Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TUBERKULOSIS PARU
Disusun oleh:
Annisa Rahmadhania
1102013038
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT dan
shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas referat ini. Referat ini disusun dalam
rangka sebagai syarat untuk mengikuti ujian, selain itu agar pembaca dapat
memperdalam dan memperluas ilmu tentang Tuberkulosis Paru yang disajikan
berdasarkan berbagai sumber pustaka.
Makalah ini memuat tentang Tuberkulosis Paru. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada dosen pembimbing saya yaitu dr. Dewi, Sp.P yang telah memberikan
bimbingan tentang cara menyusun referat dan mengajari banyak ilmu-ilmu di
bidang Ilmu Penyakit Dalam, terutama Pulmonologi.
Semoga hasil makalah ini, dapat bermanfaat dan memberikan wawasan yang luas
kepada pembaca. Penulis telah berupaya maksimal, namun pasti masih banyak
kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar,
sehingga masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan,
sandang dan pangan yang buruk
3. Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat
pendidikan yang rendah, pendapatan perkapita yang masih rendah yang berakibat
pada kerentanan masyarakat terhadap Tuberkulosis
4. Kegagalan program Tuberkulosis saat ini, hal ini diakibatkan oleh:
Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
Tidak memadainya organisasi pelayanan Tuberkulosis (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya)
Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG
Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat
Belum adanya system jaminan kesehatan yang bias mencakup masyarakat luas
secara merata
5. Perubahan demografis karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa mempengaruhi tetap tingginya beban
Tuberkulosis seperti gizi buruk, merokok, diabetes
7. Dampak pandemik HIV. Pandemik HIV/AIDS di dunia akan menambah
permasalahan Tuberkulosis. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan resiko
kejadian Tuberkulosis secara signifikan
8. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman Tuberkulosis terhadap obat anti
Tuberkulosis semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadiya
epidemi Tuberkulosis yang sulit ditangani (Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014)
5
2.1.4 Patogenesis dan Penularan Tuberkulosis
Kuman Penyebab Tuberkulosis
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. Tuberculosis, M.
Africanum, M.bovis, M.leprae yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa
menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium
Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakkan diagnosis
dan pengobatan Tuberkulosis. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu
melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana
diagnosis ideal untuk Tuberkulosis (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014)
Secara umum sifat kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron
2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa
4. Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan di
bawah mikroskop
5. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4◦C sampai minus 70◦C
6. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
7. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam beberapa menit
8. Dalam dahak pada suhu antara 30 - 37◦C akan mati dalam waktu lebih kurang
1 minggu
9. Kuman dapat bersifat dormant (tidur/tidak berkembang).
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
7
Tabel 1. Perjalanan Alamiah TB
8
Gambar 2. Patofisiologi dari Tuberkulosis
Gejala Klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik (PDPI, 2011).
1. Gejala Respiratorik
• Batuk ≥ 2 minggu
• Batuk darah
• Sesak napas
• Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar (PDPI,
2011).
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
9
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2011).
2. Gejala Sistemik
• Demam
• Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
(PDPI, 2011)
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum (PDPI, 2011).
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan (PDPI,
2011).
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak.Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess” (PDPI, 2011).
Pemeriksaan dahak
A. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupadahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS):
10
S (sewaktu)
Dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke
fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk
menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi)
Dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu)
Dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
B. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
Pasien TB ekstra paru.
Pasien TB anak.
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
2014).
11
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif):
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan
dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga
2) dan tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
(PDPI,2011)
12
Catatan
Garis putus-putus = bila terdapat fasilitas
Bila terdapat riwayat OAT sebelumnya, selain melakukan pemeriksaan sputum
mikroskopos BTA juga dilakukan pemeriksaan biakan sputum M.Tb/ identifikasi kuman
dan uji kepekaan obat
Gambar 3. Algoritma Diagnosis Tuberkulosis
(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2013)
13
Gambar 4. Algoritma Diagnosis Tuberkulosis
(Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
14
pengambilan keputusan panduan pengobatan pasien dengan resistensi obat. Untuk
memperluas terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, KemenkesRI telah
menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) di
seluruh provinsi (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2. Prinsip Pengobatan TB
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut dari kuman TB
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
3. Tahapan Pengobatan TB
Pengobatan TB harus meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan
maksud:
1. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
15
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu.
2. Tahap Lanjutan
Pengobatan lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
16
Tabel 3. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa
Catatan:
Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan
berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500mg/hari.
Beberapa buku rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10mg/kg/BB/hari
Panduan OAT Kategori-1 dan Kategori 2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
17
Gambar 5. Algoritma pengobatan TB paru pada dewasa
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti
mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuj paket obat kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
18
6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya
1. Kategori-1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
19
Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1ml=250mg)
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalkan
kanamisin) dan golongan kuinilon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risioko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
20
2.1.7 Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis
1. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negative bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu
contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.
Hasil daripemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasilkemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai obat tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak
mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang
dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negative,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
21
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak
teratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).
Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT
tahap lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap
positif, lakukan pemeriksaan ujia kepekaan obat.
Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan ujia kepekaan obat,
lanjutkan pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada bulan
kea 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5).
Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2):
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila
tidakteratur, diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat
teratur
Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR
Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau
dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT
tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa dahak
kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5)
3) Pada bulan ke 5 atau lebih
Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan
sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasil positif, pengobatan
dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB
MDR
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori
1), pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab
belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, berikan pengobatan paduan OAT kategori 2
dari awal
22
Pada pasien Tb dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan
dengan paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus
diupayakan semaksimal mungkin agarbisa dilakukan pemeriksaan uji
kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila oleh
karena suatu sebab belum bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau
dirujuk ke RS Pusta TB MDR, berikan penjelasan, pengetahuan dan
selalu dipantau kepatuhannya terhdap upaya PPI (Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi).
(Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
23
2. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
24
3. Hasil Pengobatan Pasien TB
Tabel 10. Hasil Pengobatan Tuberkulosis
25
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat
panduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara
terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI.
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai
dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal
4) Pasien TB dengan kelainan hati
a. Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan klinik
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutmya mengalami penyembuhan.
Sebaiknya dirujuk ke fasyanjes rujukan untuk penatalaksanaan
spesialistik
b. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT
yang biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis
Pembawa virus hepatitis
Riwayat penyakit hepatitis akut
Saat ini masih sebagai pecandu alcohol
Reaksi hepatotoksik terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien
dengan kondisi tersebut diatas
c. Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan.
Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3x normal sebelum memulai
pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
26
9 HRE
1 obat yang hepatotoksik
2 / 10 HEHES
Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongfan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensinya sangat
lemah).
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal
ginjal atau gangguan fungsi ginjal yang bearat: 2 HRZE/4HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan
perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi
melalui ginjal. Dosis pemberian 3x/minggu bagi Z: 25mg/kgBB dan E: 15
mg/kgBB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu
diberikan tambahan Piridoksin (vit.B6) untuk mencegah neuropati perifer.
Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang
digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x/minggu dengan maksimum dosis 1 gr
untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau.
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB
khusunya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko
untuk mengalami efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan
fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam
penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan.
Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis
dapat dilihat pada table dibawah ini:
Tabel 11. Acuan peanilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronis
27
Tabel 12. Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan
penyakit ginjal kronis
28
getah bening dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah
e. Hipersensitivitas berat terhadap OAT
f. IRIS (Immune Response Inflammatory Syndrome)
29
Tabel 13. Efek samping ringan OAT
30
DAFTAR PUSTAKA
5. Sudoyo,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi III hal 2230-2239.
Jakarta: Interna Publishing
31
PR
1. Tatalaksana pada pasien drug induced hepatis?
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced
hepatis)
Penatalaksanaan
Bila klinik (+) : ikterik, gejala mual, muntah → OAT Stop
Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin >2 → OAT Stop
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologi sehingga dicurigai lesi aktif
32
kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
Tb paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian
pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif
e. Kasus gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
Adalah penderita dengan hasil BTA negative gambaran radiologi positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologi ulang
hasilnya perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negative dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologi serial menunjukkan gambaran pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan
gambaran radiologi
(Konsensus TB)
33
satu atau lebih kriteria terduga/suspek di bawah ini:
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan
4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT
(Konsensus TB)
34