Вы находитесь на странице: 1из 33

I.

Pendahuluan
Gereja sebagai kumpulan orang-orang yang berhimpun menjadi organisme, badan
Illahi, dan komunitas rohani dibumi membutuhkan pemimpin-pemimpin rohani. Sejak gereja
berdiri, Tuhan Yesus memberi tugas kepada rasul untuk memimpin gereja. Mereka telah
memimpin gereja dengan setia sampai akhir hidup mereka. Para rasul juga menghasilkan
murid-murid yang kemudian memimpin gereja setelah mereka meninggal. Sepanjang hampir
dua ribu tahun, gereja telah menghadapi pasang surut kepemimpinan. Maju mundurnya suatu
gereja tergantung kepada pendeta yang memimpinya. Gereja sebagai Tubuh Kristus didunia
adalah juga organisasi yang mempunyai Peraturan Rumah Tangga / Tata Gereja. Aliran
Lutheran umumnya sebagaimana misalnya Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dalam
PRT Psl 8:1 menegaskan “Pendeta sebagai pemimpin jemaat yang diangkat dan ditempatkan
oleh Pimpinan Sinode yang disebut Pendeta resort’1 .
Disamping memimpin pelayanan persekutuan (Koinonia), Marturia (Kesaksian)
Diakonia (Pelayanan) Liturgia (pelayanan) Oikonomia (penatalayanan) seorang pedeta juga
ketua majelis harus memimpin pelayanan umum, memimpin rapat, keuangan, administrasi
walaupun memang ada sekretaris dan bendahara. Seorang pendeta adalah ibarat seorang
manejer (mengatur) para majelis supaya mereka mengetahui dan melakukan apa yang
menjadi tugas fungsi pokok setiap seksi. Tetapi pendeta adalah orang tua / bapak rohani,
pemberita Firman Tuhan, melakukan penggembalaan, perkunjungan rumah, pengajaran dan
pembinaan. Sehingga kepemimpinan pendeta digereja Lutheran adalah memimpin pelayanan
rohani dan umum, bukan seperti pada gereja yang beraliran Calvinis, pendeta bertugas hanya
pelayanan rohani, melayani pemberitaan Firman Tuhan, penggembalaan dan sakramen
sedang pelayanan umum dipimpin oleh ketua majelis yang dipilih dari salah seorang penatua.
Masalah pendeta dan kependetaan sering muncul dalam kehidupan bergereja,
pelayanan dan kehidupan masyarakat. Pokok permasalahanya adalah tentang kesiapan
pendeta itu sendiri dan tugas-tugas yang diembannya didalam pelayanan gereja. Baik pendeta
itu sendiri maupun warga jemaat sering kurang tepat memahami bahkan salah memahami,
arti dan makna, fungsi dan tanggungjawab seorang pendeta. Apakah pendeta itu jabatan ?
profesi? atau, apakah itu jabatan profesional ? Pemahaman Pendeta dan kependetaan akhir-
akhir ini lebih dominan sebagai profesi, jabatan yang menggeluti dan menguasai tugas dalam
bidang khusus. Hal itu semakin terasa ketika gereja semakin berusaha menata dan mengatur
pendeta dan kependetaan melalui kode etik kependetaan dan aturan kepegawaian, yang justru

1 Peraturan Rumah Tangga / Tata Gereja GKPI, Kolportase Kantor Sinode, Pematang siantar 2013.
1
lebih memberi perhatian kepada tugas dan tanggung jawab seorang Pendeta. Dalam kedua
upaya tersebut, yang dominan dikategorikan adalah jenjang karir, penggolongan eselon dan
jabatan struktural. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam konsep aturan
kepegawaian pendeta yang berprestasi akan dihargai dengan kenaikan pangkat atau golongan,
menerima penempatan mutasi kedaerah pelayanan yang lebih kuat dan baik secara finansial,
yang cenderung kearah perkotaan. Bila hal ini terjadi, maka identitas dan keberadaan anggota
jemaat telah dibeda-bedakan sesuai dengan keadaan ekonomi dan sesuai kehidupan sosial
anggota jemaat dikota dan didesa.
Kalau kita jujur, maka harus kita akui bahwa kehidupan spritual beberapa pendeta dan
keluarga akhir-akhir ini perlu dipertanyakan. Ada Pendeta dan istri pendeta yang berprilaku
buruk sehingga menggangu citra kependetaan. Ada masalah kemerosotan moral pendeta dan
istri (suami) pendeta. Ketiga alasan tersebut diatas merupakan alasan kuat membicarakan
pendeta sebagai pemimpin parenting (orang tua) / bapa rohani. Untuk dapat memahami
pendeta sebagai pemimpin parenting, dan gembala maka sebaiknya pemahaman tugas
panggilan, pemuritan dan pengutusan yang terakumulasi dalam tahbisan dapat dihayati
dengan baik2. Oleh karena itu, perlu pemahaman dan penghayatan ulang terhadap panggilan
sebagai pelayan tahbisan sebagaimana ditemukan dalam kesaksian Alkitab.

II. Siapakah pendeta itu ?


II.1. Pendeta sebagai Hamba Tuhan
Pendeta, menurut Kamus besar bahasa indonesia (KBBI), adalah orang pandai,
petapa, pemuka atau pemimpin agama atau jemaah (dalam agama Hindu atau Protestan),
rohaniawan, guru agama.3 Dikalangan Kristen, seorang pendeta adalah seorang pemimpin
umat atau pemimpin gereja. Seseorang menjadi pendeta setelah menempuh pendidikan S-1
diperguruan tinggi teologi yang diakui gerejanya dan mendapat pengakuan dari pemerintah.
Usai mendapatkan gelar sarjana theologi (STh) atau sarjana sosiologi theologi (Ssi) seorang,
calon pendeta akan menjalani masa vicariat (praktek) dijemaat selama 1-3 tahun, sesuai
ketentuan yang berlaku di gereja masing-masing. 4 Pendeta adalah hamba Tuhan. Kata hamba
dalam Perjanjian lama adalah ‘ebed ( ), turunan dari kata ‘abad ( ) yang

2 Darwin Lumbantobing (Ed) Percikan Teologi Jubah hitam. Pematangsianatar L.Sapa, 2008 hlm 3.

3 Hasan Alwi, Kamus besar Bahasa indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm 849.

4 Tata Gereja & PRT GKPI pasal 14 ayat 1c mengaturkan bahwa untuk dapat diangkat dan ditahbiskan menjadi
pendeta adalah ‘Telah menjalani masa pelayanan sebagai vikar di jemaat GKPI minimal 2-3 tahun.
2
berarti, bekerja, mengusahakan, melayani, mengabdi, seperti yang dilakukan seorang hamba
kepada tuannya.5 Segenap hidup, nyawa, diri, tenaga, pikiran, keluarganya, anak-anaknya,
masa depannya, semata-mata bergantung kepada tuannya, bukan kepada dirinya sendiri,
seorang hamba tidak dimungkinkan untuk melakukan sesuatu atas keinginan dan
kehendaknya sendiri, tetapi harus mengikuti keinginan dan kehendak tuannya.
Adapun tujuan hidup dan pelayanan seorang pendeta selaku hamba Tuhan adalah 6 : -
Semata-mata untuk memenuhi kewajipannya terhadap tuannya. – Untuk melayani (berbakti,
mengabdi) kepada tuannya.. - Untuk menyenangkan hati tuannya. – untuk melakukan apa
yang disuruh dan diperintahkan tuannya. – Untuk mendengarkan perkataan tuannya. Tuan
yang dimaksudkan disini adalah Tuhan Allah yang telah memanggilnya dan Yesus kristus
yang telah mengutusnya serta Roh Kudus yang telah melengkapi dirinya. Sedikit-dikitnya
seorang pelayan atau pendeta yang mengaku sebagai hamba Tuhan, harus memiliki :
loyalitas (loyalitas, ketaatan, kepatuhan); integrity (integritas); Sprituality (spritualitas).7
Loyalitas yang dimaksudkan adalah kesetiaan atau ketaatan serta kepatuhan kepada Tuhan
Allah. Dalam Yosua 24:14, Yosua mengingatkan umat israel : “worship (Ibr:abad) the lord,
obey (Ibr: tom) him, and always be faithful (Ibr : ‘emet’)”. Kesetiaan untuk beribadah,
bekerja dan melayani (abad) itulah kepatuhan yang berintegritas (Ibr: Tom). Kesetiaan yang
terus menerus (Ibr : ‘emet). Kesetiaan sampai mati dan sampai selama-lamanya.8
Memiliki integritas, berasal dari kata ‘integer’ (Latin), berarti gambaran pribadi
seseorang yang memiliki kualitas diri dalam segala dimensi kehidupannya. Seseorang yang
memiliki pikiran yang utuh (cerdas, dalam dan luas), emosi yang stabil, kemauan yang teguh,
tidak mudah menyerah, mampu berbagi hidup dengan orang lain, menaati aturan yang ada,
berfokus pada nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Kata integritas melihat aspek moral
seorang pribadi, ‘moral soundness, probity’, moral yang dapat diandalkan dan kejujuran. Hal
ini terwujud dalam karakter pribadi yang utuh (wholeness) dan lengkap (completeness).
Integritas juga bermakna ‘the quality or state of being unimpaired” (kualitas atau kondisi
pribadi yang teguh ( tidak lemah). Yakni pribadi yang berkarakter kejujuran, keterpaduan,

5 G.Gerleman, dalam Ernst Jenn & Claus Westermana (ed), Theological Lexicon of the Old testament, Vol.1,
USA; Hendrickson Publishers, 1997.

7 E.G.Singgih, Gereja dan pembangunan bangsa (carilah Tuhan maka kamu akan hidup), Refleksi berdasarkan
Amos 5:6a mengenai panggilan Gereja dalam era reformasi’. Dalam Weinata Sairin (Penyunting), Visi Gereja
memasuki Millenium Baru, jakarta; BPK-GM, 2002, hl. 123

8 . G Gerleman, Op.Cit., hlm 206


3
kebulatan dan keutuhan. Seorang dapat dikatakan mempunyai integritas apabila ia bertindak
jujur dan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang teguh dan kokoh. Orang yang berintegritas
adalah orang yang jujur dan bermoral teguh. Integritas adalah karakter pribadi yang menyatu
atau melekat pada diri seseorang. Integritas merupakan cerminan karakter seseorang.
Karakter terbentuk dari dan akibat pergaulan seseorang dengan Tuhan, yang mengakibatkan
sifat-sifat moral Allah dimilki oleh orang vtersebut. Orang tersebut berusaha hidup benar
(karena sudah lebih dahulu dibenarkan oleh Allah) dalam relasi dengan Tuhan, diri sendiri,
sesama, lingkungan dan tempat ia hidup.9
Spritualitas yang kristosentris (en-Kristo), yang menghasilkan persekutuan yang
dinamis (a dynamic union; menurut injil synoptis), persekutuan dalam kasih (union love),
musafir / pengembara, a pilgrimage (menurut 1 petrus). Hidup orang kristen itu bertumbuh
dan penuh dinamisasi dalam dirinya. Roh Kudus memampukan orang percaya berseru
‘Abba’, Bapa kepada Allah (Rom.8:15; Gal.4:6). Spritualitas, bukan hasil usaha / perbuatan,
tapi anugerah Allah dalam jiwa manusia yang berasal dari pertobatan sampai kepada
kematian dan kedatangan Kristus kembali. Spritualitas itu tampak dalam komunitas
(community) dan persekutuan (fellowship), hidup yang berdoa, memiliki dimensi kekekalan,
dan penuh kesadaran akan kehadiran Allah. Hidup dalam spritualitas; hidup yang diisi oleh
Roh Tuhan, yang berbuah sukacita, damai, kesabaran, keramahan, kebaikan, kesetiaan dan
penguasaan diri. Spritualitas kita membangun persekutuan (engender fellowship) dan
komunitas orang-orang kudus. Spritualitas kita diuji oleh kualitas pelayanan serta tingkah
laku kita seharihari, dimana ibadah menjadi gaya hidupnya (lifestyle).
Allah adalah Roh, Allah bekerja melalui RohNya dari yang eksternal ke internal, dari
yang lahiriah ke yang batiniah (rohaniah), dari yang ragawi ke moral. Persekutuan yang benar
dengan Allah dan Roh-Nya membuat kita mengetahui apa kehendak Allah. Roh itu
melengkapi diri kita untuk melaksanakan tugas kepelayanan kita. Roh itu memberi keahlian,
pengertian, pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan kepada para hambaNya (Kel.31:3).
Roh itu memampukan kita memimpin umat-Nya (Hak.3:10). Roh itu memberi kita ‘hati yang
paham menimbang perkara, dapat membedakan yang baik dan yang jahat (1 Raja 3:9). Roh
itu mengajarkan segala sesuatu dan mengingatkan kita (Yoh.14:26). Tanpa Roh (atau
hubungan dengan Kristus) kita tidak dapat berbuat apa-apa (Tidak berbuah dalam
pelayanan). Pelayan yang melayani secara holistik (rohani dan jasmani adalah pelayan yang
disertai Roh Tuhan, yang hidup kerohaniannya. Yang hidup yang dapat mengurus yang mati;

9 Sahat P.Siburian (Ed) Esai-esai untuk merayakan 80 tahun Pdt Dr J.R Hutauruk, Ujilah segala sesuatu, Medan,
LAPiK, 2016, hl. 141
4
yang berisi yang dapat mengisi yang kosong. Galatia 6:1 ‘Kamu yang rohani, harus
memimpin orang kejalan yang benar’ (NRSV : “You who have received the Spirit should
restore’). Pelayan yang memiliki spritualitas yang dapat memimpin orang kejalan yang benar.
II.2. Tahbisan Pendeta : Pemahaman dan pelaksanaannya
Sesuai dengan kesaksian dalam perjanjian Baru yang memberitakan banyaknya
pelayan tahbisan, maka dalam kehidupan gereja modern juga ada beberapa pelayan tahbisan.
Pelayan tahbisan yang umumnya dikenal gereja modern sekarang ini adalah tahbisan
pendeta. Berdasarkan istilah yang dipakai, ada tekanan-tekanan tertentu yang dikandung
dalam tahbisan tersebut. Gereja Belanda memakai istilah domine, artinya tuan, lord. Gereja
Ingris memakai istilah Reverend artinya yang dimuliakan. Gereja katolik sebahagian gereja
Protestan memakai istilah pastor artinya gembala. Sedangkan gereja diIndonesia memakai
istilah Pendeta, dari Sangsekerta ; panditta, pandit artinya guru, kepada siapa orang bertanya
ilmu pengetahuan, menerima bimbingan dan belajar.10 Pemakaian istilah tahbisan untuk
Pendeta, Domine, reverend dan Pastor sangat dipengaruhi bahasa tersebut. Istilah Domine
melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan tersebut adalah orang yang memiliki status
sosial yang lebih tinggi ditengah masyarakat. Istilah Reverend melahirkan pandanagan bahwa
pemilik tahbisan itu bukan hanya status sosial yang lebih tinggi tetapi juga harkat dan
martabat kemanusiaannya lebih memiliki sifat yang illahi sehingga dia harus dimuliakan.
Istilah Pastor, melahirkan pemahaman bahwa pemilik tahbisan itu adalah seorang gembala,
pengayom, yang menyatu dengan kehidupan orang banyak. Istilah pendeta melahirkan
pemahaman bahwa pemilik tahbisan itu adalah orang yang bijaksana, guru, pembimbing dan
pengajar, baik dalam hal-hal kehidupan duniawi maupun sorgawi.11
Dalam kehidupan warga gereja yang memakai istilah pendeta, maka Pendeta tersebut
dikenal dan dipahami sebagai orang yang serba tahu. Ia adalah seorang guru kehidupan dalam
berbagai masalah, misalnya tentang kehidupan rohani, kehidupan jasmani, bercocok tanam,
keadaan lingkungan, alam sekitar dll. Dalam kehidupan jemaat tradisional, pengenalan
terhadap figur pendeta seperti itu masih ditemukan sampai sekarang. Pendeta menjadi tempat
menerima arahan dan jawaban tentang berbagai masalah. Dengan pemahaman figur Pendeta
seperti ini, maka seorang pendeta adalah seorang panutan, figur teladan dalam kehidupan
rohani dan jasmani, dalam kehidupan bergereja dan kehidupan masyarakat. Bahkan dalam
pemahaman tentang figur Pendeta seperti itu, cara hidup seorang pendeta sering menjadi
10 Darwin Lumbantobing (Ed), Percikan teologi Jubah hitam, festschrift 25 tahun kependetaan 23 oktober
1983 – 2008, Pematangsiantar, L-SAPA, 2008 hlm.7

11 . Ibid,. Hl.. 8
5
model yang ditiru dan diminati warga jemaatnya. Misalnya, cara berpakaian, penampilan,
berbicara, dll. Akibatnya, figur seorang pendeta adalah figur yang transparan dimata warga
jemaat. Ia harus dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Ia harus dapat dicontoh dari hal-
hal kecil sampai hal-hal besar. Ia dan keluargaanaya bagaikan tinggal dirumah kaca, yang
dapat dilihat dari berbagai penjuru, dalam berbagai suasana, siang dan malam. Oleh karena
itu, apabila seorang pendeta benar-benar dapat menjalankan tugas dan pelayanannya, maka
warga jemaat akan mendukung dan menjungjungnya setinggi-tingginya. Pujian dan
penghormatan akan diterima pendeta itu. Bahkan kadang-kadang dapat berlebihan, dimana
pendeta tersebut hampir-hampir dikultuskan dalam hidupnya sehari-hari. Namun sebaliknya,
apabila kehidupan pendeta dan keluarganya tidak dapat menjadi teladan dalam kehidupan,
maka ia akan dilecehkan, dihina dan tidak dihargai.12

II.3. Pendeta : Jabatan, profesi atau Tohonan Tahbisan ?


- Jabatan struktural
Pelaksanaan tugas pelayanan Pendeta masa kini sudah jauh berbeda dengan tugas
pelayanan nabi, rasul dan pelayan-pelayan lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam alkitab,
khususnya dalam surat-surat Perjanjian Baru. Hal itu dapat dilihat lebih jelas dalam
pelayanan rasul paulus dan rasul-rasul lainnya. Dalam praktek kerasulannya, Paulus, Petrus
dan rasul lain, tidak pernah menempatkan diri, sebagai atasan atau bawahan dalam tugas
pelayanan. Namun masing-masing rasul melaksanakan tugas pelayanan secara mandiri.
Dalam Kisah para rasul memang ada pembagaian tugas antara sesama rasul, namun
pembagian tugas tersebut tidak merupakan wewenang atau kepatuhan sebagai seorang atasan
atau seorang bawahan, melainkan hasil kesepakatan dan mufakat bersama demi kesuksesan
pelayanan dan pekabaran injil. Akan tetapi dapat juga dilihat bahwa pembagian tugas wilayah
pelayanan yang dilakukan Paulus, misalnya terhadap Titus, Timoteus, Efaproditus, Epapras,
Lukas dan lain-lain, bukan karena wewenang struktural, melainkan karena semakin luasnya
wilayah pelayanan yang menuntut adanya koordinasi diantara pelayan.
Namun pada perkembanagan gereja modern saat ini, Pendeta sebagai pemegang
jabatan struktural tidak dapat dielakkan. Jabatan struktural muncul didalam tubuh gereja ssuai
dengan perkembangan institusional gereja itu sendiri. Akan tetapi yang menjadi keprihatinan
kita akhir-akhir ini adalah ketika gereja terlalu sibuk untuk mengejar dan memenuhi tugas
jabatan struktural gereja. Gereja disinyalir, seperti dugaan Avery Dules, hanya untuk

12 . Ibid., hl. , 9
6
memenuhi tuntutan struktural saja, dan kurang memenuhi peranya sebagai pemberita Firman
Tuhan.13 Perkembangan ini mengakibatkan langsung kepada motif pendeta dan
melaksanakan kependetaan. Banyak pendeta yang berusaha dan bercita-cita agar menjadi
salah seorang yang menduduki jabatan struktural. Hierarkhi jabatan struktural akhirnya
menjadi sasaran dan tujuan pendeta dan kependetaan. Ironisnya, dalam perkembangan akhir-
akhir ini, tidak ada jaminan bahwa pendeta yang sungguh-sungguh setia dalam pelayanan
akan menjadi pejabat struktural tertinggi dalam gereja. Atau sebaliknya seorang pendeta yang
menjabat jabatan struktural tidak selalu berarti lebih baik dan lebih bermutu dari pendeta
fungsional.
- Jabatan Profesional
Jabatan profesional adalah jabatan yang diemban oleh seseorang yang profesional
untuk jabatan tersebut. Keprofesionalan seseorang atas tanggung jawab diukur dengan
kemampuan, kelayakan dan kepatuhan didalam melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu,
keprofesionalan seseorang diukur dan dinilai dari kemampuan orang yang menjabat jabatan
tersebut.14 Pemahaman profesionallisme tidak sesuai bila diterapkan kepada pelayan tahbisan
(partohonan), sekalipun kemampuan profesional tersebut tetap dibutuhkan dalam memangku
jabatan gerejawi. Menjadi seorang pemangku tahbisan (partohonan) tidak bertitik tolak dari
kemampauan (SDM) pelayan tahbisan tetapi dari sudut pemberi tahbisan (tohonan) tersebut.
Seseorang yang dipanggil, ditetapkan dan diutus menjadi pelayan tahbisan adalah seseorang
yang telah diangkat dan ditetapkan oleh Tuhan Yesus, Raja gereja. Oleh karena Tuhan yang
memanggil, menetapkan dan mengangkat, maka Tuhan sendirilah yang memberi kemampuan
dan kelayakan, menjadi orang yang telah dimampukan dan dilayakkan dalam memangku
jabatan tersebut.
- Pendeta dan kependetaan sebagai lapangan kerja.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pendeta dan kependetaan
tidak lepas dari masalah lapangan kerja. Dengan demikian, motivasi menjadi pendeta juga
tidak lepas dari keiginan memiliki lapangan kerja. Pemahaman ini dapat dilihat dari berbagai
latarbelakang calon mahasiswa teologi yang memilih masuk ke STT HKBP dan perguruan
tinggi teologi lainnya. Pada dekade terakhir ini, di Indonesia, masalah lapangan kerja sudah
merupakan masalah kehidupan sosial yang sangat banyak menyita perhatian, baik dari pihak
pemerintah, maupun dari pihak masyarakat, keluarga dan tenaga-tenaga kerja. Dengan

13 Avery Dulles, Model-model Gereja, Jakarata, BPK-GM, 2000, hl 65

14 Darwin Lumbantobing, Percikan teologia jubah hitam, hl 10


7
demikian, menjadi pendeta adalah salah satu alternatif untuk mencari solusi lapangan kerja.
Motif seperti itu ada yang datang dari pihak orang tua, dan ada juga dari pihak calon
mahasiswa teologi itu sendiri.15

- Pendeta dan kependetaan sebagai Tahbisan


Menurut PA-HKBP 2002, arti dari pelayanan tahbisan ‘partohonan’ adalah ‘ulaon
pangkobasion huria na diampehon tusahalak parhobas marhitehite pamasumasuon hombar tu
Agenda HKBP’.16 Rumusan ini berlaku kepada pemahaman ‘tohonan’ yang lain di HKBP
seperti Guru Huria, Bibelvrou, Diakones, Evanggelis dan Sintua. Digereja-gereja
protestancukup jelas perbedaan pelaksanaan penahbisan terhadap seorang pendeta dengan
jabatan tahbisan lainnya. Penahbisan pendeta dilakukan dengan cara ‘penumpangan tangan’
disertai dengan pembacaan ‘Akta Tahbisam’, yaitu ayat-ayat alkitab atau rumusan-rumusan
teologis sesuai dengan ‘tohonan’ tahbisan tersebut, yang tidak dilakukan kepada tahbisan
yang lain. Sementara didalam agenda HKBP, proses pelaksanaan tersebut kurang ditekankan,
walaupun penumpangan tangan yang disertai pembacaan akta takbisan dilakukan.
Akibat dari kekurangjelasan ini, ada berbagai kesimpangsiuran dalam penahbisan
pelayan tahbisan di HKBP. Misalnya, ada pendeta dan pelayan tahbisan yang ketika
melaksanakan penahbisan pelayan sintua, melakukan penumpangan tangan dan pembacaan
akta tahbisan. Akan tetapi ada juga yang hanya menyalam sambil membacakan tugas
pelayanan sintua. Sebenarnya penumpangan tangan yang disertai pembacaan akta takbisan
hanya ditujukan kepada takbisan pendeta. Itulah yang membedakan dan menjadi kekususan
pendeta dari tahbisan lainnya.17 Kekhususan jabatan tahbisan pendeta di HKBP sama dengan
digereja-gereja lain, adalah karena ‘tohonan hapanditaon i do na manghamham tohonan ni
Kristus na tolu i, i ma panurirang, malim dohot Raja. 18 Kekhususan ini menjadi salah satu
prasyarat bagi tohonan atau tahbisan pendeta untuk menyampaikan berkat dengan cara
penumpangan tangan, sementara jabatan tahbisan yang lain di HKBP seperti Guru huria,
Bibelvrouw, Diakones, Evanggelis dan sintua tidak diperkenankan melakukan pemberkatan
dengan cara penumpangan tangan.19
15 Ibid., hl.11

16 Aturan Peraturan HKBP, 2002 hl. 59

17 R.T.Munthe, Penabalan 19 pendeta baru di HKBP, dalam Immanuel HKBP, 15/1983

18 Aturan Peraturan HKBP 2002, Bd 25, 1-1, hl 60

19 Ibid., 60-66.
8
Menjadi pendeta berarti memiliki kharisma, pemberian, baik dalam bentuk wibawa
(sahala), maupun dalam bentuk hikmat. Pemberian itu tidak diperoleh dari kemampuan yang
dimliki seorang penerima dan pengemban tahbisan, tetapi dari Tuhan sebagai oknum pemberi
tahbisan. Berhubung oleh karena pemberi tahbisan, bukan manusia dan bukan pula pejabat
gerejawi yang menempati posisi hierarkhi tertinggi dalam struktur kepemimpinan gereja,
maka kepatuhan seorang penerima tahbisan bukan kepada pejabat gerejawi, melainkan
kepada Yesus kristus, Raja gereja itu. Pendeta sebagai tohonan adalah penerima tugas
panggilan Tuhan. Artinya, yang memberi ‘mandat’ untuk memberitakan Firman Tuhan adalah
Tuhan sendiri. Oleh karena itu, ia (partohonan) tidak berbicara atas dirinya sendiri melainkan
atas atas nama Tuhan, yang memberikan kuasa Roh Kudus dalam melaksanakan tugas
panggilannya. Keabsahan, validitas dan otoritas kependetaan seseorang sama dengan yang
dimiliki oleh seorang nabi, rasul dan utusan Tuhan lainnya. Ia berhak, berkuasa, berwibawa
memberitakan Firman Tuhan, bersaksi bahkan memberi teguran dan hukuman kepada warga
jemaat (Yeh. 33:7-11; Mat.16:19) hanya apabila Roh Kudus ada padanya.20
Dengan demikian, pendeta dan kependetaan bukan jabatan, bukan profesi, bukan
lapangan pekerjaan, melainkan tugas panggilan Allah. Seseorang yang dipanggil Tuhan selalu
ditempa, dibentuk lebih dahulu menjadi murid Yesus (Yes. 50:4-6). Pemuritan selalu
merupakan lanjutan dari pemanggilan dan merupakan proses untuk pengutusan. Sekalipun
pada akhirnya dituntut kemampuan (Skill), wawasan dan pengetahuan dari seorang pendeta
masa kini, namun yang menjadi dasar pendeta dan kependetaan adalah tugas panggilan
Tuhan. Seperti kata Tuhan Yesus, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang
memilih kamu dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah
dan buahmu itu tetap” (Yoh.15:16).
Inti pokok tahbisan pendeta dan kependetaan adalah kesetiaan dan kepatuhan kepada Dia
yang memilih, memanggil dan mengutus seseorang menjadi pendeta, yaitu Tuhan Yesus
Kristus. Oleh karena itu, loyalitas kependetaan harus diletakkan kepada kristus. Semua
penerima tahbisan harus selalu mengacu dan tertuju kepada kristus. Oleh karena itu, semua
penerima tahbisan adalah sama-sama murid Kristus yang menerima tugas panggilan dan yang
diutus langsung oleh Kristus.
Pendeta dalam kehidupan sehari-hari.
Pendeta sama seperti pelayan tahbisan yang lain, sama-sama sebagai pemberita
Firman Tuhan. Pendeta adalah ‘alat’ dan ‘utusan’ untuk memberitakan Firman Allah kepada

20 M.H.Sihite, Seminar Tahun Marturia HKBP 2008 pada sinode HKBP Distrik V Sumatera Timur, Ambarita,
Sopo Toba Hotel, 03 Nopember 2007
9
jemaat, masyarakat dan bangsa. Namun demikian, pendeta adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan keluarganya dan sebagai bagaian dari masyarakat setempat.
Pendeta memiliki cara hidup, nilai-nilai kehidupan tersendiri yang tidak sama dengan
masyarakat umum. Oleh karena itu, seorang pendeta harus dapat menempatkan dirinya secara
pas dan tepat, sebagai bagian dari warga masyarakat sekaligus sebagai pelayan dan hamba
Tuhan.21
Dalam hal ini, apabila pendeta tersebut adalah seorang bapak atau ibu didalam keluarga,
maka semua anggota keluarga harus turut serta mendukung citra kependetaan tersebut.
Keluarga pendeta harus menjadi satu tim didalam melaksanakan dan memelihara citra
kependetaan. Pendeta masa lalu sering mengatakan kalau bapak adalah seorang pendeta,
maka istri pertama adalah jemaat dan istri kedua adalah istri yang ada di rumah tanga.
Semboyan tersebut datang dari pemahaman bahawa pendeta hanya bertanggungjawab
mengurus jemaat, sementara urusan keluarga tidak dilakukan lagi dan diserahkan total kepada
ibu atau istri pendeta tersebyt. Semboyan tersebut tidak dapat lagi diterima pada masakini.
Citra pendeta dan kependetaan dari seorang yang ditahbiskan turut serta ditentukan oleh
keluarga terdekatnya sendiri.22

III.KEPEMIMPINAN PENDETA SEBAGAI PARENTING ( ORANG TUA


ROHANI).
III.1.1. Kepeminpinan secara umum.
Kata Kepemimpinan sudah merupakan hal yang umum dikenal bahkan dipraktekkan oleh
seseorang atau diwujudkan dalam suatu aktivitas wadah organisasi profit maupun non profit
dalam segala sifat dan bentuknya. Kepemimpinan berasal dari akar kata pemimpin, yang
terdiri dari awalan ke dan akhiran an. Poerwadarminta mendefinisikan pemimpin adalah
orang yang menjadi pemimpin.23 Dalam bahasa Ingris kata ‘leader’ merujuk kepada
pemimpin agama Islam (ayottalah), boss (captain), komandan (commander), kepala utama
(chieftain), direktur (director), pemimpin dari kepala surat kabar, penanggungjawab penerbit
dan artikel.24 Itu berarti bahwa pemimpin itu harus menata dan mengarah sistem yang sudah
berjalan dengan baik, benar dan sempurna. Bila perlu memperbaiki dan membenahi sistem

21 Darwin Lumbantobing, Percikan teologi jubah hitam, hl. 14

22 Ibid., hl 15

23 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus umum bahasa Indonesia, balai pustaka, Jakarta, hal 728

24 Alan Sponsor, A Dictionary Of Synonyms and Antonyms, (New York: Oxford University, 1999), hal 232
10
yang sudah ada dan yang sudah berjalan. Pemimpin juga dituntut dapat mengoptimalkan
team work yang sinergi, menghindari konflik dan meminimalisasikan dampak negatif dari
setiap persoalan yang akan datang. Dan seorang pemimpin itu harus dapat memahami arah,
tujuan dan perjalanan lembaga yang akan dipimpinnya.25
Sebenarnya seorang pemimpin menggambarkan kebutuhan dan tujuan dari
sekelompok orang. Contohnya, seorang ahli astronomi mungkin sangat pandai dalam
laboratoriumnya, dan karena kemampuannya yang luar biasa maka berdasarkan rasa hormat
dari teman-temannya atau karena diangkat oleh atasannya, ia muncul sebagai seorang
‘pemimpin’ yang menentukan dalam bidangnya. Konsep ini kadang-kadang dibedakan
dengan menunjuk kepada ‘pemimpin bayangan’ dan ‘pemimpin fungsional’. Konsep pertama
memandang pemimpin sebagai simbol dan mencari-cari seorang yang tinggi, gagah, kuat,
pandai bicara dan mempunyai sifat ‘seorang pemimpin sejati’. Yang pokok adalah bahwa
“pemimpin sejati’ itu hanya dan tidak benar-benar ada. Pemimpin fungsional dipilih karena
memiliki nilai-nilai dinamis bagi suatu kelompok tertentu pada suatu waktu tertentu. Yang
penting disini apakah individu tersebut mampu mendatangkan hasil-hasil bagi kelompok
secara lebih baik dari pada orang-orang lain.26
III.1.2. Kepemimpinan dalam Alkitab
Kata kepemimpinan berasal dari kata pemimpin. Istilah pemimpin dalam bahasa
Ibraninya “Nigid’ ( ) yang artinya ‘menetapkan’, ‘menunjuk’ dan ‘memberitahukan’.
Istilah lain yang selalu ditemukan adalah istilah ‘Ro’eh’ ( ) atau ‘gembala’ pada
mulanya kata itu mendapat arti kongkrit sebagai gembala ternak, tetapi juga digunakan untuk
penggembalaan manusia dengan kata lain orang yang mengasuh dan membina manusia, yaitu
gembala yang bersifat Illahi maupun fana. Terhadap kedua makna tersebut dipakai kata yang
sama, yakni istilah bahasa Ibraninya untuk gembala ialah “Ro’eh” sedangkan dalam bahasa
Yunaninya adalah “Poimen”.27
Dalam Alkitab, kepemimpinan merujuk pernyataan bahwa semua yang dilakukan para
pemimpin harus berdasarkan Alkitab, dimana Allah yang berpesan sehingga pekerjaan tidak
ditanggung sendirian. Alkitab banyak menggambarkan bentuk-bentuk kepemimpinan melalui
tokoh-tokoh pemimpin dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dengan maksud agar

25 Yakop Tomatala, Kepemimpinan yang Demoktaris, ( Jakarta: YT Leadership, 1997), hal 6-7

26 Ibid, hal 98

27 A.A.Sitompul, Mengembangkan Pelayanan dan Kepemimpinan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal 5
11
rencana Allah dapat digenapi.28 Kepemimpinan ini tidak mengutamakan kemampuan
pemimpin tetapi lebih pada kerendahan hati, dan memiliki motivasi dalam hubungannya
dengan Allah. Sebagai pemimpin Kristen bukan dilayani tetapi siap untuk melayani.
Kepemimpinan ini juga tidak terfokus pada ketrampilan pemimpinya. Tetapi pada integritas,
kejujuran dalam hubungan dengan Allah.29 Seorang pemimpin kristen adalah seorang yang
dipanggil oleh Tuhan untuk memimpin yang memiliki karakter Kristus, dan kemampuan-
kemampuan fungsional yang memungkinkan dilakukannya kepemimpinan yang efektif.30
Ada beberapa kombinasi yang memungkinkan para pemimpin melakukan banyak
hal, yaitu : Pertama, seorang pemimpin Kristen dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi hamba
yang baik dan bersifat unik. Kedua, seorang pemimpin kristen adalah seorang dengan
karakter seperti Kristus. Ketiga, seorang pemimpin Kristen memiliki kemampuan fungsional
yang memungkinkan melakukan berbagai tugas dan membimbing orang-orang menuju
kesempurnaan.31
III.1.3. Prinsip kepemimpinan.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, prinsip adalah ‘asas, dasar (kebenaran yang
menjadi pokok dasar berpikir, bertindak)32. Kepemimpinan berasal dari kata ‘pimpin’.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kepemimpinan adalah ‘perihal memimpin, cara
memimpin’33. Kata parenting berasal dari bahasa Ingris, ‘parent’ yang artinya orang tua.
Sementara kata ‘parenting’ berarti pengasuhan.34 Pengasuhan berasal dari kata dasar ‘asuh’
yang artinya : 1) menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil; 2) membimbing (membantu,
melatih, dsb) supaya dapat berdiri sendiri (tentang orang atau negeri); 3) memimpin
(mengepalai, menyelenggarakan) badan kelembagaan. Pengasuhan adalah proses, cara,
perbuatan mengasuh35 Jadi orang tua rohani (parenting) yang dimaksud dalam tulisan ini
28 Jimmy,G.T.Kepemimpinan dalam Gereja Masa kini, (Surabaya L.p., 2004), hal 13

29 P.Octavianus, Dipanggil untuk melayani, (Malang:Departemen Literatur

30 Yakop Tomatala, Pemimpin yang handal, (Jakarta: YT Leadership Fondation dan Malang: Gandum Mas,
1996), hal 8

31 George Barna, Leaders on Leadership, (Malang: Gandum Mas 2002), hal 27

32 Pusat Bahasa Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi ke-3 Jakarta ; Balai
Pustaka, 2002, hl.960

33 Ibid hl 874

34 http:/www.googletranslate, diunduh pada 2 April 2018 pukul 15.30

35 Ibid, hlm 73
12
adalah proses, cara, perbuatan mengasuh jemaat. Istilah parenting bukanlah berasal dari dunia
kepemimpinan, tetapi dari dunia pendidikan dan keluarga. Iswarati menuliskan : Pengasuhan
berasal dari kata asuh, yang mempunyai arti menjaga, merawat, dan mendidik anak yang
masih kecil.. . Mengasuh pada konsep dasar tumbuh kembang anak, maka pengasuhan adalah
upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asuh,
asih, asah) dapat terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal.36
Tugas dan tanggungjawab orang tua dalam keluarga adalah melahirkan,
membesarkan, mendidik, mendisiplin, memberi teladan, dan mempersiapkan mereka menjadi
anak-anak yang mandiri. Orang tua tidak cukup hanya melahirkan, tetapi harus
bertanggungjawab membesarkan dengan memenuhi kebutuhana anak. Anak-anak harus didik
dan didisplin. Orang tua tidak bisa melakukan fungsi parentingnya bila ahanya memberi
perintah tanpa memberi teladan. Anak-anak tidak selalu melakukan hal yang diperintahkan.
Namun, biasanya mereka akan melakukan atau meniru apa yang mereka lihat.
Tanggungjawab orang tua menjadi lebih sempurna bila anak-anak dipersiapkan menjadi
orang-orang yang mandiri, tidak bergantung terus kepada orang tua.
Berdasarkan defenisi-defenisi tersebut, penulis menyimpulkan bahawa prinsip kepemimpinan
parenting adalah prinsip atau pokok dasar dalam berpikir dan bertindak sebagai pemimpin
dengan pengasuhan dan pembimbingan seperti yang dilakukan orang tua terhadap anak-
anaknya. Dalam hal ini, prinsip kepemimpinan parenting adalah prinsip kepemimpinan yang
menyatakan fungsi pengasuhan kepada jemaat sehingga tiap-tiap orang dalam gereja dapat
bertumbuh kearah kehendak Allah.
III.1.4. Teori-teori dalam kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan perjalanan yang mempunyai tujuan dan masa depan.
Kepemimpinan merupakan proses yang dijalani seseorang yang membangun karakter dan
kecakapan dibawah pengawasan Allah untuk menjadikan orang itu pemimpin yang lebih
efektif pada setiap perjalanan. Kepemimpinan adalah kehidupan. Kehidupan adalah
kepemimpinan. Kepemimpinan adalah perjalanan melewati lembah dan puncak gunung. 37
Fred Smith mengatakan bahwa kepemimpinan adalah hal membuat orang lain bekerja untuk

36 Israwati, http://persagi.org/document/makalah/169..makalah pdf,hl 2-3, diunduh pada 2 April 2018 pkl


16.00.

37 Alemu Beeftu, The leadership Journey – Tujuh langkah praktis menjadi Pemimpin yang berdampak
maksimal, Yogyakarta : Andi, 2011, hl.20
13
anda ketika mereka tidak diwajibkan.38 James J. Georges dari Part Training Corporation
menyebutkan defenisi kepemimpinan adalah kemampuan untuk memperoleh pengikut-
pengikut.39 Sementara itu John Maxwel berkata bahwa kepemimpinan adalah pengaruh.
Tidak lebih; tidak kurang. Bila seseorang mengira bahwa ia adalah pemimpin, tetapi ia tidak
diikuti oleh orang-orang, sesungguhnya ia bukanlah seorang pemimpin.40
Jonathan Willy Siagian menulis bahawa : Kepemimpinan pada hakekatnya adalah
suatu usaha untuk memengaruhi seseorang agar mengikuti kehendak orang lain. . . saat
seseorang mengajak orang lain bekerja untuk kepentingan bersama, sebenarnya telah terjadi
kinerja kepemimpinan mandiri. Kepemimpinan adalah hal memengaruhi orang lain yang
dipimpinnya. . . Pemimpin adalah orang yang melakukan proses kepemimpinan,
memengaruhi dan bekerjasama dengan orang yang dipimpin, memberitahukan arah yang
harus dituju, dan melakukan perubahan terhadap lingkungan yang dipimpinya. 41 Larry Stout
berkata bahwa kepemimpinan adalah misteri. Memahami sesuatu yang kongkret (seperti
pemimpin) lebih mudah dari pada memahami konsep yang abstrak (seperti kepemimpinan). 42
Bambang Budijanto menyebutkan bahwa pengertian kepemimpinan lebih pada kepercayaan :
“Kepemimpinan adalah kepercayaan. Kepercayaan yang diterima dari para pengikut adalah
asset yang tidak ternilai bagi seorang pemimpin. Sebagai pemimpin, kita perlu tahu bahwa
orang-orang yang mengikuti kita, sesungguhnya memiliki pilihan untuk tidak mengikuti kita
atau mengikuti pemimpin yang lain. Mereka memilih kita, . . . meletakkan masa depan
mereka, baik dalam pelayanan, dunia usaha, hidup, pergaulan, maupun sebagainya kedalam
tangan kita, oleh keputusan-keputusan yang kita ambil sebagai pemimpin mereka.43
Dari defenisi-defenisi diatas, terutama defenisi yang diberikan oleh John Maxwell,
kita harus jeli membedakan bahwa kepemimpinan bukanlah kemampuan untuk meraih
kedudukan, pangkat, atau kabatan. Kepemimpinan juga bukan kemampuan untuk
mendapatkan pengikut sehingga seseorang itu mendapatkan status sebagai pemimpin.
Kepemimpinan dimulai dengan hati bukan dengan otak. Kepemimpinan bertumbuh subur
38 John C.Maxwell, Mengembangkan kepemimpinan didalam diri anda, Georgia Corporation: EQUIP, 1982, hl 7

39 Ibid, hl 1

40 Ibid, hl 5

41 Jonathan Willy Siagian, Lead By Heart – Kepemimpinan andal yang menggunakan hati, Yogyakarta, Andi,
2009, hl.19

42 Larry Stout, Model kepemimpinan ideal yang mengubah dunia, Yogyakarta: Andi, 2010, hl.4

43 Bambang Budijanto, The Leadership Legacy, Yogyakarta, Andi, 2012, hl 94.


14
dengan hubungan, bukan dengan banyak peraturan. Pemimpin pada atahap ‘posisi’ sring
memimpin dengan intimidasi.44 Selanjutnya penulis akan meninjau pengertian dari
‘pemimpin’ itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia ‘pemimpin’ sering disebut penghulu,
pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala,
panutan, raja, tua-tua dsb. Sedangkan istilah ‘memimpin’ digunakan dalam konteks hasil
penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannaya mempengaruhi oarng lain
dengan berbagai cara. Istilah pemimpin, kepemimpinan, dan memimpin pada mulanya
berasal dari kata dasar yang sama yaitu ; ‘pimpin’. Namun demikian. Ketiganya digunakan
dalam konteks yang berbeda.
- Fungsi Kepemimpinan
Menurut Jonathan Willy, fungsi kepemimpinan antara lain merencanakan, memulai,
mengendalikan, mendukung, menginformasikan, dan mengevaluasi.45 M.Asrori Ardiansyah
menuliskan fungsi kepemimpinan adalah : - Task related atau Problem Solving Function.
Dalam fungsi ini pemimpin memberikan saran dalam pemecahan masalah serta memberikan
sumbangan informasi dan pendapat. - Group Maintenance Fungcion atau social Function.
Pemimpin membantu kelompok untuk beroperasi lebih lancar; memberikan persetujuan atau
melengkapi anggota kelompok yang lain, misalnya menjembatani kelompok yang sedang
berselisih pendapat; memerhatikan diskusi-diskusi kelompok. Seorang pemimpin yang efektif
adalah seorang pemimpin yang mampu menampilkan kedua fungsi tersebut dengan jelas. 46
Sedangkan fungsi manajemen terdiri dari ‘Perencanaan (Planning) Pengorganisasian
(Organizing) Pengarahan (Directing) Pengoordinasian (Coordinating) dan pengendaalaian
(Controling)47 Pemimpin harus memastikan bahawa setiap fungsi dilaksanakan dengan baik
demi tercapainya tujuan yang diharapkan.
Jonatan Willy mengatakan bahwa fungsi kepemimpinan lebih mengandung pengertian
membimbing, mendampingi, memberi petunjuk dan arahan, sembari memberi contoh dan
teladan.48 Dari pandaangan-pandangan itu, terlihat bahawa sebelum merencanakan sesuatu,
pemimpin harus memiliki cukup informasi yang dapat dirangkum menjadi suatu rencana

44 Yosafat Bangun, Integritas pemimpin Pastoral, Yogyakarta, Andi, 2010 hl.7

45 Jonathan Willy, Op.cit, hl 8

46 M.Asrori Ardiansyah, Op.cit, hl 1

47Melvyn Nainggolan, Gembala sidang sebagai Manajer Gereja, dalam materi national bible conggress Gereja
Bethel Injil Sepenuh (Kaliurang, hl.34

48 Jonathan Willy, Op.Cit hl.6


15
yang jelas. Selanjutnya, ia harus membuat defenisi tujuan yang jelas dan menetapkan sasaran-
sasaran yang memungkinkan untuk dipahami oleh anggota yang akan mengikuti dari
belakang. Jangan mengharapkan pekerjaan dimulai oleh orang lain apabila pemimpin belum
memulainya. Jadi pemimpin sendirilah yang harus berinisiatif untuk memulai pekerjaan. Ia
harus memberi bimbingan dan informasi yang jelas tentang pekerjaan dan tujuan yang harus
dicapai. Pemimpin harus mengendalikan orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu perlu
disusun standar nilai yang harus dianut. Mereka harus berkomitmen pada nilai-nilai yang ada.
Setiap keputusan harus sesuai dengan tujuan. Kadang-kadang pemimpin memberi
kepercayaan kepada seseorang atau beberapa orang untuk berada dibaris depan, tetapi ia
harus terus memegang kendali.
Pemimpin harus memberi dukungan, memberi semangat kepada orang yang
dipimpinnya. Pekerjaan-pekerjaan berat sangat membutuhkan dukungan yang besar dan terus
menerus dari pemimpin. Orang-orang yang mengikuti pemimpin bisa berhenti ditengah jalan
bila tenaga terkuras, dukungan dan semangat kurang. Pemimpin harus mampu memberi
informasi ternaru mengenai realitas perjalanan yang sedang atau akan mereka tempuh.
Pemimpin juga harus mengevaluasi kinerja tim yang dipimpinnya. Pemimpin yang tidak
melakukan evaluasi sedang melakukan pembiaran. Visi atau sasaran tidak akan tercapai bila
tanpa evaluasi. Arah bisa menjadi tidak terkendali bila pemimpin berdiam diri tanpa evaluasi.
Kepemimpinan yang ada didunia ini memiliki fungsi yang beranekaragam, tergantung
motivasi dari pemimpinnya. Yesus pernah berkata, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah
rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-
pelindung.. .’ (Luk.22:25) Pada bagaian lain Yesus berkata bahwa para penguasa dunia ini
memerintah dengan tanagan besi. “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa
memerintah rakyatnya dengan tanagan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya
dengan keras atas mereka” (Mat.20:25).
Dari pengajaran yang Yesus sampaikan, kita dapat mengerti bahwa fungsi kepemimpinan
duniawi pada umumnya adalah memerintah, melindungi, dan menjalankan kuasa. Para
pemegang tampuk kepemimpinan bertanggungjawab dalam mengerahkan orang-orang
dibawahnya untuk mengikuti mereka kearah yang dikehendaki sang pemimpin.
Kepemimpinan lebih dari sekedar jabatan, kepemimpinan adalah proses untuk memengaruhi
orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Para pemimpin harus mempergunakan
kemampuannya untuk mendeskripsikan tujuan dan mengkomunikasikan atau
membagikannya kepada orang lain, dengan harapan agar dapat dicapai secara bersama-sama.

16
3.1.5. Bentuk-bentuk kepemimpinan kristen
- Penggembalaan
Penggembalaan adalah model kepemimpinan alkitabiah. Alkitab sebagai dasar hidup
kekristenan menyatakan bahwa penggembalaan adalah model kepemimpinan rohani. Sejak
Musa memimpin bangsa Israel, ia sudah berdoa meminta agar Tuhan mengangkat pemimpin
Israel yang berfungsi sebagai gembala. “Biarlah Tuhan, Allah dari roh segala mahluk,
mengangkat atas umat ini seorang yang mengepalai mereka waktu keluar dan masuk, dan
membawa mereka keluar dan masuk, supaya umat Tuhan janagan hendaknya seperti domba-
domba yang tidak mempunyai gembala” (Bil.27:16,17).
Jelas tersirat dalam doa Musa ini bahwa bentuk kepemimpinan yang diharapkan
adalah seorang penggembala yang memimpin umat Israel pada waktu keluar dan masuk.
Sebagai seorang pemimpin, Musa menyadari kebutuhan bangsa Israel akan hadirnya seorang
penggembala. Fungsi demikian terlihat jelas dari cara Musa memimpin mereka selama empat
puluh tahun dipadang gurun. Musa tidak meminta seorang raja atau panglima perang, seorang
pendekar atau hakim agung, tetapi seorang penggembala bagi umat Tuhan. Ketika orang
Israel menghendaki seorang raja pada zaman hakim-hakim, Allah dan Samuel pada dasarnya
tidak menyukainya (1 Sam.8). Namun Allah kemudianmeluluskan permintaan bangsa Israel
untuk mengangkat seorang raja atas mereka. Ketika gembala tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, Yehezkiel menuliskan “Dengan demikian mereka berserak, oleh karena gembala
tidak ada, dan mereka menjadi makanan bagi segala binatang dihutan. Domba-dombaKu
berserak” (Yeh.34:5). Model kepemimpinan penggembalaan kemudian dipertegas dalam
Perjanajian baru. Sebagai pemimpin, Yesus menyebut diriNya sebagai Gembala Agung yang
baik (Yoh.10:1-21). Gembala harus mengenal nama-nama domba gembalaanya, mengetahui
kondisi kehidupan mereka dan mengasihi mereka.49
Yesus adalah teladan bagi semua gembala. Ia sangat prihatin ketika melihat banyak
orang yang tidak mendapat penggembalaan yang benar dari pemimpin agama Yahudi. Matius
menulis bahwa orang banyak yang mengikuti Yesus lelah dan terlantar seperti domba yang
tidak tergembala (Mat.9:36-38). Yesus menyatakan kekecewaanNya melihat para ulama dan
rohaniawan-rohaniawan Israel pada zaman pelayananNya dibumi (Mrk.6:34) sehingga Dia
mengecam mereka secara tegas (Mat.23). Sebelum Yesus naik kesorga, Dia memanggil para
rasul. Khusus kepada Petrus, Yesus berkata : “Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yoh.21:15-
17). Perintah ini disampaiakan oleh Yesus saat melihat kebutuhan umat-Nya yang

49 Bambang Yudho, How to Become a Christian Leader – Prinsip-prinsip kepemimpinan Kristen, Yogyakarta,
Andi, 2006 hl.8
17
memelurkan para penggembala. Selanjutnya sesudah Yesus naik kesorga, Roh Kudus
meneguhkan fungsi para gembala dengan memberikan karunia jabatan gembala sebagai salah
satu dari lima karunia jabatan dalam gereja (Ef.4:11). Apabila para rasul berperan untuk
mendirikan, meneguhkan jemaat-jemaat dan meletakkan dasar-dasar bagi gereja, para nabi
menyampaikan pesan Tuhan dengan suara nubuat, pemberita-pemberita injil melakukan
penginjilan dan pengajar mendewasakan serta memperkaya jemaat dengan pengetahauan-
pengetahuan tentang kebenaran, para gembala bertugas mengasuh jemaat sertamerawat gereja
seperti seorang ayah, tetapi sekaligus juga menjadi seperti seorang ibu, seperti dikatakan oleh
Paulus : “Tetapi kami berlaku ramah dianatara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh
dan merawati anaknya. . . . Kamu tahu, betapa kami, seperti bapa terhadap anak-anaknya,
telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang” (1 Tes.2:7,11).
Menurut Yosafat Bangun Jabatan Pendeta dalam bahasa Ingris sebetulnya adalah
penggembala. Kata pstor sinomim dengan kata ‘gembala’ dalam bahasa Indonesia. Kata ini
sebenarnya berasal dari dunia peternakan. Pengertian kata ini adalah untruk menjelaskan
tugas atau pekerjaan peternak domba, kambing, lembu dan sapi.50 Dari pernyataan-pernyataan
Alkitab diatas dapat dipahami bahawa penggembalaan merupakan model kepemimpinan
rohani yang alkitabiah. Penggembalaan adalah perintah Tuhan Yesus. Penggembalaan
membutuhkan prinsip dan strategi, membutuhkan sumber daya manusia yang dipersiapkan
sebaik mungkin. Penggembalaan merupakan kebutuhan gereja sampai akhir jaman. Yosafat
Bangun bahakan menulis : “Tugas penggembalaan adalah tugas yang sangat berat dan penuh
resiko. . . untuk mendapat setapak tanaman hijau dibutuhkan perjalanan melewati seribu ptak
tanah yang berbatu-batu dan padang tandus. Kondisi palestina yang seperti ini menyebabkan
para gembala harus bekerja keras. Para gembala mempunyai tugas yang sanagat berat dalam
menggembalakan ternak mereka (domba, kambing, lembu, sapi). Rupanya gembala dalam
konteks timur tengah, penggembalaan bukan dikerjakan oleh seorang amatir, tetapi
propesional.51 Jadi bila penggembalaan ternak harus dikerjakan secara profesional, betapa
lebih lagi penggembalaan jemaat. Hal ini menuntut tanggungjawab yang sangat besar dari
para pemimpin rohani digereja. Penulis Ibrani bahkan menyebutkan bahwa para pemimpin
rohani berjaga-jaga atas jiwa jemaat yang mereka pimpin (Ibr.13:17).
- Kepemimpinan yang melayani (Servanthood leadership)

50 Yosafat Bangun, Op.Cit, hl 155

51 Ibid, hl. 155


18
Pada kenyataannya bentuk-bentuk kepemimpinan yang ada didunia ini bukanlah
pelayanan penghambaan diri. Masing-masing pimpinan berusaha membuat orang-orang yang
dipimpinya menuruti perintah, bekerja sesuai keinginan pemimpin pemimpin dengan cara
yang lembut, tegas, keras dab kasar. Masing-masing pemimpin menganggap kedudukan
pemimpin sebagai posisi. Bentuk kepemimpinan keisten bukan seperti sistem politik dunia,
tetapi pelayanan. Bentuk pelayanan yang Tuhan tetapkan dalam kekristenan adalah model
kepemimpinan para gembala terhadap kambing dan domba mereka Alkitab memperkenalkan
gaya kepemimpinan yang melayani (servanthood leadership) Bd Lukas 22:25-27.
Kepemimpinan rohani alkitabiah adalah kepemimpinan yang melayani sebagai hamba atau
kepemimpinan yang menghambakan diri.52 Itulah sebabnya pemimpin rohani harus memiliki
pengenalan yang benar terhadap Kristus. Ia harus digerakkan oleh hati yang penuh belas
kasihan, bukan digerakkan oleh kekuasaan. Kepemimpinan jenis ini jauh dari kekuasaan
karena memposisikan diri sebagai hamba bagi semua orang. Paulus berkata “Sebab bukan
diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai
hambamu karena kehendak Yesus” (2 Kor.4:5). Selanjutnya Petrus mengingatkan para
pemimpin rohani agar tidak lupa bahwa mereka harus menggembalakan dengan pengabdian
diri. “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, janagan dengan paksa,
tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah dan jangan karena mau mencari
keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau
memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi
teladan bagi kawaanan domba itu” (1 Ptr 5:2-3). Petrus menjelaskan bahwa para penatua
dalam jemaat (ayat 1) harus memimpin atau menggembalakan domba-domba dengan
pengabdian diri. Mereka tidak boleh bertindak seolah-olah mereka adalah tuan yang
memerintah hambanya. Seorang pemimpin rohani harus lebih memberi keteladanan hidup.
Sudomo menuliskan, “Kepemimpinan Kristen seharusnya kepemimpinan yang
melayani orang-orang disekelilingnya. Karena Yesus datang kedunia bukan untuk dilayani
tetapi untuk melayani (Mat.20:28).53 Pemimpin yang melayani harus terlebih dahulu sudah
mengalami kelahiran baru atau pembaruan hidup sehingga memiliki pikiran dan perasaan
seperti yang dimiliki oleh Kristus (Flp.2:5). Bila seseorang belum memiliki pikiran dan
perasaan Kristus, tidak mungkin ia dapat menjadi pemimpin yang melayani. Pemimpin yang
melayani harus mengerti dan berusaha melakukan kehendak majikannya (Lukas 12:47-48).

52 Ibid. Hl .154

53 Sudomo, Ciri Kepemimpinan Sejati, Yogyakarta, Andi, 2005, hl 72


19
Jadi orientasi pelayanannya bukan kehendak atau tujuan diri sendiri, melainkan keinginan
dan perkenanan sang majikan. Itu sebabnya pemimpin rohani tidak boleh mementingkan diri
sendiri. Ia bahkan harus rela berkorban demi kepentingan orang-orang yang dipimpinnya (Flp
2:4, 7, 8; Yoh.10:31). Banyak pemimpin yang mengorbanakan orang lain demi
keberhasilannya. Namun pemimpin yang melayani berkorban untuk membantu orang lain
mencapai kesuksesan. Pemimpin yang melayani melakukan pekerjaannya dengan penuh
tanggungjawab (Luk.12:42-48). Pemimpin yang menghambakan diri harus setia mengurus
pelayanan, bekerja sekalipun tidak dilihat dan tidak mendapat pujian. Tujuan pelayanannya
adalah menyukakan sang tuan, bukan untuk mendapatkan pujian, sanjungan dan upah.
Pemimpin yang melayani meneladani kerendahahatian Yesus yang bahkan rela
membasuh kaki murid-muridNya (Yoh.13:4, 14-17). Ia menjelaskan apa yang dilakukanNya
adalah teladan kerendahhatian untuk ditiru oleh murid-murid. Yesus mengingatkan bahawa
hamaba tidak lebih tinggi dari pada tuannya. Utusan tidak lebih tinggi dari sang pengutus.
Orang yang mengerti dan melakukannya akan disebut berbahagaia. Pemimpin yang melayani
harus mengembangkan diri sesuai dengan talenta dan sumber daya yang dimiliki (Matius
25:21-23)
- Perbedaan Kepemimpinan umum dan kepemimpinan dalam gereja
Kepemimpinan umum yang ada diluar gereja jelas berbeda dari kepemimpinan rohani
yang ada dalam konteks gereja. Namun perkembanagan ilmu pengetahuan dan manajemen
membuat para pemimpin kristen tidak boleh menutup mata terhadap apa yang sedang terjadi
disekitarnya. Para pemimpin gereja seharusnya lebih meneliti m model dan prinsip
kepemimpinan alkitabiah dari pada mengadopsi secara semberangan produk-produk dari luar
gereja. Neil Cole berkata “Saya menolak banyak ide mengenai kepemimpinan dan kehidupan
gereja yang kita benarkan. Banayak diantaranya adalah ide-ide yang salah mengenai
kepemimpinan, yang terus kita dukung, tetapi tidak benar-benar kita evaluasi dalam terang
Alkitab – beberapa diantaranya ialah kecenderungan kita untuk memandang gereja hanya
sebagai institusi agama dengan struktur otoritas dari atas kebawah, godaan-godaan yang
cenderung membajak kepemimpinan sehingga tidak dapat menghasilkan buah yang sejati. 54
Yosafat bangun menuliskan “Para pemimpin dunia hanya memeberi defenisi kepemimpinan
sebatas pencapaian visi, misi, sukses, keuntungan dan target. Sedangkan pemimpin kristen
memberi defenisi tentang kepemimpinan lebih kepada transformasi kehidupan orang-orang
yang dipimpin kearah keserupaan dengan khaliknya (Kolosse 3:10).

54 Neil Cole, Organic Leadership, Yogyakarta, Andi, 2011. Hl 21


20
Yesus jelas menyatakan perbedaan pemimpin dunia dan pemimpin kristen “Kamu
tahu, banhwa mereka yang disebut pemerintah banagsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan
tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian diantara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu hendaklah
ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka diantara kamu, hendaklah ia
menjadi hamba untuk semuanaya. Karena anak manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memeberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak
orang” (Mrk 10:42-45).
Dari pernyataan-pernyataan itu terlihat bahawa pemimpin-pemimpin dunia biasa melakukan
tugas kepemimpinan dengan tanagan besi, unjuk kuasa untuk mencapai sasaran, tujuan dan
posisi yang mereka kehendaki. Pemimpin dunia bisa menyembah, menyuap dan menjilat
atasan, menyingkirkan saingan dan memeperalat serrta menginjak bawahan untuk naik
keposisi yang lebih tinggi. Ketika seorang pemimpin naik kepuncak kekuasaan, ia tidak
segan-segan bersikap diktator dan mengeskploitasi orang-orang yang berada dibawah
kekuasaannya.Dalam sejarah dunia dikenal penguasa-penguasa yang keras seperti Hitler dan
Stalin, bahkan banyak lagi para pemimpin dunia yang lalim. Para pemimpin politik yang
punya kekuasaan mutlak cenderung rusak.55
Hal seperti ini pernah terjadi dalam sejarah kelabu gereja. Pada abad ke-10 sampai
abad ke-16, Paus telah membangun kekuasaan yang luar biasa. Paus tidak hanya disegani dan
dihormati, tetapi juga sangat ditakuti. Paus memang bercita-cita untuk menguasai dunia.
Gereja Roma Katolik dipandang sebagai lembaga yang mengatur dan membimbing
masyarakat. Paus mengintervensi urusan politik. Pemimpin-pemimpin negara harus dari
kalangan gereja. Paus Gregorius VII (1073-1085) melawan kaisar Heinrich IV (1059-1106).
Gregorius melarang orang-orang awam, termasuk kaisar mengangkat seorang rohaniawan.
Lalu kaisar memecat Sri Paus, tetapi Paus mengucilkan heinrich dari gereja dan mengajak
rakyat untuk memberontak. Pergumulan itu berlangsung selama setengah abad. Akhirnya
Kaisar kehilangan hak untuk mengangkat uskup-uskup diwilayah kekuasaanya (1122).56
Pada 1198-1216 Puncak kekuasaan Paus terlihat ketika Paus Innocentius III
menyatakan dirinya kurang besar dari Allah, tetapi lebih dari pada manusia. Semua raja di
eropa terpaksa taat pada titah Innocentius.57Paus bukan saja menjadi wali Petrus, tetapi

55 Johny The, Menjadi pemimpin unggul dengan strategi Marketing Paulus, Yogyakarta, Andi, 2006, hl. 150.

56 Th Van Den end, Harta dalam Bejana, Sejarah gereja Ringkas, Jakarta, BPK-GM, 2010, hl 120.

57 Ibid, hl 123
21
menyatakan diri menjadi wakil dari Kristus. Semua raja harus taat kepada paus dan semua
mahkota dan otoritas pemimpin politik harus diterima sebagai karunia dari tangan Paus.
Sejak konsili Lateran, Paus diakui sebagai penguasa satu-satunya dalam gereja, pengurus dan
hakim tertinggi. Paus berhak menetapkan undang-undang mengutuk orang dengan pengucilan
dan pelarangan satu-satu daerah untuk menerima sakrament.
Gaya hidup sekuler dan Hedonisme dipraktekkan pihak pemimpin gereja. Istana Paus
menjadi bank uang terkaya diseluruh dunia. Sampai pada 1294-1303 melalui Paus Bonifatius
VII, pajak-pajak gereja dipungut. Dompet rakyat terkuras dan perbendaharaan Paus semakin
penuh. Segala harta yang dimiliki gereja ada ditangan Paus. Pada zaman Martin Luther,
gereja penuh dengan korupsi. Jabatan-jabatan gerejawi bisa dibeli oleh kaum bangsawan
yang kaya dan dipakai untuk meraup kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar. Seorang
diantaranya adalah Albertus dari Brandenburg, ia membeli jabatan uskup agung Mainz
dengan uang pinjaman. Untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia meminta izin kepada
Paus untuk menjual surat pengampunan dosa diwilayahnya.58
Dari semua uraian yang dipaparkan itu, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
umum dan kepemimpinan dalam gereja memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan yang
paling esensi adalah pada dasar pemikiran. Bila kepemimpinan umum memiliki dasar yang
bebas dari hasil pemikiran manusia, kepemimpinan kristen haruslah berdasarkan alkitab.
Ketika apara pemimpin kristen melupakan dasar alkitab kepemimpinan, mereka terjebak
untuk melakukan kesalahan yang sama dengan pemimpin-pemimpin duniawi. Pemimpin
rohani dalam konteks kekristenan harus menjalankan tugas kepemimpinan dengan kasih,
melayani sebagai hamba, memberi teladan dan memiliki integritas seperti yang ada pada
Kristus.

IV. PRINSIP KEPEMIMPINAN ORANG TUA ROHANI / PARENTING


4.1, Prinsip kepemimpinan parenting dalam Alkitab
Alkitab mengajarkan prinsip kepemimpinan rohani adalah bersifat parenting.
Pemimpin tidak hanya menduduki jabatan struktural, tetapi harus berfungsi sebagai bapa, ibu
atau orang tua bagi orang-orang yang mereka pimpin. Timbal baliknya, orangtua juga harus
berfungsi sebagai pemimpin rohani bagi anak-anaknya. Daniel Alexander menyatakan bahwa
‘pemimpin adalah ayah. Salah satu syarat pemimpin adalah sikapnya dapat menjadi teladan
bagi orang lain. . .para pemimpin dalam Alkitab dipilih Tuhan karena hidup mereka menjadi

58 Johny The, Op.Cit, Hl. 150


22
teladan bagi pengikut mereka.59 Abraham dipandang sebagai bapa bagi Israel karena ia telah
memimpin keturunannya dengan memberi teladan iman (Rm.4:16). Melalui Abraham, bangsa
Israel bangsa bangsa-bangsa diberkati (Kej. 12:1-3). Ini menunjukkan fungsi Abraham
sebagai pemimpin dalam hal iman kepada Tuhan. Ia menanggapi panggilan Tuhan untuk
menjadi Bapa bagi banayak bangsa (Kej.17:3). Orang Jahudi mengakui bahwa mereka adalah
keturunan Abraham (Yoh.8:33). Hal ini juga menyatakan bahwa bapa mereka adalah
Abraham, dan bahwa warisan iman dari Abraham sebagai bapa dan pemimpin rohani mereka
yang paling awal wajib dipertahankan.
Yakup sebagai orang tua bukan hanya membesarkan dan memelihara anak-anaknya
sampai mereka mandiri. Namun sebagai bapa ia juga berbicara tentang visi dan masa depan
anak-anaknya. Hal ini terlihat dari ucapannya sebelum ia meninggal : “Kemudian Yakup
memanggil anak-anaknya dan berkata “ Datanglah berkumpul, supaya kuberitahukan
kepadamu, apa yang kamu alami dikemudian hari. Berhimpunlah kamu dan dengarkanlah,
ya anak-anak Yakup, dengarkanlah kepada Israel, ayahmu” (Kej.49:1-2). Dalam ayat
selanjutnya satu persatu anak-anak Yakup menerima nubuat tentang masa depan mereka. Hal
ini menunjukkan bahwa Yakup bertanggungjawabmemberi fungsi parenting, baik secara
jasmani maupun secara rohani. Peran ini menunjukkan model orang tua jasmani, pemimpin,
dan orang tua rohani yang ideal. Sebagai bapa yang profetis, ia berbicara tentang masa depan
anak-anaknya.
Dalam alkitab kita menemukan bahwa Yusuf, sebagai pemimpin kedua setelah Firaun,
ditempatkan Allah menjadi bapa bagi Firaun dan tuan bagi atas seisi istananya, bahkan
sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir. Ia berkata, “Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku
kesini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan
atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanagh Mesir” (Kej.45:8). Sebagai
bapa, Yusuf bertanggungjawab memelihara kehidupan di Mesir. Lebih dari jabatan struktural
sebagai orang kedua dibawah Firaun, ia lebih menyadari fungsinya sebagai bapa. Fungsi dan
peran ini diakuinya diterima dari Tuhan, sebagai tanggung jawab. Musa menyadari tugas
kepemimpinannya bukan seperti raja atau penguasa pada umumnya yang berlaku otoriter atas
bawahannya. Ketika bangsa Israel memberontak terhadap titah Tuhan dalam perjalanan
dipadang gurun, Musa berdoa dan mencurahkan isi hatinya. Dari doanya ini terlihat bahwa ia
menyadari fungsi parenting dari pemimpin : Lalu berkatalah Musa kepada Tuhan :
“Mengapa Kau perlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat

59 Daniel Alexander, Menjadi Pemimpin berkarakter Illahi, Yogyakarta, Andi, 2006 hl 73


23
kasih karunia dimata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggung jawab atas
seluruh bangsa ini?. Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang
melahirkannya, sehinga Engkau berkata kepadaku : Pangkulah dia seperti pak pengasuh
memangku anak yang menyusu, berjalan ketanah yang Kau janjikan dengan bersumpah
kepada nenek moyangnya ?” (Bil.11:11-12) Musa memandang bahwa fungsi kepemimpinan
harus dijalanakan dengan tanggungjawab sebagai orang tua seperti pak pengasuh yang
mengasuh anak-anaknya yang menyusu.
Selain menjadi pemimpin politik bagi bangsanya, Daud dipandang sebagai bapa bagi
Israel. Allah bahkan membangkitkan juruselamat dari keturunannya (Luk.20:41). Mengapa
Daud disebut sebagai bapa ? Jaap Dieleman menulis “Daud bukan orang yang hanya
memikirkan dirinya dan kerajaannya. Ia melihat dari sudut pandang kebapakan Allah kemasa
yang akan datang dan melihat rencana Allah untuk berabad-abad kemudian. Dari sudut
pandang ini ia melayani Tuhan sebagai yang dapat dicapai oleh pengetahuannya pada
zamannya. Ia memberikan warisan terbaik yang dapat ditinggalkan kepada anaknya, Aalomo,
yang melaksanakan rencana pembangunan Bait Allah” 60 Dieleman menyiratkan bahwa Daud
memakai perspektif kebapakan Allah dalam memimpin Israel, lebih dari sekedar menjadi
pemimpin politik. Sebagai raja, ia juga telah menjadi seorang pemimpin visioner bagi
kelangsungan spritualitas bangsanya.
Elyakim bin Hilkia, pemimpin rohani disebut sebagai seorang bapa bagi penduduk
Yerusalem dan Yehuda. Tentang Elyakim bin Hulda, Tuhan berfirman, “Aku akan
mengenakan mengenakan jubahmu kepadanya dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan
kepadanya, dan kekuasaanmu akan Kuberikanketangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi
penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda”(Yes.22:21). Tampaknya dalam Perjanjian
Lama, pemimpin yang ideal memilki fungsi sebagai Bapa. Hal itulah yang diperankan oleh
Elyakim. Ia harus bertanggungjawab atas semua yang dipimpinya. Selanjutnya Daniel
Alexander menulis bahawa seorang pemimpin harus ‘berhati, berpikir, dan bergaya ayah. . .
seorang ayah memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengembangkan kreativitas
dan keterampilan mereka.61
Paulus menyatakan diri sebagai bapa bagi jemaat yang dipimpinnya. Kepada jemaat
Korintus ia menyatakan perbedaan fungsinya dengan hamba-hamba Tuhan yang lainnya yang
hanya mengajarkan Firman. Ia berkata : “Hal ini kutuliskan bukan untuk memalukan kamu,

60 . Jaap Dieleman, Apostolic Fatherhood, Yogyakarta, Andi, 2008, hl.110

61 Daniel Alexander, Op.Cit, hl.75-79


24
tetapi untuk menegor kamu sebagai anak-anakku yang kukasihi. Sebab sekalipun kamu
mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu tidak mempunyai banayak bapa.
Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah menjadi bapamu oleh injil yang kuberitakan
kepadamu” (1 Kor.4:14-15). Sebab bukan hartamu yang kucari, melainkan kamu sendiri.
Karena bukan anak-anak yang harus mengumpulkan harta untuk orang tuanya, melainkan
orang tualah untuk anak-anaknya” (2 Kor.12:14b). Dari ayat-ayat tersebut terlihat bahwa
sebagai pemimpin Paulus tidak sekedar menjadi pengatur, pengelola, pemberi perintah atau
instruksi kepada jemaat. Jemaat dipandangnya lebih dari sekedar organisasi, tetapi
merupakan keluarga rohani. Paulus menyebut jemaat sebagai anak-anaknya, dan dia
menempatkan dirinya sebagai bapa rohani bagi mereka. Guru dan pendidik boleh banyak,
pengkotbah juga demikian. Namun pribadi yang memiliki fungsi parenting bagi jemaat
Korintus adalah Paulus. Ia bekerja keras untuk pemeliharaan rohani bagi jemaat, tanpa
mencari keuntungan untuk diri sendiri.
Dengan mendasarkan pemikiran pada pernyataan Paulus kepada jemaat Tesalonika,
Daniel Alexander mengatakan bahwa pemimpin harus berhati ayah dan berhati ibu. Ayah dan
ibu bagaikan mata uang yang mempunyai dua sisi. Peran mereka saling terkait dan saling
melengkapi. . . Sebab itu ayah memiliki peran dalam kehidupan anak anaknya yaitu
menguatkan hati, membangun kepercayaan diri, mendisiplinkan.62

4.2. Prinsip kepemimpinan Parenting menurut para penulis


Dalam kekristenan, Allah menyatakan diri sebagai Bapa. Sebagai Bapa, Ia adalah
sumber, pemelihara dan selalu mendisiplinkan umatNya (Ibr.12:8). Belajar dari kebapaan
Allah, para pemimpin rohani harus memiliki sifat demikian. Idealnya seorang pemimpin
harus menjadi bapa atau membapai orang-orang yang mereka pimpin. Dia pribadi yang
mencintai keluargaNya, seperti seorang ayah. Untuk dapat menunjukkan hatiNya kepada
orang lain, kita harus mengenal-Nya sebagai Bapa. Bukankah Alkitab mengatakan bahwa
bapa-bapa mengenal Tuhan? (1 Yoh 2:14). Itulah karakteristik bapa rohani. . . . kita harus
mempunyai hati bapa.63 Peranan bapa atau ayah rohani dituliskan oleh Dieleman berikut ini :

62 Ibid. hl 87

63 Jaap Dieleman, Op.Cit., hl 105


25
Peran ayah rohani berhubungan dengan otoritas, disiplin, nasihat, teguran, hukuman,
penghiburan, perhatian, keamanan, dan visi. Ayah rohani adalah cetak biru. Mereka harus
menjadi teladan. Sebagian sukses dalam hal pengetahuan, yang lain dalam hal kemampuan.
Namun, ayah rohani sukses dalam hal karakter.64 Selain memiliki otoritas dan menegakkan
disiplin, pemimpin yang menjadi bapa rohani merupakan perancang masa depan anak-anak
rohaninya. Hal ini harus dilukiskannya dalam karakter pribadinya untuk dapat diteladani oleh
anak-anaknya. Sekalipunpengetahuan dan kemampuan begitu penting, pemimpin rohani
parenting lebih menekankan pada keteladanan karakter. Pemimpin adalah mentor. Namun
lebih dari pada itu, pemimpin harus menjadi bapa atau orang tua rohani. William Vun
memberikan perbedaan mentor dari bapa : Mentor bukanlah bapa. Mentor tidak
membangkitkan anak-anak, bapalah yang membangkitkannya. Banyak orang percaya
berjalan seperti anak-anak yatim piatu. Mereka mempunyai sebuah rumah sebagai pangkalan
yang disebut gereja, tetapi mereka tidak mempunyai bapa dirumah itu. Banyak orang sudah
memilih pemimpin rohaninya sebagai pendeta, guru, tua-tua, penilik, mentor dan sebagainya,
tetapi bukan sebagai bapa. Menjalankan gereja dengan orang-orang tanpa seorang bapa
dirumah tersebut seperti menjalankan sebuah panti asuhan. Gereja yang kuat dan sehat harus
mempunyai bapa dalamnya.65
Uraian tersebut memberi penekanan betapa pentingnya prinsip kepemimpinan
parenting dalam gereja. Parenting bahkan lebih dari mentoring. Pemimpin yang berperan
sebagai bapa atau orang tua rohani lebih dari pelatih. Vun mengatakan : “Mentor tidak
mempunyai warisan untuk diberikan kepada muridnya, hanya bapa yang memiliki warisan”.
Vun menggambarkan proses seperti Elisa mendapatkan warisan dari Elia. Elisa harus
menjadikan dirinya menjadi anak rohani bagi Elia. Elia akhirnya mewariskan dua bagian dari
rohnya setelah Elisa mengaku : “Bapaku, bapaku! Kereta Israel dan orang-orangnya yang
berkuda” (2 Raja 2:9-13). Sejalan dengan pendapat Vun, Dieleman menuliskan : “Para
pemimpin rohani, sama seperti Elia, harus memberikan yang terbaik dari diri mereka kepada
orang lain yang akan mengikuti jejak mereka. 66 Hal ini menunjukkan bahwa mentor dan guru
hanya terbatas pada penularan pengetahuan, pelatihan, dan pengawasan. Namun, seorang
pemimpin yang melakukan prinsip parenting memiliki keteladanan dan warisan rohani
disamping pengajaran yang diberikannya. Penulis memandang bahwa warisan rohani

64 Ibid. Hl.113

65 William Vun, Op.Cit., hl.41

66 Jaap Dieleman, Op.Cit., hl.103


26
tertinggi yang dapat diberikan pemimpin adalah warisan iman. Paulus mengatakan hal ini
kepada Timoteus. Timoteus hidup dalam asuhan neneknya, Lois dan ibunya Eunike, yang
memiliki iman yang tulus iklas. Paulus mengatakan bahwa iman semacam itu dilihatnya
turun kepada Timoteus (2 Tim.2:5). Timoteus telah menerima warisan iman dari nenek dan
ibunya yang berfungsi sebagai orang tua rohani baginya. Timotius memiliki nenek dan ibu
yang bukan hanya berfungsi sebagai orang tua jasmani, melaiankan juga memiliki fungsi
sebagai orang tua rohani.
Selanjutnya Vun menguraikan keprihatinannya terhadap kepemimpinan gereja yang
mengalami kurangnya fungsi parenting para pemimpin: “Gereja telah berjalan turun temurun
tanpa adanya pembapaan rohani yang sejati. Kurangnya pembapaan ini tentu saja telah
menyebabkan gereja hari ini menjadi tidak dalam kondisi baik. Hal ini tidak terjadi pada
gereja mula-mula. Gereja mula-mula memanggil pemimpin-pemimpin rohani mereka dengan
sebutan ‘bapa’. Para ahli sejarah gereja menyebut mereka sebagai ‘bapa leluhur’. Sampai saat
ini, gereja Katolik Roma terus menegenal adanya bapa dalam gereja. Mereka menghormati
imam-imam mereka sebagai bapa-bapa rohani mereka dan mengharapkan adanya pembapaan
dari mereka.67
Para rasul dan pemimpin-pemimpin gereja dipandang sebagai bapa bagi jemaat.
Mereka telah melakukan fungsi kepemimpinan parenting dengan sebaik-baiknya pada
generasi mereka. Murid-murid para rasul yang kemudian menerima tongkat estafet
kepemimpinan gereja disebut sebagai bapa-bapa apostolik (The Apostolic fathers). Mereka
adalah para uskup dan kaum apologet.
Bapa-bapa apostolik mempunyai peran yang sangat penting. Dieleman menunjukkan
beberapa peran ayah rohani yang apostolik : Ayah menunjukkan kasih. Ayah mendidik dan
mendisplinkan. Ayah memenuhi kebutuhan anaknya. Ayah menghasilkan anak didik. Ayah
memberkati anaknya.68 Gereja membutuhkan para pemimpin yang bukan hanya mengayomi,
mengatur, dan memerintah, melainkan memiliki peran sebagai orang tua yang mengasuh
orang-orang yang berada dibawahnya. Bukan hanya digereja, dalam masyarakat pun fungsi
parenting para pemimpin sangat dibutuhkan. Dieleman menuliskan : “Pehatian figur ayah
sangat penting untuk setiap tingkat dalam masyarakat. Para sosiolog modern menegaskan
bahawa peran ayah bukan hanaya sangat penting dalam keluarga, melainkan dalam
masyarakat juga. Baanyak masalah yang kita hadapi saat ini seperti kecanduan obat,

67 Ibid., hl.43

68 Iibid. Hl.,115
27
kekejaman, tindak kejahatan, kehamilan diantara remaja, dan percabulan hampir selalu
berhubungan langsung dengan tidak adanya figur ayah dalam dasawarsa sebelumnya. . . para
peneliti membuktikan hubungan antara tidak adanya ayah dan perilaku anaknya. . . Anak
semacam itu cenderung menjadi sampah masyarakat. Setiap keluarga dan negara yang
kekurangan figur ayah saangat lemah terhadap hal semacam itu.69
Apabila dunia sekuler mengakui pentingnya kepemimpinan parenting, betapa jauh
lebih pentingnya fungsi ini diterapkan dalam kepemimpinan gereja. Pemimpin politik dalam
suatu banagsa harus menjadi Bapa, pemelihara, bahkan menjadi inspirasi bagi bangsanya.
Pernyataan Dieleman diatas mengatakan bahwa bila suatu bangsa tidak memiliki bapa
sedemikian, bahaya sosial akan merajalela. Lahirlah generasi yang rusak, yang menjadi
samapah masyarakat, menjadi pecandu narkoba, pelaku kriminal, penderita sakit jiwa yang
pasti akan menjadi beban bagi sebuah negara. Hal ini menunjukkan pengakuan dari luar
gereja betapa pentingnya kepemimpinan parenting dalam aspek-aspek kehidupan.

V. KESIMPULAN
- Jabatan tahbisan Pendeta dan kependetaan adalah berasal dari Tuhan Yesus
Kristus, Raja Gereja. Kristuslah yang memanggil, menempatkan, mengangkat dan
mengutusnya menjadi seorang pendeta. Maka jabatan tahbisan pendeta lebih
mengutamakan tugas fungsionalnya, sebagaimana Kristus mengemban tugas
kemesiasanNya secara fungsional, sebagai nabi, imam dan raja. Oleh sebab itu apabila
ada seorang penerima jabatan tahbisan Pendeta yang secara kebetulan atau karena

69 Ibid. Hl., 112


28
diberi kesempatan memangku jabatan struktural, maka hendaknya tidak mengabaikan
tugas fungsionalnya sebagai pendeta pemberita Firman Tuhan dan sebagai utusan
Tuhan. Jabatan tahbisan Pendeta adalah kharisma, pemberian Tuhan, dimana Tuhan
sendiri yang melayakkan dan memampukan seseorang untuk menjadi pendeta.
Dengan demikian, jabatan tahbisan pendeta bukan suatu pekerjaan profesional, bukan
pula lapangan pekerjan yang dicari dan diperoleh berdasarkan kemampuan (skills)
manusia. Sebagai orang yang telah dilayakkan dan dimampukan oleh Tuhan, maka
seorang pendeta tahbisan memiliki kekhususan. Dimana ia akan menjadi panutan dan
teladan dalam pola hidup, tingkah laku, perbuatan ditengah-tengah kehidupan,
kehidupan keluarganya, kehidupan pribadinya, akan menjadi contoh yang baik yang
dapat ditiru dan dipraktekkan oleh orang lain. Dengan demikian. Dengan demikian,
penerima tahbisan pendeta bukan saja sebagai utusan Tuhan, didalam pemberitaan,
kesaksian dan pelayanan, tetapi juga menjadi saluran berkat dalam kehidupan sehari-
hari.

- Dalam hal kepemimpinan, kepemimpinan yang tepat dalam gereja adalah


kemimpinan parenting, Pendeta sebagai parenting (orang tua, bapak / ibu) yang
mengasuh dan merawat anak-anak rohaninya. Pemimpin demikian harus
mengekspresikan kasih sayangnya terhadap jemaat, memperlakukan jemaat sebagai
anak rohani, memastikan tiap anggota jemaat nyaman dalam penggembalaan serta
memerhatikan kesehatan dan pertumbuhan rohani tiap-tiap orang dalam gerejannya.
Pemimpin parenting harus mengasihi anak-anak rohaninya. Pemimpin demikian
berusaha membangun kedekatan hubungan dengan jemaat, memperaktekkan kasih,
bukan hanya mengajarkan. Pemimpin parenting juga memberi hidupnya kepada
jemaat. Bila perlu, ia mengorbaankan dirinya untuk kelangsungan gereja. Pemimpim
parenting harus bekerja keras untuk kemajuan gereja yang dipimpinya. Pemimpin
harus berusaha, bekerja dan belajar keras agar pengajaran firman Allah yang
disampaikan dapat dipahami sejelas-jelasnya oleh jemaat. Pemimpin parenting
melayani dengan tidak mengharapakan imbalan. Pemimpin demikian bahkan tidak
membebani jemaat untuk penghidupan pribadinya.

- Pemimpin parenting harus menunjukkan keteladanan, bahkan integritas


dihadapan Allah dan manusia. Cara hidup pemimpin harus sesuai dengan

29
pengajarannya. Cara hidup demikian patut diteladani, karena mereka memiliki dan
menjaga reputasi ditengah masyarakat. Pemimpin parenting harus benar-benar
menjadi bapa rohani bagi jemaat seperti bapa memerhatikan kehidupan atau kondisi
anak-anaknya. Pemumpin parenting membangun suasana kekeluargaan dalam gereja.
Bapa rohani harus memiliki hikmat dan kebijaksanaan untuk menasehati jemaat.
Dengan demikian jemaatyang melakukan kesalahan dapat diperbaiki serta kembali
kepada rencana Allah. Bapa rohani harus harus mengawasi pertumbuhan jemaat,
dengan cara menegur, menasehati, menguatkan hati, dan menghibur hati tiap-tiap
jemaat seorang demi seorang. Hal ini berarti pemimpin parenting harus menyediakan
waktu yang cukup banyak untuk melakukannya dengan maksimal. Pemimpin
parenting harus memimpin jemaat berjalan kearah kehendak Allah. Pemimpin
parenting menyadarkan jemaat tentang tujuan panggilan Allah. Pemimpin demikian
fokus pada perkenanan Tuhan, lebih dari pada pencapaian-pencapaian prestasi yang
biasanya dikejar para pemimpin pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Daniel
2006 Menjadi Pemimpin berkarakter Illahi, Yogyakarta, Andi
Alwi, Hasan,
2005 Kamus besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka

30
Bangun, Yosafat
2010 Integritas pemimpin Pastoral, Yogyakarta, Andi
Barna, Gerorge
2002 Leaders on Ledaership, Malang, Gandum Mas
Beefu, Alemu
2011 The leadership Journey – Tujuh langkah praktis menjadi
pemimpin yang berdampak maksimal, Yogyakarta, Andi.
Budijanto, Bambang
2012 The Leadership Legacy, Yogyakarta, Andi.
Cole, Neil
2011 Organic Leadership, Yogyakarta, Andi
C John, Maxwell
1982 Mengembangkan kepemimpinan didalam diri anda, George
Corporation: EQUIP
Dialeman, Jaap
2008 Apostolic Fatherhood, Yogyakarta Andi.
Dules, Avery
2000 Mode-model Gereja, Jakaarta , BPK-GM
Gerleman, G (ed),
1997 Theological Lexicon of the Old testament, Vol 1, USE,
Hendrikson
G.T. Jimmy
2004 Kepemimpinan dalam gereja masa kini, Surabaya
Lumbantobing, Darwin (ed)
2008 Percikan teologi jubah hitam, festschrift 25 Th kependetaan 23
oktober 1983, pematangsiantar, L-SAPA
Nainggolan, Melvyin
2001 Gembala sidang sebagai manager gereja
Octavianus, P
2005 Dipanggil untuk melayani, Malang : departemen Literatur
Poerwadarminta,W.J.S
Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakaarta : Balai Pustaka
P,Sahat Siburian (Ed)

31
2016 Esai-esai untuk merayakan 80 th Pdt Dr J.R.Hutauruk, Ujilah
segala sesuatu, Medan, Lapik
Sitompul,A.A
1997 Mengembangkan Pelayanan dan kepemimpinan, Jakaarta BPK-
GM
Sponsor, Alan
1999 A Dictionary of Synonyms and antonyms, New York : Oxford
Stout, Larry
2020 Model kepemimpinan ideal yang mengubah dunia, Yogyakarta,
And
Tomatala,Yakop
1999 Kepemimpinan yang demogratis (Jakarta : YT Leadership )
Van, Th den end
2010 Harta dalam bejana, Sejarah gereja ringkas, Jakarta BPK-GM
Yudho, Bambang
2006 How to became a Christian Leader – Prinsip-prinsip
kepemimpinan kristen, Yogyakarta, Andi.
Willy, Yonathan Siagian
200 Lead by heart, Kepemimpinan handal yang menggunakan hati,
Yogyakarta, Andi.
Sihite,M.H
2007 Seminar tahun marturia HKBP 2008 pada sinode distrik V
HKBP Sumatera timur, Ambarita.
Sudomo
2005 Ciri kepemimpinan sejati, Yogyakarta, Andi.
Singgih,E.G
2002 Gereja dan pembangunan bangsa, Jakarta, BPK-GM
The Johny
2006 Menjadi pemimpin unggul dengan strategi marketing Paulus,
Yogyakarta, Andi.
Peraturan Rumah Tangga / Tata Gereja GKPI, Kolportase Kantor sinode, Pematangsiantar,
2013
Aturan Peraturan HKBP Th 2002

32
R.T.Muthe, Penabalan 19 Pendeta Baru di HKBP, dalam Immanuel HKBP 15/1985

33

Вам также может понравиться