikuler, Rh -/-, Wh-/-
Abdomen : Supel, BU (+), NT (-), Hepatomegali (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedema (-)
A : ACS STEMI Anteroseptal
P : IVFD Asering 6 tpm
Clopidogrel 1x75mg
Amlodipine 1x10mg
Candesartan 1x16 mg
Thromboaspilet 1 x 80 mg
ISDN 3 x 5 mg
Farmasal 1x100 mg
12
1.7 Resume
Pasien Tn. U tahun, 53 tahun, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak dan nyeri
dada mendadak sejak jam 14.00. Nyeri dada dibagian kiri yang dirasakan seperti tertindih, berat
dan menjalar ke atas kepala hingga punggung dan lengan sebelah kiri, sewaktu bekerja dengan
aktivitas berat (mengangkat mesin dengan berat ±10 kg). Nyeri tidak hilang dengan istirahat dan
berlangsung terus menerus selama lebih dari 20 menit hingga OS datang ke IGD pukul 15.00.
OS merasa sesak disertai batuk sedikit berdahak kehijauan dan sakit dibagian tenggorokkan
disertai keringat dingin dan lemas. Pasien rutin meminum kopi 4-5 cangkir kopi/hari. Riwayat
merokok 2-3 bungkus/hari, tidak berolahraga, sering bergadang 3 kali dalam seminggu. OS
mengaku tidak mengetahui riwayat hipertensi dan diabetes pada dirinya.
Pemeriksaan tanda vital, TD 160/90 mmHg, frekuensi nadi 104 x/menit, frekuensi napas
24 x/menit, suhu 360C. Pada pemeriksaan jantung,paru dan abdomen didapatkan hasil yang
normal. Ektremitas didapati sedikit dingin dan tidak terdapat udema. Pada gambaran EKG
terakhir didapatkan irama sinus normal, heart rate 98 x/menit, reguler, aksis normal, ST elevasi
(+) anteroseptal, QT Prolongation(+). Foto toraks terdapat cardiomegali.
1.8 Prognosis
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Jantung berbentuk seperti pir/kerucut seperti piramida terbalik dengan basis (superior-
posterior ICS-II) berada di atas dan apeks ( anterior-inferior ICS –V) berada di bawah. Pada
basis jantung terdapat aorta, batang nadi paru, pembuluh balik atas dan bawah. Jantung sebagai
pusat sistem kardiovaskuler terletak di rongga dada (cavum thoraks) sebelah kiri yang terlindung
oleh costae tepatnya pada mediastinum. Beratnya pada orang dewasa sekitar 250-350 gram.
Jantung difiksasi pada tempatnya agar tidak mudah berpindah tempat. Penyokong jantung utama
adalah paru yang menekan jantung dari samping, diafragma menyokong dari bawah, pembuluh
darah yang keluar masuk dari jantung, sehingga jantung tidak mudah berpindah. Faktor yang
mempengaruhi kedudukan jantung yaitu, umur, bentuk rongga dada, letak diafragma dan
perubahan posisi tubuh
Ruang-ruang jantung
1. Atrium dekstra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula di luar, bagian dalamnya membentuk
krista terminalis.
a. Muara atrium kanan terdiri dari:
a) Vena cava superior
b) Vena cava inferior
c) Sinus koronarius
d) Osteum atrioventrikuler dekstra
b. Sisa fetal atrium kanan: fossa ovalis dan annulus ovalis
2. Ventrikel dekstra: berhubungan dengan atrium kanan melalui osteum atrioventrikel dekstrum
dan dengan traktus pulmonalis melalui osteum pulmonalis. Dinding ventrikel kanan jauh
lebih tebal dari atrium kanan terdiri dari:
a. Valvula triskuspidal
b. Valvula pulmonalis
3. Atrium sinistra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula
14
4. Ventrikel sinistra: Berhubungan dengan atrium sinistra melalui osteum atrioventrikuler
sinistra dan dengan aorta melalui osteum aorta terdiri dari:
a. Valvula mitralis
b. Valvula semilunaris aorta
Vena kava superior dan vena kava inferior mengalirkan darah ke atrium dekstra yang
datang dari seluruh tubuh. Arteri pulmonalis membawa darah dari ventrikel dekstra masuk ke
paru-paru (pulmo). Antara ventrikel sinistra dan arteri pulmonalis terdapat katup vlavula
semilunaris arteri pulmonalis. Vena pulmonalis membawa darah dari paru-paru masuk ke atrium
sinitra. Aorta (pembuluh darah terbesar) membawa darah dari ventrikel sinistra dan aorta
terdapat sebuah katup valvulasemilunaris aorta.
1. Arteri koronaria kanan: berasal dari sinus anterior aorta berjalan kedepan antara trunkus
pulmonalis dan aurikula memberikan cabang-cabang ke atrium dekstra dan ventrikel
kanan.
2. Arteri koronaria kiri: lebih besar dari arteri koronaria dekstra
15
3. Aliran vena jantung: sebagian darah dari dinding jantung mengalir ke atrium kanan
melalui sinus koronarius yang terletak dibagian belakang sulkus atrioventrikularis
merupakan lanjutan dari vena. (3)
1. Sifat ritmisitas / otomatis: secara potensial berkontraksi tanpa adanya rangsangan dari
luar.
2. Mengikuti hukum gagal atau tuntas: impuls dilepas mencapai ambang rangsang otot
jantung maka seluruh jantung akan berkontraksi maksimal.
3. Tidak dapat berkontraksi tetanik.
4. Kekuatan kontraksi dipengaruhi panjang awal otot.
2.3 Definisi
STEMI merupakan sindrom klinis yang didefinisikan sebagai karakteristik gejala
iskemia miokard disertai dengan hasil EKG persisten disertai biomarker jantung yang positif.
Elevasi segmen ST secara diagnostik tanpa disertai adanya left ventricular hyperthrophy (LVH)
ataupun left bundle branch block (LBBB) menurut European Society of
Cardiology/ACCF/AHA/World Heart Federation Task Force for the Universal Defintion of
16
Myocardial Infaction yaitu elevasi segmen ST baru dengan kenaikan J point ≥2 mm (0.2 mV)
pada laki-laki dan ≥1,5 mm (0.15 mV) pada wanita di lead V2-V3 dan atau ≥ 1 mm (0,10 mV)
pada sadapan dada atau sadapan ekstremitas.(2)
3.4 Epidemiologi
Didunia, Penyakit jantung kororner (PJK) adalah penyakit yang paling sering menyebabkan
kematian. Sebanyak 7 juta penduduk dunia meninggal akibat PJK, mencakup 12,8% dari
keseluruhan penyebab kematian. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45
sampai 65 tahun, dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 di tahun ke 4–6.
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013
sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang.(4) Berdasarkan estimasi WHO (2004)
lebih dari 220.000 kematian di Indonesia diakibatkan oleh penyakit jantung iskemik dan
diperkirakan terjadi 105 kematian akibat penyakit jantung iskemik per 100.000 penduduk pada
tahun 2002.(5) Mortalitas dan morbiditas STEMI di Indonesia masih tinggi akibat tingginya
prevalensi diabetes, hipertensi, merokok, serta lamanya durasi keterlambatan antara onset gejala
dengan penanganan pertama karena alasan logistic maupun finansial.(6)
Faktor resiko dari sindom coroner akut dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat
diubah (unmodifiable) dan yang dapat diubah (modifiable). Faktor yang tidak dapat diubah
meliputi (7) ;
1. Usia
Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia.
Namun demikian jarang timbul penyakit serius sebelum umur 40 tahun, sedangkan mulai
usia 40-60 tahun insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat.
2. Jenis kelamin laki-laki
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding perempuan untuk
terkena penyakit jantung koroner. Dengan asumsi faktor esterogen pada wanita yang
mempengaruhi kadar lipid, dengan menurunkan kadar LDL-C, meningkatkan HDL-C
serta trigliserida. Disparitas ini akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, dengan
17
wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu wanita cenderung lebih mendapati PJK
yang lebih kompleks karena pertambahan umur yang lebih tua disertai lebih banyak
faktor komorbiditas
1. Hiperlipidemia (Hiperlipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl dan tinggi
apabila mencapai >160 mg/dl.dan kadar HDL-C rendah (<40 mg/dl)
Resiko aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat teroksidasi dan
menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh darah. Sedangkan kadar kolesterol HDL
yang rendah dapat meningkatkan resiko karena faktor protektif dari HDL yang rendah
seiring dengan kadarnya yang kurang.
2. Hipertensi (Hipertensi dengan hasil >140/90 mmHg atau pada obat antihipertensi)
Peningkatan tekanan darah menjadi resiko independen dalam penyakit jantung coroner.
Framingham menyatakan bahwa terdapat peningkatan resiko dua kali lipat pada orang
dengan tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg dibandingkan dengan orang yang
normotensi.
3. Merokok
Resiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap perhari, bukan pada lama
merokok. Merokok lebih dari satu pak rokok sehari meningkatan resiko dua kali lipat
terhadap penyakit aterosklerosis koroner daripada mereka yang tidak merokok.
4. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan timbulnya
aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos pembuluh darah arteri
koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadaar LDL-C dan kadar
HDL-C yang rendah.
5. Obesitas
Makanan dengan kalori yang tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh, gula dan garan
berperan dalam terjadinya hyperlipidemia dan obesitas yang secara langsung
meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Hal ini diperberat dengan gaya hidup
pasif (sedentary lifestyle) yang berperan dalam resistensi insulin, peningkatan resiko
18
gagal jantung setara dengan hiperlipidemia. Seseorang yang dengan sedentary lifestyle
memiliki resiko 30-50% lebih besar untuk mengalami hipertensi.
6. Hiperhomosisteinemia
Kadar homosistein atau asam amino alamiah tubuh yang tinggi (>15 mmol/L) berkaitan
dengan disfungsi endotel dan gangguan fungsi trombosit serta vasodilator dinding
pembuluh darah. Defisiensi asam folat dan vitamin B6,B12 berperan dalam
hiperhomosisteinemia.
Sindroma koroner akut merupakan bagian dari penyakit jantung kronis yang simptomatik,
sindroma koroner akut dapat dibagi menjadi tiga (9) :
19
Gambar 3. Klasifikasi Sindroma Koroner Akut
2.7 Patogenesis
Aterosklerosis
1. Disfungsi endotel
Disfungsi endotel di awali oleh faktor-faktor yang menyebabkan adanya cedera endotel.
Hiperkolesterolemia diyakini mengganggu fungsi endotel dengan meningkatkan
produksi radikal bebas oksigen, peningkatan tersebut menonaktifkan oksida nitrat yang
berperan sebagai endothelial relaxing factor dan menyebabkan peningkatan permeabilitas
endotel. Apabila terjadi hyperlipidemia kronis, akan terjadi penimbunan lipoprotein
ditempat meningkatnya permeabilitas endotel.(10)
20
2. Pembentukan bercak lemak
3. Ateroma Matur
Pembentukan bercak lemak (fatty streak) akan melepaskan factor pertumbuhan dan
menyebabkan migrasi sel otot polos di lapisan tunika media ke tunika intima. Pada tahap
ini mulai terbentuk pro-trombotic environment atau deposisi fibrin dan aktivasi trombosit
(faktor von willebrand (vWF) dan tissue factor (TF) akibat respons terhadap disfungsi
endotel. Hal ini ditambah dengan adanya proliferasi matriks dan terbentuk ateroma
matur.
Proses terbentuknya ateroma matur disertai dengan pembentukan lapisan fibrosa yang
membatasi lesi dengan lumen pembuluh darah. Adanya campuran sel busa, leukosit,
debris dan lipid bebas akan membentuk inti nekrotik yang dapat mengeras apabila
ditambah dengan adanya penimbunan kalsium di plak fibrosa
21
Perbedaan patogenesis pada unstable angina, NSTEMI dan STEMI (12) ;
2.8 Patofisiologi
Plak aterosklerosis yang ruptur diikuti dengan agregasi platelet dapat menimbulkan
trombus intrakoroner ;
2. Hemostasis primer ; endotel yang terekspose akibat rupture menyebabkan platelet yang
berada disirkulasi beragregasi dan membentuk sumbatan (plug)
22
Gambar 4. Proses Oklusi Pembuluh Darah
Lumen pembuluh darah yang menyempit akibat vasokontriksi di tambah dengan blokade
trombus menyebabkan oklusi dan menghasillkan gangguan aliran pembuluh darah dan
ketidakseimbangan antara persediaan dan kebutuhan oksigen miokard (supply and deman
imbalance). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rupture plak (13) :
Intrinsik (instabiilitas lesi ateroslerotik) : lapisan fibrosa yang tipis akibat proses kimiawi
internal
Physical stressor : peningkatan tekanan darah, heart rate, dan peningkatan kontraksi
ventrikel, dan aktivasi system saraf simpatis akibat emosional stress
Setelah terjadinya oklusi yang diikuti oleh infark atau nekrosis dari miosit yang kekurangan
supply oksigen terjadi konversi metabolisme dari aerob menjadi anaerob ditandai dengan
terganggunya produksi ATP dan disfungsi sistolik akibat kontraksi miosit yang tidak bersamaan,
menyebabkan curah jantung berkurang. Disfungsi diastolic terjadi akibat compliance (gangguan
relaksasi) ventikel yang bekurang peningkatan tekanan pengisian ventrikel saat diastole. Akibat
metabolism anaerob yang meningkat, terjadi penumpukan asam laktat dan penurunan ph darah.
Gangguan pembentukan ATP menyebabkan gangguan fluks natrium, kalium dan kalsium antar
intrasel dan ekstrasel. Peningkatan natrium diintrasel menyebabkan edema selular, peningkatan
kalium di ekstrasel menimbulkan gangguan potensial aksi dan menghasilkan instabilitas elektris
yang dapat menyebabkan aritmia jantung. Sedangkan peningkatan kalsium intrasel menyebabkan
aktivasi lipase dan protease dan memicu nekrosis jaringan.
Perubahan jangkan panjang akibat infark dapat terjadi beberapa hari sampai minggu. Miosit
yang nekrosis akan di resorpsi oleh makrofag dan menyebabkan struktur dari dinding miokard
23
melemah sehingga menimbulkan potensi terjadinya ruptur (myocardial wall rupture). Nekrosis
miosit menghasilkan jaringan parut atau scar tissue dan dalam jangka panjang dapat terjadi
remodeling ventrikel. Kompensasi dari bagian miokard yang tidak nekrosis / peningkatan stress
pada bagian miokard yang lain memicu pembesaran ventrikel.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (EKG) dan
marka jantung.
1. Anamnesis
Angina tipikal
Gambaran angina tipikal adalah rasa tertekan/berat daerah retrosternal yang
menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapularis, bahu atau epigastrium, berlangsung
intermitten atau persisten (>20 menit). Sering disertai dengan diaphoresis, mual/muntah,
nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.
Angina Atipikal
Pria
Diketahui memiliki penyakit aterosklerosis non coroner (penyakir arterial perifer)
Memiliki riwayat pernah mengalami infark miokard, coronary bypass ataupun PCI
(Percutaneous Coronary Intervention)
Memiliki faktor resiko ; hipertensi, merokok, dyslipidemia, diabetes mellitus, riwayat
penyakit jantung coroner dikeluarga, atau klasifikasi resiko menurut NCEP
24
G
a
m
b
a
r
1
0
.
K
Gambar 5. Kriteria NCEP
Nyeri bukan khas iskemia berupa nyeri pleuritik (tajam saat inspirasi atau
respirasi), nyeri abdomen tengah atau bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan 1
jari, nyeri dada akibat pergerakan tubu, nyeri dada dengan durasi beberapa detik, nyeri
dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.
2. EKG
25
Gambar 6. Kriteria Sgarbossa
3. Jika tidak didapatkan elevasi segmen ST, maka kemungkinan dapat berupa NSTEMI /
Angina pektoris tidak stabil, spesifisitas tinggi :
Depresi segmen ST ≥ 0,05 mm di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1mV di sadapan
lainnya.
Elevasi segmen ST yang persisten (<20 menit)
Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV
Sementara lokasi iskemia atau infark dapat di lihat berdasarkan sadapan EKG
26
4. Pemeriksaan marka jantung
Penyebab Tanda
Pada nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T memiliki kadar
yang normal 4-6 jam setelah awitan SKA. Dapat diulang 8-12 jam setelah awitan angina,
jika awitan tidak dapat jelas ditentukan maka pemeriksaan diulang 4-6 jam setelah awitan
SKA.
Angina tipikal
EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk STEMI, depresi ST atau inversi
gelombang T yang diagnostic
Peningkatan marka jantung
27
2.10 Gejala klinis
Gejala klinis pada SKA biasanya diliputi oleh 5 gejala, antara lain
2.11 Tatalaksana
Dengan adanya anamnesis mengenai keluhan pasien, terapi sementara dapat diberikan sebelum
menegakkan diagnosis sindrom koroner akut dengan adanya keluhan angina tipikal sambil
menunggu hasil EKG atau marka jantung . Penilaian ABC (Airway, Breathing Circulation) dan
berikan terapi sementara yang dapat disingkat MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin). Terapi
ini tidak harus diberikan bersamaan semua atau bersamaan.(9)
1. Oksigen diberiksan segera pada pasien dengan saturasi oksigen (SO2) < 95%. Oksigen
dapat diberikan 6 jam pertama tanpa mempertimbangkan hasil SO2
2. Aspirin diberikan dengan dosis 160-320 mg pada semua pasien (tanpa mengetahui
intoleransinya). Uncoated aspirin lebih baik mengingat absorbsi sublingual yang lebih
cepat
3. Anti reseptor ADP : ticagrelor peroral (loading 180 mg, maintenance 90 mg dua kali
sehari, kecuali pasien STEMI yang berencana dilakukan terapi fibrinolitik) atau
clopidogrel peroral (loading 300 mg, maintenance 75 mg perhari). Clopidogrel lebih
disarankan pada pasien degan terapi fibrinolitik.
28
4. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual diberikan pada pasien dengan nyeri dada
yang tidak hilang sesampai di unit gawat darurat. Pemberian dapat diulang sampai
maksimal 3 kali apabila nyeri dada tidak berkurang. Pemberian secara intravena
dilakukan apabila pasien tidak responsif terhadap tiga kali pemberian sublingual. ISDN
(Isosorbit Dinitrat) dapat dipakai sebagai pengganti NTG.
5. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diberikan jika pasien tidak responsif terhadap tiga
kali pemberian NTG.
Anamnesis adanya gejala atipikal lebih dari 20 menit atau gejala yang tidak berkurang
setelah pemberian nitrogliserin disertai perekaman EKG ≤ 10 menit sejak pasien datang dengan
gambaran khas ST elevasi menunjukkan perlunya tindakan segera. Dengan selang waktu (delay)
dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi ≤ 30 menit untuk fibrinolysis dan ≤
90 menit untuk primary PCI (Percutaneous Coronary Intervention) (≤ 60 menit untuk pasien
yang datang dengan onset ≤ 120 menit atau pasien resiko tinggi dengan infark anterior besar).
29
Sementara apabila terdapat rumah sakit yang mempu melakukan PCI, delay yang diharapakan
adalah ≤ 60 menit (door to balloon) antara datangnya pasien sampai PCI dimulai.
Terapi reperfusi pilihan meliputi non farmakologis / PCI (Percutaneous Coronary Intervention)
atau farmakologis / terapi fibrinolitik.
PCI adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibanding fibrinolisis apabila terdapat
fasilitas dan tim yang mampu menangani PCI dalam 120 menit sejak kontak medis pertama.
PCI diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung, akut yang berat, syok kardiogenik.
Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan durasi gejala < 12 jam disertai
dengan elevasi segmen ST persisten atau new LBBB. Terapi reperfusi (sebaiknya PCI)
diindikasikan bila terdapat bukti iskemia yang sedang terjadi, bahkan jika gejala mungkin
telah timbul > 12 jam setelah onset atau bila nyeri dan perubahan EKG terlihat terhambat.
Terapi reperfusi dengan PCI dapat dipertimbangkan pada pasien stabil yang dtang dalam 12-
24 jam sejak awitan gejala. Tidak disarankan untuk melakukan PCI rutin pada arteri yang
tersumbat sepenuhnya lebih dari 24 jam setelah awitan pada pasien stabil tanpa gejala
iskemia (tanpa memandang sudah diberikan fibrinolitik atau belum).
PCI memiliki keuntungan yang berbeda pada tiap pasien, dan merupakan pilihan dengan
benefit terbesar bagi pasien dengan resiko tinggi. Maka itu penilaian faktor resiko untuk
menentukan intervensi memiliki peran penting untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko
tinggi yang terapinya dapat dioptimalkan. TIMI Score for STEMI (Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) score for ST Elevation Myocard Infaction) adalah penilaian
singkat berdasarkan data klinis saat kedatangan pasien pertama kali di rumah sakit. Skor 0-4
termasuk resiko rendah, dan resiko tinggi bila ≥ 5 poin.(14)
30
Gambar 12. TIMI Score for STEMI
31
2. Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik diindikasikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien
tanpa kontraindikasi apabila PCI tidak dapat dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Perlu dipertimbangkan apabila pasien
datang lebih awal <2 jam sejak awitan gejala dengan infark luas dan resiko perdarahan
rendah apabila kontak medis pertama hingga balloon inflation >90 menit. Obat yang
diberikan bersifat spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) yang lebih
disarankan dibanding kurang spefisik terhadap fibrin (streptokinase). Pemberian anti-
platelet (aspirin) dan anti DAP (clopidogrel) diberikan secara bersamaan. Pemberian
antikoagulan disarankan untuk pasien STEMI yang di beri fibrinolitik hingga
revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama pasien di rawat di rumah sakit hingga hari ke
8. Pilihan utama adalah enoksaparin subkutan atau UFH (Unfraction Heparin) secara
bolus iv sesuai berat badan. Untuk pasien yang diberikan streptokinase disarankan untuk
memberikan fondaparinux dalam bolus iv diikutin dengan dosis subkutan dalam 24 jam
selanjutnya. Semua pasien perlu dirujuk ke rumah sakit yang menyediakan PCI setelah
terapi fibrinolitik. Apabila terapi fibrinolitik gagal ( <50% perbaikan segmen ST setelah
60 menit), maka dilakukan PCI rescue. PCI emergency dilakukan apabila terjadi iskemia
rekuren atau bukti bahwa terjadI reokulsi setelah fibrinolisis berhasil.
32
Clopidogrel CPG Penghambat partum
(Loading dose reseptor P2Y12
300-600 mg p.o (Hambat
75 mg/hari p.o Adenosine 5’-
selama 12 Diphosphate
bulan) dengan reseptor
P2Y12 untuk
inisiasi agregasi
trombosit)
Anti Unfractioned Bolus IV 60-7- Mengkatalisis Diathesa
koagulan Heparin U/kgBB (max. anti-thrombin hemorragik
(UFH) 5000 U), lanjut (AT/AT III) dan Hipertensi berat
infus 12-15 menyebabkan Perdarahan
U/kgBB/jam) inaktivasi cerebrovascular
Low- Lovenox thrombin Ulkus aktif pada
molecular- 1 mg/kgBB SC Prolong aPTT gastrointestinal,
weight 20/40/60 mg saluran napas, dan
heparin /0.2/0.4/0.6 mL saluran kemih
(LMWH) Operasi pada system
Fondaparinux Arixtra (2,5 Hambat faktor saraf pusat
mg/sc/hari) Xa indirek Fasilitas
Bivalrudin Bivalrudin Hambat faktor laboratorium yang
Bolus IV 0,1 Xa direk kurang
mg/kgBB Pasien yang tidak
Dilanjutkan kooperatif
infus 0,25 Kehamilan
mg/kgBB/jam
Anti Streptokinase 1,5 juta U Mengaktifkan
trombolitik (Sk) dalam 100 mL plasminogen
Dextrose 5% menjadi plasmin
atau NaCl 0,9% dan
dalam waktu mendegradasi
30-60 menit fibrin
Alteplase Bolus 15 mg
(tPA) Intravena 0,75 /
kgBB selama
30 menit,
dilanjutkan 0,5
mg / kgBB
selama 60
33
menit
Dosis total
tidak melebihi
100 mg
Anti Beta blockers Concor Menurunkan Low output state
ischemic (Bisoprolol) 1.25 mg dan di demand oksigen, Resiko syok
titrasi menurunkan laju kardiogenik (HR
jantung, <60 mmHg, tekanan
kontraktilitas dan darah sistolik < 120
tekanan darah mmHg)
*Kontraindikasi Asma aktif
(tekanan darah PR interval > 0,24
sistolik <90 sec
mmHg, Blokade jantung tipe
bradikardia, 2 atau 3
blockade jantung,
asma, gagal
jantung)
34
2.11.3 Tatalaksana Setelah Penanganan STEMI
1. Berhenti merokok
Menyarankan pasien untuk berhenti merokok, dan menghindari ekspose asap rokok pada
lingkungan sehari-hari
Mengkontrol tekanan darah agar stabil < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg pada
pasien dengan diabetes atau gagal ginjal kronis. Inisasi perubahan gaya hidup sehat pada
semua pasien (pengaturan berat badan dengan aktivitas fisik, hindari konsumsi rokok,
reduksi garam pada diet dan meningkatkan konsumsi buah-buahan). Mulai pemberian
beta blocker dana tau ACE inhibitor bila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau 130/80
pada pasien dengan diabetes atau gagal ginjal kronik, lalu tambahkan thiazide atau yang
lain sesuai kebutuhan.
3. Managemen Lipid
Mengkontrol kadar lipid LDL-C <100 mg/dl dan non HDL-C (kolesterol total – HDL-C)
<130 mg/dl pada pasien dengan trigliserid ≥ 200 mg/dl
Mulai diet dengan mengurangi makanan berlemak. Kolesterol ≤ 200 mg/dl per
hari pada semua pasien
Mulai aktivitas fisik dan pengurangan berat badan
Periksa profil lipid pada pasien saat puasa dalam 24 jam setelah masuk rumah
sakit. Untuk pasien rawat, terapi sebelum pasien pulang harus megikuti :
o Kadar LDL-C harus < 100 mgdl
o Bila kadar LDL-C basal ≥ 100 mg/dl, inisiasi pemberian obat
(atorvastation 10-80 mg/hari)
o Jika kadar trigliserida ≥ 150 mg//dl atau kadar HDL ≤ 40 mg.dl inisiasi
pengaturan berat badan, aktivitas fisik dan berhenti merokok.
35
4. Aktivitas fisik ( 30 menit minimal 5 hari dalam seminggu)
Menyarankan 30-60 menit aktivitas fisik aerobik dengan intensitas sedang setiap hari dan
diselingi dengan peningkatan aktivitas pada kegiatan sehari-hari
Penyesuaian berat badan dengan BMI normal antara, 18,5 – 24,9 kg per m2 dengan
lingkar pinggang untuk wanita < 80 cm dan pria < 90 cm
Mulai aspirin dengan dosis 75-162 mg/ hari pada semua pasien kecuali terdapat
kontraindikasi
Pemberian clopidogrel jangka panjang dengan dosis 75 mg/hari disarankan pada
pasien STEMI, tanpa mempertimbangkan apakah pasien mendapat terapi
fibrinolitik atau tidak
Terapi warfarin diberikan dengan indikasi (fibrilasi atriu, thrombus pada ventrikel
kiri).
7. ACE inhibitor
Pemberian ACE inhibitor di mulai pada pasien dengan LVEF < 40% dan pada pasien
dengan hipertensi, diabetes, atau gagal ginjal kecuali terdapat kontraindikasi
Mulai pemberian ARB pada pasien yang intoleran terhadap ACEI dan pasien dengan
LVEF < 40%.
9. Aldosterone blockers
Mulai pemberian aldosterone blocker pada pasien tanpa disfungsi ginjal atau
hyperkalemia yang sudah mendapat dosis terapeutik dari ACEI dan beta blocker.
36
2.12 Komplikasi
1. Gagal Jantung
Dalam fase akut atau subakut setelah STEMI dapat terjadi disfungsi miokard, apabila terjadi
jejas ataupun obstruksi mikrovaskular terutama di dinding anterior. Hal ini dapat menyebabkan
kegagalan pompa dan berujung pada remodeling, yang dapat menjadi gagal jantung ditandai
dengan tanda-tanda seperti dyspnea, terdapat suara jantung ketiga, ronkhi pulmonal, dilatasi
ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi. Marker jantung berupa BNP (Brain Natriuretic
Peptide) mengindikasikan stress miokardium. Derajat gagal jantung setelah infark dapat dilihat
berdasarkan klasifikasi Killip (1 ; asimptomatik, 2; terdapat ronki basah kasar, distensi vena
jugularis, 3; edema paru, 4; syok kardiogenik)
2. Hipotensi
Jika tekanan darah sistolik menetap <90 mmHg, dapat terjadi karena hipovolemia atau
manifestasi dari iskemia miokard yang menyebabkan gangguan irama. Hipotensi berkelanjutan
dapat menyebabkan urin output berkurang, gangguan akut ginjal.
3. Kongesti Paru
Ditandai dengan adanya dyspnea dengan ronkhi basah paru dibasal. Didapati perbaikan dengan
pemberian diuretic atau vasodilator
4. Syok Kardiogenik
50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% dalam 24 jam. Tanda-tanda syok
kardiogenik seperti, hipotensi, bukti cardiac output rendah (takikardia saat istirahat), perubahan
status metal, olguria, ekstremitas dingin dan kongesti paru.
5. Aritmia
Aritmia dan gangguan konduksi jantung serig ditemukan dalam beberrapa jam pertama setelah
infark miokard. Awitan fibrilasi atrium sebesar 28%, ventrikel takikardia yang tidak belanjut,,
blok AV derajat tinggi 10% (≤30 detak permenit selama ≥5 detik), sinus bradikardi 7% dan henti
sinus sebesar 5% (≥5 detik). Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat merupakan
37
manifestasi klinis akibat iskemia miokard, kegagalan pompa jantung, hipoksia, gangguan
elektrolit (hypokalemia) dan gangguan asam basa.
6.Perikarditis
Gejala pericarditis adalah rasa tajam terkait dengan postur dan pernapasan. Hilang dengan
pemberian aspirin dosis tinggi,parasetamol ataupun kolkhisin. Dapat muncul sebagai re-elevasi
segmen ST biasanya ringan dan progresif
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard dengan ST Elevasi. Dalam: Sudoyono, W.A.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1741-
1742.
2. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary. American
Heart Asscociation [Internet]. 2012 Dec [cited 2015 Aug 19]; 127: 529-555. Availiable
from: http://circ.ahajournals.org/content/127/4/529.full
3. Cambridge Comunication Limited. Anatomi dan Fisiologi : Sistem Pernapasan dan
Kardiovaskular. Jakarta : EGC; 2002. p 29-35.
4. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI [Internet]. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI ; 2015 [cited 2015 August 20]. Available from :
http://www.depkes.go.id/article/print/15021800003/situasi-kesehatan-jantung.html
39
14. Pacheco HG, Mendoza AA, Sangabriel AA, et al. The TIMI risk score for STEMI
predicts in-hospital mortality and adverse events in patients without cardiogenic shock
under-going primary angioplasty. Arch Cardiol Mex [Internet]. 2012;82(1):7-13.
Available from: http://www.revespcardiol.org/contenidos/static/premio_cardio/archivos-
cardiologia-mexico.pdf
15. Campbell-Scherer DL, Green LA. ACC/HA Guideline Update for the Management of
ST-Elevation yocardial Infarction. Am Fam Physician [Internet]. 2009 [updated 2009 Jun
15; cited 2015 Aug 20]; 79(12): 1080-1086.
40