Вы находитесь на странице: 1из 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325143483

ESENSI DALAM EKSISTENSI: SHARING ECONOMY PADA PENGELOLAAN


HOMESTAY TIGA DESTINASI PRIORITAS DI INDONESIA

Chapter · March 2018

CITATION READS

1 424

1 author:

Putu Diah Sastri Pitanatri


Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali
16 PUBLICATIONS   6 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pariwisata Budaya View project

Digital Marketing in Tourism View project

All content following this page was uploaded by Putu Diah Sastri Pitanatri on 15 May 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HOME
S TAY
MOZAIK PARIWISATA BERBASIS KERAKYATAN

Editor:
I Wayan Mertha
Putu Diah Sastri Pitanatri

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI
HOMESTAY
MOZAIK PARIWISATA BERBASIS KERAKYATAN

Editor:
I Wayan Mertha
Putu Diah Sastri Pitanatri

Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat


Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua-Bali
2018
HOMESTAY
MOZAIK PARIWISATA BERBASIS KERAKYATAN

© 2018 Masing-masing Penulis

Editor
I Wayan Mertha
Putu Diah Sastri Pitanatri

Pracetak
Slamat Trisila

Foto Sampul
Agus Darmika

Penerbit
Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua-Bali
Jl. Dharmawangsa, Benoa, Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Bali 82262
E-mail: jurnal.stpbali@gmail.com

Cetakan Pertama: Maret 2018

ISBN 978-602-51521-1-5

ii
KATA SAMBUTAN

S aya mengucapkan selamat atas peluncuran buku Homestay


Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan.
Buku ini hadir dan menjawab pesisme diawal bahwa “buku
ini tidak akan jadi”. Memang sebagai buku pertama di Indonesia
yang mengkaji dan berbicara mengenai homestay tentu tidak mu-
dah. Sebuah pertanyaan besar, bagaimana gagasan dan pemikiran
untuk membuat sebuah buku tentang homestay ini, harus dikon-
struksikan menjadi sebuah buku yang “enak dibaca dan perlu“.
Saya menekankan pada kedua editor bahwa angle penulisan harus
berfokus pada “Pemikiran, Pengalaman, dan Inspirasi”. Artinya,
dengan begitu, bahan-bahan buku ini harus digali dengan melihat
berbagai perspektif pengembangan homestay di Indonesia.
Pemikiran dalam penyusunan buku homestay ini, dilatar­
belakangi oleh kurangnya informasi serta kajian-kajian tentang
Homestay di Indonesia. Penelitian masih bersifat sporadis sehingga
kurang memberi manfaat aplikatif bagi pengembangan kebijakan
khususnya bagi Kementerian Pariwisata. Padahal, pembangunan
homestay secara nyata, telah ikut memberi warna dan berkontribusi
besar dalam perjalanan pembangunan kepariwisataan berbasis
komunitas sampai saat ini. Banyak pemikiran-pemikiran besar
yang visioner dan monumental, tentu akan pupus begitu saja,
jika tidak ada upaya untuk menorehkannya dalam bentuk tulisan
untuk bisa dibaca banyak orang.
Dalam waktu yang cukup singkat, akhirnya buku yang
merupakan kompilasi dari dua puluh enam artikel dari tujuh
Universitas/Perguruan Tinggi di Indonesia rampung dikerjakan.
Saya sangat mengapresiasi kerja keras dan semangat teman-teman
dalam berkarya.
Sekali lagi saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini.
Semoga buku-buku lainnya segera terbit dan memperkaya kajian
dalam lingkup kepariwisataan dan hospitality .

Bali, Maret 2018


Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali
Drs. Dewa Gede Ngurah Byomantara., M.Ed.

iii
KATA PENGANTAR

A book is a dream that you hold in your hand.


–Neil Gaiman

P uji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya kami dapat
mempublikasikan buku ini. Terlepas dari segala kekurangannya,
buku ini merupakan mimpi besar kami untuk dapat membantu
pemerintah dan masyarakat lokal dalam meningkatkan kualitas
homestay di Indonesia.
Bunga rampai yang kami susun merupakan kumpulan dari
hasil-hasil penelitian homestay di berbagai daerah di Indonesia yang
kemudian kami rangkum ke dalam satu buku, dan kami harapkan
dapat berkontribusi bagi pengembangan homestay di Indonesia,
khususnya Indonesia bagian timur.
Kami sangat berharap buku sederhana ini dapat berguna
tidak hanya untuk menambah wawasan serta pengetahuan
namun berdampak secara praktis bagi kepariwisataan Indonesia.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam buku ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang.
Kami sekaligus menghaturkan terima kasih bagi segenap
pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu, atas
dukungannya untuk merampungkan buku ini. Semoga kebaikan
dan kebahagiaan selalu menyertai kita semua.

Nusa Dua, Maret 2018


Editor

iv
WASANA KATA

HOMESTAY
Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan

I Wayan Mertha & Putu Diah Sastri Pitanatri

S ebagai tren yang menjadi fenomena nasional dalam satu


dekade terakhir, homestay menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pariwisata yang digadang-gadang mampu
memaksimalkan three elements of sustainability bagi masyarakat
melalui pariwisata. Economic, socio cultural dan environment dapat
memiliki implikasi positif karena model usaha jenis ini dilakukan
dalam skala kecil namun memberi impact yang begitu besar.
Masyarakat tidak lagi mendapatkan tretesan pariwisata namun
langsung mendapatkan manfaat dari pariwisata.
Hanya saja, perkembangan ini terasa begitu awam karena
target yang digadang-gadang seakan-akan irasional dimana
pemerintah melalui Kementerian Pariwisata menargetkan seratus
ribu homestay di Indonesia atau minimal di sepuluh destinasi
prioritas (Kemenpar, 2017). Hal ini tentu berbanding terbalik
dengan konsep homestay yang disampaikan dalam ASEAN homestay
standard (2016) dimana homestay dikategorikan sebagai bentuk
akomodasi dengan konsep rumahan yang berbeda dari yang lain,
bukan sebagai pariwisata masal. Penekanan terhadap standarisasi
dari segi kualitas tentu berbeda dengan pendekatan dari kuantitas.
Meskipun demikian, kedua pendekatan ini sebenarnya ditujukan
untuk memaksimalkan potensi pariwisata bagi masyarakat lokal
sehingga manfaat sebesar-besarnya adalah untuk peningkatan
kesejahteraan.
Konsep kebermanfaatan bagi masyarakat lokal tersebut atau
lazim disebut sebagai pariwisata berbasis kerakyatan (Community-
Based Tourism - CBT) merupakan agenda baru dalam pengembangan
model pariwisata. Muncul di sekitar tahun 1990an (Asker, et al.
2010), CBT menekankan peran serta dan keterlibatan masyarakat
secara langsung dalam setiap pengembangan pariwisata. Konsep
ini memberi harapan tentang pemberdayaan masyarakat dalam
aspek ekonomi, sosial dan politik. Studi tentang CBT-pun telah

v
banyak diteliti oleh para peneliti di bidang pariwisata baik di dalam
maupun di luar negeri (Siwar, 2013; Kayat, 2003, 2009, 2010, 2013;
Jamaludin, et al. 2012; Pakshir & Nair, 2011; Harris, 2009; Peaty,
2009;; Mohamad Nor, et al. 2012).
Sebagai bagian dari bentuk praktis konsep CBT, homestay
mengambil peranan yang begitu esensial bagi pemberdayaan
masyarakat. Berbagai kajian terkait homestay pun telah terbit dan
dipublikasikan dalam artikel-artikel ilmiah. Dalam publikasi
tersebut modusnya membahas mengenai partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan homestay (Wall & Long, 1996; Hussin & Mat Som,
2008; Yong, 2010; Hatton, 1999; Kayat & Mohd Nor, 2005; Peaty,
2009) dimana sampai tulisan ini diterbitkan, terdapat pendekatan
yang sangat kurang terhadap penilaian kepuasan wisatawan yang
berkunjung. Padahal, hal ini salah satu menjadi elemen terpenting
bagi wisatawan. JIka terdapat peningkatan kepuasan wisatawan
maka returnee bahkan wisatawan yang bersedia membantu menjadi
“endorser” homestay tersebut dapat dengan mudah diperoleh.
Senada dengan kurangnya publikasi terkait kepuasan
wisatawan di homestay, dikotomi juga terjadi saat masyarakat lokal
yang tidak berbekal pemahaman atau konsep dasar pariwisata
membuka homestay. Implikasinya tentu saja diskursus antara
kepentingan individu dengan program pemerintah. Pembangunan
yang bersifat sporadis tanpa pola-pola yang jelas justru dapat
mengurangi elemen keberlanjutan dari homestay tersebut. Apalagi
dengan minimnya pemahaman masyarakat di beberapa destinasi
penciptaan pengalaman “indah” bagi wisatawan, mengakibatkan
tidak semua wisatawan merasa puas saat menginap di homestay.
Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa per­
kembangan homestay di Indonesia pada masing-masing destinasi
menjadi begitu unik dan one of a kind yang menjadikan destinasi
tersebut berbeda dari homestay yang ada di destinasi lainnya. Hal
inilah yang menjadikan homestay di Indonesia kemudian kami
ibaratkan sebagai mozaik. Mozaik yang berupa kepingan-kepingan
kecil dari beberapa destinasi inilah yang buku ini rangkai, sehingga
dapat dinikmati secara utuh, dalam sebuah gambar yang indah.
Artikel dalam tulisan ini berupaya untuk memersatukan kepingan
kecil tersebut.
Secara garis besar buku ini terdiri dari 4 bagian yang
merangkum ke 26 artikel yakni 1) homestay dalam keunggulan

vi
kompetitif 2) homestay dan tata kelola 3) homestay dalam peluang
dan tantangan dan 4) homestay dalam ragam perspektif. Masing-
masing bagian memberi pemahaman yang berbeda baik dari sisi
akademis maupun praktis yang disertakan dengan beragam studi
kasus.
Dari semua tulisan yang terkumpul dalam buku ini, tersirat
sebuah simpulan umum bahwa terdapat interdependensi yang
kuat antara pariwisata berbasis kerakyatan dengan pengembangan
homestay di suatu destinasi. Tidak dapat dipungkiri besarnya
keterlibatan masyarakat setempat sangat berpengaruh pada
keberhasilan pemanfaatan homestay sebagai penunjang akomodasi
di destinasi. Melalui homestay yang dikelola sendiri oleh masyarakat
maka ide-ide segar bagi pengembangan homestay maupun
pengembangan peran serta masyarakat dalam pengembangan
destinasi menjadi lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu
pelatihan dan peningkatan kapasistas serta kapabilitas masyarakat
dalam pengelolaan homestay harus terus dilakukan.

Daftar Pustaka
ASEAN Homestay Standard. 2016. Jakarta: ASEAN Secretariat.
Hatton, M. J. (1999). Community-Based Tourism in the Asia Pacific.
Canada: Canadian Cataloguing in Publication Data, pp. 38-41
Hui, T. K., Wan, D., & Ho, A. (2007). Tourists’ satisfaction,
recommendation and revisiting Singapore. Tourism
management, 28, (4): 965-975.
Hussin, R. & Mat Som, A. P. (2008). Ecotourism, Conservation
Programme and Local Community Participation: Conflict of
Interests in Sukau Village of Sabah. Sosiohumanika: Jurnal
Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, 1, (1): 115-140.
Jamaluddin, M., Othman, N., & Awang, A. R. (2012). Community Based
Homestay Programme: A Personal Experience. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, 42, 451-459.
Kayat, K. (2003). Exploring factors influencing individual participation
in community-based tourism: the case of Kampung Relau
Homestay Program, Malaysia. Asia Pacific Journal of Tourism
Research, 7, (2): 19-27.
Kayat, K. (2009) Community based tourism in developing countries.
Paper dipresentasikan di International Seminar on Community
Based Tourism, Shah Alam, Malaysia, 4-5 August.

vii
Kayat, K. (2007). Adapting Quality in Homestay Hospitality, In Azilah
K. & Shaharuddin T. (Eds.). Readings on Tourism and Hospitality
(Volume II), Sintok: Universiti Utara Malaysia Press.
Kayat, K. (2013). Community-Based homestay Programmes in
Langkawi: Are they successful? Proceedings of the 3rd Regional
Conference on Tourism Research, 29- 31 Oct, 2013, Langkawi,
Malaysia. pp, 905-913.
Mohamad Nor, S., Awang, K. W., Ismail, N. W, & Radam, A. (2012).
Preliminary study on sustainable community development
through the homestay programme. In Zainal, A., Radzi, S.
M., Hashim, R., Chik, C. T, & Abu, R. (Eds). Current issues in
Hospitality and Tourism Research and Innovations. Boca Raton:
CRC Press.
Pakshir, L., & Nair, V. (2011). Sustainability of Homestay as a form
of Community-Based Tourism (CBT): A case study o the rural
community in Bavanat-Iran. TEAM Journal of Hospitality and
Tourism, 8, (1): 5-18.
Peaty, D. (2009). Community-Based Tourism in the Indian Himalaya:
Homestays and Lodges. Journal of Ritsumeikan Social Sciences
and Humanities, 2, 25-44.
Kozak, M. (2001). Comparative assesment of tourist satisfaction with
destinations across two nationalities. Tourism Management, 22,
(4): 391-401.
Kozak, M., & Rimmington, M. (2000). Tourist satisfaction with Mallorca,
Spain, as an off- season holiday destination. Journal of Travel
Research, 38, 260–269.
Peaty, D. (2009). Community-Based Tourism in the Indian Himalaya:
Homestays and Lodges. Journal of Ritsumeikan Social Sciences
and Humanities, 2, 25-44.
Ross, G. F. (1993). Destination evaluation and vacation preferences.
Annals of Tourism Research, 20, 477-489.
Siwar, C. (2013). The role of homestays in community based tourism
development in Malaysia. Paper dipresentasikan di Conference
on Innovating Community Based Tourism (CBT) in Asean,
Bangkok, 30-31 May, 2013.
Wall, G. & Long, V. (1996). Balinese Homestays: an indigenous response
to tourism opportunities. In R. Butler & T. Hinch (Eds.). Tourism
and Indigenus Peoples, (pp. 27-48). London: International
Thomson Business Press.

viii
DAFTAR ISI

Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali ...................... iii


Kata Pengantar ............................................................................... iv
Wasana Kata Dari Editor .............................................................. v
Daftar Isi .......................................................................................... ix
Daftar Tabel ..................................................................................... xiii
Daftar Gambar ................................................................................ xv

BAB I HOMESTAY DALAM COMPETITIVE ADVANTAGE

1. Metamorfosis ‘Homestay’ dalam Dunia Pariwisata Bali


• I Nyoman Darma Putra .................................................... 1

2. Elemen Tata Ruang Luar (Lanskap) Sebagai Bentuk


Karakter Homestay dalam Mendukung Eksistensi
Pariwisata di Indonesia (Studi Kasus di Kampung Wisata
Dipowinatan Kota Yogyakarta)
• Muhamad, Anik Nabati .................................................... 19

3. Esensi dalam Eksistensi: Sharing Economy pada Pengelolaan


Homestay Tiga Destinasi Prioritas di Indonesia
• Putu Diah Sastri Pitanatri ................................................. 37

4. Edutourism, Teknologi dan Hiburan dalam Pengembangan


Homestay yang Berbasis Masyarakat Lokal dan Ber­
kelanjutan
• Ni Made Eka Mahadewi .................................................. 53

5. Morotai Juga Butuh Homestay


• Darmayasa .......................................................................... 75

6. Homestay dan Budaya : Idealisme Keberadaan Homestay


• Putu Ayu Aryasih, Nyoman Trisna Aryanata ............... 93

ix
7. Keunggulan Daya Saing Homestay di Desa Ubud
• NLK. Sri Sulistyawati, Dewa Ketut Sujatha, NLG. Sri
Sadjuni ................................................................................ 103

BAB II HOMESTAY DALAM WACANA TATA KELOLA

1. Homestay: Profil Kepemilikan dan Pengelolaannya (Studi


Kasus di Kabupaten Badung)
• I Wayan Mertha ................................................................. 119

2. Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Kasus


Pengelolaan Limbah Homestay di Ubud)
• Ida Ayu Kalpikawati ......................................................... 133

3. Strategi Pengelola Homestay dalam Menghadapi Persaingan


Di Kawasan Pantai Berawa
• Ni Putu Diah Prabawati ................................................... 147

4. Homestay dalam Kerangka Community-Based Tourism


• I Ketut Sutama ................................................................... 157

5. Pelayanan Tata Graha Pada Homestay di Desa Wisata Pinge


• I Gede Darmawijaya ......................................................... 175

6. Pelayanan Kepada Pelanggan di Pondok Wisata


• I Nyoman Sudiksa ............................................................. 193

7. Kebutuhan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Bagi Homestay


• Ida Ayu Putri Widawati ................................................... 205

8. Sistem Informulirasi Akuntansi Penerimaan Kas Homestay


• Ida Ayu Agung Ngurah Indrawati, Ketut Sudarsana... 219

9. Prosedur Pengeluaran Biaya Homestay: Studi Kasus di


Kawasan Ubud, Gianyar, Bali
• IGN Agung Wiryanata, Dewa Ayu Rai Sumariati ........ 233

x
10.Laporan Keuangan Homestay yang Efektif dan Efisien di
Kawasan Wisata Ubud
• IGN Agung Wiryanata, Chistina Susanti ....................... 247

BAB III HOMESTAY DALAM PELUANG DAN TANTANGAN

1. Peluang Dan Kendala Pengelolaan Homestay (Studi Kasus


di Labuan Bajo, Manggarai Barat)
• Ni Luh Suastuti, I Nyoman Arcana ................................ 259

2. Homestay: Peluang Atau Ancaman? Sebuah Studi Kasus


Pengembangan Partisipasi Masyarakat Lokal di KEK
Mandalika Lombok - Nusa Tenggara Barat
• Luh Yusni Wiarti ............................................................. 273

3. Potensi dan Tantangan Pengelolaan Homestay Sebagai


Elemen Pariwisata Kerakyatan: Studi Kasus Desa Munduk,
Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
• Putu Devi Rosalina, Made Handijaya Dewantara ........ 295

BAB IV HOMESTAY DALAM RAGAM PERSPEKTIF

1. Homestay dan Wisatawan Repeater: Studi Fenomenologi


Aktivitas Wisatawan Eropa yang Menginap di Desa Ubud
Bali
• I Gede Gian Saputra, Ni Made Tirtawati, Dewa Ayu
Made Lily Dianasari .......................................................... 311

2. Karakteristik Pondok Wisata di Kawasan Wisata Ubud


Kabupaten Gianyar
• I Wayan Sunarsa ................................................................ 329

3. Persepsi Wisatawan Terhadap Kualitas Pelayanan di


Homestay Desa Wisata Kelecung, Kabupaten Tabanan
• Joshua Jonas Adiwidya, I Nyoman Sukana Sabudi....... 343

xi
4. Kajian Persepsi Pemilik Homestay terhadap Laporan
Keuangan di Ubud
• Ni Luh Riska Yusmarisa ................................................... 361

5. Peranan Sumber Daya Perempuan Terhadap Pengelolaan


Homestay di Ubud : Studi Kasus Pada Krisda Homestay
• Ni Desak Made Santi Diwyarthi ..................................... 373

6. Peranan Entertainment Pada Homestay Stanggor Nusa


Tengagara Barat
• Made Darmiati ................................................................... 383

Indeks ............................................................................................... 389


Tentang Penulis ............................................................................... 393

xii
ESENSI DALAM EKSISTENSI:
SHARING ECONOMY PADA
PENGELOLAAN HOMESTAY TIGA
DESTINASI PRIORITAS DI INDONESIA
Putu Diah Sastri Pitanatri

S
1. Pendahuluan
ejak dijadikan sebagai salah satu program prioritas dari
Kementerian Pariwisata, homestay di Indonesia saat ini
memperoleh “panggungnya”. Homestay yang dulunya
hanya menjadi incaran para backpacker kini justru ‘naik kelas’
menjadi preferensi menginap wisatawan yang ingin mendapatkan
pengalaman budaya; living like locals do.
Hal ini tidak dipungkiri merupakan implikasi dari per­
geseran wisatawan yang datang ke suatu destinasi berikut
dengan beragam preferensi yang mereka miliki. Sebagai contoh,
dominasi wisatawan yang datang ke Indonesia pada tahun 80-an
didominiasi oleh mereka yang berusia diatas 40 tahun yang rata-
rata merupakan kaum jutawan. Perjalanan wisata yang dilakukan
oleh kaum jet-set ini berimplikasi terhadap pembanguan hotel-hotel
megah di Indonesia, khususnya Bali untuk mampu mengakomodir
wisatawan tipe ini. Sementara itu, dominasi usia yang saat ini
berkembang justru berada pada rentang usia 20-35 tahun atau
lazim disebut millenials.
Berbeda dengan generasi pendahulunya yang cenderung
konservatif, tipelogi generasi ini justru sangat progresif. Generasi
ini cenderung lebih adaptif sehingga tidak takut untuk mencoba
sesuatu yang baru. Selain tipologinya yang juga senang bertualang,
pesatnya perkembangan teknologi dan transportasi menjadikan
bepergian ke suatu destinasi menjadi jauh lebih mudah juga
merupakan pendorong millenials untuk berpergian. Perkembangan
ini kemudian didukung dengan lahirnya HomeAway (2005) dan
AirBnB (2008) yang menjadikan menginap di rumah penduduk
lokal menjadi tren berwisata.

37
Melihat tren tersebut, pemerintah melalui Kementerian
Pariwisata pada tahun 2017 meluncurkan program prioritas
dimana, homestay menjadi bagian integral dalam kebijakan tersebut.
Dalam mendukung program, pemerintah mencanangkan 100.000
homestay di akhir tahun 2019 seperti yang tampak pada Tabel 2.1
dibawah ini.

Tabel 2.1
Target Pembangunan Rumah/Pondok Wisata
Target Pembangunan Rumah
No Destinasi Wisata Per Tahun (Unit)
2017 2018 2019
1 Tanjung Lesung 1.200 1.800 3.000
2 Tanjung Kelayang 700 1.050 1.750
3 Danau Toba 1.200 1.800 3.000
4 Kota Tua dan Kep. Seribu 1.200 1.800 3.000
5 Bromo Tengger Semeru 1.200 1.800 3.000
6 Mandalika 2.200 3.300 5.500
7 Morotai 700 1.050 1.750
8 Wakatobi 700 1.050 1.750
9 Borobudur 2.200 3.300 5.500
10 Morotai 700 1.050 1.750
11 Labuan Bajo 700 1.050 1.750
12 Destinasi Lainnya 8000 12.000 20.000
TOTAL 20.000 30.000 50.000

Sumber: Frans Teguh. Kementerian Pariwisata. 2017

Terkait dengan pengembangan homestay tersebut, per­usahaan


dengan konsep sharing economy seperti AirBnB pun mendapatkan
panggungnya sendiri (Pitana dan Pitanatri, 2016). Tidak hanya
didukung dengan pasar yang berkembang konsep “berbagi”
menjadikan aplikasi ini menjadi tren di dunia masa kini. Di satu
sisi, masyarakat dapat memanfaatkan asetnya yang tidak terpakai
untuk mendapatkan manfaat ekonomis, sementara di sisi yang lain
penyedia jasa mendapatkan manfaat pasar yang luas dan tidak
perlu membeli aset.

38 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


Tulisan ini merupakan refleksi dari konsep sharing economy
yang diimplikasikan pada tiga destinasi prioritas pengembangan
pariwisata (Bali baru), yakni Bromo Tengger Semeru (BTS),
Labuhan Bajo, dan Mandalika. Terhadap masing-masing destinasi
penekanan akan difokuskan pada pengaplikasian sharing economy
dalam pengelolaan homestay. Sumber data dari artikel ini diambil
dari kegiatan penelitian institusi yang dilaksanakan oleh Sekolah
Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali pada tahun 2017 lalu.

2. Kajian Literatur
Konsep homestay yang berkembang di negara-negara maju di
dunia sebenarnya berbeda dari apa yang tumbuh dan berkembang
dengan konsep yang ada di Indonesia. Terminologi homestay itu
sendiri pun beragam yang hingga saaat ini belum ada definisi
mutlak untuk menjabarkan apa itu homestay.
Di Australia misalnya, konsep homestay merupakan konsep
tinggal dengan “host” dimana guest-nya rata-rata merupakan
mahasiswa yang sedang menempuh pembelajaran di negara
tersebut. Istilah ini muncul mengingat banyaknya orang tua
mahasiswa yang merasa khawatir anaknya tidak ada yang
memperhatikan saat sedang menempuh studi. Oleh sebab itu, orang
tua biasanya melalui pihak sekolah/universitas menitipkan anak
mereka di rumah-rumah penduduk tentunya dengan harga yang
relatif lebih murah jika dibandingkan dengan menyewa flat atau
apartemen. Konsep ini kemudian berkembang dengan peruntukan
yang berbeda, seperti yang tampak pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2
Konsep Homestay dari Beberapa Negara
Negara Destinasi Konsep Homestay
Australia North of Melbourne Mid North -Farmstay
Coast of New South Wales -Student Homestay
Hannam Vale, Emerald City,
Jepang Tokyo, Fukuoka, Yokohama, -Home Visit
Nagoya, Otsu, Okayama, Kyoto, -Educational
Kobe, Kumamoyo, Kurashiki, Homestay
Hiroshima, Miyazaki, Chiba, Nara
Osaka, Narita,
Korea Selatan Seoul -Educational
Homestay

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 39


Afrika Selatan Happy Valley, Elandsberg -Leisure Stay
Mountain, Hogsback, Eastern
Cape, Botswana, Mpumalanga,
Namibia, Zambia, Gauteng,
Limpopo, Kwazulu Natal
New Zealand Queenstown, Devoport, -Cottage Homestay
Northshore, Auckland, Te anau -Farmstay
Armette
Thailand Mae Hong Son Village in Chiang -Student Homestay
Mai, Nakorn Sawon, Doi Ithanon -Cultural Homestay
(Chiang Mai), Chumporn, Surin, -Volunteer Homestay
Ampawa Village (Bangkok),
Municipality (Phang Nga), Hmong
Hiltribe Village (Chiang Mai),
(Anau & Sanghkran), Kah Yao
Noi Ban Pahlatha Karen Village
(Nakhon Si Thammarat), Plai Pong
Pang Village
Singapura Singapore City -Educational
Homestay
Kanada Discovery Island, New - Heritage Homestay
Westminster, Burnaby North - Cultural Homestay
Vancouver, Richmond West - Farmstay
Vancouver Island, Quadra Island,
Amerika Utara Seattle, Houston, Boston, - Farmstay
USA California, Colorado, New York - Educational
Homestay
- Agricultural
Homestay

Sumber: Leh dan Hamzah (2012)

Seperti yang tampak pada konsep homestay di atas,


perkembangan tersebut terjadi mengikuti pasar dan produk yang
ditawarkan oleh homestay tersebut. Konsep tinggal bersama host ini
pun kemudian berkembang lagi dengan istilah guest house, dimana
tamu tidak lagi tinggal serumah dengan si pemilik rumah. Pada
konsep ini, pemiliki rumah menyediakan rumah khusus sehingga
tamu dapat memperoleh privasi dibandingkan tinggal serumah.
Meskipun tidak serumah, guest house masih terletak dalam satu
kawasan rumah pemilik.
Di Indonesia sendiri, konsep homestay sejatinya telah hadir
bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sebagai salah satu contoh,

40 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


seorang penulis Belanda bernama Miguel Covarrubias telah datang
dan menetap di Ubud bersama dengan keluarga Puri. Kedatangan
ini dipublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Island of
Bali yang pertama kali terbit pada tahun 1937. Buku inilah yang
kemudian menjadikan Bali ada di imajinasi orang-orang Eropa
saat itu, sebagai the island of paradise - pulau surga. Sebelumnya
Raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sakawati membuka pintu
rumahnya bagi Walter Spies seorang seniman asal Jerman untuk
tinggal bersama keluarga Puri Ubud Bali pada tahun 1927 (Spies
telah menetap di Jawa sejak tahun 1924). Di Ubud Spies bersama
dengan Wayan Limbak menggubah tarian kecak yang menjadi
populer sampai saat ini. Selain Covarrubias, dan Spies, cukup
banyak seniman yang bermukim di Bali, seperti Rudolf Bonnet
(1929), Adrien Jean Le Mayeur (1932), Antonio Blanco (1952), Arie
Wilhelmus Smith (1956). Kedatangan banyak seniman dan penulis
Eropa ke Ubud saat itu tidak pelak menimbulkan perubahan
budaya. Keluarga Puri membuka pintunya bagi wisatawan asing-
sesuatu yang sangat tidak lazim di masa itu.
Masyarakat sekitar pun mulai mengikuti rajanya dan
membuka pintu rumah mereka bagi para krama tamiu (tamu) yang
kedatangannya dihormati, layaknya budaya masyarakat setempat.
Dengan demikian, konsep homestay bahkan sharing economy
sebenarnya telah ada di Indonesia bahkan sebelum teori tersebut
muncul. Budaya masyarakat yang ramah terhadap pengunjung,
menjadikan pintu rumah mereka terbuka lebar. Motif saat itu
bukanlah ekonomis namun lebih kepada rasa sosial.
Konsep sharing economy dalam literasi modern baru muncul
pada sekitar tahun 2000-an (Codagnone dan Martens, 2016)
Konsep ini kemudian dipopulerkan oleh Botsman, 2013; Botsman
& Rogers, 2010a; Botsman & Rogers, 2010b) dengan istilah yang
disebut sebagai ‘collaborative consumption’. Istilah lain dari sharing
economy juga muncul dari berbagai literatur seperti ‘the mesh’
(Gansky, 2010), ‘access-based consumption’ (Bardhi & Eckhardt, 2012;
Belk, 2014) dan ‘connected consumption’ (Dubois et al., 2014; Schor,
2014, 2015; Schor & Fitzmaurice, 2015). Istilah ‘sharing economy’
kemudian semakin dipopulerkan dalam dokumen kenegaraan
seperti OECD (OECD, 2015a, 2015b); US Federal Trade Commission
(FTC, 2015a, 2015b, 2015c); dan di beberapa dokumen milik the
European Economic and Social Committee (EESC, 2014), European

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 41


Commission (European Commission, 2015a, 2015b), dan The
European Parliament (European Parliament, 2014).
Konsep car sharing sebenarnya telah ada sejak tahun 1948 di
Zurich dan menjadi sangat populer terumata di Eropa Utara pada
tahun1980-an. Konsep ini dioperasikan oleh koperasi kecil milik
komunitas (Shaheen et al., 1999). Munculnya AirBnB dan Uber
secara simultan melabrak konsep bisnis konvensional. Sebuah
perusahaan tanpa memiliki asset namun menggunakan aset yang
bukan miliknya untuk mendapat nilai ekonomis tentu menjadi
sebuah perubahan yang mengubah dunia. Konsep sharing ini pun
tidak hanya ada untuk bidang akomodasi namun juga transportasi,
finansial bahkan industri makanan-minuman.
Di Indonesia hal ini juga tampak dengan berkembangnya
platform-platform sharing, seperti Gojek, Grab dan sebagainya. Sharing
economy tidak dapat dipungkiri memberi kesempatan masyarakat
lokal untuk melebarkan bisnisnya sekaligus menciptakan
entrepreneur-enterpreneur baru dalam berbagai lini usaha termasuk
terhadap pengembangan homestay di tiga destinasi prioritas di
Indonesia, yaitu Bromo-Tenger-Semeru, Mandalika, dan Labuan
Bajo. Esensi yang masing-masing destinasi ini dapat eksis sangat
berbeda satau sama lain: peran wanita di kawasan BTS, pengaruh
branding untuk Labuan Bajo serta komunitas kreatif di Mandalika.
Masing-masing sub-bab akan dibahas berikut ini.

3. Pembahasan
3.1 Peran Wanita dalam Pengembangan Homestay di Kawasan
Bromo Tengger Semeru
Sebagai salah satu destinasi prioritas, Bromo Tengger Semeru
(BTS) cukup banyak mendapat sorotan, baik dari wisatawan
domestik maupun wisatawan mancanegara. Salah satu aktivitas
wajib bagi wisatawan adalah melihat sunrise karena yang meng­
haruskan mereka untuk melakukan pendakian. Tidak jarang
wisatawan harus menginap di rumah-rumah penduduk lokal
sehingga jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh serta tidak harus
berangkat tengah malam untuk menikmati indahnya matahari
terbit.
Kegiatan yang “memaksa” wisatawan untuk menginap ini
merupakan peluang bisnis yang dimanfaatkan masyarakat lokal
dengan menyewakan kamar-kamar tidak terpakai di rumahnya.

42 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


Konsep sharing economy yang berkembang disini tidak lepas
dari perkembangan pariwisata di kawasan. Tidak hanya dalam
penyewaan kamar, konsep sharing juga terdapat pada penyewaan
Jeep dan alat pendakian seperti yang tampak pada tabel 2.3 di
bawah ini.

Tabel 2.3
Jenis usaha dan kesempatan kerja di kawasan BTS
1) Pemandu pendakian (porter)

2) Pemandu wisata (guide)


3) Pengelola Parkir
4) Supir Jeep
5) Penyewaan Jeep (Mobil 4WD)
6) Ojek
7) Warung Makan
8) Toko cinderamata (souvenir)
9) Penginapan/Home stay
10) Penyewaan Alat Pendakian
Sumber: Hasil wawancara 2017

Yang menarik, meskipun masih terbatas, sudah terlihat


masyarakat lokal mempergunakan media digital dalam menjual
jasanya. Hal ini dapat dilihat mulai semakin banyaknya listing jasa
penyewaan kamar dan tour yang ada di AirBnB dan TripAdvisor.
Selain itu terdapat peran serta wanita yang cukup kuat dalam
pengembangan homestay di kawasan ini. Dalam artikel yang ditulis
Putra dan Pitanatri (2017) menyebutkan bahwa adanya peran serta
wanita, tidak hanya berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat namun juga terhadap penciptaan
keunggulan destinasi yang kompetitif dan berkelanjutan yang
berpartisipasi di kawasan BTS. Dalam artikel yang sama juga
disebutkan bahwa wanita tidak hanya memiliki peran minimum
namun resiprokal terhadap pengembangan homestay di kawasan
tersebut.
Porsi wanita cukup besar dalam pengelolaan homestay
yakni dari 103 kuesioner yang disebarkan, sebesar 44% dikelola
oleh wanita. Di kawasan BTS wanita tidak hanya memiliki fungsi
interen namun juga fungsi eksteren yang berimplikasi terhadap

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 43


peningkatan kesejahteraan keluarga tersebut. Hal ini merupakan
peluang yang baik bagi BTS dalam pengembangan kepariwisatan
di destinasi tersebut—sang suami menjadi driver Jeep sementara
sang istri membereskan rumah, memasak dan menciptakan elemen
“experience” di homestay tersebut.
Kawasan BTS yang memiliki visi sebagai International Geo-
Ecoculture Park berpotensi besar dalam memberi manfaat bagi
masyarakat lokal khususnya wanita untuk dapat meningkatkan
kapasitasnya, baik modal, keterampilan, maupun jaringan. Meski­
pun demikian kehadiran pariwisata tetap dianggap sebagai peluang
maupun ancaman. Sebagai peluang, pariwisata dianggap mampu
menambah pendapatan ekonomi dari ragam profesi di sektor jasa
yang dapat disediakan. Sementara itu, kekhawatiran masyarakat
terkait terbatasnya daya dukung dan daya tampung yang pada
akhirnya mengancam kelestarian ekosistem di wilayah BTS, seperti
berkurangnya ketersediaan air, pencemaran dan pendangkalan
danau Ranu Pani, serta rendahnya kapasitas sumberdaya manusia
yang dikhawatirkan akan membuat masyarakat hanya menjadi
“penonton”.

3.2 Branding “Komodo” Sebagai Penggerak Homestay di


Labuhan Bajo
Labuan Bajo sebelumnya tidak pernah sepopuler beberapa
tahun terakhir. Nusa Tenggara Timur (NTT) sebelumnya identik
sebagai salah satu provinsi terkebelakang dan miskin di wilayah
timur Indonesia. Banyak jargon dan “joke” yang dialamatkan ke
provinsi ini. Ada yang menyebut NTT kepanjangan dari “Nanti
Tuhan Tolong”, ada juga yang menyebutnya “Nasib Tidak Tentu”.
Namun, setelah Pulau Komodo ditetapkan oleh UNESCO sebagai
warisan alam dunia (natural world heritage) pada 19 Desember 1991,
dan Komodo (Varanus komodoensis) ditetapkan menjadi “The New7
Wonders of Nature” oleh New7 Wonder Foundation pada 2012),
jargon yang melekat pada NTT berubah menjadi “New Territory
Tourism”. Labuan Bajo pun diproklamirkan sebagai The Gate Point
of World Ecotourism in East Nusa Tenggara (Kementerian Pariwisata,
2016)
Branding binatang Komodo sebagai salah satu keajaiban dunia,
berimplikasi terhadap peningkatan arus kunjungan wisatawan

44 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


mancanegara ke Taman Nasional Komodo. Wisatawan datang untuk
melihat dari dekat binatang purba yang terkenal malas, namun
beringas tersebut. Sepanjang tahun 2017, kunjungan wisatawan
asing dan domestik meningkat tajam. Sampai dengan Desember
2017, wisatawan yang masuk ke Pulau Komodo via Labuan Bajo,
mencapai 122.000 orang. Jumlah tersebut didominasi wisatawan
mancanegara sebesar 65 persen. Sementara itu, wisatawan domestik
hanya tercatat 35 persen. Sebagai perbandingan, pada tahun 2016
kunjungan wisatawan 82.000 orang atau naik sebesar 32,78% (DPP
ASITA NTT, 2017).
Tidak cukup sampai di sana, Komodo pun mendapatkan
“peran layar lebar” dari beberapa judul film, seperti Komodo (2000),
Komodo: Secrets of The Dragon (2014) dan Komodo vs Cobra (2015).
Eksposur film semakin menambah eksotisme dan rasa ingin tau
wisatawan mancanegara untuk melihat langsung binatang purba
yang hanya ada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca di Kawasan
Taman Nasional Komodo (TNK).
Popularitas ini tidak dipungkiri telah menjadikan Labuan
Bajo akhirnya tumbuh meskipun tanpa infrastruktur yang
memadai. Aksesabilitas serta medan yang cukup menantang untuk
ditempuh, justru menjadikan Labuan Bajo semakin “seksi” untuk
dikunjungi. Poin mahal dan ekslusivitas Labuan Bajo menjadikan
destinasi ini “keren” saat seseorang berhasil mengunjungi destinasi
tersebut. Peluang inilah yang akhirnya dimanfaatkan masyarakat
sekitar dengan membuka rumah mereka sebagai tempat menginap
wisatawan. Seperti halnya kawasan BTS, konsep sharing economy
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.
Meskipun sampai saat ini banyak pelayanan masih terkesan
kasar (hal ini mungkin dikarenakan alam NTT yang gersang sehing­
ga ikut memengaruhi karakter dasar masyarakat lokal), penyewa­
an homestay di kawasan ini cukup memiliki prospek yang baik.
Saat penelitian ini dilaksanakan, terdapat 3 aplikasi yang menjadi
domain utama untuk warga lokal dalam memasarkan kamarnya
yakni, AirBnb, HomeAway, dan TripAdvisor. Meskipun jumlah
yang terlisting pada platform-platform ini masih belum seramai
destinasi berkembang seperti Bali, ada pertumbuhan yang baik
terhadap literasi digital masyarakat. Kelemahan utama memang
terletak pada akses internet yang masih sangat terbatas untuk

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 45


kawasan tersebut. Namun dengan pertumbuhan infrastruktur dan
aksesabilitas di kawasan Indonesia timur, ada peluang besar bagi
homestay di kawasan ini untuk berkembang kearah yang positif.
Kelas homestay pun berkembang dari kamar dengan konsep tempat
tidur bertingkat ala backpacker, sampai dengan homestay yang mirip
seperti villa baik dari segi amenitas maupun fasilitas.
Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa investor
telah banyak mengambil alih bisnis akomodasi di kawasan, tidak
dapat dipungkiri keberadaan investor ini jugalah yang membawa
masyarakat Labuan Bajo menjadi tidak gagap teknologi dan mulai
memiliki usahanya sendiri dalam bentuk homestay.
Melelui konsep sharing, masyarakat tidak hanya mendapatkan
teretesan pariwisata (trickle down effect), namun berpeluang untuk
me­ningkatkan kesejahteraannya melalui pariwisata (Pitana
dan Pitanatri, 2017). Konsep ini juga memberi kesempatan bagi
masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya dalam menge­
lola terknologi sekaligus mempelajari bahasa asing sehing­ga
meningkatkan kapabilitas dan ketrampilan mereka.

3.3 Pembangunan Homestay berbasis komunitas kreatif di


Mandalika
Berbeda halnya dengan dua model pengembangan homestay
diatas, esensi pengembangan homestay di kawasan Mandalika
justru sangat dipengaruhi oleh komunitas muda-nya. Komunitas
yang mengembangkan homestay di Mandalika berperan dalam
mempromosikan, mengembangkan bahkan mencari pasar. Pemilik
homestay yang bergabung dalam satu komunitas dapat merasakan
benefit dari keikutsertaannya dalam komunitas tersebut.
Khusus di Mandalika organisasi atau komunitas setempat itu
hadir dalam wujud Pokdarwis. Pokdarwis atau Kelompok Sadar
Wisata merupakan bentuk kelembagaan informal yang dibentuk
anggota masyarakat dan beranggotakan masyarakat yang memiliki
passion yang kuat dalam mengembangkan kepariwisataan di
daerahnya. Pokdarwis dalam hal ini dikategorikan sebagai salah
satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang
memilki peran penting dalam mengembangkan Sapta Pesona dan
Sadar Wisata di daerahnya.
Brandon (1993) menyebutkan sebuah destinasi dapat ber­
kembang jika ada partisipasi masyarakat yang terlibat intensif

46 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


dalam pengembangan pariwisata. Ketelibatan masyarakat ini
termasuk dalam mengajak mereka untuk menjadi pelaku usaha
dengan mengenalkan standar-standar layanan yang berlaku. Hal
ini juga disampaikan oleh Pinel (2007) yang menyebutkan model
partisipasi masyatrakat seperti ini Community Based Tourism (CBT)
merupakan model pengembangan pariwisata yang berasumsi
bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai
kebutuhan masyarakat dalam upaya untuk membangun pariwisata
yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan sekaligus meningkatkan
peluang masyarakat lokal. Di Mandalika, partisipasi berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan dan turut berpartisipasi
dalam menerima keuntungan dari pembangunan pariwisata.

Gambar 2.1 Posisi dan Peran Pokdarwis dalam Pengembangan Pariwisata.


Sumber : Pedoman Kelompok Sadar Wisata Kemenparekraf.
2012.

Peran dan kontribusi Pokdarwis tersebut perlu terus didukung


dan utamanya dalam kualitas sehigga dapat berkontribusi lebih
besar dalam menopang perkembangan serta pertumbuhan
destinasi pariwisata, khususnya yang terkait pada peningkatan
peran masyarakat lokal dalam pembangunan kepariwisataan di
daerahnya. Pokdarwis di kawasan Mandalika melibatkan semua
elemen masyarakat karena model pengembangan untuk destinasi
ini mengacu kepada pariwisata berbasis komunitas (community based
tourism). Konsep ini memberikan kesempatan bagi semua elemen

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 47


masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengembangan desa
wisata dan menerima manfaat dari terselenggaranya pariwisata.
Pemilihan pengurus dan anggota Pokdarwis menggunakan
sistem votting dan menyesuaikan dengan kemampuan, latar
belakang dari masyarakat. Sampai saat ini ada beberapa kegiatan
yang sudah dilakukan oleh Pokdarwis di Kawasan Mandalika
diantaranya membuat brosur sebagai sarana promosi, aktif dalam
sosial media, bersama dengan pemerintah daerah melakukan
simulasi dan sosialisasi dengan masyarakat lokal, membuat
rencana pengembangan desa wisata dan lain sebagainya yang
mendukung visi Mandalika sebagai World’s Best Halal Tourism and
Cruise Destination.
Terlepas dari beberapa kegiatan yang sudah pernah dila­
kukan, peran dari Pokdarwis sebagai organisasi internal di desa
wisata masih kurang maksimal dimana masih ada beberapa
permasalahan yang belum terselesaikan baik dari pengetahuan
dan pengalaman mengenai desa wisata, belum banyak wisatawan
yang berkunjung sehingga belum bisa memberikan bukti langsung
kepada masyarakat mengenai desa wisata, masyarakat yang
belum sepenuhnya terlibat pengurus yang masih terbentur dengan
pekerjaan masing-masing

4. Penutup
Ragam pengelolaan homestay di tiga destinasi tersebut
menjadi bukti bahwa sharing economy berkembang di Indonesia
mengikuti kekuatan masyarakat yang berbeda. Pengelolaan yang
berbeda berimplikasi terhadap pemenuhan kebutuhan homestay di
masing-masing daerah. Jika di kawasan BTS, homestay sebaiknya
diberikan pelatihan untuk para ibu-ibu, maka di Labuan Bajo perlu
diberikan pelatihan mengenai pemasaran digital. Sementara itu, di
Mandalika penguatan komunitas lokal perlu dilakukan sehingga
sinergi dan integrasi anatara stakeholder terkait dapat tercapai
dengan baik.
Esensi pengelolaan di masing-masing destinasi yang berbeda
memberi warna baru terhadap pengelolaan homestay. Homestay
menjadi unik dan one of a kind dengan penciptaan experience yang
berbeda juga. Hal inilah yang menjadi daya dukung sekaligus
menjadi kekuatan eksistensi homestay sebegai bentuk dari community
based tourism di Indonesia.

48 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


DAFTAR PUSTAKA

AntaraNews. 2014. Komodo dan babak baru dunia kepariwisataan


NTT https://www.antaranews.com/berita/412366/komodo-
dan-babak-baru-dunia-kepariwisataan-ntt. Diakses 20
Februari 2018

ASITA NTT. 2017. 122 Ribu Turis Berkunjung ke Labuan Bajo.


http://asitantt.org/index.php/berita/item/375-122-ribu-turis-
berkunjung-ke-labuan-bajo. Diakses 20 Februari 2018

Bardhi, F., & Eckhardt, M. 2012. “Access-Based Consumption: The


Case of Car Sharing.” Journal of Consumer Research, 39(4), 881-
898.

Belk, R. 2014b. “You are what you can access: Sharing and
collaborative consumption online.” Journal of Business
Research, 67(8), 1596-1600.

Botsman, R. 2013. The Sharing Economy Lacks A Shared Definition


FastCompany. Retrieved from: http://www.fastcoexist.
com/3022028/the-sharing-economy-lacks-a-shared-
definition Diakses 20 Februari 2018

Botsman, R., & Rogers, R. 2010a. “Beyond zipcar: Collaborative


consumption.” Harvard Business Review, 88(8), 30.

Botsman, R., & Rogers, R. 2010b. What’s mine is yours: The rise of
collaborative consumption. New York: Harper Collins.

Codagnone ,Cristiano dan Bertin Martens. 2016. Scoping the Sharing


Economy: Origins, Definitions, Impact and Regulatory Issues.
European Commissions. JRC Technical Reports Institute for
Prospective Technological Studies Digital Economy Working
Paper 2016/01

Codagnone, C. (2016, forthcoming), The Passions’ or ‘The Interests’?


The ‘sharing economy’ between conflicting rhetoric and
uncertain facts, Institute for Perspective Technological
Studies, Science and Policy Report.

Covarubias, Miguel. 1937 republished 2008. The Island of Bali.


Jakarta: PT Java Books Indonesia

Divertone. 2017. Enam Pelukis Asing yang Membuat Bali Jadi Daya
Tarik Dunia. https://www.divertone.com/enam-pelukis-
asing-yang-membuat-bali-jadi-daya-tarik-dunia/. Diakses 20
Februari 2018

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 49


Dubois, E., Schor, J., & Carfagna, L. 2014. “New Cultures of
Connection in a Boston Time Bank.” In J. Schor & C.
Thompson (Eds.), Practicing Plenitude. New Haven: Yale
University Press.

EESC. 2014. Opinion of the European Economic and Social


Committee on Collaborative or participatory consumption, a
sustainability model for the 21st century Brussels: European
Economic and Social Committee (EESC), INT/686.

European Commission. 2015a. A Digital Single Market Strategy


for Europe. COM(2015) 192 final, Brussels: European
Commission.

European Commission. 2015b. Commission Staff Working


Document, A Digital Single Market Strategy for Europe -
Analysis and Evidence. Accompanying the Communication
A Digital Single Market Strategy for Europe SWD 2015 100
final, Brussels: European Commission.

European Parliament. 2014. New Trends and Key Challenges in the


Area of Consumer Protection. Brussels: European Parliament,
Directorate-General for Internal Policies.

FTC. 2015a. FTC The “Sharing” Economy Workshop transcript


segment 3 - June 9, 2015. Washington D.C.: Federal Trade
Commission. Retrieved from https://www.ftc.gov/system/
files/documents/videos/sharing-economy-workshop-part-2/
ftc_sharing_economy_workshop_-_transcript_segment_3.
pdf . Diakses 20 Februari 2018

FTC. 2015b. FTC The “Sharing” Economy Workshop transcript


segment 4 - June 9, 2015. Washington D.C.: Federal Trade
Commission. Retrieved from https://www.ftc.gov/system/
files/documents/videos/sharing-economy-workshop-part-2/
ftc_sharing_economy_workshop_-_transcript_segment_4.
pdf . Diakses 20 Februari 2018

FTC. 2015c. The “Sharing” Economy Workshop transcript


segment 2 - June 9, 2015. Washington D.C.: Federal Trade
Commission. Retrieved from https://www.ftc.gov/system/
files/documents/videos/sharing-economy-workshop-part-2/
ftc_sharing_economy_workshop_-_transcript_segment_2.
pdf. Diakses 20 Februari 2018

Gansky, L. 2011. Do More, Own Less: A Grand Theory of the


Sharing Economy. The Atlantic Retrieved from: http://

50 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan


www.theatlantic.com/business/archive/2011/08/do-more-
own-less-a-grand-theory-of-the-sharing-economy/244141/.
Diakses 20 Februari 2018

Joseph Pine II and James H. Gilmore, “Welcome to the Experience


Economy,”Harvard Business Review, Vol 76, No 4, July/
August 1998, pp. 97-105

Kajian Homestay di Tiga Destinasi Prioritas (Bromo Tengger


Semeru, Labuan Bajo dan Mandalika) . 2017. Laporan
Penelitian Institusi Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali

Kementerian Pariwisata . 2012. Pedoman Kelompok Sadar Wisata.


- www.kemenpar.go.id/userfiles/1_%20Pedoman%20
Pokdarwis.pdf. Diakses 18 Februari 2018

Leh, Fauziah Che dan Mohd Rezuan Hamzah. 2012. Homestay


tourism and pro-poor tourism strategy in banghuris selangor,
Malaysia. Elixir Geoscience 45. 7602-7610

OECD. 2015a. Digital Economy Outlook 2015. Paris: OECD


Publishing.

OECD. 2015b. New Form of Work in the Sharing Economy.


Background for Discussion. Paris: OECD, Working Party on
Measurement and Analysis of the Digital Economy, DSTI/
ICCP/IIS(2015)3

Putra, I Gede Eka Darma dan Putu Diah Sastri Pitanatri. 2017.
Resiprokalitas Wanita dan Pengembangan Homestay Di
Kawasan Bromo Tengger Semeru. Repository Seminar
Nasional Dan Call For Paper: Inovasi Dan Pengembangan
Pariwisata Kreatif Sebagai Penggiat Ekonomi Masyarakat
Indonesia. 54-61

Pitana, I Gde dan Putu Diah Sastri Pitanatri. 2017. Challenging


The Giants: Factors Contributing To Local Homestay
Competitiveness in Ubud. Prosiding HILDIKTIPARI
International Conference on Tourism and Hospitality Wuxi-
China

Pitana, I Gde dan Putu Diah Sastri Pitanatri. 2016. Digital


Marketing in Tourism: The More Global, The More Personal.
International Tourism Conference: Promoting Cultural and
Heritage Tourism. 116-125

Pitanatri, Putu Diah Sastri. 2017. Treat or Threat: Developing Local


Homestay through Sharing Economy in Ubud Bali. World

Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan 51


Conference on Business and Management (WCBM) 2017,
219-226.

Schor, J. 2014. Debating the Sharing Economy: Great Transformation


Initiative. Retrieved from http://greattransition.org/
publication/debating-the-sharing-economy. Diakses 20
Februari 2018

Schor, J. 2015. Getting Sharing Right. Contexts, 14(1), 14-15

52 Homestay: Mozaik Pariwisata Berbasis Kerakyatan

View publication stats

Вам также может понравиться