Вы находитесь на странице: 1из 13

PJBL FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGY

THYPHOID

Dosen Pembimbing : Ns. Rinik Eko Kapti, S.Kep., M.Kep

Disusun oleh:

Febry Priscila 165070201111030

Kelompok 1 Reguler 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. (Djoko, 2006)
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000)

KLASIFIKASI
Menurut WHO (2003), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan
gejala klinis:
1. Demam tifoid akut non komplikasi
Demam tifoid akut dikarakteristikkan dengan adanya demam berkepanjangan
abnormalis, fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-
anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa terjadi pada
fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan
adanya rose spot pada dada, abdomen dan punggung.
2. Demam tifoid dengan komplikasi
Pada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi
parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10%
pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, usus dan
peningkatan ketidaknyamanan abdomen.
3. Keadaan karier
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier
tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi difeses. (Fitrianggraini, A.,
2012)

EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-negara
subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara berkembang.
WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam tifoid terjadi di
seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan 90% dari angka
kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia. (WHO, 2003)
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam
tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk.
Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai dengan 1986
memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus.
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam
tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka
kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah
1,6%.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan
dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk.
Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
secara merata yang belum memadai, serta sanitasi lingkungan terutama cara
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan ligkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid
tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi. (Aru, 2006)

PATOFISIOLOGI
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman
yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari penderita yang
terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain itu, transmisi juga
dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin. Sebagian kuman
dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. (Djoko, 2006)
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk
imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis
kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman
intraseluler. (Chambers, 2006)
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke
kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia ke-1 yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke
sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan
gejala klinis. (Djoko, 2006)
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak
kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus,
sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan
difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan
sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit kepala, sakit
perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi, dan gangguan
kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul
reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar
plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan
serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi. (Chin, 2006)
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap atau bersembunyi
pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau
karier. (Chin, 2006)
Pathway

FAKTOR RESIKO
Demam typhoid ditularkan atau ditransmisikan kebanyakan melalui jalur fecal-
oral. Penyebaran demam typhoid dari orang ke orang sering terjadi pada lingkungan
yang tidak higienis dan pada lingkungan dengan jumlah penduduk yang padat, hal
ini dikarenakan pola penyebaran kuman S.typhi melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi biasanya melalui feses penderita. Sepeti yang sudah
disebutkan, transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
salmonella thypi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila terpapar S. Thypi
sebanyak 105, potensi serangan relatif ringan dengan masa inkubasi yang panjang.
Dengan meningkatnya organisme atau > 109 potensi serangan meningkat menjadi
95% dengan masa inkubasi yang lebih singkat. Transmisi di negara berkembang
terjadi secara water-borne dan food-borne.
Demam typhoid bisa terjadi pada setiap orang, namun lebih banyak diderita
oleh anak-anak dan orang muda. Demam tifoid pada umumnya menyerang
penderita kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya
terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Pada anak-anak
hal ini dikarenakan antibodi yang belum terbentuk sempurna dan dari segi sosial,
pola makanan anak-anak tidak baik yang didapat di lingkungan. Pada populasi
orang muda, penyebaran demam typhoid dapat disebabkan oleh kebiasaan makan
yang tidak mempertimbangkan faktor kebersihan dan tidak terbiasanya mencuci
tangan sebelum makan.
Faktor resiko lainnya adalah orang dengan status imunocompromised dan
orang dengan produksi asam lambung yang terdepresi baik dibuat, misalnya pada
pengguna antasida, H2 blocker, PPI, maupun didapat, misalnya orang dengan
achlorhydia akibat proses penuaan. (Listya, 2011)

MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum
klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare
sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau
timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini
mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran klinisnya.
(Chammie, 2005)
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi
pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada 1
penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala
meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus. (IDAI, 2006)
o
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 C), nyeri
kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas
berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis).
(Djoko, 2006)
Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu
ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3
demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam
tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai
epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai
lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin
nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya
terjadi diare kemudian menjadi obstipasi. (Chambers, 2006)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan
hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi
molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan
prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya
komplikasi.
1. Hematologi
a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi perdarahan
atau perforasi usus.
b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
d. Laju endap darah (LED) meningkat.
e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). (Rampengan, 2007)
2. Urinalisis
a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi.
3. Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang
sampai hepatitis akut. (Chin, 2006)
4. Imunoserologi
a. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen
bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif jika
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini
dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu
atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi
silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah
sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan
sudah mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain.
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin tinggi
titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan aglutinin
mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam kemudian meningkat secara cepat
dan mencapai puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H.
Orang yang sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan.
Jika titer O sekali periksa ≥ 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali, diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan pasca imunisasi
atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi pembawa kuman (karier).
(Rampengan, 2007)
b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk mendiagnosis
demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut sedangkan lgG positif
menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik.
5. Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam
tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif,
belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera
dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu ke-
1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi. Kekurangan uji
ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi).
Spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah kemudian untuk
stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses.
6. Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini dilakukan
dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan DNA probe
yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam
jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat
berupa darah, urin, cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. (Chambers, 2006)

PENATALAKSANAAN MEDIS
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek
penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana
demam tifoid meliputi:
1. Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat mempercepat
penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai
juga perlu dijaga.
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi,
dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada waktu
tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi
dan retensi urin. (Mansjoer, 2000)
2. Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti
petunjuk diet berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.
3. Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam, diare,
obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu dibantu
dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau enema tidak
dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun perforasi usus.
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita seperti
pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan cairan.
Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid (disertai
gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil
pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam tifoid yang mengalami syok
septik. Regimen yang digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg.
Pada anak digunakan deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam
30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48
jam. (Alan, 2003)
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman. Antibiotik
yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
b. Tiamfenikol
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
d. Kuinolon
e. Sefalosporin generasi III
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada kloramfenikol.
Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram per hari selama 5
hari. Aztreonam dan azitromisin dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan
menyusui.
g. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana
pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai
kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. (PDSPDI, 2006)

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu:
1. Intestinal
a. Perdarahan usus
Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk tukak.
Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi
perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan
juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25%
penderita mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi
darah. Namun, perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Jika transfusi dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya
perdarahan ini merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah.
(Cammie, 2005)
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan
bawah yang menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus. Peristaltik
melemah pada 50% penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas di abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga
peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya
perforasi usus pada demam tifoid (IDAI, 2005)
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Ekstraintestinal
a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan
tromboflebitis.
b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC.
c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis.
e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis.
f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. (Chambers, 2006)
Daftar Pustaka
1. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
2. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI.
3. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal
Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis 2nd
Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
5. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current
Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.
6. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
7. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta: Infomedika.
8. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
9. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2006: 1774.
10. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta:
EGC.
11. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease.
www.medline.com.
12. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI.
13. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics Update.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar
Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.

Вам также может понравиться