Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akibat populasi usia lanjut yang meningkat maka akan terjadi transisi
epidemiologi yaitu bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi
menjadi penyakit-penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, dan penyakit
jantung koroner. Konsekuensi dari peningkatan warga usia lanjut adalah meningkatnya
jumlah pasien geriatri dengan kerakteristiknya yang berbeda dengan warga usia lanjut
atau dewasa muda. Karakteristik pasien geriatrik adalah multipatologi, menurunnya
daya cadangan faali, berubahnya gejala dan tanda penyakit dari yang klasik,
terganggunya status fungsional pasien geriatri, dan kerap terdapat gangguan nutrisi, gizi
kurang atau buruk (Soejono,2006).
Jika karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti infeksi,
maka seringkali akan timbul gangguan fungsi kognitif, depresi, imobilisasi,
instabilisasi, dan inkontinensia (atau lazim disebut sebagai geriatric giants). Keadaan
akan semakin rumit jika secara psikososial terdapat hendaya seperti neglected atau
miskin (finansial). Sehingga pendekatan untuk pasien geriatri harus bersifat holistik dan
paripurna, yaitu bio-psiko-sosial, juga dari sisi kuratif, reehabilitatif , preventif, dan
promotif (Soejono,2006). Pendekatan klinis yang lazim dikerjakan seperti anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang ditambah pengkajian untuk mendeteksi gangguan
yang terutama sering terdapat pada usia lanjut yaitu fungsi kognitif dan afek, mobilitas,
gait, keseimbangan, kontinens, nutrisi, penglihatan dan pendengaran. Pengkajian status
1
fungsional untuk mengatasi hendaya menjadi penting karena sering hal ini yang
menjadi skala prioritas penyelesaian masalah (Supartondo,2001).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latihan kognitif pada lansia?
2. Bagaimana tes kognitif pada lansia?
3. Bagaimana Interpretasi hasil latihan kognitif pada lansia?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan kognitif?
C. TUJUAN
1. Mengetahui latihan kognitif pada lansia?
2. Mengetahui tes kognitif pada lansia?
3. Mengetahui Interpretasi hasil latihan kognitif pada lansia?
4. Mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan kognitif?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
7) Kesulitan belajar dan mengingatin formasi baru
8) Kurang konsentrasi
9) Kurang kebersihan diri
10) Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
11) Mudah terangsang
12) Tremor
13) Kurang koordinasi gerakan.
3. Pengenalan Dini Demensia
Pengenalan dini demensia berarti mengenali :
1) Kondisi normal (mengidentifikasi BSF dan AAMI): kondisi kognitif pada
lanjut usia yang terjadi dengan adanya penambahan usia dan bersifat
wajar. Contoh: keluhan mudah – lupa secara subyektif, tidak ada
gangguan kognitif ataupun demensia.
2) Kondisi pre-demensia (mengidentifikasi CIND dan MCI): kondisi
gangguan kognitif pada lanjut usia dengan cirri mudah lupa yang makin
nyata dan dikenali (diketahui dan diakui) oleh orang dekatnya. Mudah
lupa subyektif dan obyektif serta ditemukan performa kognitif yang
rendah tetapi belum ada tanda-tanda demensia.
3) Kondisi demensia : kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan
berbagai jenis gangguan seperti mudah lupa yang konsisten, disorientasi
terutama dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan pendapat dan
pemecahan masalah, gangguan dalam hubungan dengan masyarakat,
gangguan dalam aktivitas di rumah dan minat intelektual serta gangguan
dalam pemeliharaan diri.
3. Strategi Latihan Kognitif
a. Menurunkan cemas
b. Tehnik relaksasi
c. Biofeed back, menggunakan alat untuk menurunkan cemas dan memodifikasi
respon perilaku.
d. Systematic desenzatization. Dirancang untuk menurunkan perilaku yang
berhubungan dengan stimulus spesifik misalnya karena ketinggian atau
perjalanan melalui pesawat. Tehnik ini meliputi relaksasi otot dengan
membayangkan situasi yang menyebabkan cemas.
4
e. Flooding. Klien segera diekspose pada stimuli yang paling memicu cemas (tidak
dilakukan secara berangsur – angsur) dengan menggunakan bayangan/imajinasi.
f. Pencegahan respon klien. Klien didukung untuk menghadapi situasi tanpa
melakukan respon yang biasanya dilakukan.
4. Terapi Kognitif
a. Latihan kemampuan social meliputi : menanyakan pertanyaan, memberikan
salam, berbicara dengan suara jelas, menghindari kiritik diri atau orang lain
b. Aversion therapy : therapy ini menolong menurunkan perilaku yang tidak
diinginkan tapi terus dilakukan. Terapi ini memberikan stimulasi yang membuat
cemas atau penolakan pada saat tingkah laku maladaptive dilakukan klien.
c. Contingency therapy: Meliputi kontrak formal antara klien dan terapis tentang
apa definisi perilaku yang akan dirubah atau konsekuensi terhadap perilaku itu
jika dilakukan. Meliputi konsekuensi positif untuk perilaku yang diinginkan dan
konsekuensi negative untuk perilaku yang tidak diinginkan.
B. TES KOGNITIF DAN INTERPRETASI LATIHAN KOGNITIF PADA
LANSIA
1. Tes kognitif MMSE
Nilai Nilai
Maksimum Responden
ORIENTASI
5
Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
REGISTRASI
Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah
ulangi penyebutan ketiga nama tersebut sampai responden dapat
5
mengatakannya dengan benar:
MENGINGAT
BAHASA
Jam selesai :
Tempat
wawancara :
6
2. Teknik pemakaian dan penilaian MMSE
MMSE menggunakan instrumen berbentuk berbagai pertanyaan. Daftar
pertanyaan terdapat pada gambar 1. Cara penggunaannya adalah sebagai
berikut (Folstein, 1975; Setiati,2007):
a. Penilaian Orientasi (10 poin)
Pemeriksa menanyakan tanggal, kemudian pertanyaan dapat lebih
spesifik jika ada bagian yang lupa (misalnya :”Dapatkah anda juga
memberitahukan sekarang musim apa?”). Tiap pertanyaan yang benar
mendapatkan 1 (satu) poin. Pertanyaan kemudian diganti dengan
,”Dapatkah anda menyebutkan nama rumah sakit ini (kota, kabupaten,
dll) ?”. Tiap pertanyaan yang benar mendapatkan 1 (satu poin).
b. Penilaian Registrasi (3 poin).
Pemeriksa menyebutkan 3 nama benda yang tidak berhubungan dengan
jelas dan lambat. Setelah itu pasien diperintahkan untuk mengulanginya.
Jumlah benda yang dapat disebutkan pasien pada kesempatan pertama
dicatat dan diberikan skor (0-3). Jika pasien tidak dapat menyebutkan
ketiga nama benda tersebut pada kesempatan pertama, lanjutkan dengan
mengucapkan namanya sampai pasien dapat mengulang semuanya,
sampai 6 kali percobaan. Catat jumlah percobaan yang digunakan
pasien untuk mempelajari kata-kata tersebut. Jika pasien tetap tidak
dapat mengulangi ketiga kata tersebut, berarti pemeriksa harus menguji
ingatan pasien tersebut. Setelah menyelesaikan tugas tersebut, pemeriksa
memberitahukan kepada pasien agar mengingat ketiga kata tersebut,
karena akan ditanyakan sebentar lagi.
c. Perhatian dan kalkulasi (5poin)
Pasien diperintahkan untuk menghitung mundur dari 100 dengan selisih
7. hentikan setelah 5 angka. Skor berdasarkan jumlah angka yang benar.
Jika pasien tidak dapat atau tidak dapat mengerjakan tugas tersebut,
maka dapat digantikan dengan mengeja kata ”DUNIA” dari belakang.
Cara menilainya adalah menghitung kata yang benar. Contohnya jika
menjawab “AINUD” maka diberi nilai 5, tetapi jika menjawab “AINDU”
diberi nilai 3.
7
d. Ingatan (3poin)
Pasien diperintahkan untuk mengucapkan 3 kata yang diberikan
sebelumnya kepada pasien dan disuruh mengingatnya. Pemberian skor
dihitung berdasarkan jumlah jawaban yang benar.
e. Bahasa dan praktek (9 poin)
8
3. Interpretasi penilaian MMSE
Setelah dilakukan penilaian, skor dijumlahkan dan didapatkan hasil
akhir. Hasil yang didapatkan diintrepetasikan sebagai dasar diagnosis. Ada
beberapa interpretasi yang bisa digunakan. Metode yang pertama hanya
menggunakan single cutoff, yaitu abnormalitas fungsi kognitif jika skor <24.
metode lain menggunakan range. Jika skor <21 kemungkinan demensia akan
meningkat, sedangkan jika skor >25 kecil kemungkinan demensia.
Interpretasi lainnya memperhitungkan tingkat pendidikan pasien. Pada
pasien dengan tingkat pendidikan rendah (di bawah SMP) ambang batas
abnormal diturunkan menjadi 21, pada tingkat pendidikan setingkat SMA
abnormal jika skor <23, pada tingkat perguruan tinggi skor abnormal jika <24.
Berat ringannya gangguan kognitif dapat diperkirakan dengan MMSE.
Skor 24-30 menunjukkan tidak didapatkan kelainan kognitif. Skor 18-23
menunjukkan kelainan kognitif ringan. Skor 0-17 menunjukkan kelainan
kognitif yang berat (Folstein, 1975).
9
4. Tes Kognitif Abbreviated Mental Test Score (AMT)
SETIAP JAWABAN BENAR MENDAPAT SKOR SATU POIN
1. Umur
2. Waktu (jam)
4. Tahun
5. Nama rumah sakit, institusi atau alamat rumah (tergantung tempat wawancara)
7. Tanggal lahir
10
defisit kognitif yang bermakna. Tes ini menunjukkan secara cepat penilaian
beratnya penyakit dibandingkan tes yang lebih panjang. Tes ini mampu
mendeteksi perubahan kognisi yang berhubungan dengan perkembangan pasca
operatif pada delirium. Pada pasien usia lanjut, tes ini dapat dikerjakan dalam 3
menit.
Terdapat versi 4 pertanyaan AMT (AMT4), dengan pertanyaan tentang
umur, tanggal lahir, tempat, dan tahun saja. Tes ini lebih cepat, lebih mudah
digunakan, dan lebih mudah diingat oleh pemeriksa. Sehingga lebih
meningkatkan kemungkinan penggunaan tes ini secara rutin pada pasien usia
lanjut di rumah sakit yang sibuk atau di UGD.
11
2) Pasien mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu.
b. Data obyektif :
1) Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek
yang sudah dikenalnya dan kehilangan suasana kekeluargaannya.
2) Pasien sering mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya.
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-
kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak
mampu menemukan kata-kata yang tepat.
Fokus assessment pada penderita demensia berupa riwayat keperawatan dan
pemeriksaan fisik klien. Riwayat keperawatan meliputi status kesehatan masa
lalu klien yang beresiko terhadap demensia, berupa penyakit-penyakit yang
pernah diderita klien yang bisa menyebabkan demensia seperti : penyakit
degenaratif, penyakit serebrovaskuler, gagal jantung, trauma otak, infeksi (Aids,
ensefalitis, sifilis), Hidrosefaulus normotensif, Tumor primer atau metastasis,
stress mental, heat stroke, whipple disease, diabetes.
a. Ditandai dengan :
1) Kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah
laku defensif, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif
2) Tampak tanda stimulasi saraf simpatis, gangguan gastrointestinal, dan
perubahan kebiasaan makan
12
3) Gangguan tidur
b. Kriteria Hasil :
1) Mengidentifikasi perubahan
2) Mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan aktivitas kehidupan sehari-
hari
3) Mempertahankan rasa berharga pada diri dan identitas pribadi yang positif.
4) Membuat pernyataan positif tentang lingkungan yang baru
5) Memperlihatkan penerimaan terhadap perubahan lingkungan dan penyesuaian
kehidupan
6) Mampu menunjukkan rentang perasaan yang sesuai/tidak cemas
7) Tidak menyimpan pengalaman menyakitkan
8) Menggunakan bantuan dari sumber yang tepat selama waktu pengaturan pada
lingkungan baru.
13
c. Intervensi keperawatan
a. Ditandai dengan :
1) Hilang konsentrasi (distrakbilitas).
2) Hilang ingatan/memori.
3) Tidak mampu membuat keputusan, menghitung, mengumpulkan gagasan,
melakukan abstraksi/konseptualisasi, dan memecahkan masalah.
14
4) Tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
5) Disorientasi waktu, tempat, orang, lingkungan, dan peristiwa.
6) Paranoid, delusi, obsesi, halusinasi, konfabulasi, bingung/frustasi dan perubahan
dalam respon tingkah laku.
b. Kriteria hasil :
1) Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani konsekuensi
kejadian yang menegangkan terhadap emosi dan pikiran tentang diri.
2) Mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri yang negatif.
3) Mampu mengenali perubahan dalam berpikir atau tingkah laku dan faktor
penyebab.
4) Mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak diinginkan,
ancaman dan kebingungan.
15
c. Intervensi keperawatan :
16
3. Perubahan persepsi-sensori
Berhubungan dengan :
a. Ditandai dengan:
1) Perubahan kemampuan pemecahan masalah
2) Perubahan respons terhadap stimulasi normal, seperti disorientasi spasial,
bingung, perubahan perilaku, konsentrasi menurun.
17
3) Respon emosional berlebihan, seperti kecemasan, paranoid, apatis, gelisah,
iritabilitas, depresi, takut, marah, dan halusinasi.
4) Ketidakmampuan mengatakan letak bagian tubuh tertentu.
5) Perubahan dalam sensasi rasa.
b. Kriteria hasil:
1) Mengalami penurunan halusinasi
2) Mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi stress atau mengatur
perilaku
3) Mendemonstrasikan respon yang sesuai stimulasi
4) Perawat mampu mengidentifikasikan factor eksternal yang berperan terhadap
perubahan kemampuan persepsi sensori.
c. Intervensi
1) Kembangkan lingkungan yang suportif dan hubungan perawat –klien terapeutik
Rasional : meningkatkan kenyamanan dan menurunkan kecemasan pada klien.
2) Bantu klien untuk memahami halusinasi
Rasional : meningkatkan koping dan menurunkan halusinasi
3) Beri informasi tentang sifat halusinasi, hubungannya dengan stressor/
pengalaman emosional yang traumatik, pengobatan, dan cara mengatasi.
Rasional : untuk membantu klien dalam memahami halusinasi.
4) Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut
mempengaruhi klien termasuk penurunan penglihatan dan pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlibatkan masalah yang bersifat asimetris
menyebabkan klien kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuh (
gangguan unilateral). Klien tidak dapat mengenali rasa lapar/haus, penerimaan
nyeri eksternal (dari luar).
5) Ajarkan strategi untuk mengurangi stress
Rasional : untuk menurunkan kebutuhan akan halusinasi.
6) Anjurkan untuk menggunakan kaca mata atau alat bantu pendengaran sesuai
keperluan.
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi/menurunkan kesalahan
interprestasi stimulasi.
7) Berikan lingkungan yang tenang dan tidak kacau jika diperlukan ( music yang
lembut, gambar/dinding cat sederhana)
18
Rasional : menghindarkan masukan sensori penglihatan atau pendengaran yang
berlebihan dengan mengutamakan kualitas yang tenang dan konsisten.
8) Berikan sentuhan dan perhatian
Rasional : meningkatkan persepsi terhadap diri sendiri.
9) Berikan perhatian dalam indah secara berkala ( musik dan cerita peristiwa yang
menyenangkan, foto)
Rasional : meningkatkan perasaan nyaman yang memudahkan adaptasi pada
perubahan lingkungan.
4. Resiko terhadap cidera
Berhubungan dengan:
- Kurangnya pendidikan tentang keamanan
- Riwayat trauma terdahulu
- Kurangnya penglihatan
- Ketidakmampuan mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan
- Disorientasi, bingung, ganguan dalam pengambilan keputusan
- Kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktifitas kejang
a. Kriteria Hasil :
1) Meningkatkan tingkat aktifitas
2) Dapat beradaptasi dengan lingkungan umtuk mengurangi resiko cidera
3) Tidak mengalami trauma/cidera
4) Keluarga mengenali potensial dilingkungan dan mengidentifikaksi tahap-tahap
untuk memperbaikinya
b. Intervensi
1) Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan penurunan
presepsi visual. Bantu keluarga mengidentifikasi resiko terjadinya bahaya yang
mungkin timbul.
Rasional : mengidentifikasi resiko dilingkungan dan mempertinggi kesadaran
perawat akan bahaya. Klien dengan tingkah laku impulsive berisiko trauma
karena kurang mampu mengendalikan perilaku. Penurunan persepsi visual
berisiko terjatuh.
19
2) Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
Rasional : klien dengan gangguan kognitif, gangguan persepsi adalah aweal
terjadi trauma akibat tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan
dasar.
3) Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi/berbahaya, seperti memanjat pagar
tempat tidur.
Rasional : mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang
meningkatkan resiko terjadinya trauma.
4) Kaji efek samping obat, tanda keracunan (tanda ekstra piramida, hipotensi
ortostatik, gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal).
Rasional : klien yang tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat dapat
menimbulkan kadar toksisitas pada lansia. Ukuran dosis/penggantian obat
diperlukan untuk mengurangi gangguan.
5) Hindari penggunaan restrain terus menerus. Berikan kesempatan keluarga
tinggal bersama klien selama periode agitasi akut.
Rasional : membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan timbul resiko fraktur
pada klien lansia (berhubungan dengan penurunan kalsium
20
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penilaian fungsi kognitif pada lanjut usia penting karena dengan bertambahnya
umur, terjadi perubahan pada otak yang memicu perubahan proses berpikir dan
perilaku. Perbedaan tersebut mempunyai bentuk yang berbeda-beda pada tahap awal
proses, yang dipengaruhi oleh fungsi sosial dan aktifitas pekerjaan.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah The Mini Mental State
Examination (MMSE) dan Abbreviated Mental Test Score (AMT). MMSE menilai
orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, ingatan, bahasa dan praktek, dan
menirukan. Interpretasi penilaian MMSE adalah kelainan kognitif didapatkan pada
skor < 24. AMT merupakan instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada lanjut usia
dengan waktu yang lebih singkat dan sederhana daripada MMSE. Sensitifitas dan
spesifisitas AMT lebih rendah daripada MMSE. AMT menilai memori baru dan lama,
atensi, dan orientasi. Skor <8 menunjukkan adanya defisit kognitif yang bermakna.
B. SARAN
Semoga untuk kedepannya diharapkan pendekatan untuk pasien geriatri harus bersifat
holistik dan paripurna, yaitu bio-psiko-sosial, juga dari sisi kuratif, reehabilitatif ,
preventif, dan promotif .
21
DAFTAR PUSTAKA
Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR, 1975. ""Mini-mental state". A practical method
for grading the cognitive state of patients for the clinician". Journal of psychiatric
research 12 (3): 189–98
Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba
Medika.
MacKenzie DM, Copp P, Shaw RJ, et al,1996. Brief cognitive screening of the elderly: a
comparison of the Mini-Mental State Examination (MMSE), Abbreviated
Mental Test (AMT) and Mental Status Questionnaire (MSQ). Psychological
Medicine; 26:427–30.
Tangalos EG, Smith GE, Ivnik RJ, et al. 1996.The Mini-Mental State Examination in
general medical practice: clinical utility and acceptance. Mayo Clin Proc
71:829–37
22