Вы находитесь на странице: 1из 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR.

M DENGAN
POST OP APPENDIKTOMI HARI KE-2 DI RUANG
CANDI IJO RSUD PRAMBANAN

Oleh :
Galuh Putri Anggadini
17400013

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia,
appendicitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan
beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen.
Insiden appendicitis di Indonesia menempati urutan tertinggi dari beberapa
kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes, 2008). Dinkes jateng
menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendicitis sebanyak 5.980
penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Pada
periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka kejadian appendicitis di
RSUD Boyolali, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak
102 penderita appendicitis dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien
pria. Ini menduduki peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di
instalasi RSUD Boyolali. Hal ini membuktikan tingginya angka kesekitan
dengan kasus appendicitis di RSUD Boyolali. Kejadian apendicitis di
RSUD Banyudano pada 2 tahun terakhir antara periode 2010 sampai 2012
sebanyak 169 penderita dengan rincian 74 pasien wanita dan 95 pasien pria,
data didapatkan berdasarkan catatan remak medic RSUD Banyudono.

B. TUJUAN
Tujuan Umum
Mampu melakukan proses keperawatan, mahasiswa mampu melakukan
upaya pemecahan masalah yang ada pada kasus pasien dengan appendisitis
dengan menggunakan pendekatan proses asuhan keperawatan yang disusun
secara sistematis dan komprehensif.
Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan Appendisitis
2. Mampu menjelaskan etiologi Appendisitis
3. Mampu menjelaskan patofiologi Appendisitis
4. Mampu menjelaskan patways Appendisitis
5. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada Appendisitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-
kira 10cm dan berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah perbatasan dengan
usus ileum kuadran kanan bawah. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian
proximal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan
melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya
biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada
apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan
bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%),
Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari
bagian bawa arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk akhir arteri. Apendiks
memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke
nodus limfe ileocaecal.
Anatomi lokasi apendiks :
Walaupun apendiks kurang memiliki fungsi, namun apendiks dapat
berfungsi seperti organ lainnya. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml perhari.
Lendir dicurahkan ke caecum. Jika terjadi hambatan maka akan terjadi
patogenesa apendisitis akut. GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat pada apendiks menghasilkan Ig-A. Namun demikian, adanya
pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini
dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali
bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.
B. Definisi
Menurut Gruendemann (2006) (cit Arif dan Kumala,
2013), Apendiks (umbai cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-
rata panjangnya adalah 10cm. Ujung apendiks dapat terletak di berbagai
lokasi, terutama di belakang sekum. Arteri apendisialis mengalirkan darah
ke apendiks dan merupakan cabang dari arteri ileokolika.
Apendisitis adalah kasus bedah abdomen darurat yang paling sering
terjadi. Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
terjadi. Apendiks disebut juga umbai cacing (Andran & Yessie. 2013, p.
88). Menurut Price (2006) apendisitis adalah peradangan apendiks yang
mengenai semua lapisan dinding organ tersebut yang disebabkan oleh agen
infeksi.
C. Tanda dan Gejala
Menurut Andra dan Yessie (2013) tanda terjadinya apendisitis antara lain:
1. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang menetap dan diperberat bila
berjalan atau batuk) dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum
lokal di titik Mc. Burney : nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.
2. Nyeri rangsangan peritoneum tidaklangsung
3. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan
(Roving Sign)
4. Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepas (Blumberg)
5. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam,
berjalan, batuk, mengedan
6. Nafsu makan menurun
7. Demam
Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu perasaan tidak enak
sekitar umbilikus diikuti oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini
umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari.Beberapa jam nyeri
bergeser ke kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan
sekitar titik Mc. Burney, kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri
lepas.Biasanya ditemukan demam ringan dan leukosit meningkat. Bila
ruptureapendiks terjadi nyeri sering sekali hilang secara dramatik untuk
sementara.
D. Etiologi

Menurut Andra &Yessie(2013) penyebab apendisitis antara lain:


1. Ulserasi pada mukosa
2. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras)
3. Tumor
4. Berbagai macam penyakit cacing
5. Striktur karena fibrosis pada dinding usus.

E. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks.
Obst tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak,
namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa.
Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan
menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang
disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks
yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila
dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis
perforasi.
Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Omentum pada anak-anak lebih pendek dan appendiks lebih panjang,
dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang
masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi. Sedangkan pada orang
tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.

F. Pathway
G. Penatalaksanaan medis dan keperawatan
Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi
appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi,
istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan
yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain
diperut kanan bawah.
1. Tindakan pre operatif, meliputi penderita di rawat, diberikan antibiotik
dan kompres untuk menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk
tirah baring dan dipuasakan
2. Tindakan operatif : appendiktomi
3. Tindakan post operatif, satu hari pasca bedah klien dianjurkan untuk
duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit, hari berikutnya makanan
lunak dan berdiri tegak di luar kamar, hari ketujuh luka jahitan diangkat,
klien pulang.
H. Komplikasi
1. Perforasi dengan pembentukan abses
2. Peritonitis generalisata
3. Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi)
I. Pemeriksaan menunjang
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2. Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED
akan meningkat.
3. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
4. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
6. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan
USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya
7. Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
8. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik
ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat
melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada
saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
J. Asuhan Keperawatan
PENGKAJIAN
1. Data demografi
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan bawah yang
menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam
tinggi
c. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang
sama.
3. Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
a. Kedaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai,
konjungtiva anemis.
b. Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
c. Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada
simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping
hidung, tidak terpasang O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
d. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan.
e. Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer
f. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena
proses perjalanan penyakit
g. Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis,
pucat.
Abdomen : terdapat nyeri tekan, peristaltik pada usus ditandai dengan
distensi abdomen.
4. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan
kebiasaan olah raga (lama frekwensinya), karena dapat
mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan nutrisi akibat
pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus
kembali normal.
c. Pola Eliminasi
Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung
kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan
mempengaruhi pola eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan
mengalami gangguan yang sifatnya sementara karena pengaruh
anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
d. Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa
nyeri, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu
lamanya setelah pembedahan.
e. Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta pendengaran,
kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang
tua, waktu dan tempat.
f. Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga
dapat mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
g. Pola Persepsi dan konsep diri
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak
segala kebutuhan harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang
keadaan dirinya sehingga penderita mengalami emosi yang tidak
stabil.
h. Pola hubungan
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa
melakukan peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat.
penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
i. Pola Reproduksi seksual
Adanya larangan untuk berhubungan seksual setelah pembedahan
selama beberapa waktu.
j. Pola penanggulangan stress
Sebelum MRS : klien kalau setres mengalihkan pada hal lain.
Sesudah MRS : klien kalau stress murung sendiri, menutup diri
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebelum MRS : klien rutin beribadah, dan tepat waktu.
Sesudah MRS : klien biasanya tidak tepat waktu beribadah.
5. Pemeriksaan diagnostic
a. Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut
b. Foto polos abdomen : dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan
non spesifik seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau
untuk mengetahui adanya komplikasi pasca pembedahan
c. Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi
d. Pemeriksaan Laboratorium
Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 µ/ml
Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.
K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan apendisitis :]
Pre-op :
1. Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada
epigastrium
Post-op :
1. Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap
luka insisi bedah
2. Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi
sekunder terhadap proses penyembuhan
3. Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang kebutuhan
pengobatan/ perawatan pasca pembedahan
L. Rencana Keperawatan
1. Dx kep. 1 : Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan
pada epigastrium
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan nyeri pasien dapat berkurang
KH : Nyeri hilang, skala 0-3, pasien tampak rileks, mampu tidur/
istirahat selama 7-9 jam dalam sehari
INTERVENSI RASIONAL
Kaji nyeri, catat lokasi, Berguna dalam pengawasan
karakteristik, beratnya (skala 0-10) keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada
karakteristik nyeri, menunjukkan
terjadinya abses/peritonitis.
Pertahankan istirahat dengan posisi Menghilangkan tegangan abdomen
semi fowler yang bertambah dengan posisi
terlentang
Dorong ambulasi dini Merangsang peristaltik dan
kelancaran flatus, menurunkan
ketidaknyamanan abdomen
Berikan aktifitas hiburan Meningkatkan relaksasi dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
Kolaborasi pemberian analgetik Menghilangkan dan mengurangi
nyeri
2. Dx kep. 2 : Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder
terhadap luka insisi bedah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien
tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi
KH : Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, drainase purulen,
tidak ada eritema dan tidak ada demam. Tidak ada tanda-tanda infeksi
(rubor, dolor ) luka bersih dan kering
INTERVENSI RASIONAL
Awasi TTV. Perhatikan demam Dugaan adanya infeksi/ terjadinya
menggigil, berkeringat, perubahan sepsis, abses
mental.
Lakukan pencucian tangan yang Menurunkan risiko penyebaran
baik dan perawatan luka aseptic bakteri
Lihat insisi dan balutan. Catat Memberikan deteksi dini terjadinya
karakteristik drainase luka proses infeksi
Berikan informasi yang tepat pada Pengetahuan tentang kemajuan
pasien/ keluarga pasien situasi memberikan dukungan
emosi, membantu menurunkan
ansietas
Berikan antibiotik sesuai indikasi Mungkin diberikan secara
profilaktik atau menurunkan jumlah
organisme (pada infeksi yang ada
sebelumnya) untuk menurunkan
penyebaran dan pertumbuhannya
3. Dx kep 3 : Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan
pascaoperasi sekunder terhadap proses penyembuhan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan
KH : Tidak ada tanda-tanda dehidrasi : membran mukosa lembab, turgor
kulit baik (< 2 detik), TTV stabil (TD : 110/70-120/80 mmHg; RR : 16-
20x/menit; N : 60-100x/menit; S : 36,5- 37,50 C), haluaran urin adekuat.
INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV Tanda yang membantu mengidentifikasi
fluktuasi volume intravaskuler
Observasi membran mukosa, kaji Indikator keadekuatan intake cairan dan
turgor kulit dan pengisian kapiler elektrolit
Awasi intake dan output, catat warna Penurunan pengeluaran urine pekat
urine/konsentrasi, berat jenis dengan peningkatan berat jenis diduga
dehidrasi/kebutuhan cairan meningkat
Auskultasi bising usus, catat Indikator kembalinya peristaltik,
kelancaran flatus dan, gerakan usus kesiapan untuk pemasukan per oral
Berikan sejumlah kecil minuman Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk
jernih bila pemasukan peroral meminimalkan kehilangan cairan
dimulai, dan lanjutkan dengan diet
sesuai toleransi

4. Dx kep. 4 : Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang


kebutuhan pengobatan/ perawatan pasca pebedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pasien dan keluarga mampu memahami dan mengerti tentang
proses penyakit dan pengobatannya
KH : Berpartisipasi dalam program pengobatan
INTERVENSI RASIONAL
Kaji ulang pembatasan aktifitas Memberikan informasi pada pasien
pascaoperasi untuk merencanakan kembali
rutinitas biasa tanpa menimbulkan
masalah
Anjurkan menggunakan laksatif/ Membantu kembali ke fungsi usus,
pelembek feses ringan bila perlu mencegah mengejan saat defekasi
dan hindari enema
Diskusikan perawatan insisi, Pemahaman peningkatan kerja sama
termasuk mengganti balutan, dengan program terapi,
pembatasan mandi, dan kembali meningkatkan penyembuhan dan
ke dokter untuk mengangkat proses perbaikan
jahitan/pengikat
DAFTAR PUSTAKA

Akhrita, Zetri. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Pemulihan


(online). (http://www.google.co.id/PENGARUH_MOBILISASI_DINI_TERH
ADAP_PEMULIHAN.pdf, diakses tanggal 9 Oktober 2015)

Andra & Yessie. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa


Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Carpenito J.L. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10 Jakarta: EGC

Davison & king. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Rajagravindo Persada

ermawan, Deden, dkk. (2010). Keperawatan Medikal Bedah (Sistem


Pencernaan). Yogyakarta : Gosyen Publishing

Latief, Said. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia Jakarta

Muttaqin, Arif dkk. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia Anderson.(2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses
Penyakit. Jilid 6. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A & Wilson. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta :EGC

Sjamsuhidajat. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta

Smeltzer, S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.


Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC

Tamsuri. (2006). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Wilkinson & Ahern. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9


(Terjemahan). Jakarta : EGC

Вам также может понравиться