Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di bidang
koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia profunda dari diafragma
urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis dan dipisahkan jaringan lemak
serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan jaringan prostat dari
ruang preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda
fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan ukuran rata-rata
: panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu
lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah.
Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan serabut
fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa
ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral
yang mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan glandular
dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral (menempati 25 %),
perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-zona ini
penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal keganasan, dan
zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.
Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk prostat. Bagian
proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan prostat dan bersinggungan dengan
kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik. Pada tingkat veromontanium, urethra
membentuk sudut anterior 350 dan urethra pars prostatika distal bersinggung dengan zona
perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar pada individu muda, tapi dengan
bertambahnya usia zona ini atrofi secara progresif. Sebaliknya zona transisional membesar
dengan membentuk benigna prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui potongan sagital,
koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior prostat.
Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar urethra proksial
pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan spinkter interna dan otot
detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini bergabung dengan
striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari seluruh
jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan dibelakang
verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona perifer berdasarkan
arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan urethra
proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada zona ini asiner
banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra lainnya.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai tumbuh
pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai ukuran makasimal
pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun. Pada waktu
tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan dengan
penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulasi serta
fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi
bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen yang
lainnya.
C. DEFINISI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan
kelenjar yang terlihat persis di inferior dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr,
didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum
puboprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior
bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada
dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna (Purnomo, 2003).
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah
pertumbuhan berlebihan yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan kondisi patologis dimana terjadi pembesaran
kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara
klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas dapat
dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat
diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
E. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2003), hingga sekarang ini masih belum diketahui secara pasti
penyebab terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah :
1. Teori DHT
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar
prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5a-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah dibentuk berikatan dengan reseptor androgen
(RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesa protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian,
aktivitas enzim 5a-reduktase dan jumlah RA lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Keseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif
tetap sehingga perbandingan antara estrogen testosteron semakin meningkat. Telah
diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah RA, dan menurunkan jumlah kematian sel prostat.
Hal itu membuat sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dari pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estrandiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Program apoptosis pada sel prostat merupakan mekanisme fisiologis untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga massa prostat bertambah. estrogen diduga mampu memperpanjang
usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFß berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Dalam
kelenjar prostat dikenal stem sel yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen.
Sehingga jika hingga hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan
sebagai tidak tepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadinya produksi yang berlebihan sel
stroma maupun sel epitel.
F. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu
lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol,
kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2. Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut.
3. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau
adrenergik alfa.
G. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli tersebut, oleh klien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih
bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus (Price, 1996).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat
yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada
stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi
oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Price, 1996).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat
menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot otot polos prostat
dibanding dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi
komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Pemeriksaan kultru urin berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan. Fisiologi ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan
untuk mencari kemungkinan adnaya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli neurogenik. Jika dicurigai adanya keganasan prostat
perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA.
2. Radiologi meliputi intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograde, USG, CT-Scanning,
cytoscopy, dan foto polos abdomen. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu
urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan
BPH
3. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yanng penuh
terisi urin yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV dapat
menerangkan kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS dimaksudkan untuk
mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan BPH. Disamping itu
ultrasonografi transabdominal mampu mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan
ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
4. Prostatektomi Retro Pubis: Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih
tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada
anterior kapsula prostat.
5. Prostatektomi parineal yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum
6. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :
1) Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin in dapat dihitung dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
setelah miksi.
2) Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
J. PENATALAKSANAAN
1. Terapi medikamentosa
Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosin, alfluzosin atau a 1a
(tamsulosin).
Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (Poscar)
Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi.
Indikasi terapi bedah yaitu :
Retensio urin berulang
Hematuria
Tanda penurunan fungsi ginjal
Infeksi saluran kencing berulang
Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.
Ada batu saluran kemih.
Ada beberapa jenis terapi bedah yang sering digunakan pada pasien Hyperplasia Prostat
Benigna, antara lain:
a. Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan antara lain :
b. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi
yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan
ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi
seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang lain. Kerugian lainnya
adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor,
seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis, serta
pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini adalah
secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih luas, memungkinkan eksplorasi
untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta
pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
c. Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis
dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain
memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk
terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah,
insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah
buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia,
impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif
terbatas.
d. Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi
abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung
kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang
terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan
letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan
serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis.
Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter
kandung kemih lebih sedikit.
e. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra.
Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.
Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih
rendah di banding cara lainnya.
f. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan
merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan
terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan
secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi,
penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Suddarth,
Brunner, 2002).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah
lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5
hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani
operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau
retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura
uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun
kemudian.
K. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan, pembentukan bekuan, obstruksi
kateter serta disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan. Kebanyakan
prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun aktifitas seksual dapat dilakukan
kembali setelah 6-8 minggu karena fossa prostatik sudah sembuh. Komplikasi yang lain
yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard yaitu
setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan
bersama urin. Selain itu vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi
dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis.
Setelah prostatektomi total ( biasanya untuk kanker ) hampir selalu terjadi impotensi.
Bagi pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis mungkin
digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.
L. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi
dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek
pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada.
kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-
tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin
berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,
disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan
invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter
untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan,
peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan
eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal
tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi
BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri
pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH,
sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang
perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama.
Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri
punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput
dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis
tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya
tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi),
sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda
infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah
tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes
selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran
atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi
BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
M. PATHWAY
N. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri
O. INTERVENSI KEPERAWATAN
Pre Operasi
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau mencerna
makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi
1.
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri
keperawatan selama ….x 24 jam, Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
Definisi : Sensori dan klien dapat: kenyamanan yang dapat diterima pasien
pengalaman emosional 1. Mengontol nyeri
yang tidak menyenangkan Definisi : tindakan seseorang untuk Intervensi:
yang timbul dari 1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
mengontrol nyeri.
kerusakan jaringan aktual karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
Indikator: intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
atau potensial, muncul
tiba-tiba atau lambat Mengenal faktor-faktor penyebab 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
dengan intensitas ringan Mengenal onset/waktu kejadian khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
sampai berat dengan akhir nyeri efektif
yang bisa diantisipasi atau Tindakan pertolongan non- 3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
diduga dan berlangsung analgetik 4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
kurang dari 6 bulan. Menggunakan analgetik mengekspresikan nyeri
Batasan karakteristik : Melaporkan gejala-gejala kepada 5. Kaji latar belakang budaya klien
Laporan secara verbal tim kesehatan (dokter, perawat) 6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup:
atau non verbal adanya Nyeri terkontrol pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan, pekerjaan,
nyeri tanggungjawab peran
Fakta dari observasi Keterangan: 7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
nyeri kronis
Posisi untuk
1 = tidak pernah dilakukan 8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
menghindari nyeri
yang telah digunakan
Gerakan melindungi 2 = jarang dilakukan
9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Tingkah laku berhati- 3 = kadang-kadang dilakukan
10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
hati 4 = sering dilakukan lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Muka topeng 5 = selalu dilakukan 11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
Gangguan tidur (mata respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
sayu, tampak capek, ruangan, penyinaran, dll)
12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
sulit atau gerakan 2. Menunjukkan tingkat nyeri 13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
kacau, menyeringai) Definisi : tingkat keparahan dari guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
Terfokus pada diri nyeri yang dilaporkan atau massase)
sendiri ditunjukan 14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
Fokus menyempit Indikator:
telah digunakan
(penurunan persepsi 15. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Melaporkan nyeri 16. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
waktu, kerusakan
proses berpikir, Frekuensi nyeri lama terjadi, dan tindakan pencegahan
penurunan interaksi Lamanya episode nyeri 17. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
dengan orang dan Ekspresi nyeri: wajah respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh : temperatur
lingkungan) Posisi melindungi tubuh ruangan, penyinaran, dll)
Tingkah laku distraksi, Kegelisahan 18. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
contoh : jalan-jalan, Perubahan Respirasirate 19. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
menemui orang lain Perubahan Heart Rate guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
dan/atau aktivitas, Perubahan tekanan Darah massase)
aktivitas berulang- Perubahan ukuran Pupil 20. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
ulang) Perspirasi 21. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
Respon autonom Kehilangan nafsu makan klien
(seperti diaphoresis, 22. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
perubahan tekanan Keterangan: 23. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
darah, perubahan nafas, secara tepat
1 : berat
nadi dan dilatasi pupil) 24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
2 : agak berat keluhan
Perubahan autonomic
3 : sedang 25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga
dalam tonus otot
(mungkin dalam 4 : sedikit saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan
rentang dari lemah ke 5 : tidak ada preventif
kaku) 26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, 2. Pemberian Analgetik
merintih, menangis, Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi
atau menghilangkan nyeri.
Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
1. SDKI, Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI)
2. SIKI, Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Persatuan Perawat Nasional
3. Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
4. Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
5. DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New York:
Delmar.
6. Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., (1999), Rencana asuhan keperawatan:
Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. EGC: Jakarta.
7. IAUI (Ikatan Ahli Urologi Indonesia). (2003). Pedoman penatalaksanaan BPH di Indonesia.
Style sheet: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. (Diunduh pada 17 Februari 2015).
8. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009. Komnas
Lansia: Jakarta
9. Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2009). Lampu kuning ledakan kaum renta.
Style sheet: http://www.komnaslansia.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid =26.
(Diunduh 16 Februari 2015)
10. Mansjoer, A., dkk, (2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius,
Jakarta.
11. Nies, M.A. & McEwen, M. (2007). Community / publuc helath nursing: Promoting the health
of populations. (4th edition). St Lois: Saunders Elsevier
12. Parsons, J.K. (2010). Benign prostatic hyperplasia and male lower urinary tract symptoms:
Epidemiology and risk factors. Springer Journal, Curr Bladder Dysfunct Rep, 5:212–218.
13. Purnomo, B. B., (2000), Dasar-dasar urologi. CV Info Medika: Jakarta.
14. Putra, R.A. (2012). 2020, Lansia Indonesia lebih banyak hidup di kota. Style sheet:
http://mizan.com/news_det/2020-lansia-indonesia-lebih-banyakhidup-di-kota.html. (Diunduh
16 Februari 2015).
15. Roehrborn, C. G., & McConnell, J. D. (2011). Benign prostatic hyperplasia: etiology,
pathophysiology, epidemiology, and natural history. CampbellWalsh Urology. (10th ed).
Philadelphia: Saunders Elsevier.
16. Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). EGC. (Hal 782–
786): Jakarta
17. Smeltzer S.C., & Bare, B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical
nursing. (10th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
18. Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community and public health nursing. Missouri: Mosby
19. Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi 9.
EGC : Jakarta