Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada beberapa dekade terakhir, kemajuan ilmu kedokteran sangat berpengaruh


pada perawatan kesehatan dan akan mempengaruhi pertumbuhan populasi lanjut usia.
Di Indonesia, jumlah jiwa anggota keluarga umur 60 tahun ke atas, secara nasional
tahun 2009 diperkirakan sebanyak 15.504.089 jiwa atau 6,8% dari seluruh jiwa dalam
keluarga (BKKBN,2009). Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia,
persentase jumlah penduduk berusia lanjut pada tahun 1985 adalah 3,4% dari total
penduduk dan pada tahun 2000 mencapai 7,4%. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyatakan bahwa peningkatan warga berusia lanjut di Indonesia merupakan
yang tertinggi di dunia, yaitu 414% hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025),
sedangkan tahun 2020 mencapai 25,5 juta jiwa (Soejono,2006).

Akibat populasi usia lanjut yang meningkat maka akan terjadi transisi
epidemiologi yaitu bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi
menjadi penyakit-penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, dan penyakit
jantung koroner. Konsekuensi dari peningkatan warga usia lanjut adalah meningkatnya
jumlah pasien geriatri dengan kerakteristiknya yang berbeda dengan warga usia lanjut
atau dewasa muda. Karakteristik pasien geriatrik adalah multipatologi, menurunnya
daya cadangan faali, berubahnya gejala dan tanda penyakit dari yang klasik,
terganggunya status fungsional pasien geriatri, dan kerap terdapat gangguan nutrisi, gizi
kurang atau buruk (Soejono,2006).

Jika karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti infeksi,
maka seringkali akan timbul gangguan fungsi kognitif, depresi, imobilisasi,
instabilisasi, dan inkontinensia (atau lazim disebut sebagai geriatric giants). Keadaan
akan semakin rumit jika secara psikososial terdapat hendaya seperti neglected atau
miskin (finansial). Sehingga pendekatan untuk pasien geriatri harus bersifat holistik dan
paripurna, yaitu bio-psiko-sosial, juga dari sisi kuratif, reehabilitatif , preventif, dan
promotif (Soejono,2006). Pendekatan klinis yang lazim dikerjakan seperti anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang ditambah pengkajian untuk mendeteksi gangguan
yang terutama sering terdapat pada usia lanjut yaitu fungsi kognitif dan afek, mobilitas,
gait, keseimbangan, kontinens, nutrisi, penglihatan dan pendengaran. Pengkajian status

1
fungsional untuk mengatasi hendaya menjadi penting karena sering hal ini yang
menjadi skala prioritas penyelesaian masalah (Supartondo,2001).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latihan kognitif pada lansia?
2. Bagaimana tes kognitif pada lansia?
3. Bagaimana Interpretasi hasil latihan kognitif pada lansia?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan kognitif?
C. TUJUAN
1. Mengetahui latihan kognitif pada lansia?
2. Mengetahui tes kognitif pada lansia?
3. Mengetahui Interpretasi hasil latihan kognitif pada lansia?
4. Mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan kognitif?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATIHAN KOGNITIF PADA LANSIA


1. Perubahan Kognitif Pada Lansia
Proses penuaan menyebabkan kemunduran kemampuan otak. Diantara kemampuan
yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan adalah:
a. Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan
kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat
memori (speed of information retrieval from memory).
b. Intelegensia Dasar (fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak
bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal,
pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan
perhatian dan konsentrasi.
2. Defenisi Demensia
Dimensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanyaberkembang
secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan
kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran
kepribadian. Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera
hebat, penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan
hancurnya sel-sel otak.
1. Kondisi Demensia
Kondis igangguan kognitif pada lanjut usia dengan berbagai jenis gangguan
seperti mudah lupa yang konsisten, disorientasi terutama dalam hal waktu,
gangguan pada kemampuan pendapat dan pemecahan masalah, gangguan
dalam hubungan dengan masyarakat, gangguan dalam aktivitas di rumah dan
minat intelektual serta gangguan dalam pemeliharaan diri.
2. Tanda Dan Gejala
1) Kesukaran dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari
2) Pelupa
3) Sering mengulang kata-kata
4) Tidak mengenal dimensi waktu, misalnya tidur di ruang makan
5) Cepat marah dan sulit di atur.
6) Kehilangan daya ingat

3
7) Kesulitan belajar dan mengingatin formasi baru
8) Kurang konsentrasi
9) Kurang kebersihan diri
10) Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
11) Mudah terangsang
12) Tremor
13) Kurang koordinasi gerakan.
3. Pengenalan Dini Demensia
Pengenalan dini demensia berarti mengenali :
1) Kondisi normal (mengidentifikasi BSF dan AAMI): kondisi kognitif pada
lanjut usia yang terjadi dengan adanya penambahan usia dan bersifat
wajar. Contoh: keluhan mudah – lupa secara subyektif, tidak ada
gangguan kognitif ataupun demensia.
2) Kondisi pre-demensia (mengidentifikasi CIND dan MCI): kondisi
gangguan kognitif pada lanjut usia dengan cirri mudah lupa yang makin
nyata dan dikenali (diketahui dan diakui) oleh orang dekatnya. Mudah
lupa subyektif dan obyektif serta ditemukan performa kognitif yang
rendah tetapi belum ada tanda-tanda demensia.
3) Kondisi demensia : kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia dengan
berbagai jenis gangguan seperti mudah lupa yang konsisten, disorientasi
terutama dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan pendapat dan
pemecahan masalah, gangguan dalam hubungan dengan masyarakat,
gangguan dalam aktivitas di rumah dan minat intelektual serta gangguan
dalam pemeliharaan diri.
3. Strategi Latihan Kognitif
a. Menurunkan cemas
b. Tehnik relaksasi
c. Biofeed back, menggunakan alat untuk menurunkan cemas dan memodifikasi
respon perilaku.
d. Systematic desenzatization. Dirancang untuk menurunkan perilaku yang
berhubungan dengan stimulus spesifik misalnya karena ketinggian atau
perjalanan melalui pesawat. Tehnik ini meliputi relaksasi otot dengan
membayangkan situasi yang menyebabkan cemas.

4
e. Flooding. Klien segera diekspose pada stimuli yang paling memicu cemas (tidak
dilakukan secara berangsur – angsur) dengan menggunakan bayangan/imajinasi.
f. Pencegahan respon klien. Klien didukung untuk menghadapi situasi tanpa
melakukan respon yang biasanya dilakukan.
4. Terapi Kognitif
a. Latihan kemampuan social meliputi : menanyakan pertanyaan, memberikan
salam, berbicara dengan suara jelas, menghindari kiritik diri atau orang lain
b. Aversion therapy : therapy ini menolong menurunkan perilaku yang tidak
diinginkan tapi terus dilakukan. Terapi ini memberikan stimulasi yang membuat
cemas atau penolakan pada saat tingkah laku maladaptive dilakukan klien.
c. Contingency therapy: Meliputi kontrak formal antara klien dan terapis tentang
apa definisi perilaku yang akan dirubah atau konsekuensi terhadap perilaku itu
jika dilakukan. Meliputi konsekuensi positif untuk perilaku yang diinginkan dan
konsekuensi negative untuk perilaku yang tidak diinginkan.
B. TES KOGNITIF DAN INTERPRETASI LATIHAN KOGNITIF PADA
LANSIA
1. Tes kognitif MMSE

Nama Responden : Nama Pewawancara :

Umur Responden : Tanggal Wawancara :

Pendidikan : Jam mulai :

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

Nilai Nilai
Maksimum Responden

ORIENTASI

5
Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?

5 Sekarang kita berada di mana?

(Nama rumah sakit atau instansi)

(Instansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)

REGISTRASI

3 Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya:


(bola, kursi, sepatu). Satu detik untuk tiap benda. Kemudian
mintalah responden mengulang ketiga nama benda tersebut.

Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah
ulangi penyebutan ketiga nama tersebut sampai responden dapat

5
mengatakannya dengan benar:

Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : ______ kali

ATENSI DAN KALKULASI

5 Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah.


Berhenti setelah 5 kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan
lain ejaan kata dengan lima huruf, misalnya 'DUNIA' dari akhir ke
awal/ dari kanan ke kiri :'AINUD'

Satu (1) nilai untuk setiap jawaban benar.

MENGINGAT

3 Tanyakan kembali nama ketiga benda yang telah disebut di atas.

Berikan nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar

BAHASA

9 a. Apakah nama benda ini? Perlihatkan pensil dan


arloji (2 nilai)

b. Ulangi kalimat berikut :"JIKA TIDAK, DAN ATAU


TAPI" (1 nilai)

c. Laksanakan 3 perintah ini :

Peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu,


lipatlah kertas itu pada pertengahan dan letakkan di
lantai (3 nilai)

d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut

"PEJAMKAN MATA ANDA" (1 nilai)

e. Tulislah sebuah kalimat ! (1 nilai)

f. Tirulah gambar ini ! (1 nilai)

Jam selesai :

Tempat
wawancara :

Gambar 1. Mini Mental State Examination (MMSE) (Setiati,2007).

6
2. Teknik pemakaian dan penilaian MMSE
MMSE menggunakan instrumen berbentuk berbagai pertanyaan. Daftar
pertanyaan terdapat pada gambar 1. Cara penggunaannya adalah sebagai
berikut (Folstein, 1975; Setiati,2007):
a. Penilaian Orientasi (10 poin)
Pemeriksa menanyakan tanggal, kemudian pertanyaan dapat lebih
spesifik jika ada bagian yang lupa (misalnya :”Dapatkah anda juga
memberitahukan sekarang musim apa?”). Tiap pertanyaan yang benar
mendapatkan 1 (satu) poin. Pertanyaan kemudian diganti dengan
,”Dapatkah anda menyebutkan nama rumah sakit ini (kota, kabupaten,
dll) ?”. Tiap pertanyaan yang benar mendapatkan 1 (satu poin).
b. Penilaian Registrasi (3 poin).
Pemeriksa menyebutkan 3 nama benda yang tidak berhubungan dengan
jelas dan lambat. Setelah itu pasien diperintahkan untuk mengulanginya.
Jumlah benda yang dapat disebutkan pasien pada kesempatan pertama
dicatat dan diberikan skor (0-3). Jika pasien tidak dapat menyebutkan
ketiga nama benda tersebut pada kesempatan pertama, lanjutkan dengan
mengucapkan namanya sampai pasien dapat mengulang semuanya,
sampai 6 kali percobaan. Catat jumlah percobaan yang digunakan
pasien untuk mempelajari kata-kata tersebut. Jika pasien tetap tidak
dapat mengulangi ketiga kata tersebut, berarti pemeriksa harus menguji
ingatan pasien tersebut. Setelah menyelesaikan tugas tersebut, pemeriksa
memberitahukan kepada pasien agar mengingat ketiga kata tersebut,
karena akan ditanyakan sebentar lagi.
c. Perhatian dan kalkulasi (5poin)
Pasien diperintahkan untuk menghitung mundur dari 100 dengan selisih
7. hentikan setelah 5 angka. Skor berdasarkan jumlah angka yang benar.
Jika pasien tidak dapat atau tidak dapat mengerjakan tugas tersebut,
maka dapat digantikan dengan mengeja kata ”DUNIA” dari belakang.
Cara menilainya adalah menghitung kata yang benar. Contohnya jika
menjawab “AINUD” maka diberi nilai 5, tetapi jika menjawab “AINDU”
diberi nilai 3.

7
d. Ingatan (3poin)
Pasien diperintahkan untuk mengucapkan 3 kata yang diberikan
sebelumnya kepada pasien dan disuruh mengingatnya. Pemberian skor
dihitung berdasarkan jumlah jawaban yang benar.
e. Bahasa dan praktek (9 poin)

Penamaan : Pasien ditunjukkan arloji dan diminta menyebutkannya.


Ulangi dengan menggunakan pensil. Skor 1 poin setiap nama benda
yang benar (0-2).

Repetisi (pengulangan) : Pasien diminta untuk mengulangi sebuah


kalimat yang diucapkan oleh penguji pada hanya sekali kesempatan.
Skor 0 atau 1.

Perintah 3 tahap : pasien diberikan selembar kertas kosong, dan


diperintahkan, ” Taruh kertas ini pada tangan kanan anda, lipat menjadi
2 bagian, dan taruh di lantai”. Skor 1 poin diberikan pada setiap perintah
yang dapat dikerjakan dengan baik (0-3).

Membaca : Pasien diberikan kertas yang bertuliskan ”Tutup mata anda”


(hurufnya harus cukup besar dan terbaca jelas oleh pasien. Pasien
diminta untuk membaca dan melakukan apa yang tertulis. Skor 1
diberikan jika pasien dapat melakukan apa yang diperintahkan. Tes ini
bukan penilaian memori, sehingga penguji dapat mendorong pasien
dengan mengatakan ”silakan melakukan apa yang tertulis” setelah pasien
membaca kalimat tersebut.

Menulis : Pasien diberikan kertas kosong dan diminta menuliskan suatu


kalimat. Jangan mendikte kalimat tersebut, biarkan pasien menulis
spontan. Kalimat yang ditulis harus mengandung subjek, kata kerja dan
membentuk suatu kalimat. Tata bahasa dan tanda baca dapat diabaikan.

Menirukan : pasien ditunjukkan gambar segilima yang berpotongan, dan


diminta untuk menggambarnya semirip mungkin. Kesepuluh sudut harus
ada dan ada 2 sudut yang berpotongan unruk mendapatkan skor 1 poin.
Tremor dan rotasi dapat diabaikan.

8
3. Interpretasi penilaian MMSE
Setelah dilakukan penilaian, skor dijumlahkan dan didapatkan hasil
akhir. Hasil yang didapatkan diintrepetasikan sebagai dasar diagnosis. Ada
beberapa interpretasi yang bisa digunakan. Metode yang pertama hanya
menggunakan single cutoff, yaitu abnormalitas fungsi kognitif jika skor <24.
metode lain menggunakan range. Jika skor <21 kemungkinan demensia akan
meningkat, sedangkan jika skor >25 kecil kemungkinan demensia.
Interpretasi lainnya memperhitungkan tingkat pendidikan pasien. Pada
pasien dengan tingkat pendidikan rendah (di bawah SMP) ambang batas
abnormal diturunkan menjadi 21, pada tingkat pendidikan setingkat SMA
abnormal jika skor <23, pada tingkat perguruan tinggi skor abnormal jika <24.
Berat ringannya gangguan kognitif dapat diperkirakan dengan MMSE.
Skor 24-30 menunjukkan tidak didapatkan kelainan kognitif. Skor 18-23
menunjukkan kelainan kognitif ringan. Skor 0-17 menunjukkan kelainan
kognitif yang berat (Folstein, 1975).

Tabel 1. Interpretasi MMSE (Folstein, 1975).

Metode Skor Interpretasi

Single Cutoff <24 Abnormal

Range <21 Kemungkinan demesia lebih besar

>25 Kemungkinan demesia lebih kecil

Pendidikan 21 Abnormal pada tingkat pendidikan kelas 2 SMP

<23 Abnormal pada tingkat pendidikan SMA

<24 Abnormal pada tingkat pendidikan Perguruan Tinggi

Keparahan 24-30 Tidak ada kelainan kognitif

18-23 Kelainan kognitif ringan

0-17 Kelainan kognitif berat

9
4. Tes Kognitif Abbreviated Mental Test Score (AMT)
SETIAP JAWABAN BENAR MENDAPAT SKOR SATU POIN
1. Umur

2. Waktu (jam)

3. Alamat lengkap (pertanyaan diulang saat akhir wawancara)

4. Tahun

5. Nama rumah sakit, institusi atau alamat rumah (tergantung tempat wawancara)

6. Mengenal 2 orang (misalnya dokter, perawat, istri, dll)

7. Tanggal lahir

8. Tahun Perang Dunia I mulai

9. Nama raja sekarang

10. Menghitung mundur dari 20 ke 1


Total skor

SKOR KURANG DARI 6 MENUNJUKKAN ADANYA DEMENSIA

Gambar 2. Daftar pertanyaan pada AMT


5. Interpretasi AMT
Perkiraan penggunaan waktu pelaksanaan harus diperhatikan, karena
waktu penilaian lebih panjang pada penderita dengan kelainan kognitif daripada
yang tidak. Oleh sebab itu, dikembangkan beberapa instrumen untuk menilai
fungsi kognitif pada penderita lanjut usia dengan waktu yang lebih pendek
daripada MMSE. Salah satu instrumen yang dikembangkan adalah Abbreviated
Mental Test Score (AMT) (MacKenzie,1996; Tangalos,1996). AMT
mempunyai sensitifitas dan spesivisitas yang lebih rendah dalam mendeteksi
adanya kelainan kognitif daripada MMSE. AMT tampaknya kurang
menyenangkan, meskipun lebih mudah dan cepat untuk digunakan.
(Tombaugh,1992; MacKenzie,1996). Interpretasi skor pada AMT adalah jika
skor AMT <6 menunjukkan adanya demensia.
The Abbreviated Mental Test (AMT) lebih singkat, terdiri dari 10 soal
yang digunakan untuk skrining kelainan. Tes ini terdiri dari 10 pertanyaan yang
diseleksi berdasarkan nilai diskriminatif dari Mental Test Score yang lebih
panjang. AMT termasuk komponen-komponen yang mengikuti memori baru
dan lama, atensi, dan orientasi. Skor <8 merupakan batas yang menunjukkan

10
defisit kognitif yang bermakna. Tes ini menunjukkan secara cepat penilaian
beratnya penyakit dibandingkan tes yang lebih panjang. Tes ini mampu
mendeteksi perubahan kognisi yang berhubungan dengan perkembangan pasca
operatif pada delirium. Pada pasien usia lanjut, tes ini dapat dikerjakan dalam 3
menit.
Terdapat versi 4 pertanyaan AMT (AMT4), dengan pertanyaan tentang
umur, tanggal lahir, tempat, dan tahun saja. Tes ini lebih cepat, lebih mudah
digunakan, dan lebih mudah diingat oleh pemeriksa. Sehingga lebih
meningkatkan kemungkinan penggunaan tes ini secara rutin pada pasien usia
lanjut di rumah sakit yang sibuk atau di UGD.

C. ASUHAN KEPERAWATAN PADALANSIA DENGAN GANGGUAN


KOGNITIF
I. PENGKAJIAN
1. ASSESMENT
Pengkajian menggunakan assesmen dengan wawancara langsung kepada
pasien dan keluarganya serta juga bisa dilakukan observasi secara langsung
pada tingkah laku klien. Observasi yang saudara lakukan terutama untuk
mengkaji data objective demensia. Ketika mengobservasi prilaku pasien untuk
tanda-tanda seperti :
a. Kurang konsentrasi
b. Kurang kebersihan diri
c. Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
d. Tidak mengenal waktu, tempat dan orang
e. Tremor
f. Kurang kordinasi gerak
g. Aktiftas terbatas
h. Sering mengulang kata-kata.
Berikut ini adalah aspek psikososial yang perlu dikaji oleh perawat : apakah
lansia mengalami kebingungan, kecemasan, menunjukkan afek yang labil, datar
atau tidak sesuai. Bila data tersebut saudara peroleh, data subjective didapatkan
melalui wawancara.
a. Data subyektif :
1) Pasien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi.

11
2) Pasien mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu.
b. Data obyektif :
1) Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek
yang sudah dikenalnya dan kehilangan suasana kekeluargaannya.
2) Pasien sering mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya.
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-
kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak
mampu menemukan kata-kata yang tepat.
Fokus assessment pada penderita demensia berupa riwayat keperawatan dan
pemeriksaan fisik klien. Riwayat keperawatan meliputi status kesehatan masa
lalu klien yang beresiko terhadap demensia, berupa penyakit-penyakit yang
pernah diderita klien yang bisa menyebabkan demensia seperti : penyakit
degenaratif, penyakit serebrovaskuler, gagal jantung, trauma otak, infeksi (Aids,
ensefalitis, sifilis), Hidrosefaulus normotensif, Tumor primer atau metastasis,
stress mental, heat stroke, whipple disease, diabetes.

Pemeriksaan fisik klien meliputi : ketidakmampuan melakukan tindakan


yang berarti, kerusakan fungsi tubuh, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-
hari secara mandiri.

II. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


Berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan pada saat pengkajian,
maka ditetapkan diagnosa keperawatan :

1. Sindrom Stress Relokasi


Berhubungan dengan perasaan tidak berdaya, gangguan status kesehatan
psikososial, tidak ada persiapan untuk masuk rumah sakit, perubahan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari, kurangnya sistem dukungan yang adekuat.

a. Ditandai dengan :
1) Kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah
laku defensif, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif
2) Tampak tanda stimulasi saraf simpatis, gangguan gastrointestinal, dan
perubahan kebiasaan makan

12
3) Gangguan tidur
b. Kriteria Hasil :
1) Mengidentifikasi perubahan
2) Mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan aktivitas kehidupan sehari-
hari
3) Mempertahankan rasa berharga pada diri dan identitas pribadi yang positif.
4) Membuat pernyataan positif tentang lingkungan yang baru
5) Memperlihatkan penerimaan terhadap perubahan lingkungan dan penyesuaian
kehidupan
6) Mampu menunjukkan rentang perasaan yang sesuai/tidak cemas
7) Tidak menyimpan pengalaman menyakitkan
8) Menggunakan bantuan dari sumber yang tepat selama waktu pengaturan pada
lingkungan baru.

13
c. Intervensi keperawatan

2. Perubahan Proses Pikir


Berhubungan dengan : perubahan fisiologis, kehilangan memori/ingatan,
gangguan tidur, konflik psikologis, gangguan penilaian.

a. Ditandai dengan :
1) Hilang konsentrasi (distrakbilitas).
2) Hilang ingatan/memori.
3) Tidak mampu membuat keputusan, menghitung, mengumpulkan gagasan,
melakukan abstraksi/konseptualisasi, dan memecahkan masalah.

14
4) Tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
5) Disorientasi waktu, tempat, orang, lingkungan, dan peristiwa.
6) Paranoid, delusi, obsesi, halusinasi, konfabulasi, bingung/frustasi dan perubahan
dalam respon tingkah laku.
b. Kriteria hasil :
1) Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani konsekuensi
kejadian yang menegangkan terhadap emosi dan pikiran tentang diri.
2) Mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri yang negatif.
3) Mampu mengenali perubahan dalam berpikir atau tingkah laku dan faktor
penyebab.
4) Mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak diinginkan,
ancaman dan kebingungan.

15
c. Intervensi keperawatan :

16
3. Perubahan persepsi-sensori
Berhubungan dengan :

- Perubahan persepsi, transmisi dan/ atau integrasi sensori (penyakit neurologi,


tidak mampu berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri).
- Stress psikologi ( penyempitan pandangan perceptual
disebabkan kecemasan).
- Pembatasan lingkungan secara terapeutik (isolasi, perawatan intensif, tirah
baring).
- Pembatasan lingkungan social (institusional, panti jompo), stigma (gangguan
jiwa, keterbelakangan mental).
- Gangguan kimiawi (endogen, eksogen).

a. Ditandai dengan:
1) Perubahan kemampuan pemecahan masalah
2) Perubahan respons terhadap stimulasi normal, seperti disorientasi spasial,
bingung, perubahan perilaku, konsentrasi menurun.

17
3) Respon emosional berlebihan, seperti kecemasan, paranoid, apatis, gelisah,
iritabilitas, depresi, takut, marah, dan halusinasi.
4) Ketidakmampuan mengatakan letak bagian tubuh tertentu.
5) Perubahan dalam sensasi rasa.
b. Kriteria hasil:
1) Mengalami penurunan halusinasi
2) Mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi stress atau mengatur
perilaku
3) Mendemonstrasikan respon yang sesuai stimulasi
4) Perawat mampu mengidentifikasikan factor eksternal yang berperan terhadap
perubahan kemampuan persepsi sensori.
c. Intervensi
1) Kembangkan lingkungan yang suportif dan hubungan perawat –klien terapeutik
Rasional : meningkatkan kenyamanan dan menurunkan kecemasan pada klien.
2) Bantu klien untuk memahami halusinasi
Rasional : meningkatkan koping dan menurunkan halusinasi
3) Beri informasi tentang sifat halusinasi, hubungannya dengan stressor/
pengalaman emosional yang traumatik, pengobatan, dan cara mengatasi.
Rasional : untuk membantu klien dalam memahami halusinasi.
4) Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut
mempengaruhi klien termasuk penurunan penglihatan dan pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlibatkan masalah yang bersifat asimetris
menyebabkan klien kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuh (
gangguan unilateral). Klien tidak dapat mengenali rasa lapar/haus, penerimaan
nyeri eksternal (dari luar).
5) Ajarkan strategi untuk mengurangi stress
Rasional : untuk menurunkan kebutuhan akan halusinasi.
6) Anjurkan untuk menggunakan kaca mata atau alat bantu pendengaran sesuai
keperluan.
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi/menurunkan kesalahan
interprestasi stimulasi.
7) Berikan lingkungan yang tenang dan tidak kacau jika diperlukan ( music yang
lembut, gambar/dinding cat sederhana)

18
Rasional : menghindarkan masukan sensori penglihatan atau pendengaran yang
berlebihan dengan mengutamakan kualitas yang tenang dan konsisten.
8) Berikan sentuhan dan perhatian
Rasional : meningkatkan persepsi terhadap diri sendiri.
9) Berikan perhatian dalam indah secara berkala ( musik dan cerita peristiwa yang
menyenangkan, foto)
Rasional : meningkatkan perasaan nyaman yang memudahkan adaptasi pada
perubahan lingkungan.
4. Resiko terhadap cidera
Berhubungan dengan:
- Kurangnya pendidikan tentang keamanan
- Riwayat trauma terdahulu
- Kurangnya penglihatan
- Ketidakmampuan mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan
- Disorientasi, bingung, ganguan dalam pengambilan keputusan
- Kesulitan keseimbangan, kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktifitas kejang

a. Kriteria Hasil :
1) Meningkatkan tingkat aktifitas
2) Dapat beradaptasi dengan lingkungan umtuk mengurangi resiko cidera
3) Tidak mengalami trauma/cidera
4) Keluarga mengenali potensial dilingkungan dan mengidentifikaksi tahap-tahap
untuk memperbaikinya

b. Intervensi
1) Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan penurunan
presepsi visual. Bantu keluarga mengidentifikasi resiko terjadinya bahaya yang
mungkin timbul.
Rasional : mengidentifikasi resiko dilingkungan dan mempertinggi kesadaran
perawat akan bahaya. Klien dengan tingkah laku impulsive berisiko trauma
karena kurang mampu mengendalikan perilaku. Penurunan persepsi visual
berisiko terjatuh.

19
2) Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
Rasional : klien dengan gangguan kognitif, gangguan persepsi adalah aweal
terjadi trauma akibat tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan
dasar.
3) Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi/berbahaya, seperti memanjat pagar
tempat tidur.
Rasional : mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang
meningkatkan resiko terjadinya trauma.
4) Kaji efek samping obat, tanda keracunan (tanda ekstra piramida, hipotensi
ortostatik, gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal).
Rasional : klien yang tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat dapat
menimbulkan kadar toksisitas pada lansia. Ukuran dosis/penggantian obat
diperlukan untuk mengurangi gangguan.
5) Hindari penggunaan restrain terus menerus. Berikan kesempatan keluarga
tinggal bersama klien selama periode agitasi akut.
Rasional : membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan timbul resiko fraktur
pada klien lansia (berhubungan dengan penurunan kalsium

20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penilaian fungsi kognitif pada lanjut usia penting karena dengan bertambahnya
umur, terjadi perubahan pada otak yang memicu perubahan proses berpikir dan
perilaku. Perbedaan tersebut mempunyai bentuk yang berbeda-beda pada tahap awal
proses, yang dipengaruhi oleh fungsi sosial dan aktifitas pekerjaan.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah The Mini Mental State
Examination (MMSE) dan Abbreviated Mental Test Score (AMT). MMSE menilai
orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, ingatan, bahasa dan praktek, dan
menirukan. Interpretasi penilaian MMSE adalah kelainan kognitif didapatkan pada
skor < 24. AMT merupakan instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada lanjut usia
dengan waktu yang lebih singkat dan sederhana daripada MMSE. Sensitifitas dan
spesifisitas AMT lebih rendah daripada MMSE. AMT menilai memori baru dan lama,
atensi, dan orientasi. Skor <8 menunjukkan adanya defisit kognitif yang bermakna.

B. SARAN
Semoga untuk kedepannya diharapkan pendekatan untuk pasien geriatri harus bersifat
holistik dan paripurna, yaitu bio-psiko-sosial, juga dari sisi kuratif, reehabilitatif ,
preventif, dan promotif .

21
DAFTAR PUSTAKA

BKKBN, 2009. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2009

Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR, 1975. ""Mini-mental state". A practical method
for grading the cognitive state of patients for the clinician". Journal of psychiatric
research 12 (3): 189–98

Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba
Medika.
MacKenzie DM, Copp P, Shaw RJ, et al,1996. Brief cognitive screening of the elderly: a
comparison of the Mini-Mental State Examination (MMSE), Abbreviated
Mental Test (AMT) and Mental Status Questionnaire (MSQ). Psychological
Medicine; 26:427–30.
Tangalos EG, Smith GE, Ivnik RJ, et al. 1996.The Mini-Mental State Examination in
general medical practice: clinical utility and acceptance. Mayo Clin Proc
71:829–37

22

Вам также может понравиться