Вы находитесь на странице: 1из 7

Fisika Quantum — Penemuan yang Melumpuhkan

Materialisme Secara Ilmiah

Model quantum alam semesta merupakan upaya untuk membersihkan


[teori] Big Bang dari implikasi kreasionisnya. Para pendukung model ini
mendasarkannya pada observasi fisika quantum (sub-atom). Dalam
fisika quantum, partikel-partikel sub-atom teramati timbul dan lenyap
secara spontan dalam kevakuman. Menafsirkan observasi ini—bahwa
materi dapat bermula dari level quantum, bahwa ini adalah atribut
materi—sebagian fisikawan berusaha menjelaskan kemulaan/kelahiran
materi dari ketiadaan, pada saat terciptanya alam semesta, sebagai
atribut materi dan menyajikannya sebagai bagian hukum alam. Dalam
model ini, alam semesta kita ditafsirkan sebagai partikel sub-atom di
dalam [partikel sub-atom] yang lebih besar.

Namun silogisme ini sudah tentu mustahil dan biar bagaimanapun tak
mampu menjelaskan bagaimana alam semesta mewujud. William Lane
Craig, penulis The Big Bang: Theism and Atheism, menjelaskan
alasannya:
Kevakuman mekanis quantum yang melahirkan
partikel-partikel materil jauh sekali dari gagasan
“kevakuman” (artinya kenihilan) standar. Malah,
kevakuman quantum adalah lautan partikel yang
terus-menerus terbentuk dan larut. Partikel-partikel
itu meminjam energi dari kevakuman untuk
eksistensi singkat mereka. Ini bukan “nihil”, dan
karenanya, partikel materil tidak mewujud dari nihil.
[1]
Jadi dalam fisika quantum, materi tidak eksis ketika sebelumnya ia
tidak ada. Yang terjadi adalah, energi sekitar mendadak menjadi materi
dan mendadak lenyap menjadi energi lagi. Pendek kata, tak ada syarat
eksistensi dari kenihilan sebagaimana diklaim.

Menurut Isaac Newton, cahaya merupakan aliran zat yang dikenal


sebagai corpuscle. Landasan fisika tradisional Newtonian—yang diakui
hingga ditemukannya fisika quantum—adalah bahwa cahaya terdiri
dari kumpulan partikel. Namun, James Clerk Maxwell, fisikawan abad
19, menyatakan cahaya memperagakan aksi gelombang. Teori
quantum mendamaikan perdebatan terhebat dalam fisika ini.
Pada 1905, Albert Einstein mengklaim cahaya mempunyai quantum,
atau paket energi kecil. Paket-paket ini diberi nama foton. Walaupun
digambarkan sebagai partikel, foton teramati berperilaku dalam gerak
gelombang yang dikemukakan oleh Maxwell pada 1860-an. Karenanya,
cahaya adalah fenomena transisional antara gelombang dan
partikel [2]—keadaan yang menampakkan kontradiksi besar bila
mengacu pada fisika Newtonian.
Tak lama setelah Einstein, Max Planck (fisikawan Jerman) menyelidiki
cahaya dan mencengangkan seluruh dunia sains dengan menetapkan
bahwa cahaya adalah gelombang dan partikel. Menurut ide ini, yang
dia usulkan dengan nama teori quantum, energi tersebar dalam bentuk
paket-paket terputus dan diskret, bukannya lurus dan konstan.

Dalam sebuah peristiwa quantum, cahaya memperagakan atribut mirip


partikel dan mirip gelombang. Partikel yang dikenal sebagai foton
ditemani oleh sebuah gelombang di ruang. Dengan kata lain, cahaya
bergerak menelusuri ruang seperti gelombang, tapi berperilaku
sebagai partikel aktif ketika menjumpai rintangan. Dalam ungkapan
lain, ia mengadopsi bentuk energi sampai menjumpai rintangan, yang
seketika itu ia mengemban bentuk partikel, seolah tersusun dari
benda-benda materil kecil mirip butiran pasir.

Pasca Planck, teori ini kian diperluas oleh para ilmuwan semisal Albert
Einstein, Niels Bohr, Louis de Broglie, Erwin Schrödinger, Werner
Heisenberg, Paul Adrian Maurice Dirac, dan Wolfgang Pauli. Masing-
masing dianugerahi Hadiah Nobel atas temuan mereka.

Berkenaan dengan penemuan baru sifat cahaya ini, Amit Goswami


berkata begini:

Ketika cahaya dipandang sebagai gelombang, ia


mampu berada di dua (atau lebih) tempat pada
waktu bersamaan, seperti saat menembus celah-
celah payung dan menghasilkan pola difraksi;
namun ketika kita menangkapnya pada film
fotografis, ia tampil secara diskret, titik demi titik,
seperti sorot partikel. Jadi, pasti cahaya merupakan
gelombang sekaligus partikel. Paradoks, bukan?
Yang jadi taruhan adalah salah satu benteng fisika
lama: ketidakambiguan deskripsi secara bahasa.
Yang juga dipertaruhkan adalah gagasan
objektivitas: apakah sifat cahaya—apa itu cahaya—
tergantung pada cara kita mengamatinya?[3]
Para ilmuwan tak lagi percaya bahwa materi terdiri dari partikel-
partikel mati dan sembarang. Fisika quantum tak memiliki signifikansi
materialis, sebab terdapat benda-benda non-materil di intisari materi.
Sementara Einstein, Philipp Lenard, dan Arthur Holly Compton
menyelidiki struktur partikel cahaya, Louis de Broglie mulai
memperhatikan struktur gelombangnya.

Temuan de Broglie sangat luar biasa: dalam risetnya, dia mengamati


bahwa partikel-partikel sub-atom juga menampakkan atribut mirip
gelombang. Partikel semisal elektron dan proton juga mempunyai
panjang gelombang. Dengan kata lain, di dalam atom—yang
dideskripsikan sebagai materi absolut oleh paham materialisme—
terdapat gelombang-gelombang energi non-materil, berlawanan
dengan keyakinan materialis. Seperti cahaya, partikel-partikel kecil di
dalam atom ini sesekali berperilaku layaknya gelombang, dan
memperagakan atribut partikel pada kali lain. Berlawanan dengan
ekspektasi materialis, materi absolut pada atom dapat dideteksi di
waktu-waktu tertentu, tapi menghilang di waktu lain.

Temuan besar ini menunjukkan bahwa apa yang kita kira sebagai dunia
riil ternyata adalah bayangan. Materi telah menyimpang sepenuhnya
dari alam fisika menuju metafisika.[4]
Fisikawan Richard Feynman melukiskan fakta menarik perihal partikel
sub-atom dan cahaya ini:

Kini kita tahu bagaimana elektron dan cahaya


berperilaku. Tapi bagaimana saya menyebutnya?
Jika saya bilang mereka berperilaku seperti partikel,
berarti saya memberikan kesan yang salah;
begitupun jika saya bilang mereka berperilaku
seperti gelombang. Mereka berperilaku dengan cara
yang tak dapat ditiru, yang secara teknis boleh
disebut cara mekanis quantum. Mereka berperilaku
dengan cara yang tak pernah Anda saksikan… Atom
tidak berperilaku seperti beban yang bergantung
pada pegas lalu terombang-ambing. Tidak pula
seperti representasi mini tata surya dengan planet-
planet kecil mengorbit. Tidak pula seperti awan atau
kabut yang melingkungi nukleus. Ia berperilaku
dengan cara yang belum pernah Anda saksikan.
Sekurangnya ada satu penyederhanaan. Dalam hal
ini, elektron berperilaku persis seperti foton; mereka
berdua ganjil, tapi dengan cara yang sama persis.
Oleh karenanya, untuk memahami bagaimana
mereka berperilaku, kita butuh banyak imajinasi,
sebab kita akan mendeskripsikan sesuatu yang
berbeda dari apapun yang kita ketahui… Tak ada
yang tahu bagaimana bisa seperti itu.[5]
Kesimpulannya, para fisikawan quantum menyatakan dunia objektif
adalah ilusi.[6] Profesor Hans-Peter Dürr, kepala Max Planck Institute of
Physics, meringkas fakta ini:
Apapun itu materi, ia tidak terbuat dari materi.[7]
Semua fisikawan ternama 1920-an, mulai dari Paul Dirac hingga Niles
Bohr, Albert Einstein hingga Werner Heisenberg, berupaya menjelaskan
hasil-hasil eksperimen quantum ini. Pada akhirnya, sekelompok
fisikawan dalam Konferensi Fisika Solvay Kelima yang diadakan di
Brussels pada 1927—Bohr, Max Born, Paul Dirac, Werner Heisenberg,
dan Wolfgang Pauli—mencapai kesepakatan yang dikenal sebagai
Interpretasi Kopenhagen Mekanika Quantum. Nama ini diambil dari
tempat kerja pemimpin kelompok, Bohr, yang menyatakan bahwa
realitas fisikal yang diusulkan oleh teori quantum adalah informasi
yang kita miliki menyangkut sebuah sistem dan estimasi yang kita buat
berdasarkan informasi tersebut. Dalam pandangannya, taksiran-
taksiran yang dibuat dalam otak kita ini tak ada kaitannya dengan
realitas luar.

Pendek kata, dunia internal kita tak ada kaitannya dengan dunia riil
luar yang menjadi pokok perhatian utama fisikawan sejak zaman
Aristoteles sampai hari ini. Fisikawan membuang ide lama mereka
terhadap pandangan ini dan bersepakat bahwa pemahaman quantum
cuma melambangkan kebertahuankita akan sistem fisikal. Dunia
materil yang kita rasakan hanya eksis sebagai informasi dalam otak
kita. Dengan kata lain, kita tak pernah bisa memperoleh pengalaman
materi secara langsung di dunia luar.
Jeffrey M. Schwartz, ilmuwan syaraf dan profesor psikiater dari
Universitas California, melukiskan kesimpulan yang timbul dari
Interpretasi Kopenhagen ini [8]:
Sebagaimana diungkapkan oleh John Archibald, “Tak
ada fenomena sebelum teramati.”[9]
Ringkasnya, semua penafsiran konvensional milik mekanika quantum
bergantung pada eksistensi entitas penanggap.[10]
Amit Goswami memperluas pandangan ini:

Umpamanya kita bertanya, “Apakah bulan ada


ketika kita tidak sedang menatapnya?” Bila bulan
adalah objek quantum (tersusun seluruhnya dari
objek-objek quantum), kita harus bilang tidak ada—
demikian kata fisikawan David Mermin…
Mungkin asumsi paling penting, dan paling
berbahaya, yang kita serap di masa kecil adalah
asumsi tentang dunia materil objek-objek yang eksis
di luar sana—independen dari subjek, yaitu
pengamat. Terdapat bukti tak langsung yang
mendukung asumsi demikian. Kapanpun kita
memandang bulan, contohnya, kita temukan bulan
di tempat yang kita duga, di lintasan yang sudah
dihitung secara klasik. Wajar saja kita
memproyeksikan bulan senantiasa di ruang-waktu
sana, meskipun kita tidak menoleh ke sana. Fisika
quantum bilang tidak. Saat kita tidak sedang
memandangnya, gelombang kemungkinan
(possibility wave) bulan menyebar, walaupun
dengan besaran amat kecil. Ketika kita
memandangnya, gelombangnya seketika kolaps;
dengan begitu gelombangnya tidak berada di ruang-
waktu. Jadi lebih masuk akal untuk mengadaptasi
asumsi metafisik idealis: tak ada objek di ruang-
waktu tanpa subjek sadar yang mengamatinya.[11]
Ini, tentu saja, berlaku pada dunia perseptual kita. Eksistensi Bulan
adalah nyata di dunia luar. Tapi ketika kita menatapnya, yang kita
jumpai sebetulnya adalah persepsi kita sendiri tentang Bulan.

Jaffrey M. Schwartz memasukkan baris berikut, berkenaan dengan


fakta yang didemonstrasikan fisika quantum, ke dalam bukunya, The
Mind and the Brain:
Peran pengamatan dalam fisika quantum tak boleh
ditekankan terlalu kuat. Dalam fisika klasik [fisika
Newtonian], sistem-sistem yang teramati
mempunyai eksistensi yang independen dari pikiran
yang mengamati dan menyelidikinya. Namun,
dalam fisika quantum, hanya dengan tindakan
pengamatanlah kuantitas fisik jadi punya nilai
aktual.[12]
Schwartz juga merangkum pandangan berbagai fisikawan:

Sebagaimana ditulis oleh Jacob Bronowski


dalam The Ascent of Man,
“Satu sasaran ilmu-ilmu eksakta adalah untuk
memberi gambaran dunia materil yang tepat. Satu
pencapaian fisika abad 20 adalah membuktikan
sasaran tersebut tak dapat diraih.” …Heisenberg
menyatakan bahwa konsep realitas objektif “dengan
demikian telah menguap”. Menulis di tahun 1958,
dia mengakui “hukum alam yang kita rumuskan
secara matematis dalam teori quantum tak lagi
berurusan dengan partikel itu sendiri tapi dengan
pengetahuan kita akan partikel unsur.” “Adalah
keliru,” ujar Bohr suatu kali, “jika beranggapan
bahwa tugas fisika adalah untuk mencaritahu
bagaimana keadaan alam. Fisika mengurusi apa
yang bisa kita katakan tentang alam.”[13]
Fred Alan Wolf, salah seorang fisikawan tamu dalam film
dokumenter What the Bleep Do We Know?, melukiskan fakta yang
sama:
Yang menyusun benda bukan benda-benda lain lagi.
Melainkan ide, konsep, informasi… [14]
Menyusul eksperimen mengagumkan dan sensitif yang dapat
dirancang oleh pikiran manusia selama 80 tahun ini, sekarang tak ada
pandangan yang bertentangan dengan fisika quantum, yang telah
dibuktikan secara tegas dan ilmiah. Tak ada keberatan yang dapat
dilontarkan terhadap kesimpulan-kesimpulan eksperimen. Teori
quantum telah diuji dalam ratusan cara yang ditemukan oleh ilmuwan.
Ia telah membawakan Hadiah Nobel untuk sejumlah ilmuwan, dan
masih terus demikian.

Materi, konsep fisika Newtonian paling fundamental dan pernah


dianggap sebagai kebenaran mutlak, telah dihapuskan. Kaum
materialis, para pendukung keyakinan lama bahwa materi adalah blok
penyusun eksistensi yang tunggal dan definitif, betul-betul
dibingungkan oleh fakta kurangnya materi dalam fisika quantum.
Mereka kini harus menjelaskan semua hukum fisika dalam ranah
metafisika. Goncangan terhadap kaum materialis di awal abad 20 jauh
melampaui apa yang dapat diekspresikan dalam tulisan ini. Tapi
fisikawan quantum Bryce DeWitt dan Neill Graham melukiskannya:

Tak ada perkembangan sains modern yang


dampaknya lebih mendalam terhadap pemikiran
manusia dibanding kedatangan teori quantum.
Diperas dari pola-pola pemikiran yang usianya
berabad-abad, fisikawan dari generasi lalu terpaksa
merangkul metafisika baru. Kesengsaraan yang
ditimbulkan oleh orientasi ulang ini terus berlanjut
hingga sekarang. Pada dasarnya fisikawan
menderita kehilangan hebat: pegangan pada
realitas.[15]
Kesimpulannya, kebenaran yang disingkap oleh sains adalah ini: materi
dan waktu diciptakan oleh pemilik kekuatan amat besar yang berdiri
sendiri, oleh Sang Pencipta, Allah.

Вам также может понравиться