Вы находитесь на странице: 1из 22

KEJANG DEMAM

Oleh:
dr. Putu Amanda Yoga

Pembimbing:
dr. Ni Ketut Wenny Christiyanti

PUSKESMAS BANJAR I
BULELENG - BALI
2017
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang disebabkan oleh
demam atau peningkatan suhu tubuh >38 derajat Celsius pada pengukuran per
rektal akibat proses ekstrakranial. 2-4% anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun
mengalami kejang demam. Di antara anak dengan kejang demam tersebut, 70-
75% hanya mengalami kejang demam simpleks sementara 20-25% lainnya
mengalami kejang demam kompleks. Sekitar 5% di antaranya mengalami
kejang demam simptomatik.1

2. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 derajat Celsius akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal sebanyak 10% - 15%. Akibatnya, kebutuhan
oksigen tubuh akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun,
sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15 %. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, sehingga dalam waktu
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik
yang besar ini dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel di sekitarnya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadilah
kejang.2

Kejang sendiri merupakan manifestasi paroksismal dari komponen elektrik di


korteks otak. Kejang terjadi ketika adanya ketidakseimbangan rangsang
eksitatorik dan inhibitorik pada neuron kortikal akibat eksitasi yang mendadak.

Penurunan inhibisi pada kejang dapat didasari oleh tiga mekanisme:


 Gangguan inhibisi GABA-A
 Gangguan inhibisi GABA-B
 Gangguan aktivasi neuron GABA
GABA merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak yang
berikatan secara primer pada dua jenis reseptor: GABA-A dan GABA-B.
Reseptor GABA-A biasanya berpasangan dengan kanal klorida (anion negatif)
dan merupakan satu dari target utama yang dimodulasi oleh obat antikonvulsan
yang saat ini banyak digunakan.

Perubahan pada kanal klorida akan meningkatkan permeabilitas membran dan


daya konduksi ion klorida yang berujung pada hiperpolarisasi akibat sumasi
EPSP yang diinuksi oleh aktivasi input eksitatorik. EPSP merupakan metode
utama komunikasi antar neuron beserta pelepasan asam amino eksitatorik
glutamat dari elemen presinaptik. Tiga reseptor utama yang memediasi efek
glutamat pada neuron postsinaptik antara lai N-metil-D-asam aspartat
(NMDA), alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid
(AMPA)/kainate, dan metabotropik.

Obat-obatan yang bekerja opada reseptor GABA-A antara lain benzodiazepin,


barbiturat, atau topiramat. Benzodiazepin bekerja dengan meningkatkan
frekuensi pembukaan kanal klorida sementara barbiturat meningkatkan durasi
pembukaan kanal. Topimarat juga meningkatkan frekuensi bukaan kanal
namun berikatan dengan situs yang berbeda dari benzodiazepin.

Kejang demam terjadi pada anak dalam masa perkembangan ketika ambang
kejang lebih rendah. Ini adalah masa-masa di mana anak akan sangat rentan
terhadap infeksi masa kanak-kanak seperti infeksi saluran napas, otitis media,
serta sindroma viral. Studi pada binatang menunjukkan bahwa kemungkinan
terdapat peran pirogen endogen seperti interleukin 1-beta yang meningkatkan
eksitabilitas neuron, sehingga dapat meningkatkan demam dan aktivitas kejang.
Studi awal yang dilakukan pada anak mendukung hipotesis aktivitas jaringan
sitokin dan dapat pula berperan dalam pathogenesis kejang demam.2
Kebanyakan kejang demam didasari oleh infeksi virus. Studi-studi terbaru
menujukkan adanya virus herpes simplex manusia yang merupakan etiologi
roseola pada 20% dari kelompok pasien yang mengalami kejang demam
pertama. Gastroenteritis Shigella juga seringkali dihubungkan dengan kejang
demam. Terdapat pula studi yang menghubungkan kejang demam berulang
dengan influenza A.

Kejang demam biasanya terjadi dalam satu keluarga. Dalam keluarga dengan
salah satu anak yang pernah mengalami kejang demam terdapat risiko kejang
demam sebesar 10% pada saudaranya yang lain dan hampir 50% dari semua
saudaranya jika orang tua memiliki riwayat kejang demam.

Sejumlah gen telah dikaitkan dengan kerentanan terhadap kejang demam,


termasuk gen pengkode kanal natrium, reseptor GABA-A, dan interleukin.
Selain itu interaksi antar sjeumlah gen juga dapat berkontribusi terhadap
terjadinya kejang demam ini dengan mekanisme yang lebih kompleks.

Peningkatan suhu otak sendiri mempengaruhi banyak fungsi neuron termasuk


sejumlah kanal ion sensitif temperatur. Hal ini akan mempengaruhi picuan
neuron dan kemungkinan timbulnya aktivitas neuronal yang masih di saat
bersamaan seperti kejang. Terlebih lagi, hipertermia yang dipicu oleh
pengobatan berlebihan atau mandi air terlalu panas juga seringkali menjadi
penyebab kejang pada anak-anak, hal ini mendukung bahwa peningkatan
temperatur otak termasuk dalam proses inflamasi yang memicu sekresi sitokin.
Demam dan hipertermia memiliki mekanisme yang serupa dalam memicu
kejang.

Tabel 1
Kemungkinan mekanisme kejang demam. Sumber:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2698702/

Pirogen pemicu demam, interleukin -1β yang berkontribusi terhadap


terbentuknya demam, kemudian demam berujung pada sintesis sitokin ini di
hipokampus. Interleukin -1β juga telah terbukti meningkatkan eksitabilitas
neuron, bekerja lewat glutamat dan GABA. Secara in vivo, aksi interleukin-1β
merangsang aksi agen-agen yang memicu kejang. Untuk mendukung hal ini,
dilakukan sebuah studi pada tikus yang kekurangan reseptor sitokin. Pada
tikus-tikus ini dibutuhkan suhu yang jauh lebih tinggi untuk memicu kejang
demam dan interleukin-1β memicu kejang secara langsung pada tikus dan
mencit muda ketika diberikan langsung ke otak. Sebagai tambahan,
penggunaan lipopolisakardia (LPS), sebuah toksin bakterial, untuk memicu
peningkatan interleukin-1β endogen pada tikus merendahkan ambang terhadap
asam kainic. Pemberian LPS dengan asam kainic dosis rendah akan
menimbulkan kejang.2

Demam akibat etiologi spesifik seperti HHV-6 dapat mempengaruhi


kemungkinan terjadinya kejang demam. Hiperventilasi dan alkalosis yang
dipicu hipotermia juga telah diajukan sebagai elemen penting dalam
terbentuknya kejang demam. Alkalosis pada otak telah terbukti dapat memicu
eksitabilitas neuron dan berkontribusi dalam patofisiologi kejang di mana masa
laten antara demam dan timbulnya kejang tergolong lama, di atas 30 menit.
Lebih mengejutkan lagi, kondisi manusia yang terkait dengan alkalosis berat
termasuk menangis dalam waktu lama dan stenosis pilorus pada bayi tidak
berhubungan dengan terbentuknya kejang.

Pada anak, sebuah spektrum luas kejang behavioral dapat dipicu oleh demam
sehingga kejang demam bersifat pendek dan umum namun pada anak
munculnya kejang demam bisa tidak disadari sebelum adanya perkembangan
motorik yang baik sehingga banyak komponen awal kejang yang nyaris kasat
mata dapat terlewatkan. Secara spesifik, perubahan perilaku, perubahan tingkat
kesadaran, tatapan kosong seringkali terlewatkan baik oleh orang tua maupun
tenaga medis. Hal ini merujuk pada kejang yang berasal dari sistem limbik,
bagian otak yang paling rentan terhadap kejang.

Pada tikus, perilaku dan perubahan EEG kejang dapat lebih jelas terlihat
berasal dari sirkuit limbik. Gejala kejang yang terlihat pada studi hewan
menunjukkan hilangnya respon terhadap rangsang lingkungan berupa gerakan
yang terhenti. Fase berikutnya terdiri atas automatisme oral yang tipikal pada
kejang manusia pula. Selain itu, jejak EEG pada mencit dengan kejang demam
menggambarkan bahwa juga terjadi gangguan pada regio amigdala dan
hippocampus sehingga tampak spike-trains di regio tersebut dengan amplitudo
yang meningkat secara progresif.2

Seluruh kanal di sistem saraf dimodulasi oleh sejumlah mekanisme seperti


fosforilasi dan, kemungkinan, perubahan konformasi tiga dimensi protein
dalam kanal. Kanal klorida memiliki beberapa situs fosforilasi, salah satunya
yang dimodulasi topiramat. Fosforilasi pada kanal ini akan memicu perubahan
perilaku elektrofisiologis daengan peningkatan frekuensi pembukaan kanal
namun hanya untuk kanal klorida tertentu. Setiap kanal memiliki struktur
multimerik dengan beberapa subunit yang berbeda. Kanal klorida memilki
struktur pentamerik. Subunit ini dibuat terkait dengan molekul namun oleh
protein yang berbeda. Heterogenisitas respon elektrofisiologis reseptor
GABA-A yang berbeda disebabkan oleh kombinasi subunit yang berbeda.
Pada mamalia setidaknya 6 subunit alfa, 3 beta, dan gamma ada untuk
kompleks reseptor GABA.

Gangguan inhibisi GABA-A juga dapat menimbulkan kejang. Sejumlah kasus


epilepsi melibatkan mutasi atau kurangnya ekspresi kompleks subunit reseptor
GABA-A yang berbeda, molekul yang memerintah penyusunannya, atau
molekul yang memodulasi sifat elektik. Perubahan distribusi subunit reseptor
GABA-Atelah didemonstrasikan pada sejumlah model binatang dengan kejang
fokal.

Sementara itu reseptor GABA-B berpasangan dengan kanal kalium


membentuk aliran yang bekerja relatif lebih lama dibandingkan aliran klorida
dipicu oleh aktivasi reseptor A. Akibat lamanya durasi kerja ii, perubahan pada
reseptor GABA-A diduga memiliki peran penting dalam transisi gangguan
interiktal dan iktal.
Gangguan pada aktivasi neuron GABA dapat diaktivasi oleh proyeksi neuron
eksitatorik. Kedua tipe inhibisi jaringan neuron didefinisikan sebagai dasar
waktu aktivasi neuron GABAergik. Reorganisasi sinaps merupakan bentuk
plastisitas otak yang dipicu oleh hilangnya neuron, dapat dipicu oleh hilangnya
hubungan sinaptik pada neuron yang mati, sebuah proses yang disebut
deaferentasi. Terbentuknya sirkuit baru ini mencakup sel eksitatorik dan
inhibitorik, kedua bentuk ini dapat terlihat dalam banyak model hewan dengan
kejang fokal dan manusia dengan epilepsi lobus temporal.

Gangguan buffer kalsium intraseluler merupakan salah satu mekanisme yang


mendasari timbulnya kejang. Pada tikus, kejang berulang dapat dipicu oleh
berbagai metode yang berujung pada gangguan pola interneuron pada daerah
hilar polimorfik, dengan hilangnya banyak neuron yang mengurangi protein
pengikat kalsium parvalbumin dan calbindin. Pada hippokampus tikus,
interneuron ini menunjukkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
potensial membran istirahat terhiperpolarisasi yang progresif, sehingga lama
kelamaan interneuron mati.2

Kerentanan interneuron ini terhadap hipoksia dan gangguan lain juga


berhubungan terhadap keberadaan relatif protein pengikat kalsium. Kematian
prematur interneuron mengganggu kontrol inhibitorik terhadap jaringan
neuron lokal akibat eksitasi. Efek ini menjelaskan mengapa dua pasien yang
berbeda dengan gejala serupa dapat memiliki prognosis yang berbeda.

Peningkatan eksitasi juga dapat menyebabkan kejang. Sejumlah mekanisme


yang dapat menyebabkan kejang dari cara ini antara lain:
 Peningkatan aktivasi reseptor NMDA
 Peningkatan sinkronisitas antar neuron akibat interaksi ephaptic
 Peningkatan sinkronisitas dan/atau aktivasi akibat kolateral eksitatorik
berulang
 Peningkatan aktivasi reseptor NMDA
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik penting dalam otak.
Pelepasan glutamat akan menghasilkan EPSP pada neuron postsinaptik dengan
mengaktivasi reseptor glutaminergik AMPA/kainat dan NMDA, serta reseptor
metabotropik. Neurotransmisi cepat dihasilkan oleh aktivasi 2 tipe reseptor
awal. Reseptor metabotropik mengubah eksitabilitas seluler dengan sistem
second-messenger yang lebih lambat namun bekerja lebih panjang. Perbedaan
fungsi utama antara kedua reseptor cepat andalah reseptor AMPA/kainate
membuka kanal yang memperbolehkan kation monovalen seperti natrium dan
kalium untuk lewat, sementara tipe NMDA berpasangan dengan kanal yang
memperbolehkan kation divalen seperti kalsium untuk lewat.

Kalsium merupakan katalis banyak reaksi intraselular yang berujung pada


perubahan fosforilasi dan ekspresi gen. Reseptor NMDA secara umum
diasumsikan terkait dengan proses belajar dan memori. Aktivasi reseptor
NMDA meningkat pada sejumlah model hewan dengan epilepsi seperti asam
kainat, pilokarpin, dan model kejang fokal lainnya. Sejumlah pasien dengan
epilepsi dapat mewarisi predisposisi aktivasi kanal NMDA yang cepat atau
berlangsung lama yang mengubah ambang mereka terhadap kemungkinan
kejang. Perubahan lain yang mungkin berperan termasuk kemampuan protein
intraselular untuk membuffer kalsium, meningkatkan kerentanan neuron
terhadap aneka macam perlukaan yang biasanya tidak menyebabkan kematian
neuron.

Peningkatan sinkronisitas antar neuron disebabkan oleh interaksi ephaptik.


Medan listrik diciptakan oleh aktivitas sinkron neuron piramidal pada struktur
laminar seperti hipokamus. Hal ini dapat meningkatkan eksitabilitas neuron
sekitar lebih lanjut dengan interaksi nonsinaptik. Perubahan konsentrasi ion
kalium dan kalsium ekstraseluler merupakan salah satu dari interaksi
nonsinaptik yang dapat terjadi, meningkatkan pemasangan neuron akibat
adanya peningkatan permanen dalam ketersediaan fungsional pada gap
junction. Hal ini merupakan mekanisme yang mendasari kejang, terutama pada
kejang yang lama serta status epileptikus.
Selain itu studi neuropatologis pada pasien dengan epilepsi fokal berat
seringkali menunjukkan kelainan pada sistem limbik, terutama pada formasi
hippokampus. Lesi yang umum ditemui adalah sklerosis hippokampus, yang
ditandai dengan adanya pola gliosis dan hilangnya neuron yang secara
langsung mempengaruhi wilayah hilar polimorfik dan CA1 piramidal.
Perubahan-perubahan ini diasosiasikan dengan sparing relatif wilayah CA2
piramidal dan beratnya intensitas lesi di wilayah piramidal CA3 serta neuron
granula dentata. Sklerosis hippokampus yang menonjol terlihat pada sekitar
2/3 pasien dengan epilepsi lobus temporal.

Perubahan lain yang juga tak kalah sering ditemui selain sklerosis
hippokampus adalah mossy-fiber sprouting. Serat-serat ini merupakan akson
daru neuron granula dentata dan mereka umumnya menuju wilayah hilar
polimorfik dan neuron CA3 piramidal. Seiring dengan berkurangnya neuron
pada wilayah hilar polimorfik, proyeksi sinaptik ke neuron granula dentata
mengalami degenerasi.

Denervasi berujung pada hilangnya proyeksi hilar, memicu pertunasan serat


akson di sekitarnya. Fenomena ini akan berujung pada terbentuknya kolateral
eksitatorik berulang yang akan meningkatkan laju eksitatorik neuron granula
dentata. Kolateral eksitatorik berulang telah didemonstrasikan pada model
manusia dengan epilepsi temporal dan model hewan dengan epilepsi fokal.
Efek ini pada sirkuit hippokampus juga telah dibuktikan lewat model
terkomputerisasi pada epilepsi hippokampus. Jalur neural lain di hippokampus
seperti proyeksi CA1 ke subikulum juga telah dibuktikan pada model otak
epilepsi.

3. Klasifikasi
Kejang demam dapat dibagi menjadi 2 tipe: kejang demam simpleks dan
kejang demam kompleks. Kejang demam simpleks biasanya terjadi pada
seluruh tubuh, bertahan selama kurang dari 15 menit, dan tidak berulang dalam
24 jam. Kejang demam kompleks bersifat lebih lama, terjadi berulang dalam
24 jam sejak bangkitan pertama, dan bisa berupa kejang focal.

Kejang demam kompleks dapat mengindikasikan proses penyakit yang lebih


berbahaya seperti meningitis, abses, atau ensefalitis. Status epileptikus
merupakan bentuk kejang yang lebih berat dan kompleks, terjadi berupa kejang
tunggal atau serial kejang yang berlangsung selama lebih dari 30 menit tanpa
kembalinya kesadaran dalam rentang tersebut.

4. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk kejang demam mencakup riwayat gangguan perkembangan,
perawatan di unit neonatologi setelah 28 hari, infeksi virus, riwayat kejang
demam dalam keluarga, vaksinasi tertentu, dan, yang masih diteliti, defisiensi
besi dan zinc. Kejang demam dapat terjadi sesaat atau beberapa lama setelah
timbulnya demam dengan kemungkinan kejang yang meningkat sebanding
dengan peningkatan suhu tubuh anak.3

Vaksinasi yang diasosiasikan dengan peningkatan risiko termasuk vaksin


influenza musiman trivalen 2010 yang lazim digunakan di bumi hemisfer
selatan, vaksinasi difteria, pertusis, tetanus whole-cell (DTwP), serta Measles,
Mumps, Rubella (MMR). Sebuah studi yang dilakukan pada 530.000 anak
yang menerima vaksin MMR menunjukkan adanya risiko kejang demam
dalam 2 minggu pertama pasca vaksinasi dalam jumlah kecil (1-2 insidensi
lebih banyak per 1000 anak yang divaksinasi).
Predisposisi genetik untuk kejang demam telah dirumuskan, walau belum ada
gen spesifik yang teridentifikasi. Kelainan genetik telah dilaporkan pada
sejumlah pasien dengan sindroma epilepsi demam seperti epilepsi mioklonik
berat pada masa kanak-kanak dan generalized epilepsy with febrile seizures
plus (GEFS+). Utamanya, kejang demam merupakan gangguan yang bersifat
multifaktorial dengan dua atau lebih faktor genetik dan faktor lingkungan yang
berperan.3

Studi case-control menganggap bahwa defisiensi zat besi dan zinc dapat
menjadi faktor risiko kejang demma. Sebuah studi yang dilakukan pada anak-
anak di India berusa 3 bulan hingga 5 tahun menunjukkan kadar zinc serum
yang lebih rendah pada pasien yang mengalami kejang dibandingkan pasien
demam berusia sama tanpa kejang. Studi lain menunjukkan bahwa anak
dengan kejang demam memiliki tingkat insidensi defisiensi zat besi yang
mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan anak demam yang tidak
mengalami kejang.

Infeksi virus merupakan penyebab utama demam yang memicu kejang demam.
Salah satu infeksi yang dianggap berisiko adalah infeksi human herpesvirus
(HHV) 6 yang biasanya dialami pada 2 tahun pertama kehidupan. Pada sebuah
studi case-control, pemeriksaan PCR dan titer antibodi menunjukkan 10 dari
55 anak (18 persen) yang mengalami kejang demam pertama menderita infeksi
akut HHV6, di mana tidak ada satupun dari 85 anak dengan demam tanpa
kejang memiliki infeksi serupa. Infeksi virus lain yang cukup umum ditemui
seperti influenza, adenovirus, dan parainfluenza juga diasosiasikan dengan
kejang demam baik sederhana maupun kompleks.3

5. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Melalui anamnesis, biasanya dokter mendapatkan informasi bahwa tumbuh
kembang anak dengan kejang demam simpleks baik sebelum dan sesudahnya
biasanya baik. Kejang biasanya tidak timbul tanpa demam, kecuali pada pasien
dengan gangguan neurologis lainnya. Kejang pada umumnya dideskripsikan
sebagai kejang klonik generalisata atau kejang tonik-klonik generalisata
(grand-mal).4

Kejang fokal selama atau pada periode post-ictal, baik berupa gerakan klonik
maupun kelemahan ekstremitas akan menyingkirkan diagnosis kejang demam
sederhana. Pada kejang demam sederhana biasanya kejang tidak berlangsung
lebih dari 15 menit walau anak bisa tampak mengantuk maupun bingung dalam
rentang lebih dari 15 menit. Kejang demam sederhana biasanya dipicu dengan
suhu tubuh di atas 38 derajat Celsius. Bila kejang timbul pada suhu yang lebih
rendah, patut dipikirkan penyebab lain kejang.

Pada pemeriksaan neurologis dan perkembangan, pasien dengan kejang


demam terutama kejang demam sederhana biasa memberikan hasil yang
normal. Selain itu, dokter juga patut mencari tanda-tanda meningitis maupun
ensefalitis seperti kaku kuduk maupun perubahan tingkat kesadaran yang
menetap.4

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak dilakukan pada kejang demam
terutama kejang demam simpleks, kecuali untuk menentukan sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan pungsi lumbal dapat dilakukan bila terdapat
kecurigaan terhadap meningitis. Pemeriksaan ini biasanya disarankan unutk
bayi berusia <18 bulan karena gejalanya yang kurang spesifik.1

Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) tidak dapat memprediksi


kemungkinan berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam simpleks, namun dapat dilakukan pada
kejang demam lain terutama yang gejalanya tidak khas seperti kejang demam
kompleks, kejang fokal, dan kejang pada usia >6 tahun. Pencitraan radiologi
seperti foto rontgen atau MRI dapat dilakukan bila terdapat kecurigaan
terhadap sejumlah kelainan seperti papiledema, kelainan neurologi fokal
menetap, atau paresis nervus.5
7. Diagnosis banding
Pada anak berusia <6 bulan atau >5 tahun dan mengalami kejang demam, perlu
dipertimbangkan diagnosis lainnya. Selain itu berikut adalah sejumlah
penyakit yang dapat menjadi diagnosis banding kejang demam:
 Meningitis
 Ensefalitis
 Gangguan metabolik
 Ketidakseimbangan elektrolit
 Epilepsi5

8. Tata Laksana

Pada kebanyakan kasus, kejang demam berlangsung sebentar dan saat pasien
datang menemui petugas kesehatan kejang sudah berhenti. Jika pasien datang
dalam keadaan kejang maka obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kg bolus perlahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal
20 mg.

Diazepam per rektal adalah obat yang praktis, dapat diberikan di rumah oleh
orang tua. Diazepam rektal diberikan dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau 5
mg pada anak dengan BB < 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan BB > 10 kg.
Selain itu, pemberian diazepam per rektal dapat dibagi berdasarkan usia yaitu
diazepam 5 mg untuk anak kurang dari 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak > 3
tahun. Jika setelah pemberian diazepam per rektal kejang belum berhenti,
pemberian dapat diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5
menit.1

Apabila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap ke- jang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Jika kejang tetap belum berhenti diberikan
fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan
kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.

Bila dengan pemberian fenitoin pun kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang intensif untuk mendapat obat fenitoin atau fenobarbital
intravena. Pada keadaan kejang refrakter dapat diberikan obat seperti
Midazolam, Tiopental, atau propofol. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya disesuaikan dengan jenis kejang demam, baik kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

Selain obat untuk menghentikan kejang, dokter dapat memberikan obat


antipiretik pada pasien dengan kejang demam. Penggunaan antipiretik belum
terbukti dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam, namun ahli-ahli
sepakat bahwa antipiretik tetap diberikan untuk menurunkan demam pasien.
Pemberian antipiretik dapat disesuaikan dengan pasien, umumnya Parasetamol
dengan dosis 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5
kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali, 3-4 kali sehari.1

Selain itu pemberian diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada
saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%- 60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu >
38,5oC. Dosis yang cukup tinggi tersebut dapat menimbulkan efek samping
seperti ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin yang diberikan saat pasien demam
tidak bermanfaat dalam mencegah kejang demam1.

Tak hanya pada saat awitan akut, obat kejang dapat diberikan sebagai obat
rumat. Pemberian obat rumat dapat dipertimbangkan bila ada setidaknya salah
satu dari gejala-gejala berikut ini, antara lain:
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 kejang demam > 4 kali per tahun

Obat antikejang seperti fenobarbital dan asam valproat yang diberikan setiap
hari dianggap efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
Berdasarkan penelitian-penelitian bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samp- ing, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap sejumlah kasus dan hanya dalam jangka pendek.1

Pemberian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan


kesulitan belajar pada 40-50% kasus sehingga obat pilihan untuk saat ini adalah
asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama pada pasien berusia kurang
dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis
asam valproat untuk rumatan adalah 15-40 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis.
Sementara dosis fenobarbital adalah 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
Pengobatan ini diberikan hingga 1 tahun bebas kejang kemudian dihentikan
secara bertahap dalam 1-2 bulan.
Selain pemberian terapi farmakologis, tenaga medis juga sebaiknya
memberikan edukasi pada orang tua mengenai kejang. Kejang sampai saat ini
masih menjadi momok bagi banyak orang tua. Saat anak kejang orang tua
biasanya merasa cemas dan panik sehingga seringkali tidak melakukan hal
yang dapat membantu anak di saat kejang. Hal-hal yang perlu diingatkan antara
lain adalah:
 Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
 Memberitahukan cara penanganan kejang
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang muncul kembali
 Pemberian obat rumat untuk mencegah rekurensi, yang walau efektif
namun memiliki efek samping.

Berikut ini adalah hal yang harus orang tua lakukan bila anak kejang:
 Tetap tenang dan tidak panik
 Longgarkan bagian pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
 Bila anak tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
 Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan/atau hidung
 Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut walau khawatir lidah
tergigit
 Ukur suhu, observasi dan ingat lama serta bentuk kejang.
 Tetap menemani pasien selama kejang
 Berikan diazepam rektal saat kejang, bila kejang telah berhenti tidak perlu
diberikan
 Segera bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari
5 menit1

9. Prognosis
Bukti dari penelitian yang dilakukan pada hewan dan manusia menunjukkan
bahwa kejang demam yang berlangsung sebentar biasanya tidak berbahaya.
Walau demikian, apakah kejang demam yang lama dan kejang demam yang
mencapai status epileptikus akan berujung pada epilepsi masih sulit untuk
disimpulkan. Secara umum evaluasi epidemiologi prospektif telah
memberikan sedikit bukti terjadinya epilepsi, walau jika dilihat dalam jangka
panjang terdapat peningkatan kemungkinan terjadinya epilepsi. Di sisi lain,
analisis retrospektif telah menghubungan riwayat kejang demam kompleks
atau yang lebih lama dengan epileptogenesis. Hasil yang inkonsisten ini
menggunakan data yang diperoleh dari studi pada binatang sehingga perlu
penelitian lebih lanjut.1

Faktor risiko berulangnya kejang demam antara lain :


 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Usia <12 bulan
 Suhu tubuh yang lebih rendah saat kejang
 Cepatnya kejang timbul setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam


mencapai 80%, sedangkan tanpa adanya faktor-faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya berkisar antara 10%-15%. Kemungkinan
kejang demam berulang paling besar pada tahun pertama.

Tak hanya berulang, beberapa pasien kejang demam juga dapat berkembang
menjadi epilepsi walau mekanisme jelasnya masih belum diketahui hingga saat
ini. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko berkembangnya kejang
demam menjadi epilepsi antara lain:
 Kelainan neurologis atau perkembangan yang sudah ada sebelum awitan
kejang demam pertama.
 Kejang demam kompleks
 Riwayat epilepsi pada orang tua, saudara kandung, maupun kerabat

Masing-masing faktor risiko di atas dapat meningkatkan kemungkinan


kejadian epilepsi hingga 4%-6%. Kombinasi faktor-faktor risiko tersebut
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%- 49%. Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada
kejang demam. Selain itu penelitian lain juga mengungkapkan faktor-faktor
lain yang dapat meningkatkan risiko timbulnya epilepsi pada pasien dengan
kejang demam seperti yang dijabarkan dalam tabel berikut ini:

Sumber: http://www.bcmj.org/articles/management-febrile-seizures

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.


Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada
kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.

Selain itu dikenal pula istilah Eeneralised epilepsy with Febrile Seizures Plus
(GEFS+). GEFS+ merupakan sebuah sindroma epilepsi. Biasa ditemui dalam
keluarga di mana sejumlah anggotanya dari generasi yang berbeda dengan
bentuk kejang epilepsi yang berbeda serta sindroma epilepsi yang berbeda.
Dalam keluarga juga dapat ditemui riwayat kejang demam.6

Kejang ini biasanya ditemui pada saat anak sakit, biasanya akibat infeksi virus.
GEFS+ biasanya berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh dengan bentuk
kejang tonik-klonik yang berlangsung kurang dari 5 menit. Terkadang kejang
dapat menetap lebih lama dan membutuhkan tata laksana gawat darurat.
Rentang usia normal kejang demam adalah 6 bulan hingga 5 tahun, namun
pasien dengan GEFS+ dapat mengalami kejang demma pada usia di atas 5
tahun hinggaselama masa kanak-kanaknya.

Kebanyakan pasien dengan GEFS+ memiliki kecerdasan dan kemampuan


belajaryang normal, walau pada bentuk kejang yang berbeda seperti epilepsi
mioklonik-astatik atau sindroma Dravet, dapat terjadi gangguan belajar dan
perilaku dengan derajat yang bervariasi. Terkadang anak juga bisa memiliki
ciri autistik.6
KESIMPULAN

Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang disebabkan oleh


demam atau peningkatan suhu tubuh >38 derajat Celsius pada pengukuran per
rektal akibat proses ekstrakranial. Kejang demam biasanya terjadi pada anak 6
bulan hingga 5 tahun tanpa menyebabkan gangguan perkembangan walau pada
sejumlah kecil kasus pasien dapat berkembang menjadi epilepsi.
Kejang demam dapat ditatalaksana dengan pemberian diazepam per rektal. Bila
tidak membaik setelah diberikan Diazepam per rektal dua kali dapat diberikan
Diazepam intravena, Fenobarbital atau Fenitoin intravena, Midazolam, Tiopental,
hingga Propofol pada kejang refrakter.
Pada saat kejang demam ada sejumlah hal yang perlu dilakukan orang tua antara
lain:
 Tetap tenang dan tidak panik
 Longgarkan bagian pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
 Bila anak tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
 Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan/atau hidung
 Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut walau khawatir lidah
tergigit
 Ukur suhu, observasi dan ingat lama serta bentuk kejang.
 Tetap menemani pasien selama kejang
 Berikan diazepam rektal saat kejang, bila kejang telah berhenti tidak perlu
diberikan
 Segera bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari
5 menit
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus


Kejang demam, 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2006.
2. Dube CM, Brewster AL, Baram TZ. Febrile seizures: Mechanisms and
relationship to epilepsy. Brain Dev. 2009; 31(5).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2698702/ (accessed 1
Desember 2017).
3. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and
Prognosis. Am Fam Physician 2012; 85(2).
https://www.aafp.org/afp/2012/0115/p149.html (accessed 1 Desember 2017).
4. Farrell K, Goldman RD. The management of febrile seizures. BCMJ 2011;
53(6). http://www.bcmj.org/articles/management-febrile-seizures (accessed 2
Desember 2017).
5. Baumann RJ. Pediatric Febrile Seizures.
https://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview (accessed 2
Desember 2017).
6. Appleton R, Kneen R, Macleod S. Generalised epilepsy with febrile seizure
plus (GEFS+). https://www.epilepsy.org.uk/info/syndromes/gefs-generalised-
epilepsy-with-febrile-seizure-plus (accessed 2 Desember 2017).

Вам также может понравиться