Вы находитесь на странице: 1из 9

MAKNA SILATURRAHIM

Banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang menghasung kita untuk


menyambung tali silaturahim serta menjelaskan berbagai
keutamaannya. Namun, sebagian orang salah paham dalam
memaknai silaturahim, yang kesalah-pahaman tersebut terjatuh
pada kesalahan dalam beragama. Semoga Allah memberi
hidayah.

Perintah dan keutamaan silaturahim


Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyambung tali silaturahim,
dalam firman-Nya:

ِ ‫ين َو ْال َج‬


‫ار‬ ِ ‫سا ِك‬ َ ‫سانًا َوبِ ِذي ْالق ُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َوالْ َم‬ َ ‫ش ْيئًا َوبِالْ َوا ِل َدي ِْن إِ ْح‬
َ ‫َّللاَ َو ََل ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه‬
‫َوا ْعبُدُوا ه‬
‫ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم إِ هن ه‬
ُّ‫َّللاَ ََل ي ُِحب‬ ْ ‫سبِي ِل َو َما َملَ َك‬
‫ب َواب ِْن ال ه‬ِ ْ‫ب بِ ْال َجن‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫ص‬‫ب َوال ه‬ ِ ُ‫ار الْ ُجن‬ِ ‫ذِي ْالق ُ ْربَى َو ْال َج‬
ً ‫َاَل فَ ُخ‬
‫ورا‬ ً ‫َم ْن َكانَ ُم ْخت‬

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya


dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-
bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri” (QS. An Nisa: 36).
Allah juga berfirman:
‫ِيرا‬ ‫ت ذَا ْالقُ ْربَى َحقههُ َو ْال ِم ْس ِكينَ َوابْنَ ال ه‬
ً ‫سبِي ِل َو ََل تُبَذ ِْر ت َ ْبذ‬ ِ ‫َوآ‬
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros” (QS. Al Isra: 26).
Ia juga berfirman:
‫َّللاِ َوأُولَئِكَ هُ ُم‬ ‫ت ذَا ْالقُ ْربَى َحقههُ َو ْال ِم ْس ِكينَ َوابْنَ ال ه‬
‫سبِي ِل ذَلِكَ َخي ٌْر ِللهذِينَ ي ُِريدُونَ َو ْجهَ ه‬ ِ ‫ف َآ‬
‫ْال ُم ْف ِل ُحو َن‬
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya,
demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari
keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung” (QS.
Ar Rum: 38).
Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau
memerintahkan umatnya untuk menyambung silaturahim, dalam
sabda beliau:
‫ ومن كان يؤمن باهلل واليوم اآلخر فليصل‬،‫من كان يؤمن باهلل واليوم اآلخر فليكرم ضيفه‬
‫ ومن كان يؤمن باهلل واليوم اآلخر فليقل خيرا ً أو ليصمت‬،‫رحمه‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
muliakanlah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim. Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang
baik atau diam” (HR. Bukhari).
Bahkan terdapat ancaman serius bagi orang yang memutus
silaturahim, beliau bersabda:
‫َل يدخ ُل الجنةَ قاط ُع رحم‬
“Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR.
Bukhari – Muslim).
Dan diantara keutamaan menyambung silaturahim adalah
diluaskan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ وينسأ له في أثره فليصل رحمه‬،‫من أحب أن يبسط له في رزقه‬
“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi” (HR. Bukhari –
Muslim).
Dan ia juga merupakan salah satu sebab masuknya seseorang
ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
,‫ وصلُّوا بالليل والناس نيام‬،‫ وصلوا األرحام‬،‫ وأطعموا الطعام‬،‫ أفشوا السالم‬،‫أيها الناس‬
‫تدخلوا الجنة بسالم‬
“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan,
sambunglah silaturahim, shalatlah pada malam hari ketika orang-
orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat”
(HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Ibni Majah).

Makna silaturahim
Silaturahim (‫ )صلة الرحم‬terdiri dari dua kata: shilah (‫ )صلة‬dan ar
rahim (‫)الرحم‬. Shilah artinya menyambung. Dalam Mu’jam Lughatil
Fuqaha disebutkan:
‫ ضمه إليه وجمعه معه‬:‫وهو مصدر وصل الشيء بالشيء‬
“shilah adalah isim mashdar. washala asy syai’u bisy
syai’i artinya: menggabungkan ini dengan itu dan
mengumpulkannya bersama” (dinukil dari Shilatul Arham, 5).
Sedangkan ar rahim yang dimaksud di sini adalah rahim wanita,
yang merupakan konotasi untuk menyebutkan karib-kerabat. Ar
Raghib Al Asfahani mengatakan:
‫الرحم رحم المرأة أي بيت منبت ولدها ووعاؤه ومنه استعير الرحم للقرابة لكونهم خارجين‬
‫من رحم واحدة‬
“ar rahim yang dimaksud adalah rahim wanita, yaitu tempat
dimana janin berkembang dan terlindungi (dalam perut wanita).
Dan istilah ar rahim digunakan untuk menyebutkan karib-kerabat,
karena mereka berasal dari satu rahim” (dinukil dari Ruhul
Ma’ani, 9/142).
Dengan demikian yang dimaksud dengan silaturahim adalah
menyambung hubungan dengan para karib-kerabat. An
Nawawi rahimahullah menjelaskan:
ً ‫َارة‬ ُ ‫اص ِل َو ْال َم ْو‬
َ ‫صو ِل فَت‬ ِ ‫ب َحا ِل الْ َو‬ ِ ‫س‬َ ‫علَى َح‬ َ ‫ب‬ ِ ‫ار‬ِ َ‫سا ُن إِلَى ْاألَق‬
َ ‫اْل ْح‬ِْ ‫ي‬ ‫صلَةُ ه‬
َ ‫الر ِح ِم فَ ِه‬ ِ ‫َوأ َ هما‬
َ‫غي ِْر ذَلِك‬
َ ‫ارةِ َوالس َهال ِم َو‬
َ َ‫لزي‬ َ ‫َارة ً بِ ْال ِخ ْد َم ِة َوت‬
ِ ‫َارة ً بِا‬ َ ‫ت َ ُكو ُن بِ ْال َما ِل َوت‬
“adapun silaturahim, ia adalah berbuat baik kepada karib-kerabat
sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan
keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa
kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan
tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, dengan memberi
salam, dan cara lainnya” (Syarh Shahih Muslim, 2/201).
Ibnu Atsir menjelaskan:
،‫ وهي كناية عن اْلحسان إلى األقربين من ذوي النسب‬:‫تكرر في الحديث ذكر صلة الرحم‬
,‫ وكذلك إن بَعُدُوا أو أساءوا‬،‫ والرعاية ألحوالهم‬،‫ والرفق بهم‬،‫ والتعطف عليهم‬،‫واألصهار‬
‫ض ُّد ذلك كله‬
ِ ‫وقط ُع الرحم‬
“Banyak hadits yang menyebutkan tentang silaturahim.
Silaturahim adalah istilah untuk perbuatan baik kepada karib-
kerabat yang memiliki hubungan nasab, atau kerabat karena
hubungan pernikahan, serta berlemah-lembut, kasih sayang
kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka. Demikian juga
andai mereka menjauhkan diri atau suka mengganggu. Dan
memutus silaturahim adalah kebalikan dari hal itu semua” (An
Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/191-192, dinukil dari Shilatul Arham,
5).
Dengan demikian, perbuatan baik dan menyambung hubungan
terhadap orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan
nasab tidaklah termasuk silaturahim, dan tidak termasuk dalam
ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai perintah serta keutamaan
silaturahim.

Salah kaprah memaknai silaturahim


Sebagian orang salah paham dalam memaknai silaturahim,
dengan menganggap semua perbuatan menyambung hubungan
dengan orang lain sebagai silaturahim. Jelas ini tidak tepat
secara bahasa ataupun secara istilah syar’i. Dari kesalahan-
pahaman ini muncul berbagai macam kesalahan lain yang sangat
patut untuk kita koreksi. Diantaranya:
1. Menggunakan dalil-dalil tentang silaturahim pada
perbuatan yang bukan silaturahim
Misalnya menggunakan dalil-dalil tentang silaturahim untuk
mengajak orang mendatangi acara reuni sekolah, acara kumpul-
kumpul rekan kerja, dan semisalnya. Lalu meyakini bahwa acara-
acara ini memiliki keutamaan memanjangkan usia, meluaskan
rezeki, menjadi sebab masuk surga, yang merupakan
keutamaan-keutamaan silaturahim. Tentu ini tidak tepat.
2. Menggunakan dalih silaturahim untuk perbuatan yang
dilarang agama
Misalnya menggunakan dalih silaturahmi untuk mengajak orang
mendatangi acara karokean, merayakan ulang tahun seseorang,
acara kumpul-kumpul bersama teman yang campur-baur antara
lelaki dan wanita, dan sebagainya. Sehingga perbuatan-
perbuatan yang dilarang agama tersebut disamarkan dengan
nama silaturahmi yang merupakan kebaikan.

3. Menggunakan dalih silaturahim sehingga enggan


meninggalkan keburukan
Misalnya enggan meninggalkan teman-teman yang buruk yang
sering mengajak kepada maksiat dan hal-hal tidak bermanfaat
dengan dalil tidak mau memutus tali silaturahim. Enggan berhenti
berpacaran dengan dalil bahwa “putus” dengan pacar itu berarti
memutus tali silaturahim. Enggan menolak ajakan teman untuk
nongkrong tanpa manfaat dan berfoya-foya karena dalih
takut memutus tali silaturahim.
Semua ini adalah kesalah-pahaman dalam memaknai dan
mempraktekkan silaturahmi. Mereka mengira sedang ber-
silaturahmi padahal bukan. Sehingga tidak berlaku perintah dan
keutamaan-keutamaan silaturahim di dalamnya.
Selain itu, tidak dibenarkan mencampur-adukkan dan
menyamarkan hal-hal yang batil dalih bahwa itu adalah
perbuatan baik. Allah Ta’ala berfirman:

ِ َ‫سوا الْ َح هق بِ ْالب‬


‫اط ِل‬ ُ ِ‫َو ََل ت َْلب‬
“dan janganlah kalian mencampur-adukkan kebenaran dengan
kebatilan…” (QS. Al Baqarah: 42).

Silaturahim dalam bahasa Indonesia


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahim atau
silaturahmi dimaknai:
silaturahmi/si·la·tu·rah·mi/ n tali persahabatan (persaudaraan)
Maka dari sini kita ketahui terdapat perbedaan makna antara
silaturahim dalam bahasa Arab atau dalam istilah syariat
dengan silaturahmi dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa
Indonesia, silaturahim dimaknai lebih luas kepada semua orang,
tidak hanya kepada orang yang memiliki hubungan kekebaratan
saja.
Tentu saja tidak terlarang menggunakan kata silaturahim dalam
konteks makna silaturahim dalam bahasa Indonesia, yaitu
bermakna: persahabatan dan persaudaraan. Namun hendaknya
tidak mengaitkannya dengan perintah dan keutamaan silaturahim
dalam istilah syariat. Karena keduanya adalah hal yang berbeda.
akna Bahasa
Silaturahmi (shilah ar-rahim dibentuk dari kata shilah dan ar-rahim.
Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa shilat(an), artinya adalah hubungan.
Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhâm, yakni rahim atau kerabat. Asalnya
dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena
orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu. Di
dalam al-Quran, kata al-arhâm terdapat dalam tujuh ayat, semuanya bermakna rahim
atau kerabat.
Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya
adalah hubungan kekerabatan.
Pengertian Syar‘i
Banyak nash syariat yang memuat kata atau yang berkaitan dengan shilah ar-
rahim. Maknanya bersesuaian dengan makna bahasanya, yaitu hubungan kekerabatan.
Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan
kerabat (shilah ar-rahim). Sebaliknya, syariat melarang untuk memutuskan silaturahim.
Abu Ayub al-Anshari menuturkan, “Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
saw., “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke
dalam surga.” Lalu Rasulullah saw. menjawab:
«‫الرحِ َم‬
َّ ‫َص ُل‬ َّ ‫صالَة َ َوت ُ َؤتِ ْي‬
ِ ‫الزكَاة َ َوت‬ َ ‫»ت َ ْعبُدُ هللاَ الَ ت ُ ْش ِركُ بِ ِه‬
َّ ‫ش ْيئًا َوت ُ ِق ْي ُم ال‬
Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi. (HR al-Bukhari).
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah.
Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan mengantarkan pelakunya masuk surga,
merupakan qarînah jâzim (indikasi yang tegas). Oleh karena itu, menyambung dan
menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram. Rasul saw.
pernah bersabda:
«‫»الَ َي ْد ُخ ُل ْال َج َّنةَ َقاطِ ُع َرحِ م‬
Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (ar-
rahim). (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sekalipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah larangan; ungkapan
'tidak masuk surga' juga merupakan qarînah jâzim, yang menunjukkan bahwa memutus
hubungan kekerabatan (shilah ar-rahim) hukumnya haram.
Oleh karena itu, Qadhi Iyadh menyimpulkan, "Tidak ada perbedaan pendapat
bahwa shilah ar-rahim dalam keseluruhannya adalah wajib dan memutuskannya
merupakan kemaksiatan yang besar.
Untuk memenuhi ketentuan hukum tersebut, kita harus mengetahui batasan
mengenai siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin, dan aktivitas apa
yang harus dilakukan untuk menjalin silaturahmi itu?
Dengan menganalisis makna ar-rahim atau al-arham yang terdapat dalam nash,
dan pendapat para ulama tentangnya, bisa ditentukan batasan kerabat tersebut.
Kata ar-rahim dan al-arhâm yang terdapat di dalam nash-nash yang ada bersifat umum,
mencakup setiap orang yang termasuk arhâm (kerabat). Ketika menjelaskan makna al-
arhâm pada ayat pertama surat an-Nisa’, Imam al-Qurthubi berkata, "Ar-
rahim adalah isim (sebutan) untuk seluruh kerabat dan tidak ada perbedaan antara
mahram dan selain mahram."
Ibn Hajar al-‘Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, "Ar-Rahim mencakup
setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan
nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram."
Asy-Syaukani mengatakan, "Shilah ar-rahim itu mencakup semua kerabat yang
memiliki hubungan kekerabatan yang memenuhi makna ar-rahim (kerabat)."
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kerabat (QS an-Nisa’4:
36); memberi kepada kerabat (QS an-Nahl 16: 90); memberikan hak kepada kerabat (QS
ar-Rum 30: 38); meski dalam hal itu sebagian mereka lebih diutamakan dari sebagian
yang lain (QS al-Anfal 8: 75 dan al-Ahzab 33: 6). Rasul saw. pernah bersabda:
« َ‫»يَدُ ْال ُمعْطِ ْي ْالعُ ْل َيا َواِ ْبدَأْ بِ َم ْن تَعُ ْو ُل اُمَّكَ َوأَبَاكَ َوا ُ ْختَكَ َواَخَاكَ ث ُ َّم اَ ْدنَاكَ ا َ ْدنَاك‬
Tangan yang memberi itu di atas (lebih utama) dan mulailah dari orang yang
menjadi tanggungan (keluarga)-mu, ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara
laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, orang yang lebih dekat denganmu (HR
al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).
Semua itu adalah bagian dari aktivitas silaturahmi. Dari gambaran seperti itu,
para ulama manarik pengertian silaturahmi. Menurut Al-Manawi, silaturahmi adalah
menyertakan kerabat dalam kebaikan. Imam an-Nawawi mengartikan silaturahmi
sebagai berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang menyambung
dan yang disambung; bisa dengan harta, kadang dengan bantuan, kadang dengan
berkunjung, mengucap salam, dan sebagainya.
Abu Thayyib mengartikan silaturahmi sebagai ungkapan tentang berbuat baik
kepada kerabat, orang yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; saling berbelas
kasihan dan bersikap lembut kepada mereka, mengatur dan memelihara kondisi
mereka, meski mereka jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahmi berlawanan
dengan semua itu.
Ibn Abi Hamzah berkata, "Silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, menolong
untuk memenuhi keperluan, menghilangkan kemadaratan, muka berseri-seri, dan doa."
Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang
mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai
dengan kesanggupan.”Tentang siapa yang termasuk orang yang menyambung
silaturahmi, Rasul saw. pernah bersabda:
«‫ص َل َها‬ ِ ‫اص ُل بِ ْال ُمكَافِىءِ َولَك َِّن ْال َو‬
ْ ‫اص َل الَّذ‬
ْ َ‫ِي إِذَا قُطِ ع‬
َ ‫ت َرحِ ُمهُ َو‬ ِ ‫ْس ْال َو‬
َ ‫»لَي‬
“Orang yang menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan
baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan silaturahmi adalah orang yang ketika
kekerabatannya diputus, ia menghubungkannya. (HR al-Bukhari).
Menyambung silaturahmi adalah jika hubungan kerabat (shilah ar-rahim)
diputus, lalu dihubungkan kembali. Orang yang melakukannya berarti telah
menghubungkan silaturahmi. Adapun jika kerabat seseorang menghubunginya, lalu ia
menghubungi mereka, hal itu adalah balas membalas; termasuk aktivitas saling menjaga
silaturahmi, bukan menyambung silaturahmi.
Kesimpulan

Dari paparan di atas, maka silaturahmi adalah hubungan kerabat; berupa


hubungan kasih-sayang, tolong-menolong, berbuat baik, menyampaikan hak dan
kebaikan, serta menolak keburukan dari kerabat yaitu ahli waris dan ûlu al-arhâm.
Hubungan dengan selain mereka tidak bisa disebut silaturahmi, karena tidak
terpenuhi adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan dengan sesama Muslim selain
mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah (silah al-
ukhuwah), bukan silaturahmi. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Kata tersebut sudah menjadi bahasa Indonesia. Penulisan alih kata (translatter)
yang tepat untuk“shilaturrahim”adalah silaturahim, sesuai dengan pengertian bahasa
dan etimologi yang akan kita bahas dalam tulisan ini.Penulisan alih kata yang kurang
tepat, dan sering kita temukan di media cetak untuk “shilatur rahim” adalah dengan
“silaturahmi” karena tidak sesuai dengan pengertian etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, silaturahim adalah ungkapan gabungan antara mudhaf (yang
disandarkan), yakni ‘Shilah’ dan mudhaf ilaihi (tempat penyandaran mudhaf), yakni
‘Rahim’. Shilah merupakan mashdar dari washala, artinya menggabungkan sesuatu
kepada sesuatu saat ada kaitan dengannya, lawan kata dari hijran (meninggalkan).
Sedangkan ar-rahimu pecahan kata rahima.
Sedangkan secara terminologi, Imam Nawawi memberi batasan, “Shilatur rahim
artinya berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung maupun
yang disambung. Kadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan, salam, dan
lain-lain.”
Ibnu Manzhur menjelaskan adanya kaitan antara kedua pengertian etimologi dan
terminologi. Ia katakan, “Shilatur rahim merupakan kiasan tentang berbuat baik kepada
kerabat yang ada hubungan nasab maupun perkawinan, bersikap sayang dan santun
kepada mereka, memperhatikan kondisi mereka, meskipun mereka jauh atau
menyakiti. Qath’ur rahim adalah lawan katanya. Seolah-olah dengan berbuat baik
kepada mereka hubungan kekerabatan, perkawinan, dan hubungan sah telah terjalin.”
Mengenai batasan rahim yang wajib disambung, Nawawi berkata, “Para ulama
berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang
berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan yang
lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada lagi yang berpendapat, ia bersifat umum
mencakup semua yang ada hubungan rahim dalam hak waris. Antara yang muhrim dan
tidak, sama saja. Inilah pendapat yang benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah jika seseorang menyambung kerabat
cinta ayahnya.”
Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri,
adalah satu dari istilah-istilah "keagamaan" yang hanya dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya,
bahkan kebenarannya dari segi bahasa , walaupun semua pihak menyadari bahwa
tujuannya adalah mencipakan keharmonisan antara sesama.
Hemat saya, paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut
pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik
tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasan.
Menurut pandangan pertama - dari segi hukum - kata halal biasanya
dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga
pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar
hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang
dosa. Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang
tadinya haram dan berakibat dosa. menjadi halal dengan jalan memohon maaf.
Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang
tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang
dinamai makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan
hubungan (suami-istri, mislanya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci
Tuhan. atas dasar itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak dikaitkan dengan
pengertian hukum.

Вам также может понравиться