Вы находитесь на странице: 1из 11

KEPAILITAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Pada Mata Kuliah Hukum Dagang

Di Susun Oleh :

MUSTAQIM FIKRI
NPM. 171140015

Program Studi S.I Hukum Ekonomi Syariah

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU
METRO LAMPUNG
1440 H/ 2018 M

i
ABSTRAK

Pada dasarnya Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya


perkembangan perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai macam
permasalahan utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu juga dengan
krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak
menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitas
besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan
kegiatan usahanya.
Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat
diandalkan. Banyak Debitor yang dihubungi oleh para Kreditornya karena
berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya.
Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor
bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya. Di
samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih
memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber
pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Dengan demikian diharapkan adanya
feedback antara kreditor dan debitor dengan baik. Sehingga dirasakan dapat
menguntungkan kedua belah pihak.

Kata Kunci: Kepailitan

I. PENDAHULUAN

Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap

perkembangan hukum terutama hukum dagang yang merupakan roda

penggerak perekonomian. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa

globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara

berkembang mengenai investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang

perekonomian lainnya mendekati Negara-negara maju. (Convergency).Dalam

rangka menyesuaikan dengan perekonomian global, Indonesia melakukan

revisi terhadap seluruh hukum ekonominya. Namun demikian tidak dapat

disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan

juga karena tekanan dari badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Worl

Bank. Bidang hukum yang mengalami revisi antara lain adalah hukum

1
kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan warisan dari pemerintahan

Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa

Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh

yang cukup kuat dari sistem hukum Anglo Saxon.

Pada dasarnya Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya

perkembangan perekonomian dan perdagangan dimana muncul berbagai

macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu

juga dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan

dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional

sehingga menimbulkan kesulitas besar terhadap dunia usaha dalam

menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan usahanya.

II. PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Hukum Kepailitan

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para

kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan

karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor

yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan

putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan

debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian

hari.1

1
M. Hadi Subhan, Hukum kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik Di Peradilan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 1

2
Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator

dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan

hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang

debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai

dengan struktur kreditor.2 Pengertian kepailitan selanjutnya dijabarkan

pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

disebut UUKPKPU) menyebutkan bahwa: “Kepailitan adalah sita umum

atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa kepailitan adalah

pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang

seadil-adilnya diantara para kreditor dengan dibawah pengawasan

pemerintah.3 Dalam pengertian kepailitan menurut Mohammad Chaidir

Ali maka unsur-unsur kepailitan, yaitu:

1. Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya

vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum

dalam Pasal 20 Faillissement Verordening, di beslag untuk menjamin

semua hak-hak kreditor pailit.

2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut

posisi piutang dari para kreditor yaitu:

a. Golongan kreditor separatis.

2
M. Hadi Subhan, Hukum kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik Di Peradilan, hlm. 1
3
Mohammad Chaidir Ali, dkk, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Mandar Maju ,
Bandung, 2005, hlm. 10

3
b. Golongan kreditor preferen.

c. Golongan kreditor konkuren.

3. Dengan dibawah pengawasan pemerintah, artinya bahwa Pemerintah

ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur

penyelenggaraan penyelesaian utang pailit, dengan mengerahkan alat-

alat perlengkapannya yaitu:

a. Hakim Pengadilan Niaga

b. Hakim Komisaris

c. Kurator

Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan bahwa tujuan dari hukum

kepailitan adalah sebagai berikut:4

1. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka

sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta

debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada atau

yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan

debitor yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka

dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor. Menurut hukum

Indonesia asas jaminan tersebut dijamin dalam Pasal 1131 KUH

Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan saling rebut diantara

kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan

tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, akan terjadi

kreditor yang lebih kuat akan mendapat bagian yang lebih banyak dari

kreditor yang lemah.

4
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2008, hlm. 38

4
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para

kreditor sesuai dengan asas pari passu membagi secara proporsional

harta kekayaan debitor kepada para kreditor Konkuren atau unsecured

creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing

kreditor tersebut. Di dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin

dalam Pasal 1332 KUH Perdata.

3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan

seorang debitor pailit, debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan

untuk mengurus dan memindah tangankan harta kekayaannya yang

dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitor

menjadi harta pailit.

B. Tinjauan Terhadap Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU mendefinisikan pailit

sebagai Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas

permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa

syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah:5

1. Terdapat minimal 2 orang kreditor;

2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;

3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.


5
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 88-89

5
Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal

sebagai concursus creditorium. Apabila seorang debitor hanya memiliki

satu orang kreditor, maka eksistensinya dari UU KPKPU kehilangan rasio

d’etre-nya.6 Akibat eksistensi dari UUKPKPU hilang debitor hanya

memiliki pihak atau 1 orang kreditornya saja maka cukup ditempuh

penyelesaian dengan gugatan hukum perdata saja.7

Dalam UUKPKPU terdapat perubahan pengertian tentang utang.

Utang diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan

dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,

baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau

undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak

dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya

dari harta kekayaan debitor.

Pengertian utang dalam UUKPKU masih memiliki kelemahan.

Adanya kelemahan berupa tidak diaturnya pembatasan jumlah nilai

nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat dari argumentasi yuridis

menunjukkan bahwa dengan tidak dibatasi jumlah minimum utang sebagai

dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi penyimpangan

hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat

terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan

pembayaran utangutangnya kepada para kreditormya, sehingga untuk

6
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan, hlm. 53
7
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, hlm. 19

6
mencegah terjadinya unlawful execution dari para kreditornya, kepailitan

hanya menjadi alat tagih semata (debt collection tool).8

Syarat pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor

sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk memenuhi

Prestasinya. Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih, menurut Sutan Remy Sjahdeini, kedua istilah tersebut

memiliki pengertian dan kejadian yang berbeda. Suatu utang dikatakan

sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang expired, yaitu utang

yang dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih.

Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang

yang telah jatuh waktu.9

Adapun cara-cara pengajuan permohonan pernyataan kepailitan

menurut pasal 6 Undang-Undang Kepailitan adalah sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal

permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon

diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang

berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit

bagi institusi sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2,3,4,dan 5 jika

dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.

8
M. Hadi Subhan, Hukum kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik Di Peradilan, hlm. 93
9
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan, hlm. 68-71.

7
4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua

Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan

didaftarkan.

5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal

permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari

permohonan dan menetapkan hari siding.

6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit

diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari

setelah tanggal permohonan didaftarkan.

7. Atas permohonan Debitur dan berdasarkan alas an yang cukup,

Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan siding sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 (dua lima)

hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

C. Tinjauan Terhadap Akibat Hukum Debitor yang Mengalami Pailit

Dengan adanya putusan pailit oleh pengadilan, Debitor masih

diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum dibidang

harta kekayaan apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi

keuntungan bagi harta kekayaan si Pailit, sebaliknya apabila dengan

perbuatan hukum itu justru akan merugikan harta kekayaan Debitor maka

kerugian kerugian itu tidak mengikat harta kekayaan tersebut.10

Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan Debitor

kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen

handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan


10
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 45-46

8
atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya

saja.

Debitor tidaklah berada di bawah pengampuan, tidak kehilangan

kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut

dirinya kecuali apabila menyangkut pengurusan dan pengalihan harta

bendanya yang telah ada. Tindakan pengurusan dan pengalihan tersebut

berada pada Kurator. Apabila menyangkut harta benda yang akan

diperolehnya Debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima

harta benda yang akan diperolehnya itu, namun harta yang diperolehnya

itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit.11

III. KESIMPULAN

Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat

diandalkan. Banyak Debitor yang dihubungi oleh para Kreditornya karena

berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya.

Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor

bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya.

Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus

masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai

sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Dengan demikian

diharapkan adanya feedback antara kreditor dan debitor dengan baik.

Sehingga dirasakan dapat menguntungkan kedua belah pihak.

11
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Pustaka Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 256-257

9
IV. DAFTAR PUSTAKA
M. Hadi Subhan, Hukum kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik Di
Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006

Mohammad Chaidir Ali, dkk, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,


Mandar Maju , Bandung, 2005

Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37


Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2008

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Di Indonesia,


Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

10

Вам также может понравиться