Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai
buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf disejumlah
perpustakaan, dinegara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara – Negara barat
sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan
betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.
Hanya saja, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah
penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka
terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau
naluriah dan kedua karena kecenderungan pada persoalan akademis.
Kecenderungan pertama mengisyaratkan bahwa manusia sesungguhnya
membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani, kesejukan dan kedamaian hati
merupakan salah satu kebutuhan yang ingin mereka penuhi melalui sentuhan spiritual ini.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Barmawie Umarie bahwa setiap rohani manusia
senantiasa rindu untuk kembali ketempat asal, selalu rindu kepada kekasihnya yang
tunggal.
Adapun kecenderungan yang kedua mengisyaratkan bahwa tasawuf memang
menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan. Boleh jadi, dengan kecenderungan yang
kedua ini, kajian tasawuf hanya berfungsi sebagai pengayaan keilmuan ditengah
keilmuan-keilmuan lain yang berkembang di dunia.
Kedua kecenderungan diatas menuntut keharusan adanya pengkajian tasawuf
dalam kemasan yang proposional dan fundamental. Hal ini dimaksudkan agar tasawuf
yang kian banyak menarik peminat itu dapat dipahami dalam kerangka ideologis yang
kuat, disamping untuk memagari tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tulisa ini dapat
diterima jelas dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam islam dalam kemasan
yang dilengkapi dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan tasawuf
itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ?
2. Apa fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia ?
3. Bagaimanakah sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf secara Lighawi dan berdasarkan istilah ?
2. Untuk mengetahui fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia ?
3. Untuk mengetahui sejarah dan kedudukan tasawuf dalam islam ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Secara Lughawi


Secara etimologi kata tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan
“ahlu Siffah”, yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak
berdiam diserambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah
kepada Allah.” 1
Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari “Shafa” kata ini berbentuk Fi’il
Mabni Majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf Ya’ Nisbah, yang berarti
sebagai nama bagi orang – orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-
orang yang menyucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya”
- Pengertian tasawuf berdasarkan istilah
Pengertian tasawuf berdasarkan istilah, telah banyak dirumuskan oleh ahli, yang satu
sama lain berbeda sesuai dengan selera masing-masing :
1. Menurut Asy-Syaikh Abu Al-Qosim Al Junaidi Al –bagh dadi;-tasawuf adalah
kejernihan hubungan bersama Allah SWT. Yang pangkalnya adalah menjauhkan
diri dari dunia 2
 Tasawuf adalah ketika engkau bersama Allah, tanpa ada kaitan apa-apa.3
 Tasawuf islaa bahwa yang hak adalah yang mematikanmu, dan haklah yang
menghidupkanmu.4
2. Menurut Al-Jurairi, Tasawuf adalah memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat
Sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah.
3. Menurut Amir bin Utsman Al-Makki pernah mengatakan bahwa tasawuf adalah
seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
4. Menurut Muhammad Ali Al-Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia yang
timbul pada masa yang mulia dari seorang yang mulia ditengah-tengah kaum yang
mulia.5
5. Menurun Syamnun, tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak
dimiliki sesuatu.
6. Menurut Al-Karakhi, tasawuf adalah mengambil hakikat, dan berputus asa pada
apa yang ada di tangan makhluk.
Dari ungkapan-ungkapan diatas, lebih utama bila kita memperhatikan
kesimpulan yang dibuat oleh Al-Junaedi sebagai berikut :
Tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan
kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instrinsik)
kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan
dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu
1
Rosihan Anwar , Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 9
2
Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 86
3
Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 99
4
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 12
5
Rasihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Hal : 13
hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada
semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan
mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at. 6
Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan
hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran Al-hubb atau
cintah Illahi.7
Tasawuf dipahami sebagai Al-Ma’rifatul Haqq, yakni ilmu tentang hakikat
realitas – realitas intuitif yang terbuka bagi seorang sufi.8
Jadi kalau kita simpulkan dari berbagai pengertian dapat kita ringkas sebagai
berikut, tasawuf adalah usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu,
mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan
antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at
Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridla’an-Nya.

B. Fungsi Tasawuf Dalam Kehidupan Manusia


Tasawuf dari semua aurannya memiliki obsesi kedamaian dan kebahagiaan
spiritual yang abadi oleh karena itu, tasawuf berfungsi sebagai pengendali berbagai
kekuatan yang bersifat merusak keseimbangan daya dan getaran jiwa sehingga ia bebas
dari pengaruh yang datang dariluar hakikat dirinya.
Dalam kehidupan manusia tasawuf berfungsi menjadikan manusia berkepribadian
yang shahih dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas, mereka yang
masuk dalam sebauh tarekat / aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan
untuk hidup sederhana, jujur, istiqhomah, dan tawadhu. Semua itu bisa dilihat diri
Rasulullah SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya,
apalagi dimasa remaja Nabi dikenal sebagai Al-Amin, Shiddiq, Fathannah, Tablight,
Sabar, Tawakal, Zuhud, dan dan termasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang
tak berbahaya atau yang bias diajak kembali pada jalan yang benar.
Dalam menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaa, khususnya dalam hal
pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam
kehidupan sehari-hari diperlukan kehati-hatian yang ketat, sebab tujuan utamanya adalah
menghasilkan generasi islam yang berakhlaqul karimah.
Secara umum fungsi terpenting tasawuf adalah menjadikan mansia betada sedekat
mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila tiga sasaran yang menjadi fungsi dari tasawuf
6
Ahmad, Op. At.Him.96-98
7
Ibrahim Basuni, nas-ah Al Tasawuf Al Islam, Per Al-Ma’arif, Kairo, 1969 ; 17-27
8
A Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke ne-Sufisme, PT. Raja Grafinda Persada, 2002, Hlm 35
yaitu : pertama, tasawuf berfungsi sebagai pembinaan aspek moral, aspek ini meliputi
mewujudkan kestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa
nafsu sehingga menusia konsisten, dan komitmen hanya kepada keluruhan moral. Kedua,
tasawuf yang berfungsi sebagai ma’rifatullah. Ketiga, tasawuf, pengkajian garis hubungan
antara Tuhan dengan makhluk itu. Terdapat tiga simbolisme yaitul; dekat dalam arti
melihat dan merasakan Tuhan sehingga dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia
dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu
dalam iradat Tuhan.

C. Sejarah Perkembangan Tasawuf


Term Tasawuf dikenal secara luas dikawan Islam sejak penghujung abad dua
hijriah,9 sebagai perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang
mengelompok diserambi masjid Madinah dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih
mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan
mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembangan dengan pesatnya. Faseini dapat
disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang
ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejak kehidupan akhirat
sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi, fase
asketisme ini setidaknya sampai pada keasikan duniawi, fase asketime ini setidaknya
smapai pada abad dia hijriah dan memasuki abad tiga hijriah sudah terlihat adanya
peralihan konkrit dari asketisme islam kesufisme, fase ini dapat disebut sebagai fase
kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan Zahid menjadi Sufi, disisi lain,
pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa
yang bersih. Apa itu moral dan bagaimana metode pembinaanya dan perbincangan tentang
masalah teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah
berbagai terori tentang jenjang serta cirri-ciri yang dimiliki seorang sufi (Al-Maqomat)
serta ciri – ciri yang harus dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (Al-Hal). Demikian
juga periode ini sudah mulai berkembangan pembahasan tentang al-ma’rifat serta
perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil
pula para penulis tasawuf, seperti Al-Muhasibi (W 243 H), A;-Kharraj (W 277 H) dan Al-
Junaid (W 297 H), dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan
berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya islam, yakni ilmu tasawuf yang

9
Al-Qusyairi, Op Cit ; 138
tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgan keberagamaan, selama
kurun waktu itu tasawuf berkembang terus kearah yang lebih spesifik, seperti konsep
Intuisi, Al-Kasyf dan Dzauq. 10
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman,
nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga factor, muncul pertama adalah
karena cerak kehidupan uang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh Umat
Islam terutama pada pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang
paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari
kelompok alit dinas penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya
murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etika. 11 Tokoh populer yang
dapat mewakili aliran ini adalah :
1) Hasan Al-Bashri
a) Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar,
adalah seoran Zahid yang sangat mashur dikalangan tabi’in, ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal
10 tahun 110 H (728 H) ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin
Khatab wafat, ia di kabarkan berytemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.12
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurniana akhlak, dan usaha
menyucikan pada sunnah Nabi sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun
mengakui kebesaranya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas Bin malik-
Sahabat nabi yang utama-untuk menanyakan persoalan agama, Anas
memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini,
saya sudah saksikan sendiri (keistimewaanya, tidak ada seorang Tabi’in pun yang
menyerupai sahabat nabi selainnya. 13
Karir pendidikan hasa Al-Bashri dimulai dari Hijaz, ia berguru hamper
kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah,
tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri, puncak
keilmuannya ia peroleh disana. 14
10
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Op Cit, 80-82
11
A. Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002, hlm :
37-38
12
Hamka, Tasawuf : PErkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986, hlm : 76
13
Ibid
14
Umar Farukh, Tarikh Al Fikr Al-A’rabi. Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm 216
b) Ajaran-Ajaran Tasawufnya
Abu Nai’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-
Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan
dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu
mengingat Allah, “Pandangan yang lain tasawufnya yang lain adalah anjuran
kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu
melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larang-Nya. Sya’raniki
pernah berkata “demikia takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka
itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri)15
Lebih jauh lagi, hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf hasan
Al-Bashri seperti ini. 16
7. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa
tentram yang menimbulkan perasaan takut”
8. “Dunia adalah negeri tempat beramal, barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, akan berbahafia dan memperoleh faedah darinya.
Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya terlambat
dengan dunia, ia akan sengasara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang
tidak dapat ditanggungnya”
9. “Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakanya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak
mengulanginya lagi, sesuatu yang fana’ betatapun banyaknya tidak akan
menyamai sesuatu yang baqa’ betapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri
yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”
10. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggalkan mati suaminya.”
11. “Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada diantara dua perasaan takut : takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
12. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya dan
juga takut akan kiamat yuang hendak menagih janjinya”
13. Banyak duka cita didunia memperteguh semangyat amal shaleh”
Berkaitan dengan ajaran tasawuf hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa,
Guru besar filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-
Bashri di dasari oleh rasa takut sik Tugan di dalam neraka. Namun, lanjutnya,

15
Hamka, op Cit, hlm 77
16
Ibid, hlm 77-78
setelahkami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang
mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian
dirinnya yang mendasari tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda nabi
yang berbunyi “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah
dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang
senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.17
Diantara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah
bibir kaum Sufi adalah :
“ Anak adam !
Dirimu, diriku !
Dirimu hanya satu,
Kalau ia binasa, binasalah engkau
Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu
Tiap-tiap nikmat yang buka surge, adalah hina
Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka ada mudah”18

2) Rabi’ah Al-Adawiah
a) Riwayat hidup
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-
Bashriyah Al-Qaisiyah, ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M / 99 H / 717
M disuatu perkampungan dekat Kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada
tahun 185 H / 801 M. ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang
sangat miskin. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakanya Rabi’ah kedua
orantuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana
perang diBashrah, ia dilahirkan penjahat dan dijual kepada Keluarga Atik dari
Suku Qais banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-Qoisiyah atau
Al-‘Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan
karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan
menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. 19

17
Ibid, hlm 79
18
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 100
19
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 119-120
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalan
kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufi’ah, ia menjalani sisa hidupnya hanya
dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya,
ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi, ia hidup dalam kemiskinan
dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya.
Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan”
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi, Rabi’ah menurutnya,
sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi
penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan
yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat
Rabi’ah itu sendiri, menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah
kepada Allah begitu ekstrimnya, kecuali bila ia pernah sedemikian jauh menjalan
dan mencintai kehidupan duniawinya. 20

b) Ajaran Tasawufnya
Dalam perkembanganya mistisisme dalam islam tercatat sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya
merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan
kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus,
ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaa ganti dari Allah. Sikap dan
pandanganya tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya.
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mashur adalah :
“Aku mencitaimu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena dirimu
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya” 21
Ulasan Al-Ghazali tentang Syair Rabi’ah sebagai berikut :
“Mungkin yang dimaksud ole Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah
cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya didunia ini. Sedangkan cinta
kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai yang kedua merupakan cinta yang

20
Badawi, Op Cit, hlm 20-21
21
Abu Bakar Muhammad Al-Kalabzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl At-Tashawwuf, Isa Al Bab Al Halabi, 1960, Hlm
131
paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.
Hal ini seperti disebabkan dalam Hadits Qudsi .
“Bagi hamba-hamba –Ku yang shaleh aku menyiapkan apa yang tidak terlihat
mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit dikalbu manusia” 22

3) Ma’ruf Al-Khaki (W 200H)


Menggunakan konsepsi Al-Syauq sebagai ajaranya 23
Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan
sectarian yang introversiois. Pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas
pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar. Keuda
timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij
dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan politik pada masa
itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dan ketenangan
rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk
menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam
pertentangan politik sikap yang demikian itu melahirkan ajaran uzlah yang dipelopori
24
oleh Suri Al-Saqathi (W 253 H). apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya
kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “Sempalan” satu kelompok umat
yang sengaja mengambil sikap Uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan kritis
terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah
mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam
medan perjuangan duniawi. Ketika didunia yang penuh tipudaya ini sudah kering dari
siraman cinta sesama. Mereka bangun dunia baru, reliatas baru yang penuh dengan
salju cinta. Factor ketiga, Nampaknya adalah karena corak kadifikasi hukum islam dan
perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang
menyebabkan kehilangan moralitasnya, mejadi semcam wahana tiada isi atau
semacam bentuk tanpa jiwa foralitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan
menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana
keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang
kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para Zuhhad
tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu
pergeseran asketisme kesalehan kepada tasawuf. Doktrin Al-Zuhd misalya, yang
tadinya sebagai dorongan untuk meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut
22
Al-Ghazali, Ihya’, ‘Ulum ad Dhin. Musthafa bab Al-Halab, Kairo, 1334, hlm, juid 111
23
R.A. Micho Ison, Cit ; 4
24
Fazlur Rahman, Islam. Tej. Ahsin Muhammad, Bandung, 1984 185
kepada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah
agar selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakal yang tadinya
berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada
pengingkaran kehidupan yang profanistik disatu pihak dan konsep sentral tentang
hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian populer dnegan doktrin Al-Hubb.
Doktrin AL-Hubb adalah tingkat konsep sentral tentang hubungan Ma’rifat yang
berarti mengenal Allah secara langsung melalui pandangan batin. Menurut sebagian
sufi, Ma’rifat Allah adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagiaan
paripurna yang mungkin dicapai oleh manusia didunia ini. Kondisi yang demikian
dapat dicapai hanya sesudah mencitau (Al-Hubb) Allah dengan segenap ekspresinya.
Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dikatakan sebagai
gerakan gnotisisme (ilmu ladunni, Al Ma’rifat) atau baangkali dapat disejajarkan
dengan maniplationist dalam filsafat kelompok ini kemudian mengklaim memiliki
ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang untuk memeiliki
kualitas ilmu yang seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan
bertingkat-tingkat. 25
Pada abad itu juga, tampil Dzu al-nun Al-Mishri (W 246H) nama
lengkapnya Abu Al-Faidz Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran
tinggi Mesir, pada tahun 180 H / 796 M. Julukan Dzu An-nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekaramatanya yang Allah berikan kepadanya. Dalam
perjalanan hidupnya Al-Misri selalu berpindah dari suatu tempat ketempat lain. Ia
pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad,
Mekah, Hijaz, Syiria pegunungan libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini
memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam ia
hidup pada masa munculnya sejumlah utama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu
hadits dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari
mereka, ia pernah mengikuti pengajuan Ahmad bin Hanbal. Gurunya dalam bidang
tasawuf adalah Syaqrah Al-Abd atau Isragil Al-Maghribiy ini memungkinkan baginya
untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf. 26
Al-Misri adalah pelopor paham Ma’rifat penilaian ini sangatlah tepat karena
berdasarkan riwayatkan Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis
Nichason- dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-Sufiah fi Al-Islam, Al Misri berhasil
25
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Hlm ; 38-
40
26
Abd. Al-Mun’in Al Hafani, Al-Mausu’ah Ash-Shuffiyyah, Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992 : hlm 165
memperkenalkan corak baru tentang Ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama ia
membedakan antara Ma’arifat sufiah dengan ma’rifat Aqliyah. Ma’rifat yang pertama
menggunakan pendekatan qaib yang biasa digunakan para sufi, sedangkan Ma’rifat
yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua,
menurut Al-Misir, Ma’rifat merupakah fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga,
teori-teori Ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu
kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat Asy-Syuhud dan
Ittihad iapun dipandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsure falsafah
dalam tasawuf.27
Sejak diterimanya secara luas doktrin Al-Maqomat dan Al-Haj,
perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaan dnegan
kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun ajaran, Disisi lain, sejak periode ini
kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin berat dan sulit, hampir sama halnya
dengan kelahiran kembali seorang manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran
pertama. Karena kalau kelahiran pertama justru menyongsong kehidupan duniawi
yang mengasikkan. Tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan membuang
kehidupan materi yang menyenangkan, untuk kembali kealam rohaniah, pengabdian
dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu, dalam abad tiga ini
juga Abu Yazid Al-Bisthomi (874-947 M) melangkah lebih maju dengan doktrin Al-
Ittiad melalui Al-Fana, yakni beralihnya sifat kemanusiaan seseorang kedalam sifat
Ke-Illahian sehingga terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan. 28
Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir
dari kehidupan spiritual kalau mulaya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan
selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah
menarik lagi pada tingkat penyatuan drii dengan Tuhan, konsep ini berangkat dari
paradigma, bahwa manusia secara niologis adalah jenis makhluk yang mampu
melakukan transformasi atau transendensi melalui Mi’raj spiritual kealam illahiyat,
berbarengan dengan itu, terjadi pula sikap pro dan kontra terhadap konsepsi Al-Ittihad
yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran islam baik
intern terakhir menuduh sufisme sebagai gerakan sempalan yang sesat. 29
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase
ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur diluar islam berakulturasi dnegan

27
Andul Qodir Mahmud, Faisafatu Ash-Shufiyyah fi Al- Islam, 1996 : hlm 306
28
Ibid ; 186
29
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme, Rajawali Pers, Jakartam 2002, hlm 41
tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum
orthodox denan kelompok sufi berpaham Ittijad dipihak lain. 30
Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran itu, maka seklitar akhir abad tiga
hijriyah tampil al-Karraj (W 277 H). bersama Al-Junaidi (yang memiliki nama
lengkap Asy-Syaikh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi adalah guru kelompok ahli
tasawuf secara mutlak dan imam Bilittifaq (menurut kesepakatan semua kelompok
tasawuf) sehingga mnedapat gelar Sayyidut-Tha’ifah Ash-Shufiyyah. Beliau belajar
ilmu kepada pamannya sendiri (adik laku-laki dari ibunya) yang bernama Asy-Syaikh
Sirri As-Siathi (W 253 H / 867 M). ayahnya seorang penjual kaca yang mendapatkan
julukan al Qawariri (sebangsa kaca). Al Junaedi lahir di Negeri Nahawand dan
dibesarkan di Irak. Beliau adalah seorang Ahli fiqih yang memberikan fatwa kepada
masyarakat, mengikuti mafzhab Abu Tsaur, yaitu murid Al-Imam Asy-Syafi’I dan
yang meriwayatkan madzab Asy-Syafi’i Qaul Qadim. Disamping beliau belajar
menjadimurid Sirri As-Siqthi, beliau juga menjadi Asy-Syaikh Al-Harits Al Muhabisi
dan Asy –Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qashshab. Beliau adalah termasuk pembesar
imam – imam kauh shufi dan pemimpin mereka. Perkataanya dapat diterima dalam
semua bahasa. Beliau wafat pada hari sabtu 297 H). menawarkan konsep-konsep
tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah
untuk menjembatani dan atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran
mistik dengan syari’at islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin
Al-Baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas Al-Fana. Hasil keseluruhan
dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan
kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu
lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilannya penulis.
Penulis tasawuf tipologi ini, seperti Al-Sarraj dengan Al-Luma, Al Kalabazi dengan
Al Ta’aruf Li Madzab ahl Al Tasawuf dan Al Qusyairi dengan Al Risalah. 31
Sesudah masanya ketiha tokoh sufi ini, muncul jenis jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu Ibn Masarrah (memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin
Masarrah (269-319 H). ia merupakan salah seorang sufi sekaligus filosoft dari
Andalusia. Ia memberikan pengaruh yang besar terhadap esoteric Mazhab Al
Mariyyah lebih jauh Ibn Hazm mengatakan bahwa Ibn Masarrah memiliki
kecenderungan yang besar terhadap filsafat, sedangkan dalam kacamata Mushthafa
Abdul Raziq, Ibn Masarrah termasuk sufi aliran Ittihadiyyah berbarengan dengan
30
Moch. Djamaluddin Ahmad, dua figure tokoh agung, Pustaka Al-Muhibbin, hlm : 67 - 70
31
Ibid ; 187
masa Ibn Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf filosof. Ia lebih banyak disebut
–sebut sebagai filosof ketimbangan seorang sufi Namun, pandangan pandanganya
tentang filsafat tertutupi oleh kezahidannya. Pada mulanya, Ibn Masarrah merupakan
penganut sejati aliran Mu’tazillah, lalu berpaling pada Madzab neo-Platonisme. Oleh
karena itu, ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani Kuno).32
Gagasan Ibn Masarrah ini, sesudah masa Al-Ghazali dikembangkan oleh Suhrawardi
Al-Maqtul ( W 578 H) dengan doktrin Al –Isyraqiyah atau illuminasi. Gerakan
orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriyah melalui tokoh
monumental Al-Ghazali. Berikut biografi singkat tentang Al-Ghazali.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’lis
Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al Ghazali. Secara singkat dipanggil Al Ghazali atau Abu
Hamid Al-Ghazali. Beliau lahir dikota Thus daerah rasan pada tahun 450 H / 1058 M.
ayahnya wafat sebelum ia baligh. Beliau hidup berdikasi, mula –mula ia belajar ilmu
Khat dari Ayahnya, kemudian setelah ayahnya wafat ia belajar Mabadi. Al-Lughah.
Wa Al-fi’ah di negaranya sendiri kepada Al-Imam Abu Hamid Ahmad bin Muhammad
Ar-Razikani At-Thusi.
Kemudian beliah pergi ke Jurja untuk mengaji kepada Abu Nasr Al-Isma’ili.
Di Jurjan dalam waktu yang tidak lama beliau sudah mampu mengarang Ta’liqah
(Penjabaran) tentang ilmu-ilmu yang diperoleh dari gurunya. Setelah itu beliau
kembali ke Thus negeri kelahirannya guna mendalami ilmu-ilmunya selama 3 tahun. 33
Kemudian beliau pergi ke Naisabur mengaji kepada Al-Imam Khilaf. Ilmu
Jadal, Ilmu Ushuluddin, Ushul Fiqh , Ilmu Mantiq, Ilmu Hikmah dan filsafat
kesemuannya dikuasai secara mendalam hanya selama dua tahun. Memang imam Al-
Ghazali orang yang sangat cerdas, tepat pendapatnya, sangat luas pandanganya, dan
sangat kuat hafalannya dan pandai mendalami ilmu yang rumit, sehingga imam
Haramain memberinya julukan Bahr Mughriq (lautan yang menenggelamkan) Al-
Ghazali wafat pada tahun 503 H.
Al-Ghazali berupaya mengikis semua jaran tasawuf yang tidak islami,
sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapatkan tempat
yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat islam cara yang ditempuhnya
untuk menyelesaikan pertikaian itu. Adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik
berasal dari orang yang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, sebab

32
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al islami bain Ad Din Wa Al-Falsasfahm dar Al –Nahdhah Al Arabiyyah, hlm 123-
124
33
Moch. Dhamaluddin Ahmad, dua figure tokog Agung, Pustaka Al Muhibbin, hlm 14-15
dalam kenyataanya, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki,
tetapi kesatuan simbiolistik. 34
Pendekatan yang dilakukan oleh Al-Ghazali, nampaknya bagi satu pihak
memberikan jaminan untukmempertahankan prinsip, bahwa Allah dan alam ciptaan
Nya adalah dua hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di
pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untukmemasuki pengalaman-
pengalaman kesufian puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini
menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau
memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu
tasawuf sunni dan tasawuf filsafati. Sebab, ternyata pada akhirnya intisari pengalaman
kesufian yang menuru Al-Ghazali tidak mungkin diungkapkan, menerobos juga keluar
lewat konsep-konsep Ibn Arabi (W 638 H). Tetapi corak Ma’rifat yang diajarkan Sufi
kelahiran Murcia ini tidak sama dengan konsep Ma’rifat yang sebelumnya. Ia bukan
saja mengungkapkan kesatuan dirinya dengan Tuhan seperti halnya Abu Yazid Al-
Busthomi dan Al-Hallaj, tetapi ia memberikan satu pemikiran yang hamper
menyerupai filsafat. Ia menjelaskan hubungan antara fenomena lama semester yang
pluralistic dengan tuhan sebagai. Prinsip keesaan yang melandasinya. Bertolak dari
pendapat para sufi, bahwa yang ada mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa ala
mini sebagai penampakan (Mazhohir) dari nama dan sifat Allah, yang sebenarnya
adalah esensi-Nya keterbatasan. 35
Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul Wujud
berkembang pula kemana-mana. Pada abad tujuh hijriyah, ajaran ini berkembang di
Mesi melalui sufi penyair Ibn Al Faridh (W 633 H) dan Ibn Saba’in (W 669 H) di
Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair jalaludin rumi (W 672 H). seperti
dinyatakan oleh dengan inti ajaran ma’rifat, menurut ajaran ini Tuhan sebagai esensi
mutlak-yang menurut Al-Ghazali dapat dikenal tidak mungkin dikenal oleh siapapun,
walau oleh Nabi sekalipun menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai Dzat Mutlak hanya bisa
dikenal melalui nama dan Sifat-Sifat-Nya, yakni melalui penampakan lahir dari esensi
Dzat-Nya, yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan
dalam konsep bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali didunia islam dalam
tulisan Ibn Arabi. 36

34
Al-Ghazali, Al – Munqidz min al-Dhalal, 1316 H ; 76
35
Ibn. Arabi, Futurat Al Makiyah, Vol. I, 1977 ; 90
36
Ibrahim Basuni, Op, Cit : 115
Dari uraian ringkas ini terlihat bahwa lima ciri atau karakteristik tasawuf
yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara utuh pada satu fase
dan disemua kawasan barangkali kemunculan tasawuf yang hamper utuh dengan
kelima cirinya itu hanyalah pada abad tiga Hijriyah, pada periode tasawuf meningkat
menjadi ilmu tentang moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung
sampai abad ketujuh hijriyah , sebab sejak abad delapan, nampaknya tasawuf mulai
mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini tidak ada lagi
konsep-konsep tasawuf yang baru, yang tertinggal hanyalah sekedar komentar-
komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama disisi lain, para pengikut
tasawuf sudah lebih cenderung kepada penakanan perhatian terhadap berbagai bentuk
ritus dan formalisme yang tidak terdapat dalam substansi ajaran. Kemandikan tasawuf
sebagai ilmu moralitas, nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti
dunia pemikiran islam pada masa itu perkembangan tasawuf selanjutnya sudah
berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih menonjolkan perkembangan
pada aspek ritus dan pengalamanya, bukan pada aspek subtansi ajarannya. Namun
bagaimanapun tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam
cara-cara tertentu yang mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim Al-Jilli
(W 832 H) dalam bukunya Al-Insan Al Kamil yang cukup popular, ternyata ajaranya
sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu. Demikian pula dengan konsep-
konsep tasawuf di Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam tasawuf Al Raruri adalah
pemaduan antara tasawuf Al-Ghazali dengan Al Fansyuri, atau antara paham kesatuan
wujud dengan transentalisme. Hal ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya,
karena memang ia bersifat dinamik bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat,
bahwa tidak setiap orang yang mengerti tasawuf disebut sufi, karena seseorang tidak
mungkin dapat mengetahui bahwa ia benar-benar memahami dan merasakan ap ayang
dilihat dan dirasakan oleh sufi dalam mi’raj Spiritualnya. Menjadi seorang sufi berarti
menjadikan ajaran itu sebagai penggerak hidupnya. It is to become and not to learn
second hand. Manusia sempurna adalah idola Sufi, manusia yang telah dapat
melepaskan ke – aku – an – nya sehingga ia adalah cermin yang merefleksikan setiap
aspek realitas Absolut. 37
 Dasar – dasar Tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diteruskan oleh para sahabat selama periode makiyah, kesadaran
37
Rivay Siregar, tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sufisme, rajawali per, hlm : 45-46
spiritual Rasulullah SAW. Adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik
yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an surat An Najm : 11
-13, surat At Takwir, 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas
dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsip dalam tasawuf, para sufi
merujuk kepada Al-Qur’an sebagai landasan utama karena manusia memiliki sifat
baik dan sifat jahat, sebagaimana dinyatakan 38 “ Allah mengilhami (jiwa manusia)
kejahatan dan kebaikan : maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang
jelek dan pengembangan sifat-sifat yang baik. Dalam tasawuf dikonsepkan untuk
penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa itu melalui dua tahap, yakni pembersihan
jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut takhalli. Tahap awal dimulai dari
pengendalian dan penguasaan hawa nafsu. Sesuai dengan firman Allah “
...sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi oleh Tuhanmu …”39 “ dan Adapaun orang-orang yang takut pada kebesaran
tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.”
Sedangkan tasawuf memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam ajaran pokok
dalam tasawuf adalah konsel Al-Hubb dan Ma’rifat yang merupakan perintah
Allah melalui firman-Nya : “kami lebih dekat kepada manusia dari pada urat
lehernya sendiri” 40

38
Al-Qur’an, Surat Al-Syams ; 8
39
Al-Qur’an, Surat Yusuf, 53
40
Al-Qur’an, Surat Al-Qaff ; 16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian tasawuf secara lughawi adalah Ahlu Suffah yang berarti sekelompok
orang imasa Rasulullah yang hidupnya hanya berdiam diserambi-serambi masjid, dan
mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan pengertian
tasawuf berdasarkan istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah
dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.
Fungsi tasawuf dalam kehidupan manusia adalah menjadikan manusia berada
sedekat mungkin dengan Allah dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.
Perkembangan tasawuf mengalami kejayaan yaitu pada abad ke-3 hijriah dengan
munculnya tokoh monumental Al-Ghazali, tetapi ketika memasuki abad ke-8 tasawuf
mengalami kemunduran karena tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : “Pustaka Setia”
Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NCO. Sufisme. Jakarta : Rajawali
Pers
Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-Muhibbin
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo : Tiga Serangkai
Qoyyinm Al Jauziyah, Ibn dan Haris bin Asad Al-Muhasibi. 1990. Tasawuf Murni. Surabaya :
Al-Ihsan
Abdul Khaliq, Dr. Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zhahir. 2001
Abdirrahman Al-Sulami, Abu. 2007. Tasawuf. Jakarta : Erlangga
AL-Ghazali. 1961. Ihya’ Ulum Ad-Din, Dar Tsawafah Islamiyah, Kairo. Mesir
Umari, Barmawi. 1966. Systematika Tasawuf , Solo : Penerbit Siti Syamsiyah
Hamka. 1986. Tasawuf : Perkembangan dan pemurniannya Jakarta : Pustaka Panjimas
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan Bintang
Al-Hafani, Abd. Al-Munin, 1992. Al Mausu’ah Ash-Shufiyah. Kairo. Dar Ar-Rasyad
Mahmud, Abdul Qodir. 1966. Falsasafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam. Kairo : Dar Al-Fikr Al-
Arab

Вам также может понравиться