Вы находитесь на странице: 1из 12

Laporan Praktikum Ke-1 Hari/Tanggal : Kamis, 24 Januari Januari 2019

Teknik Dasar Nekropsi Dosen : Drh. Vetnizah Juniantito, PhD.


Drh. Heryudianto Vibowo,MSi

SITUS VISCERUM PADA IKAN DAN DENAH RUANG


NEKROPSI

Kelompok 6

Nama NIM
Aldona Tegar Saputra J3P117026
Arfan Ariyanto J3P117028
Revi Indah Fitriani J3P117039
Raudhotul Jannah J3P117053
Hintana Fitriani J3P117072
Azijah Arrachmi J3P217088
Dieniza Vadya D. J30217089

PROGRAM STUDI PARAMEDIK VETERINER


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Ikan mas (Cyprinus carpio) menjadi salah satu komoditas perikanan air
tawar yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Selain kandungan protein
dalam ikan ini cukup tinggi dan harga ikan yang murah, sehingga sangat digemari
oleh masyarakat. Produksi perikanan budidaya Jawa Tengah khususnya ikan mas
untuk tahun 2012 sebesar 7.643 ton, sasaran tahun 2013 sebanyak 8.707 ton dan
untuk tahun 2014 ditingkatkan menjadi 10.377 ton (Kementrian Perikanan dan
Kelautan 2013). Sasaran produksi tersebut akan mengakibatkan pembudidaya
melakukan budidaya ikan mas secara intensif. Sistem budidaya yang bersifat
intensif tersebut akan mengalami dampak negatif, antara lain timbulnya penyakit.
Supriyadi dan Bastiawan (2004) menjelaskan bahwa budidaya ikan yang semakin
intensif memiliki relevansi dengan semakin tingginya prevalensi infeksi terhadap
serangan penyakit bakteri. Salah satu agen penyakit bakteri yang menyerang ikan
mas yaitu Aeromonas sp. Bakteri Aeromonas sp. terdiri dari berbagai jenis spesies
yang dapat menyebabkan penyakit bakterial pada ikan diantaranya A. caviae, A.
hydrophila, A. salmonicida dan A. sobria (Austin dan Austin 2007).

Nekropsi untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam


menetapkan diagnosa pada beberapa sebab penyakit atau kematian dari seekor
hewan. Biasanya untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang
dengan hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti
bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology.

Pada topografi akan dilihat organ-organ dalam rongga (situs viscerum


torachis)dan dalam rongga perut (situs viscerum abdominis). Organ dalam situs
viscerum antara lain Vesica natatoria, Mesonephros, Pronephros, cor, gonad,
intestineum, hepar (Fujaya 2008).

Nekropsi dilakukan di ruang nekropsi. Ruang nekropsi merupakanruangan


yang telah dirancang sesuai standar yang telah ditentukan. Ruangan ini dilengkapi
dengan beberapa fasilitas yang memadai dan membantu proses nekropsi, mulai
dari pra hingga pasca nekropsi. Selain dilakukan di ruang nekropsi khusus,
nekropsi juga dapat dilakukan di luar ruangan yang biasanya dilakukan untuk
hewan yang mati di tempat khusus dan tidak memungkinkan untuk mengangkut
hewan ke ruang nekropsi. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui organ, posisi
serta kelainan situs viscerum dan mengetahui syarat ruang nekropsi yang baik dan
benar.
METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari Kamis, 24 Januari 2019 pada pukul


09.00-13.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di GG Klinik Sekolah Vokasi Institut
Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diperlukan pada praktikum ini yaitu handphone,
laptop, alat tulis.

Cara Kerja

Pertama, mahasiswa mencari organ situs viscerum pada ikan mas beserta
posisi organ tersebut kemudian dicari kelainan-kelainan pada organ tersebut
sehingga diperlukan tindak nekropsi. Kedua, dicatat dan ditulis dalam bentuk
laporan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Situs viscerum ikan normal


Organ-organ situs viscerum yang terlihat setelah dilakukannya sectio
antara lain adalah vesica natatoria (gelembung renang), ada 2 bagian anterior
dan posterior, warna putih mengkilap, letaknya berdekatan dan sejajar dengan
cavum vertebralis, berguna untuk timbul tenggelamnya ikan. Saluran untuk
memasukkan dan mengeluarkan udara yang terentang dari oesophagus (batang
tenggorok) ke vesica natatoria bagian posterior disebut ductus pneumaticus
(pneumatocysticus). Mesonephros (ginjal–ren), terletak antara 2 bagian
gelembung renang atau menempel pada vertebrae. Pronephros (ginjal –ren), di
depan dari vesica natatoria. Cor (jantung) terletak di bagian ventral,
perhatikan bagian sinus venosus, atrium, ventrikel, bulbus arteriosus dan
truncus arteriosus. Gonad, warna kuning atau putih. Pada betina berisi telur,
pada yang jantan berisi sperma. Letak gonad biasanya di sebelah ventral dari
pneumatocyst. Intestinum (usus), tampak berbelit-belit. Hepar (hati –liver), warna
kemerahan. Vesica fellea (kantung empedu) berwarna hijau tua terletak di sebelah
ventral dari lobus dekster hepar (Fujaya 2008).

Gambar 2. Kelainan organ hati, limpa, dan lambung akibat bakteri Aeromonas
hydrophila
Keterangan: a). Pembengkakan hati; b). Pembengkakan limpa; c). Perdarahan
pada lambung
Bakteri Aeromonas hydrophila dapat menginfeksi ikan pada kualitas air
yang buruk. A. hydrophila dapat hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan laut
yang berkadar garam tinggi dengan penyebaran melalui air, kotoran burung,
saluran pencernaan hewan darat, amfibi, dan reptilia (Cipriano 2001). Bakteri A.
hydrophila dapat menginfeksi beberapa jenis ikan, seperti Catfish, Cyprinidae,
Cichlidae, Rainbow trout, Salmonidae, katak, siput, dan udang air (Noga 2000).
Bakteri A. hydrophila termasuk kedalam bakteri dengan tingkat virulensi tinggi
yang ditentukan oleh kemampuannya menghasilkan toksin yang berperan dalam
proses invasi dan infeksi (Mangunwardoyo et al 2009). Bakteri A. hydrophila
bekerja dengan mendegradasi jaringan dan menimbulkan luka serta pendarahan
pada inang (Del Coral et al 2000).
Ikan yang terinfeksi oleh bakteri A. hydrophila umumnya menunjukkan
gejala klinis seperti pendarahan yang meluas pada permukaan kulit
(Haemorrhagic septicemia) yang diikuti dengan timbulnya luka terbuka pada
permukaan tubuh hingga ke dalam jaringan (Mangunwardoyo et al 2009). Pada
beberapa kasus, gejala klinis yang timbul adalah timbulnya kerontokan pada sirip
dan ekor ikan, serta pembengkakan pada perut dan berisi cairan yang diikuti
dengan kematian (Yuasa et al 2003). Tingginya tingkat infeksi bakteri A.
hydrophila ditentukan oleh faktor-faktor virulensi yang dihasilkan oleh bakteri
tersebut (Mangunwardoyo et al 2009).
Pembengkakan hati, limpa, dan lambung pada Gambar 2. diidentifikasi
sebagai gejala klinis dari infeksi bakteri A. hydrophila. Gejala klinis mulai terlihat
pada tubuh ikan setelah bakteri A. hydrophila menginfeksi ikan selama 48 jam
dengan gejala klinis seperti memutihnya warna perut, hemoragik yang meluas
pada bagian permukaan tubuh, dan perubahan patologi seperti Gambar 2. Tingkat
kematian pada ikan inang tergantung pada tingkat kepadatan bakteri. Semakin
tinggi tingkat kepadatan bakteri yang menginfeksi, maka semakin tinggi tingkat
kematian pada ikan inang (Mangunwardoyo et al 2009). Luka dan hemoragik
yang timbul sebagai gejala klinis pada infeksi bakteri A. hydrophila disebabkan
karena toksin ekstraseluler yang bekerja merusak jaringan pada tubuh ikan
(Mangunwardoyo et al 2009). Bakteri tersebut menghasilkan hemolisin yang
bekerja memecah dan melisiskan sel-sel darah merah. Daya kerja toksin pada
bakteri A. hydrophila berkaitan dengan sel reseptor spesifik. Interaksi antara
hemolisin dan sel reseptor tubuh menimbulkan perlukaan pada tubuh (Virella
2002).
Proses masuknya bakteri ke dalam tubuh diawali dengan perlekatan
bakteri dengan permukaan kulit ikan dengan memanfaatkan pili, flagela dan kait
untuk bergerak. Selama proses ini, bakteri A. hydrophila memproduksi enzim
kitinase yang berfungsi mendegradasi lapisan kitin sehingga mudah ditembus oleh
bakteri. Bakteri A. hydrophila juga mengeluarkan enzim lesitinase dalam upaya
untuk masuk ke dalam aliran darah (Wijaya 2002). Kedua enzim ini memiliki
peran penting dalam proses infeksi. Dalam proses degradasi kitin, kedua enzim ini
memecah dan memutuskan ikatan β-1-4glikosidik pada kitin yang melapisi
epidermis tubuh ikan yang akan menghasilkan N-asetil-D-glukosamin yang
merupakan oligomer pendek yang dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber
karbon, sehingga bakteri dapat dengan mudah menembus lapisan kitin pada tubuh
ikan (Mangunwardoyo et al 2009).
Bakteri masuk ke dalam aliran darah dan bergerak dengan sangat cepat
dan dengan mudah mencapai organ-organ penting dalam tubuh ikan seperti hati.
Organ-organ tersebut dimanfaatkan oleh bakteri sebagai media tempat hidup dan
memperbanyak diri, serta memanfaatkan nutrisi yang berada di sekitarnya untuk
proses metabolisme (Bevelender dan Ramaley 2001). Tubuh merespon masuknya
bakteri tersebut dengan memproduksi polimorfonuklear leukosit, seperti
melanomakrofag, monosit, dan neutrodil yang berperan sebagai phagocytic sel.
Kehadiran leukosit tersebut membuat bakteri mengeluarkan toksin hemolisin yang
menyebabkan terjadinya luka dan hemoragik pada bagian permukaan tubuh ikan
dan hemoragik lambung serta pembengkakan yang terjadi pada hati dan limpa
(Mangunwardoyo et al 2009).

Gambar 3. kelainan hati bakteri edwardsiellaictaluri

Kelainan pada organ situs viscerum ikan terjadi di organ hati. Kejadian
tersebut diakibatkan karena bakteri edwardsiellaictaluri. Penyakit ini merupakan
kendala utama dalam budidaya ikan, baik ikan hias maupun ikan konsumsi.
Serangan hama dan penyakit dapat dihindari dengan penanganan dan penjagaan
kesehatan yang memadai melalui sanitasi dan kualitas air (Bevelender dan
Ramaley 2001).

Gambar 4. Insang ikan yang terinfeksi bakteri E. tarda

Infeksi E. tarda menunjukkan terjadi perubahan morfologi seperti


perubahan warna, bentuk tubuh, maupun gerakan berenang. Organ yang pertama
kali terserang akibat infeksi E. tarda adalah insang dan kulit. Hal ini disebabkan
karena insang merupakan organ respirasi yang selalu bersentuhan dengan air
mengandung bakteri pada fase ekspirasi. Infeksi akibat E. tarda juga
menyebabkan terpacunya perbanyakan dari sel tersebut secara normal (Afrianto
dan Liviawaty 1992).

Nekropsi atau bedah bangkai merupakan teknik yang sangat penting dalam
suatu penegakan diagnosa suatu penyakit. Nekropsi adalah teknik lanjutan dari
diagnosa klinik untuk mengukuhkan atau meyakinkan diagnosa klinik. Sifat
pemeriksaannya berdasarkan perubahan pada patologi anatominya. Semakin
pesatnya perkembangan zaman, nekropsi masuk kedalam dunia perikanan. Dalam
dunia perikanan, nekropsi berperan penting untuk membandingkan dengan tepat
ikan yang sehat dan sakit melalui jaringan-jaringan ikan tersebut. Nekropsi
berperan sebagai central, karena kita dapat melihat struktur jaringan dalamnya,
sehingga dengan ilmu ini dapat menyimpulkan bakteri atau virus yang menyerang
budidaya dan mengetahui cara penyembuhannya (Alifia 2003).

Ruang nekropsi memiliki luas ± 11.8 m2 dan dilengkapi dengan meja


kerja nekropsi, counter, tempat cuci tangan, kabinet dinding, kulkas, freezer,
cahaya, dan penyalur gas scavenger gas (library.binus.ac.id). Meja operasi atau
meja bedah merupakan meja yang digunakan untuk membaringkan pasien bedah
dengan posisi yang diinginkan. Biasanya meja terbuat dari beton dan dilapisi
alumunium dengan kemiringan 15º yang bertujuan agar meja mudah dibersihkan
dan air mengalir sempurna. Lampu operasi biasanya diletakkan mengantung di
langit-langit ruang operasi dan berada diposisi atas meja operasi. Namun apabila
digunakan untuk keperluan lainnya, lampu operasi juga ada yang diletakan di
lantai atau pemasangan di dinding.
Gambar 5. Ruang Nekropsi

Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan


Kementrian Kesehatan RI, komponen dinding memiliki persyaratan yaitu dinding
haruslah mudah dibersihkan, tahan panas, tahan terhadap cuaca ekstrim, tahan
bahan kimia, dan tidak mudah berjamur. Lapisan penutup dinding haruslah
bersifat tidak porosif (mengandung pori-pori). Warna pada dinding ruang nekropsi
tidak boleh menyilaukan mata namun haruslah yang cerah. Pertemuan antar
dinding tidak disarankan berbentuk siku, namun harus melengkung guna
memudahkan untuk dibersihkan dan juga melancarkan sirkulasi.

Gambar 6. Cooling room

Penyediaan ruangan pendingin diperuntukan untuk menyimpan cadaver yang


akan dilakukan nekropsi jika terjadi penundaan pada cadaver. Tempat
penyimpanan biasanya berupa refrigerator atau ruangan yang dibuat sebeser 2x2
meter dengan suhu rata-rata 2-4ºC. Setelah nekropsi selesai, limbah cadaver
dibuang dengan cara dibakar atau kremasi. Lokasi untuk kremasi tidak boleh
berdekatan dengan lingkungan masyarakat karena abu atau asap kremasi dapat
mengganggu pernapasan manusia. Area nekropsi sendiri menyediakan ruang
untuk memeriksa hewan yang sudah mati, idealnya terletak dekat laboratorium
patologi diagnostik atau rute sirkulasi yang digunakan untuk keluarnya limbah.
Pencahayaan ruang bedah harus memiliki pencahayaan alami maupun buatan.
Pencahayaan didalam ruangan harus memenuhi standar kesehatan dalam
melaksanakan pekerjaannya sesuai standar intensitas cahaya. Secara umum
pencahayaan pada ruang nekropsi menggunakan jenis ambient highting dimana
total sinar yang datang dari semua arah. Standar pencahayaan dalam ruang bedah
umum yaitu 500 lux dan untuk meja bedah yaitu 50.000 lux yang berfungsi untuk
melihat organ lebih jelas dan warna tidak berbeda dengan aslinya (Cibse 2002).
Pintu pada dasarnya yang digunakan terdapat dua tipe yaitu pintu utama
dan pintu penghubung ruang pembedahan dan ruang instrumen. Pintu yang
disarankan untuk pintu utama atau pintu masuk yaitu pintu geser dengan rel
diatas, agar membuka dan menutup secara otomatis. Pintu tidak boleh dibiarkan
terbuka dalam keadaan pembedahan maupun diantara pembedahan. Apabila
menggunakan pintu swing, maka pintu haruslah dapat dibuka ke arah dalam dan
alat penutup pintu otomatis harus selalu dibersihkan setiap pembedahan telah
selesai. Pintu penghubung ruang pembedahan dan ruang untuk menggunakan
pintu swing dan mengayun ke arah ruang pembedahan. Pintu tidak boleh
dibiarkan terbuka dalam keadaan maupun diantara pembedahan. Lebar pintu 1100
mm dan dicat anti bakteri dan anti jamur.
Tangki septi salah satu macam sarana pengolahan tinja yang pada garis
besarnya terdiri dari sebuah tangki pembusukan lumpur dan saluran perembesan
efluen.Tangki pembusukan harus memenuhi syarat mengenai perbandingan
panjang dan lebar serta syarat kedalaman maksimum dan minimum (Shahib M
1993). Apabila timbul bau busuk ketika mobil penyedot sedang bekerja berarti
yang tersedot adalah lumpur baru yang belum membusuk sempurna. Untuk
menghindari hal tersebut dapat dibuat dua ruang lumpur. Dari sudut pandang yang
penting diperhatikan adalah jarak perpindahan maksimum dari bahan pencemar
dan kenyataan bahwa arah perpindahan selalu searah dengan arah aliran air tanah.
Dalam penetapan sumur, bahwa air yang berada dalam lingkaran pengaruh sumur
mengalir menuju sumur tersebut (Soeparman 2002).
Tindakan pencegahan sumur gali oleh bakteri coliform yang harus
diperhatikan adalah jarak sumur dengan kakus, lubang galian sampah, lubang
galian untuk air limbah dan sumber-sumber pengotoran lainnya. Jarak sendiri
tergantung pada keadaan tanah dan kemiringan tanah. Jarak yang aman yaitu 10
meter dan letaknya tidak berada dibawah tempat-tempat sumber pengotoran
seperti disebutkan di atas (Entjang 2000). Sedangkan menurut Chandra (2007)
sumur harus berjarak minimal 15 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber
pencemaran seperti kakus, tata letak denah dan tempat sampah. Menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) 03-2916-1992 tentang spesifikasi sumur gali untuk
sumber air bersih bahwa jarak horizontal sumur ke arah hulu dari aliran air tanah
atau sumber pengotoran (tangka septic tank) lebih dari 11 meter.

SIMPULAN

Organ situs viscerum ikan terdiri atas Vesica natatoria, Mesonephros,


Pronephros, cor, gonad, intestineum, hepar. Kelainan pada situs viscerum adalah
sebagian besar disebabkan karena bakteri. Syarat ruangan nekropsi yang baik
adalah Yaitu mulai dari pencahayaan yang cukup, penyediaan daya listrik,
pengatur suhu ruangan, jenis ventilasi, bahan dari lantai, tata letak peralatan dan
meja operasi, ketersediaan air bersih, ketersediaan saluran air, fasilitas
penyimpanan bangkai hewan dan kamar mandi.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1992. Pengendalian Hama dan penyakit Ikan.


Yogjakarta (ID) : Penerbit Kanisius.

Austin, B. dan D.A. Austin. 2007. Bacterial Fish Pathogen : Disease in Farmed
and Wild Fish. John Willey and Sons Ltd, England. 90

Chandra B 2007. Kesehatan Lingkungan. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran


EGC.
Cibse. 2002. Code for Light Oxford. EN : Butterworth Heineman
Bevelander G, Ramaley JA. 2001. Dasar-Dasar Histologi, Terj.dari Essential of
histology oleh Gunarso, W. 8thed. Tobing MH, Sitohang MJ (Eds.). 2001.
Jakarta (ID): Gelora Aksara Pratama.
Cipriano RC. 2001. Aeromonas hydrophila and motil Aeromonas septicemia of
fish. Fish diseases leaflet 68. United States Department of the Interior fish
and wild life service division of fisheries research Washington DC, 25 pp.
Del Coral F, Shotts EB, Brown J. 2000. Ad-herence haemagglutination and cell
surface characteristics of motil aeromonads virulent for fish. J. of Fish
Diseases. 13: 255-268.
Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung (ID): PT. Citra Aditya
Bakti.
Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan : Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rineka
Cipta. Jakarta.

Kementrian Perikanan dan Kelautan.2013. Statistik Menakar Target Ikan Air


Tawar Tahun 2013. http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=847

Mangunwardoyo W, Ismayasari R, Riani E. 2009. Uji patogenisitas dan virulensi


Aeromonas hydrophila stanier pada ikan nila (Oreochromis niloticus Lin.)
melalui postulat koch. J. Ris. Akuakultur. 5(2): 245-255.
Noga JE. 2000. Fish disease diagnosis and treatment. USA: Iowa State Press.
Shahib M. 1993. Pendekatan Biologi Molekuler pada Limbah Rumah Sakit dan
Laboratorium Klinik.
Soeparman. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Jakarta (ID): Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Supriyadi, H. dan D. Bastiawan. 2004. Penyebaran Penyakit Streptococciasis pada
Pusat Budidaya Ikan Air Tawar. Proseding Seminar Pengendalian
Penyakit Udang IV di Purwokerto. hal 168-172.

Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung (ID): PT. Citra Aditya
Bakti.
Shahib M. 1993. Pendekatan Biologi Molekuler pada Limbah Rumah Sakit dan
Laboratorium Klinik.
Soeparman. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Jakarta (ID): Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Virella G. 2002. Microbiology and Infectious Disease. 3rdEd. William and


Wilkins. Baltimore. P. 65-70.
Wijaya S. 2002. Isolasi kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma
harzianum. J. Ilmu Dasar Biologi. 3(1): 30-35.
Yuasa KN, Panigoro MB, Kholidin. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan:
Teknik Diagnosa Penyakit Ikan Budidaya Air Tawar di Indonesia. Balai
budidaya air tawar Jambi & Jakarta (ID): International Cooperation
Agency.

Вам также может понравиться