Вы находитесь на странице: 1из 12

TATALAKSANA DISFAGIA DAN UNIT STROK

Abstrak

Disfagia merupakan salah satu komplikasi dari strok. Hal ini sering terjadi dan
merupakan penanda independen dari hasil akhir. Tatalaksana disfagia sangat penting. Walaupun
patologi kemampuan berbicara dan bahasa merupakan kunci dari tatalaksana disfagia, namun
penangananya harus didukung oleh semua anggota tim dengan disiplin ilmu yang berbeda-
beda. Pada saat berkunjung, pasien strok sebaiknya diskrining untuk menilai ada tidaknya
disfagia oleh ahli dalam bidang bicara dan bahasa (atau oleh professional), dimana pemeriksaan
tersebut diindikasikan untuk memahami fisiologi menelan dan sebagai pedoman untuk terapi.
Tatalaksana saat ini didasarkan pada modifikasi tekstur makanan/cairan dan manuver saat
menelan. Rehabilitasi untuk kemampuan menelan masih sangat sedikit, namun terdapat banyak
penelitian menjanjikan yang sedang dilakukan dengan neurostimulasi, obat-obatan dan
peralatan untuk memperkuat otot-otot yang berfungsi dalam proses menelan.

Kata kunci

Disfagia, menelan, gangguan menelan, strok, unit strok, tinjauan

Pendahuluan

Disfagia merupakan sebuah masalah yang sering terjadi setelah strok, dengan laporan
prevalensinya mencapai lebih dari 60%, yang dapat meningkat hingga 100% bila terjadi defisit
minor seperti kelemahan lidah minor yang membuktikan adanya disfagia. Pada kebanyakan
kasus, disfagia dapat pulih dengan cepat, namun pada kasus lain, fungsi menelan akan pulih
dalam waktu yang bervariasi.

Proses menelan sangat kompleks, tidak hanya bersifat perifer, namun juga sentral.
Menelan merupakan refleks dasar, dimana proses ini mengikuti pola yang diinisiasi di batang
otak. Menelan merupakan proses yang berlangsung singkron dan bila sudah dipicu, maka akan
berlangsung terus-menerus. Terjadinya proses ini telah diatur, namun durasi elevasi laring,
pembukaan UES dan penahanan nafas akan bervariasi tergantung karakteristik zat atau bolus
yang masuk (volume dan viskositas). Strok akan mempengaruhi proses menelan pada berbagai
level akibat dari interupsi pada alur umpan balik (feedback loop), dan pemulihanya tergantung
pada pulihnya kortikal.

Pada masyarakat usia tua, insiden/prevalensi disfagia semakin meningkat. Kebanyakan


usia tua mengalami predisfagia dan berdasarkan kelemahanya, prevalensi disfagia dapat
mencapai 70%, tidak semua disfagia di unit strok disebabkan oleh strok. Penelitian yang
dilakukan oleh Smithard dkk menemukan bahwa terdapat pasien-pasien yang mengalami
disfagia 1 minggu setelah mengalami strok, dimana gangguan ini tidak ditemukan pada
pemeriksaan pasien saat kunjungan pertama. Kemampuan menelan setelah mengalami strok
sangat bervariasi, oleh sebab itu kewaspadaan dan tinjauan perlu dilakukan untuk meyakinkan
bahwa masalah tersebut dapat dideteksi bila terjadi.

Gambar 1. Skrining menelan pada pasien yang datang ke RS dengan strok akut
Identifikasi dan tatalaksana disfagia sangat penting untuk meminimalkan risiko infeksi
(biasanya karena kebersihan mulut yang buruk), distress akibat aspirasi makanan dan cairan,
serta kemampuan untuk mendapatkan kalori yang adekuat.

Unit strok

Tatalaksana strok bersifat multiprofesional dan interprofesional, bukan hanya mengenai


keseluruhan jalurnya namun juga potongan dari masing-masing jalur tersebut, sebagai
penanganan pada masalah menelan.

Telah dikatakan dalam diktat praktis bahwa pasien yang datang ke rumah sakit dengan
strok akut sebaiknya diangani di unit strok.

Unit strok merupakan area klinis yang yang dibuat untuk pelayanan pasien yang datang
ke rumah sakit dengan strok. Unit strok terdiri atas profesinal dengan ketertarikan dan
pengetahuan tentang strok. Bukti menunjukan bahwa pasien yang mendapat pelayanan di unit
stroke akan mengalami pemulihan yang lebih baik dan lebih sedikit yang meninggal untuk
jangka pendek maupun jangka panjang (odd ratio kematian 0.82; 95% CI, 0.77 sampai 0.87;
P0.00001).

Belum jelas elemen-elemen mana dari unit strok yang memberikan hasil yang baik.
Kemungkinan karena etika secara keseluruhan, koordinasi pelayanan oleh staf yang ahli,
meningkatnya kewaspadaan terhadap timbulnya komplikasi strok dan pelayanan unit tersebut,
demikian juga dengan kemampuan untuk terlibat dalam percobaan klinis dan langsung bertemu
dengan spesialis.

Anggota tim strok sebaiknya terbiasa dengan disfagia, bagaimana cara


mengidentifikasinya dan bagaimana tatalaksananya, cara memposisikan (duduk dengan sudut
45°-90°, memperhatikan dan mampu mengikuti instruksi), skrining dan menilai serta menangani
pasien dengan disfagia. Ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi bukan berarti penilaian
tidak dapat diambil, hal ini artinya membutuhkan pendekatan yang baru dan pragmatis.

Tatalaksana klinis untuk disfagia akan lebih kompleks bila ditemukan hemianopia,
hilangnya sensoris, kesadaran dan hal lain seperti kebencian personal.

Tatalaksana disfagia

Disfagia didefenisikan sebagai “kesulitan menelan; perpindahan makanan dari mulut ke


lambung”, sedangkan kesulitan makan lebih merujuk kepada masalah-masalah yang
berhubungan dengan perpindahan makanan/cairan ke dalam mulut. Pada kebanyakan pasien,
kedua masalah ini sama-sama terjadi.
Tatalaksana disfagia sama pada unit pelayanan-pelayanan seluruh dunia, namun dapat
berbeda pada ketersediaan sumber daya dan staf untuk melakukan pelayan tersebut.

Banyak pelayanan yang mampu memberikan skrining proses menelan pada saat
pendaftaran pasien atau dalam 24 jam setelah protokol. Terdapat banyak variasi dalam rencana
tatalaksana, namun bila menangani strok yang telah diantisipasi sebelumhya, hasil akhirnya
akan lebih baik. Alur untuk proses menelan memiliki beberapa komponen kunci. Hal tersebut
digambarkan secara lebih rinci pada berbagai dokumen panduan dan konsensus oleh ESSD.

Alur yang disetujui secara umun yaitu meliputi skrining, penilaian, investigasi,
tatalaksana, rehabilitasi dan pemberian makan (gambar 1).

Skrining

Perlunya sebuah konsensus untuk menentukan tujuan dan arti dari skrining. Pada
pelayanan strok akut, umumnya dilakukan penilaian secara dini, menggunakan satu konsistensi
(air). Beberapa alat skrining, seperti The Mann Assesment of Swallowing Ability (MASA) dan
miniMASA mengandalkan variabel klinis untuk menilai adanya disfagia dan risiko aspirasi.
Skrining pada pasien strok untuk menilai adanya disfagia dilakukan untuk mengidentifikasi
apakah pasien mampu atau tidak mampu menelan dengan aman. Skrining menelan bukan
merupakan alat diagnostik. Kebanyakan skrining menelan dilakukan saat pemeriksaan langsung
pada pasien dan menggunakan volume air yang bervariasi untuk menilai kemampuan menelan.
Skrining menelan tidak memberikan kontribusi dalam keputusan tatalaksana kemampuan
menelan, namun hanya memberikan informasi bahwa pasien mampu atau tidak mampu
menelan dengan aman.

Gambar 2. Hubungan antara spesifisitas dan sensitifitas skrining menelan.


Pertanyaannya adalah, skrining menelan apa saja dan siapa saja yang melakukan skrining
ini. Terdapat banyak skrining menelan yang tersedia untuk dikembangkan, namun banyak juga
skrining serupa yang tidak terjamin. Siapa saja yang melakukan skrining tersebut tergantung
pada rancangan masing-masing pelayanan. Di Inggris, perawat dari pelayanan strok, akan
melakukan skrining, biasanya di bangsal; di Amerika, Daniels melaporkan bahwa perawat-
perawat bagian emergensi yang telah terlatih berhasil melakukan skrining.

Sensitifitas dan spesifisitas untuk skrinig menelan sangat bervariasi (gambar 2) dan
untuk mencapai perbaikan sensitifitas skrining menelan air, telah dilakukan penelitian tentang
manfaat tambahan asukultasi servikal, saturasi oksigen arteri dan tambahan media kontras pada
suplemen air dengan radiografi dada. Bours dkk menunjukan bahwa saturasi oksigen dengan tes
menelan air merupakan pendekatan yang paling baik, namun literatur tersebut masih
bercampur. Ramsey dkk melakukan penelitian acak untuk menginvestigasi manfaat tambahan
dari radiografi dada untuk skrining langsung pada pasien. Sayangnya, akibat berbagai faktor
yang bervariasi; pengambilan pasien-pasien yang sesuai untuk penelitian tidak mungkin
dilakukan.

Skrining menelan harus sensitif untuk mendeteksi mereka dengan masalah


menelan/aspirasi dan mereka yang memiliki kemampuan menelan yang normal (spesifisitas)
(gambar 2). Korelasi tersebut cukup beralasan. Korelasi antara sensitifitas dan spesifisitas serta
nilai prediksi positif dan negatif masih buruk (data tidak dipublikasikan). Kopey dkk menemukan
bahwa sensitifitas buruk namun spesifisitasnya tinggi pada pasien dengan stroke yang melewati
uji tersebut; 54.6% mengalami disfagia yang signifikan secara klinis. Kesimpulanya adalah
sebaiknya memiliki kecurigaan yang tinggi terhadap adanya disfagia pada pasien strok (FIM
<60). Skrining menelan penting untuk digunakan secara mudah dan memberikan hasil yang
sama tidak tergantung pada operator yang melakukanya.

Di Bristol, Inggris, sebuah laporan oleh European stroke conference menunjukan bahwa
penggunaan miniMASA menurunkan kejadian pneumonia aspirasi di unit strok sebanyak 75%
(12 sampai 13%), namun laporan terbaru menunjukan bahwa penelitian tersebut telah berakhir,
praktik kembali pada jalur penelitian dan angka infeksi dada kembali pada level sebelum
penelitian (komunikasi personal).

Apapun skrining yang digunakan dan dilakukan oleh siapapun bisa jadi tidak relevan,
Hinchey dkk mencatat bahwa adanya protokol pada pelayanan, memperbaiki hasil akhir dan
mengurangi pneumonia aspirasi.

Audit SSNAP tahun 2015 di Inggris melaporkan bahwa secara nasional, 71% proses
menelan diniai dengan skrining selama 4 jam pendaftaran dan 83.6% dinilai oleh SLT (speech
and language therapist) dalam 72 jam. Di Jerman, ditemukan lebih awal (2008) namun skrining
dilakukan pada 55.8-86.6% tergantung pada unit masing-masing. Titsworth dkk menemukan
bahwa penggunaan staf perawat untuk melakukan skrining menelan diikuti oleh ahli patologi
kemampuan bicara dan bahasa (SLP) menunjukan perbaikan skrining (39.3 sampai 72.4%
p<0.001) dan selanjutnya menurunkan kejadian pneumonia.

Penilaian menelan

Penilaian merupakan tahapan lanjutan dari tatalaksana dan melibatkan pemeriksaan


yang lebih rinci pada proses menelan, dilakukan oleh tenaga terlatih untuk penilaian menelan.
Penilaian akan meliputi anatomi oral, keseimbangan duduk dan neorologis pasien, begitu juga
dengan kemampuan menelan setelah strok.

Penilaian menelan dilakukan oleh staf yang dilatih secara spesifik untuk melakukan hal
tersebut. Tenaga professional bervariasi tergantung negara masing-masing. Bagaimanapun
perturan lokalnya, penilaian ini sebaiknya dilakukan secara dini dan dilakukan oleh spesialis yang
telah terlatih.

Proses menelan akan dinilai menggunakan makanan/cairan dengan konsistensi yang


berbeda (makanan dengan modifikasi tekstur) dan menggunakan teknik yang berbeda pula
untuk membantu proses menelan bila terdapat indikasi.

Setelah penilaian proses menelan, akan didapatkan informasi dari makanan tersebut; hal
ini berkisar dari diet normal, diet modifikasi, kecepatan makan, volume tiap mengisi penuh
mulut, perlunya pengawasan saat makan/menelan dan perlunya manuver untuk menelan
(misalnya posisi kepala, usaha untuk menelan) atau bila proses menelan sangat tidak aman,
tidak lewat mulut.

Tidak terdapat penilaian yang terstandarisasi, namun telah dikembangkan V-VST yang
dapat memberikan basis untuk pendekatan yang konsisten.

Penilaian proses menelan yang aman bisa jadi menjadi tidak aman selama pasien berada
di unit strok. Proses menelan dapat memburuk dengan adanya hal-hal yang beru terjadi seperti
infeksi, diabetes yang tidak terkontrol, cedera kepala akibat jatuh atau strok yang berulang.
Peresepan obat oleh tim medis dapat mempengaruhi proses menelan atau merupakan hasil
dari efek antikolinergik.

Investigasi

Investigasi lebih lanjut untuk proses menelan mungkin dibutuhkan setelah penilaian
klinis. Berbagai instrument penilaian dibutuhkan untuk menambah nilai bagi pelayanan pasien;
terdapat 2 metode terapi dasar, yaitu radilogis dan endoskopik, yang merupakan teknik
komplementer.
Tujuan dari penilaian lanjutan ini untuk menilai apa saja yang terjadi selama proses
menelan. Videofluoroskopy (VFS) atau menelan modifikasi barium sering disetujui sebagai “gold
standard” untuk menilai proses menelan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa VFS merupakan
penilaian pertama yang dikembangkan. VFS memberikan data mengenai aliran bolus,
pergerakan otot dan hubunganya dengan anatomi saat aspirasi. Namun proses ini
mengharuskan pasien untuk dibawa ke bagian radiologi dan dilakukan studi barium serta
terpapar x-ray. Bila seseorang tidak mampu untuk duduk pada kursi khusus, maka penilaian
tidak dapat dilakukan.

Tabel 1. Manuver menelan untuk membantu mengurangi aspirasi dan menghasilkan proses
menelan yang aman
Forceful swallow
Double swallow
Breath holding
Supraglottic swallow
Suprsupra glottic swallow
Mendelssohn manoeuvre
Head turn
Chin tuck
Position of bolus in the mouth

Fibreoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES) dapat dilakukan langsung di


samping pasien dan pada pasien dengan kondisi kurang baik atau yang memiliki keseimbangan
duduk yang buruk. Proses ini tidak memaparkan pasien dengan radiologi namun membutuhkan
operator yang terlatih dan aspirasi bisa saja tidak disadari. FEES tidak tersedia di semua unit,
namun sangat mungkin untuk melatih banyak professional yang berbeda untuk
menggunakanya.

Secara internasional, terdapat perbedaan pendapat pada kelayakan instrument


investigasi; apakah semua pasien harus menjalani VFS atau FEES atau hanya bila terdapat
kebutuhan klinis untuk menjawab pertanyaan spesifik yang berhubungan dengan tatalaksana.
Wilson dalam tesis MSc-nya menyarankan bahwa penilaian dengan VF merupakan struktur
tatalaksana yang paling efektif secara harga; sangat mungkin bahwa VFS dapat menunda
mulainya masukan oral dan follow up tidak selalu menunjukan perubahan fisiologis disamping
perubahan fungsional.
Rehabilitasi

Rehabilitasi dan tatalaksana disfagia seringkali membingungkan. Banyak mekanisme


yang dipikirkan sebagai teknik rehabilitasi yang digunakan untuk membantu pasien menelan
secara aman.

Tatalaksana proses menelan

Kebutuhan nutrisi sangat penting dan mendasar; tatalaksana disfagia dapat meyakinkan
kebutuhan aman dengan nutrisi yang adekuat; kegagalan untuk memberikan nutrisi yang
adekuat akan berujung pada kematian pasien.

Sekarang ini, terdapat 3 pendekatan untuk tatalaksana proses menelan yang buruk:
untuk mengubah fisiologi menelan (manuver) atau untuk mengubah konsistensi diet atau
kombinasi dari keduanya (tabel 1). Penelitian telah menunjukan bahwa penggunaan modifikasi
tekstur dan manuver dalam menelan bermanfaat untuk mengurangi aspirasi dan risiko lainya.
Namun, terdapat sebuah risiko bahwa bisa jadi konsistensi kentalnya air dan tekstur makan
menjadi tidak konsisten. Makanan/cairan yang siap pakai harganya mahal.

Semua staf yang berkerja di unit strok, pengunjung (keluarga/teman), sukarelawan,


pembersih ruangan, perawat, terapis dan staf medis perlu untuk waspada terhadap instruksi
yang diberikan oleh SLP, dimana instruksi tersebut harus tertera dan diikuti.

Pekerjaan SLP yang dibantu oleh fisioterapis untuk menolong dalam proses duduk dan
memposisikan pasien, ahli peralatan untuk membantu dalam menggunakan alat pemotong dan
lapisan pelindung dan ahli diet untuk meyakinkan terpenuhinya kalori yang adekuat.

Isu yang menarik untuk pasien dan staf yaitu terbatasnya kesempatan untuk menjalani
rehabilitasi, sangat berbeda dengan hanya penilaian dan saran. Hal ini merupakan akibat dari
beban kerja yang tinggi dan sedikitnya jumah personel yang terlatih.

Tanpa melihat waktu yang terbatas, disfagia akan menyelip tatalaksana disfasia pada
pelayanan akut dan post akut dini.

Rehabilitasi

Rehabilitasi disfagia berkembang secara cepat, dimana banyak peneliti yang tertarik dan
meningkatkan basis bukti, hal ini berbeda pada tatalaksana disfagia. Hasil akhir dari berbagai
intervensi rehabilitasi adalah seseorang mampu untuk menelan dengan aman. Dimana teknik
yang digunakan yaitu neuroplastisitas akan muncul akibat proses menelan yang menjadi sistem
umpan balik (feedback).
Rehabilitasi fisik pada proses menelan mengandalkan kekuatan otot-otot hyoid. Hal ini
memerlukan beberapa pendekatan dengan efek yang bervariasi. Latihan kekuatan lidah telah
menunjukan manfaat dan memulihkan proses menelan yang aman setelah strok. Latihan yang
bekerja secara langsung pada otot-otot hyoid seperti manuver Shaker dan lebih baru lagi chin
tuck against resistance (CTAR) juga memperbaiki proses menelan. Vitalism dan Ampcare,
keduanya berkerja melalui stimulasi neuromuscular namun membutuhkan bukti lain sebelum
menyetujui kedua teknik tersebut pada praktik sehari-hari.

Scutt dkk telah menginvestigasi peran dari drimulasi faringeal. Sebuah pipa nasogastric
dengan elektroda dan sensor, dimasukan untuk memasukan makanan dan sekaligus
memberikan terapi dengan stimulasi faring pada ambang dan frekuensi yang ditentukan untuk
periode waktu tertentu. Saat ini, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai mana yang
bermanfaat.

Stimulasi magnetic transkranial memberikan pandangan yang baik dalam pemulihan


proses menelan, namun saat ini belum menjadi teknik rehabilitasi yang tersedia di pelayanan
klinis.

Nutrisi dan hidrasi

Sebanyak 24% pasien yang datang dengan strok akut memiliki risiko malnutrisi.
Kebanyakan pasien dapat mengalami malnutrisi selama perawatan akibat berbagai faktor
termasuk kesakitanya, tidak diperhatikan, hemiparesis dan hemianopia. Banyak pasien yang
membutuhkan asupan dan bisa jadi asupanya tidak didukung.

Rute

Banyak pertanyaan yang muncul mengenai pemberian makanan/nutrisi sementara,


bukan menggunakan air. Pada awal 24-48 jam strok, pasien butuh untuk dihidrasi. Banyak
panduan menyarankan bahwa harus diberikan infus intravena dengan saline.

Rute yang optimal untuk nutrisi dan hidrasi sementara yaitu melalui oral atau enteral.
Rute ini mempertahankan fungsi usus dan menurunkan gangguan metabolic. Bila tidak
memungkinkan asupan oral, rute alternatif lain harus dipertimbangkan. Namun, telah diketahui
bahwa mereka yang mendapat diet tekstur modifikasi akan menurunkan masukan energi dan
protein serta mengalami defisit kebutuhan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
mendapat diet normal; begitu juga dengan hal yang terjadi bila menggunakan cairan kental.

Yang lebih diperdebatkan yaitu waktu yang tepat untuk pemasangan pipa nasogastric.
Terdapat risiko lain yang berhubungan dengan pemasangan pipanasogastrik (NGT) yaitu
penempatan pipa masuk ke dalam bronkus paru kanan. Menjaga NGT pada tempatnya dapat
menjadi hal yang sulit. NGT seringkali “keluar”. Alasanya banyak, mulai dari fiksasi yang buruk
sampai pasien sendiri yang menarik pipa keluar.

Penggunaan NGT sebagai metode pemberian makanan sudah disetujui. Terdapat skeptic
antara risiko dan manfaat dari penggunaan NGT. Terdapat argumen bahwa penggunaan NGT
dapat menigkatkan risiko infeksi/aspirasi, atau menyebabkan kerusakan fisik pada faring,
esophagus atau paru-paru. NGT dapat masuk pada tempat yang salah dan menyebabkan
makanan masuk ke paru-paru bila tidak diperhatikan. Dzeiwas pada tahun 2003 menemukan
bahwa disfagia tidak diperberat dengan NGT dan lebih baru lagi, Kalra dkk menunjukan dalam
sebuah penelitian yang lebih besar bahwa penggunaan NGT tidak meningkatkan timbulnya
infeksi ataupun mortalitas.

Sebuah penelitian kecil oleh Davlos dkk menyimpulkan bahwa pemberian makanan
enteral secara dini tidak mencegah keseimbangan protein negatif. Percobaan oleh The FOOD
menyimpulkan bahwa pemerian makanan dini menurunkan angka mortalitas sebanyak 5.8%
namun dapat meningkatkan disabilitas pada mereka yang selamat. Crary dkk tidak menemukan
hubungan antara nutrisi dan disfagia pada strok fase akut; hubungan dengan hidrasi lebih
kompleks dimana semakin berat pasien strok akan lebih sering diberikan hidrasi intravena.

Konsensus menyatakan pipa nasogastric sebaiknya dipasang lebih dini sebagai sarana
pemberian obat.

Berdasarkan percobaan The FOOD, pemasangan pipa gastrostomy endoskopik


perkutaneus secara dini tidak direkomendasikan dan dapat ditunda selama beberapa minggu,
namun hal ini akan dilakukan dengan menilai apakah NGT masih berada di tempatnya. Berbagai
peralatan telah digunakan untuk menjaga agar NGT tetap ditempatnya, mulai dari plester,
pengekang melalui hidung, sampai pada helm American football.

Identifikasi yang sesuai untuk pasien yang membutuhkan pemberian makanan melalui
percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) dapat mengurangi pemasangan pipa tersebut
kepada pasien-pasien yang tidak memerlukanya, atau karena pelayanan yang bersifat paliatif
atau bila kemampuan menelanya sudah lebih baik.

Unit strok membutuhkan kebijakan dan standar prosedur operasional yang ditetapkan,
demikian juga pada waktu yang tepat untuk memberikan nutrisi sementara melalui jalur
enteral. Sering terjadi penundaan antara keputusan untuk memasang pipa makanan dan
implementasinya. Pemasangan PEG akan bervariasi tergantung ketersediaan di pelayanan.
Idealnya, PEG sebaiknya dimasukan dalam 72 jam setelah diputuskan untuk melakukan
pemasangan.
Sangat penting untuk tidak menunda-nunda dan memperlambat pemberian nutrisi
sementara, disaat rehabilitasi ditunda, maka akan berpengaruh juga pada pemulihan.

Pemberian makanan parenteral sebaiknya tidak sering diindikasikan pada strok akut.
Pada kebanyakan orang, traktus gastrointestinal masih berfungsi, oleh sebab itu nutrisi enteral
sebaiknya menjadi rute pilihan. Bila terdapat kesulitan untuk mempertahankan NGT, atau
kesulitan untuk memasukan NGT akibat adanya kelainan anatomi, makan nutrisi parenteral
dijadikan sebagai rute sementara untuk nutrisi sambil menunggu pemasangan PEG.

Infeksi

Aspirasi makanan berpotensi mematikan, akibat dari obstruksi mekanik dan


pneumonitis, dibandingkan dengan infeksi. Di sisi lain, aspirasi saliva memberikan risiko yang
lebih signifikan. Area permukaan gigi dan gusi sangat besar dan setiap sentimeter kubiknya,
terdapat milyaran organisme. Kebersihan mulut sangat vital namun sering diabaikan.
Pengabaian merupakan masalah utama saat menggunakan asupan non-oral, hal ini terus terang
terjadi. Penelitian oleh Gosney dkk dan Rofe dkk menunjukan bahwa dengan kebersihan mulut
yang sederhana dan tambahan dekontaminasi oral menggunakan gel atau pembersih mulut
metronidazole dan pasta gigi akan menurunkan insiden infeksi. Selain itu, Roffe’s group
menunjukan bahwa penggunaan metoclopramide dapat menurunkan kejadian aspirasi.

Adanya hemiparesis dan menurunya pergerakan dinding dada pada sisi hemiparesis
berujung pada sebuah teori bahwa terganggunya ventilasi dan stasis sputum dapat
mengakibatkan infeksi; namun 2 penelitian acak besar menunjukan bahwa penggunaan
antibitok profilaksis tidak menurunkan kejadian pneumonia pada pasien-pasien dengan disfagia.

Penelitian kedepan

Strok masih menjadi beban bagi manusia, pelayanan kesehatan dan masyarakat selama
bertahun-tahun. Insidensinya, bila tidak diprevalensikan, akan meningkat seiring bertambah
usia populasi. Tatalaksananya dibutuhkan untuk memperbaiki rehabilitasi yang terjadi diluar
rumah sakit. Penelitian dibutuhkan untuk mengembangkan peralatan yang sederhana, tepat
tujuan dan juga efektif secara waktu. Alat-alat tersebut harus mudah dibawa dan mampu untuk
digunakan oleh pasien sendiri atau dapat diarahkan menggunakan telehealth dalam jarak yang
jauh.

Obat-obatan dapat membantu pasien-pasien dengan kelemahan dibandingkan dengan


kemampuan menelan. Clave’s group telah melakukan penelitian yang menarik dengan reseptor
agonis TRPV; penelitian lain menunjukan beberapa manfaat dari pemberian nifedipine,
amantadine dan substansi P.
Isu etis

Setiap unit strok membutuhkan kesadaran bahwa, karena sesuatu dapat dilakukan,
bukan berarti hal tersebut harus dilakukan. Secara internasional, pengekang digunakan untuk
menjaga psisi NGT. Di Inggris, pengekang sederhana telah digunakan secara regular dengan
tujuan menghentikan pelepasan NGT. Penggunaan sarung tangan, pengekang fisik maupun
kimia bukan hanya menjadi isu legal namun juga etis.

Pasien tidak dapat dipaksa untuk menjalani tindakan yang tidak diinginkan. Kedua
pendekatan tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan, tidak diterima secara moral dan
tidak dapat dipertahankan secara etis bila tatalaksana tersebut tidak menunjukan adanya
manfaat.

Unit strok membutuhkan protokol/kebijakan yang tertera, untuk menangani disfagia


pada pasien-pasien yang tidak dapat atau tidak mau dilakukan pemasangan pipa makanan. Hal
ini penting untuk dikembangkan demi membantu pelayanan kualitas hidup.

Kesimpulan

Tatalaksana disfagia di unit strok merupakan hal penting bagi semua staf yang bekerja
disana. Unit strok sebaiknya memiliki kebijakan langsung untuk pelayanan dan menurunkan
timbulnya pneumonia dan komplikasi lain yang berhubungan dengan aspirasi.

Kemampuan menelan harus segera dinilai dan bila membutuhkan investigasi lanjutan
sebaiknya langsung diorganisir.

Bagian nutrisi dan hidrasi menjadi bagian utama yang penting dan dibutuhkan untuk
diimplementasikan sesegera mungkin.

Вам также может понравиться