Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
NPM : 1102013056
1. Pelembab Kulit
Lotion dan krim merupakan bentuk sediaan produk perawatan yang dapat
dioleskan di permukaan kulit . Perbedaan keduanya terletak pada kandungan fase air, fase
minyak, dan emulsifier, yang kemudian menyebabkan perbedaan viskositas lotion dan
krim (Midkiff, 2004). Jika dibandingkan dengan krim, lotion mengandung lebih sedikit
emulsifier (2–4%) dan lebih banyak fase air (80%). Sementara itu, krim mengandung
lebih banyak emulsifier (6–8%) dan lebih sedikit fase air (60–70%). Kandungan fase
minyak yang terlalu tinggi justru dapat membuat kulit terasa lengket dan menutup pori-
pori kulit. Oleh karena itu, kebanyakan pelembab memiliki sediaan berbentuk lotion.
Humektan adalah bahan larut dalam air dengan kemampuan yang sangat baik dalam
menyerap air. Humektan dapat menarik air dari lingkungan untuk membantu hidrasi
kulit. Namun disisi lain, dapat menarik air dari lapisan dalam epidermis dan dermis saat
kelembaban lingkungan sangat rendah dan justru menyebabkan kulit kering. Karena
alasan inilah, humektan baik dikombinasikan dengan bahan-bahan oklusi
3. Jenis Lotion Pelembab Kulit
Tidak hanya kulit kering, tetapi semua jenis kulit membutuhkan kelembaban
tertentu untuk menjaga kesehatan kulit. Jenis pelembab yang dipakai setiap orang
berbeda-beda, tergantung pada jenis kulit orang tersebut (Mayo Clinic, 2014). Kulit
normal, yaitu kulit yang tidak terlalu kering ataupun berminyak, sebaiknya menggunakan
pelembab berbasis air yang ringan dan tidak lengket. Kulit kering sebaiknya
menggunakan pelembab berbasis minyak, karena jenis pelembab ini dapat lebih menjaga
kelembaban kulit. Kulit berminyak, walaupun cenderung lebih terhidrasi, sebaiknya tetap
menggunakan pelembab berbasis air setelah menggunakan produk perawatan yang dapat
mengurangi produksi minyak berlebih di kulit. Sementara itu, jenis kulit sensitif
sebaiknya menggunakan pelembab berbasis minyak yang mengandung bahan yang
menyejukkan dan tidak menimbulkan efek alergi.
Berdasarkan penjelasan di atas, lotion pelembab kulit dapat dibuat dalam bentuk
emulsi O/W dan W/O, tergantung pada jenis kulit yang akan dilembabkan (Pander,
2009). Lotion yang berbasis minyak tidak berarti mengandung lebih banyak fase minyak
daripada fase air, tetapi lotion dibuat dengan emulsifier yang dapat mendispersikan fase
air dalam fase minyak (W/O). Sementara itu, lotion yang berbasis air dibuat dengan
emulsifier yang dapat mendispersikan fase minyak dalam fase air (O/W).
Kelebihan lotion berbasis minyak adalah bentuk sediaan ini lebih tahan terhadap
kontaminasi oleh mikroba dan jamur (Midkiff, 2004; Williams dan Schmitt, 2013).
Kebanyakan mikroba dan jamur berkembang subur di media air. Pada lotion berbasis
minyak terbentuk suatu lapisan tipis emulsifier di permukaan fase air, yang mana lapisan
ini dapat mencegah akses langsung mikroba pada air.
Suatu lotion pelembab kulit memiliki bahan-bahan utama berupa zat penghalang
(barrier), zat humektan, zat emolien, zat pengemulsi, zat pengawet, parfum, dan zat
pewarna (Barber, 2012). Zat penghalang adalah senyawa yang dapat menghalangi
penguapan air dari pori-pori kulit. Zat humektan adalah senyawa yang dapat mengikat
uap air dari lingkungan. Zat emolien adalah senyawa yang dapat melembutkan dan
menhidrasi kulit. Zat pengemulsi adalah senyawa yang dapat menstabilkan fase air dan
fase minyak di emulsi serta memberikan volume pada emulsi (thicken). Zat pengawet,
parfum, dan pewarna merupakan senyawa-senyawa tambahan untuk meningkatkan
ketahanan dan daya tarik lotion pelembab kulit. Berdasarkan metode pembuatan lotion
pelembab kulit, bahan- bahan penyusun sediaan dapat diklasifikasikan ke dalam lima
bagian, yaitu basis air, basis minyak, emulsifier dan thickener, pengawet, dan aditif (Jane,
2012; Barker, 2014). Berikut merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai kelima bagian
tersebut:
1. Basis air Campuran dari berbagai senyawa terlarut dalam air yang terdapat di lotion
pelembab kulit disebut dengan basis air (Barber, 2012; Barker, 2014). Basis air terdiri
atas ekstrak simplisia herbal yang diperoleh melalui proses infundasi. Ekstrak herbal
tersebut terutama mempunyai efek melembabkan kulit. Beberapa contoh ekstrak herbal
yang diperoleh dari proses infundasi adalah air lidah buaya, air mentimum, dan air
pepaya. Komposisi basis air di lotion pelembab kulit adalah sebanyak 80% massa bahan
baku (Midkiff, 2004; Jane, 2012; Barker, 2014).
2. Basis minyakCampuran dari berbagai senyawa terlarut dalam minyak yang terdapat di
lotion pelembab kulit disebut dengan basis minyak (Barber, 2012; Barker, 2014). Basis
minyak terdiri atas berbagai minyak hasil ekstraksi herbal (herb oil) yang terutama
mempunyai efek melembabkan kulit. Beberapa contoh herb oil yang dapat digunakan
adalah apricot kernel oil, avocado oil, castor oil, coconut oil, grapeseed oil, olive oil, rice
bran oil, dan sunflower oil (Barclay- Nichols, 2009). Komposisi basis minyak di lotion
pelembab kulit adalah sebanyak 13–15% massa bahan baku (Midkiff, 2004; Jane, 2012;
Barker, 2014).
3. Emulsifier dan thickenerEmulsifier dibutuhkan untuk menstabilkan lotion pelembab
kulit, sehingga fase air dan fase minyak tidak saling berpisah. Emulsifier yang dapat
digunakan pada lotion berbasis minyak (emulsi W/O) harus memiliki nilai HLB yang
rendah, seperti sorbitan stearat (HLB 4,7), poligliseril oleat (HLB 5,0), lesitin (HLB 4,0),
sorbitan monooleat, gliseril monooleat, lanolin, dan lanolin alkohol. Karena menstabilkan
emulsi W/O cukup susah, maka dapat digunakan dua jenis emulsifier (Klein, 2003).
4. Thickener merupakan senyawa yang berfungsi untuk mengembangkan emulsi yang
terbentuk pada lotion pelembab kulit. Jenis thickener yang dapat digunakan pada emulsi
W/O adalah senyawa berbasis lilin dan senyawa lainnya yang dapat larut dalam fase
minyak (Klein, 2003). Komposisi emulsifier dan thickener di lotion pelembab kulit
adalah sebanyak 2 dan 4% massa bahan baku (Midkiff, 2004; Jane, 2012; Barker, 2014).
5. Pengawet baik alamiah ataupun kimiawi, berfungsi untuk mencegah pertumbuhan
mikroba dan jamur pada lotion pelembab kulit (Williams dan Schmitt, 2013). Semua
sediaan kosmetik, khususnya yang berbahan dasar herbal, sangat rentan tercemar oleh
mikroba dan jamur. Oleh karena itu, lotion pelembab kulit berbahan dasar herbal sangat
membutuhkan pengawet untuk menjaga higienitas sediaan. Beberapa jenis pengawet
alamiah, seperti campuran ekstrak jeruk dan serai, ekstrak tea tree, ekstrak lemon, dan
ekstrak biji anggur, dapat digunakan untuk mengawetkan lotion pelembab kulit (Barber,
2012). Namun, pengawet alamiah hanya dapat mencegah pertumbuhan jenis mikroba dan
jamur tertentu, serta efek pengawetannya tidak terlalu signifikan. Beberapa jenis
pengawet kimiawi, seperti germall plus dan natrium benzoat, telah
dinyatakan aman oleh FDA untuk digunakan sebagai pengawet sediaan kosmetik.
Komposisi pengawet di lotion pelembab kulit adalah sebanyak 0,1–0,5% massa bahan
baku (Barker, 2014).
6. Aditif yang digunakan pada lotion pelembab kulit meliputi
pewarna dan parfum (Midkiff, 2004; Barker, 2014). Kedua jenis aditif ini hanya berperan
untuk menambah estetika dan daya tarik sediaan. Tanpa penambahan pewarna, lotion
pelembab kulit umumnya berwarna putih keabuan. Parfum dapat menimbulkan sensasi
harum di badan ketika lotion pelembab kulit dioleskan di permukaan kulit. Oleh karena
itu, parfum pada lotion pelembab kulit biasanya berupa aroma buah dan bunga.
Komposisi pewarna di lotion pelembab kulit adalah sebanyak 1,25 mL per 500 gram
bahan baku, sedangkan komposisi parfum di lotion pelembab kulit adalah sebanyak 2,5
mL per 500 gram bahan baku (Barker, 2014).
7. Aditif lain yang dapat ditambahkan ke lotion pelembab kulit adalah vitamin. Karena
kandungan vitamin di esktrak herbal tidak terlalu banyak, aditif vitamin dapat
meningkatkan konsentrasi vitamin di sediaan lotion pelembab kulit. Untuk meningkatkan
konsentrasi vitamin E, yang berperan baik sebagai emolien, komposisi vitamin E di lotion
pelembab kulit adalah sebanyak 2,5 mL per 100 gram bahan baku.
Bukti-bukti ilmiah paling kuat yang menunjukkan bahwa abnormalitas struktural primer
berperan dalam patogenesis dermatitis atopic, berasal dari hubungan antara mutasi hilangnya
fungsi pada gen yang mengode filament aggregating protein 3 (filaggrin, FLG) dan dermatitis
atopik. Sekitar 70% keluarga Eropa utara dengan dermatitis atopic, memiliki satu atau lebih dari
20 mutasi berbeda pada FLG. Enam di antaranya kasus terbanyak di Eropa.
FLG merupakan komponen utama dari granula keratohyalin berwarna biru gelap, yang terletak
di bagian luar lapisan epidermis nucleated (sel granular). Berdasarkan hal ini, penurunan ekspresi
FLG menyebabkan kekurangan granula keratohyalin, suatu penada ichthyosis vulgaris (IV), yang
memperlihatkan mutasi dengan spektrum yang sama dengan dermatitis atopik, walau tanpa
peradangan.
Didapatkan adanya hubungan mutasi genetik dengan ekspresi FLG, dan hubungan ini bergantung
pada besarnya mutasi genetik. Pasien heterozigot ([mutasi] alel tunggal) menunjukkan hilangnya
ekspresi FLG, dengan suatu fenotip ringan. Sementara pasien dengan mutasi FLG homozigot dan
heterozigot (alel ganda), memperlihatkan peningkatan kecenderungan berkembangnya dermatitis
atopik yang lebih berat dan lebih persisten. Yang terpenting, penurunan ekspresi FLG epidermal
umum, terjadi tidak hanya pada dermatitis atopik tapi juga pada pasien dengan rhinitis alergika
dan/atau asma (tanpa dermatitis atopik). Hal ini menunjukkan bahwa abnormalitas barrier kulit,
mendukung berkembangnya penyakit atopik dalam spektrum penuh.
Walau defisiensi FLG memicu abnormalitas pada permeabilitas barrier, seberapa besar pengaruh
hilangnya FLG (protein intraseluler) menyebabkan abnormalitas pada permeabilitas barrier
(kelainan ekstraseluler), masih belum jelas. Selama transisi mendadak dari lapisan sel granular
pada korneosit, FLG secara proteolitik didegradasi menjadi asam amino. Lebih lanjut,
mengalami deaminasi menjadi asam polikarbonik yang sangat asam, yang secara kolektif disebut
natural moisturizing factor (NMF).
Bahkan, penurunan produksi FLG dapat menyebabkan peningkatan keasaman SC. Cukup untuk
meningkatkan aktivitas multiple SP pada stratum corneum. Keasaman seperti ini menginduksi
peningkatan aktivitas SP, yang jika berkepanjangan dapat mempercepat kerusakan struktur
barrier kulit, dan menyebabkan gangguan fungsi barrier kulit. Kondisi ini memudahkan
terjadinya kolonisasi oleh mikroba patogenik seperti S. aureus.