Вы находитесь на странице: 1из 8

A.

Pengertian
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab
yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara
10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
(Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)

B. Penyebab
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan
peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat,
2005).

C. Manisfestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum,
tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal.
Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena
kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

D. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif
akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2007).

E. Pathway (terlampir)

F. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah
leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan
dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran
telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen
usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam
menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah
rongga panggul (Sanyoto, 2007)
Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis
apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai
bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua
penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif
dalam bertindak (Sanyoto, 2007).

G. Penatalaksanaan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6
jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan
usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks
(Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke
dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga
dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan
bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya
antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto,
2007).

H. Fokus pengkajian Keperawatan


Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal
yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun
selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan
lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan
hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan
memperingan.

4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing
sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di
perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang.
Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang
meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika (Akhyar Yayan, 2008).

5. Perubahan pola fungsi


a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.: Penurunan atau
tidak ada bising usus.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia.: Mual/muntah.
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat
dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang
ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri
berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai
rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh :
retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang dengan lutut
ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi
kaki kanan/ posisi duduk tegak.: Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi
peritoneal.
f. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
g. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrophil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan
jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang
dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta
pelebaran sekum.
I. Fokus intervensi Keperawatan

Post Operasi

TUJUAN INTERVENSI
NO DIAGNOSA
(NOC) (NIC)
1 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda vital
dengan agen injuri keperawatan, diharapkan nyeri 2. Kaji lokasi, karakteristik, kualitas,
fisik (luka insisi post berkurang dengan kriteria hasil: skala nyeri dan keparahan nyeri
operasi  Melaporkan nyeri berkurang 3. Ajarkan prinsip-prinsip
appenditomi).  Klien tampak rileks manajemen nyeri (teknik
 Dapat tidur dengan tepat relaksasi)
 Tanda-tanda vital dalam batas 4. Berikan obat analgesik sesuai
normal kebutuhan
 TD (systole 110-130mmHg,
diastole 70-90mmHg), HR(60-
100x/menit), RR (16-24x/menit),
suhu (36,5-37,50C)

2 Hambatan Dapat bergerak bebas ditempat 1. Monitor TTV


mobilitas fisik b.d dengan atau tanpa alat bantuKriteria 2. Kaji kemampuan kilen dalam
nyeri Hasil: mobilitas
 Klien meningkat dalam aktifitas 3. Latih klien dalam pemenuhan
fisik kebutuhan ADLs
 Mengerti tujuan dan peningkatan 4. Ajarkan klien bagaimana
mobilitas merubah posisi dan berikan
 Memperagakan penggunaan alat bantuan jika diperlukan.
bantu jalan.
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
berhubungan keperawatan diharapkan infeksi dapat pada area insisi
dengan tindakan diatasi dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda-tanda vital.
invasif (insisi post  Klien bebas dari tanda-tanda Perhatikan demam, menggigil,
pembedahan). infeksi berkeringat, perubahan mental
 Menunjukkan kemampuan untuk 3. Lakukan teknik isolasi untuk
mencegah timbulnya infeksi infeksi enterik, termasuk cuci
 Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) tangan efektif.
4. Pertahankan teknik aseptik ketat
pada perawatan luka insisi /
terbuka, bersihkan dengan
betadine.
5. Awasi / batasi pengunjung dan
siap kebutuhan.
6. Kolaborasi tim medis dalam
pemberian antibiotik
Daftar Pustaka

Akhyar yayan.2008. Apendisitis, diakses 04 Mei 2017 from http://www. Yayanakhyar.


Wordpress.com/2008/09/29/apendisitis.
Elizabeth, J, Corwin. 2009. Buku saku Fatofisiologi. Jakarta: EGC.
Esther, Chang. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktek Keperawatan.Jakarta :EGC
Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31374/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y. Diakses pada tangal 15 Mei 2017
Pathway

Вам также может понравиться