Вы находитесь на странице: 1из 21

ACARA II

MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) III

I. TUJUAN
1. Agar mahasiswa dapat menyusun sebuah peta lereng.
2. Agar mahasiswa dapat menyusun sebuah peta penggunaan lahan.
3. Agar mahasiswa dapat menyusun sebuah peta tanah.
4. Agar mahasiswa dapat menyusun peta satuan lahan.
5. Agar mahasiswa dapat menghitung volume curah hujan (Vh).
6. Agar mahasiswa dapat menghitung besar aliran (Q) / run off.
7. Agar mahasiswa dapat menghitung volume aliran permukaan (Vp).
8. Agar mahasiswa mampu menentukan kualitas penutupan lahan suatu
Daerah Aliran Sungai (R).

II. ALAT DAN BAHAN


1. Peta Rupabumi Indonesia Lembar 1507-444 Bungkal skala 1 : 25.000
2. Kertas kalkir
3. Block millimeter
4. Penggaris
5. Benang
6. Kalkulator
7. Alat tulis menulis

III. CARA KERJA


1. Menyusun sebuah peta lereng dari Daerah Aliran Sungai (DAS).
2. Menyusun sebuah peta penggunaan lahan dari Daerah Aliran Sungai
(DAS).
3. Menyusun sebuah peta tanah dari Daerah Aliran Sungai (DAS).
4. Menyusun sebuah peta satuan lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan
cara mengoverlay ketiga peta tersebut diatas (peta lereng, peta penggunaan
lahan, dan peta tanah).
5. Menghitung volume curah hujan (Vh), besar aliran permukaan/run off (Q),
menentukan besar volume aliran permukaan (Vp) serta menentukan
kualitas penutupan lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan
menggunakan unit analisis satuan lahan.

IV. DASAR TEORI


Air merupakan sumberdaya alam dan akan mengalami suatu siklus
hidrologi. Menurut Asdak (1995: 7) menyatakan bahwa siklus hidrologi adalah
perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan
kembali lagi ke laut yang tidak pernah habis, air tersebut akan tertahan sementara
di sungai, danau, dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia, hewan,
dan tumbuhan.
Air menguap dari permukaan bumi laut akibat energi panas matahari. Uap
air tersebut dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan,
uap tersebut mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air yang akan
jatuh kembali sebagai presipitasi berupa hujan atau salju. Presipitasi akan jatuh di
laut, darat, dan sebagaian langsung menguap kembali sebelum mencapai
permukaan bumi.
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk ke
dalam tanah (infiltration), sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah
akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface
detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan ke tempat yang lebih
rendah (runoff) untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di
dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban
tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan
yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak lateral untuk selanjutnya pada
tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan
akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke dalam
tanah tersebut akan vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air
tanah (groundwater).
Secara umum, air infiltrasi akan mengalir ke sungai atau danau, namun ada
sebagian air infiltrasi yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil)
untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah
(evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration). Secara
sederhana siklus hidrologi dapat ditunjukan seperti pada gambar berikut :

Gambar 1. Siklus Hidrologi

Limpasan terdiri dari air yang berasal dari tiga sumber yaitu aliran
permukaan, aliran antara, dan aliran air tanah. Aliran permukaan (surface flow)
merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah
menuju ke sungai, danau, dan lautan (Asdak, 1995). Aliran permukaan terjadi
apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi air tanah, dimana dalam hal
ini tanah telah jenuh air. Aliran antara (interflow) adalah aliran dalam arah lateral
yang terjadi di permukaan tanah. Aliran antara terdiri dari gerakan air dan lengas
tanah secara lateral menuju elevasi yang lebih rendah, yang akhirnya masuk ke
sungai. Proses aliran ini lebih lambat dari aliran permukaan, dengan tingkat
kelambatan dalam beberapa jam sampai hari. Sedangkan aliran air tanah adalah
aliran yang terjadi di bawah permukaan air tanah ke elevasi yang lebih rendah
yang akhirnya menuju sungai. Air hujan yang terinfiltrasi melalui permukaan
tanah sebagian menjadi aliran antara dan sebagian yang lain mengalir ke bawah
(perkolasi) sehingga mencapai muka air tanah. Proses aliran air tanah ini lebih
lambat dari aliran antara, dengan tingkat kelambatan dalam mingguan sampai
tahunan.
Semua tipe aliran tersebut memberikan sumbangan pada aliran sungai.
Aliran permukan mulai terjadi segera setelah hujan, aliran antara agak lambat dan
aliran air tanah yang paling lambat sampai ke sungai. Dalam analisis hidrologi,
aliran permukaan dan aliran antara dapat disebut sebagi aliran langsung (direct
flow), sedangkan aliran air tanah disebut sebagai aliran tidak langsung. Apabila
terjadi hujan pada suatu daerah, aliran yang terjadi di sungai merupakan
sumbangan dari aliran langsung, sedangkan sumbangan dari air tanah merupakan
tanggapan yang tertunda. Meskipun tidak terjadi hujan, beberapa sungai masih
mengalirkan air. Aliran tersebut berasal dari sumbangan air tanah secara kontinyu.
Aliran air tanah yang mengisi sungai disebut sebagai aliran dasar (base flow).
Aliran permukaan dapat terkonsentrasi menuju sungai dalam waktu
singkat, sehingga aliran permukaan merupakan penyebab utama terjadinya banjir.
Jumlah aliran permukaan sangat bergantung pada intensitas hujan, kemiringan
lereng, jenis tanah, dan penggunaan lahan.
Intensitas hujan akan mempengaruhi debit dan volume aliran permukaan.
Jika intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, maka akan terjadi limpasan
permukaan. Pengaruh faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan penggunaan
lahan terhadap aliran permukaan ditunjukkan dalam koefisien air larian (C).
Koefisien air larian adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara
besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Nilai C berkisar antara 0
sampai 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi
air intersepsi dan terutama air infiltrasi, sebaliknya, untuk nilai C=1 menunjukkan
bahwa semua air hujan mengalir sebagai air larian. Angka C dipakai untuk
menghitung besarnya air larian (Q) dan mengidentifikasi kawasan resapan air
suatu daerah tangkapan. Angka koefisien air larian dapat dilihat pada Tabel 2
berikut.
Tabel 2. Nilai Koefisien Air Larian (C) untuk Metode Rasional Berdasarkan
Lereng, Penggunaan lahan, dan Tekstur Tanah
No. Penggunaan lahan Nilai C
0-5% 5-10% 10-30%
1. Urban areas
30% 0,40 0,50 -
50% 0,55 0,65 -
70% 0,65 0,80 -
2. Cultivated areas (daerah
olahan)
Sandy Loam 0,30 0,40 0,52
Clay and Silt Loam 0,50 0,60 0,72
Tight Clay 0,60 0,70 0,82
3. Pastures (padang rumput)
Sandy Loam 0,10 0,16 0,22
Clay and Silt Loam 0,30 0,36 0,42
Tight Clay 0,40 0,55 0,60
4. Forested areas (daerah
hutan)
Sandy Loam 0,10 0,25 0,30
Clay and Silt Loam 0,30 0,35 0,50
Tight Clay 0,40 0,50 0,60
Sumber: Kumar (1979:109)

Menurut Asdak (1995: 212) mengemukakan bahwa infiltrasi adalah


perjalanan air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke
arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah keadaan jenuh
pada lapisan tanah bagian atas terlampaui, sebagian dari air tersebut mengalir ke
tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai
proses perkolasi. Air kapiler selalu bergerak dari daerah basah menuju daerah
yang lebih kering, dan akan berkurang dengan bertambahnya kelembaban tanah.
Gaya kapiler bekerja lebih kuat pada tanah dengan butiran halus seperti liat
daripada tanah berbutir kasar seperti pasir.
Menurut Steel (1984) dalam Suhardianto dkk (2002: 9-10) ada 3 faktor
yang mempengaruhi besarnya infiltrasi yaitu:
a. Karakteristik curah hujan
Curah hujan yang kecil kemungkinan diserap seluruhnya oleh tanah dan tidak
menghasilkan limpasan. Curah hujan yang besar menyebabkan pemadatan
permukaan tanah diakibatkan oleh hantaman butir-butir hujan. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang tidak diolah dan tidak ditanami atau
pada tanah-tanah yang diolah tetapi belum ditanami. Hantaman butir-butir
hujan segera menghilangkan porositas yang terbentuk karena pengolahan
tanah. Curah hujan yang semakin besar akan meningkatkan kelembaban tanah
dan menurunkan infiltrasi.
b. Karakteristik tanah
Semakin kecil ukuran pori pada permukaan tanah, semakin kecil pula
infiltrasinya. Partikel tanah berukuran kecil seperi liat memberikan ruang pori
yang kecil, sementara pasir dan kerikil adalah sebaliknya. Permukaan tanah
yang mengandung koloid liat apabila dibasahi akan menurunkan infiltrasi.
c. Penutupan tanah
Penutupan tanah akan melindungi permukaan tanah terhadap pemadatan oleh
hantaman butir-butir hujan. Kesempatan infiltrasi akan meningkat jika
penutupan permukaan tanah semakin rapat, karena vegetasi dapat mengurangi
air hujan sampai ke permukaan tanah dan menghambat aliran air di permukaan
tanah.
Dalam menentukan infiltrasi suatu permukaan tanah yang dihitung adalah
lajunya. Laju infiltrasi adalah banyaknya air yang masuk melalui tanah per satuan
waktu. Laju maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas
infiltrasi. Kapasitas infitrasi sebagai laju infiltrasi maksimum yang dimiliki suatu
tanah dalam meresapkan air hujan yang jatuh di permukaannya. Jadi, jika curah
hujan sama atau lebih besar daripada infiltrasi maka laju infiltrasi sama dengan
kapasitas infiltrasi. Laju infiltrasi yang tinggi tidak hanya meningkatkan jumlah
air yang tersimpan dalam tanah, tetapi juga mengurangi besarnya banjir yang
diakibatkan oleh limpasan (runoff).
Secara kuantitatif, besarnya infiltrasi dapat diukur dengan melakukan
pengujian secara langsung di lapangan, yaitu menggunakan ring infiltrometer
dalam jangka waktu tertentu sehingga lapisan tanah telah mencapai tingkat
kejenuhan maksimal. Secara kualitatif besarnya laju infiltrasi dapat diperkirakan
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti bentuklahan, kemiringan,
penggunaan lahan, tanah, tumbuh-tumbuhan, serta ada tidaknya genangan. Terkait
dengan faktor tanah terhadap infiltrasi, tanah berpasir mempunyai nilai infiltrasi
lebih tinggi dibandingkan tanah liat. Jenis tanah terbagi dalam empat kelompok,
yaitu:
a. Kelompok A, terdiri atas tanah dengan potensi limpasan rendah, mempunyai
laju infiltrasi tinggi, terutama untuk tanah pasir (deep sand) dengan silty dan
clay sangat sedikit, juga kerikil (gravel) yang sangat lulus air.
b. Kelompok B, terdiri dari tanah dengan potensi limpasan agak rendah, laju
infiltrasi sedang, tanah berbutir sedang (sandy soils) dengan laju meloloskan
air sedang.
c. Kelompok C, terdiri dari tanah dengan limpasan agak tinggi, laju infiltrasi
lambat jika tanah tersebut sepenuhnya masih basah, tanahnya berbutir sedang
sampai halus (clay dan colloids) dengan laju meloloskan air lambat.
d. Kelompok D, terdiri dari tanah dengan potensi limpasan tinggi, mempunyai
laju infiltrasi sangat lambat, terutama tanah liat (clay) dengan daya kembang
(swelling) tinggi, tanah dengan muka air tanah permanen tinggi, tanah dengan
lapis lempung di dekat permukaan dan tanah yang dilapisi dengan bahan
kedap air. Tanah ini mempunyai laju meloloskan air sangat lambat.
Tabel 4. Klasifikasi Tanah secara Hidrologi Berdasarkan Tekstur Tanah
No. Tekstur Tanah Laju Infiltrasi Pengelompok
Minimum (fc) an Tanah
(mm/jam) Secara
Hidrologi
1. Pasir (Sand) 210 A
2. Pasir Berlempung (Loamy Sand) 61 A
3. Lempung Berpasir (Sandy Loam) 26 B
4. Lempung (Loam) 13 B
5. Lempung Berdebu (Silty Loam) 6,9 C
6. Lempung Liat Berpasir (Sandy Clay 4,3 C
Loam)
7. Lempung Liat Berdebu (Silty Clay 2,3 D
Loam)
8. Lempung Berliat (Clay Loam) 1,5 D
9. Liat Berpasir (Sandy Clay) 1,3 D
10. Liat Berdebu (Silty Clay) 1,0 D
11. Liat (Clay) 0,5 D
Sumber: Triatmodjo (2009: 156)
Adapun klasifikasi laju infiltrasi menurut U.S Soil Conservation disajikan
pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Klasifikasi Laju Infiltrasi
No. Kelas Laju Infiltrasi (mm/jam)
1. Sangat Cepat > 254
2. Cepat 127 – 254
3. Agak Cepat 63 – 127
4. Sedang 20 – 63
5. Agak Lambat 5 – 20
6. Lambat 1–5
7. Sangat Lambat <1

Satuan lahan merupakan satuan bentangalam yang digambarkan serta di


petakan atas dasar sifat fisik atau karakteristik lahan tertentu. Satuan lahan dapat
digunakan sebagai satuan analisis. Satuan lahan diperoleh dengan
menumpangsusunkan (overlay) peta penggunaan lahan, peta tanah, dan peta
lereng. Setiap satuan lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan
karakteristik lingkungan fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
Data-data tersebut meliputi tekstur tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan,
serta luas daerah pada setiap satuan lahan. Contoh penulisan satuan lahan dalam
penelitian ini sebagai berikut.

Satuan Lahan

Li-Pmk-III

Kelas Lereng
Penggunaan Lahan
Jenis tanah
Vegetasi penutup lahan memegang peranan penting dalam proses
intersepsi hujan yang jatuh dan transpirasi air yang terabsorpsi oleh akar. Lahan
dengan penutupan yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan,
sehingga memperkecil terjadinya erosi percik ('splash erosion'), memperkecil
koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan,
khususnya pada lahan dengan solum tebal ('sponge effect'). Dalam menentukan
baik atau buruknya suatu penutupan lahan suatu daerah ialah dengan
membandingkan antara Volume Curah Hujan (Vh) dengan Volume Aliran
Permukaan/run off (Vp) atau dengan rumus berikut ini,
𝐕𝐡
𝐑=
𝐕𝐩
Keterangan :
Vh = Volume Curah Hujan
Vp = Volume Aliran Permukaan (run off)

Hasil perbandingan tersebut dapat menyatakan keadaan sebagai berikut :


- R > 0,5 menunjukkan bahwa penutupan lahan baik.
- R < 0,5 menunjukkan bahwa penutupan lahan jelek.
Dalam menentukan volume curah hujan (Vh) dihitung dengan
menggunakan rumus seperti berikut,
𝐕𝐡 = 𝐇 × 𝐋
Keterangan :
Vh = Volume curah hujan
H = Tebal rata – rata curah hujan dalam setahun
L = Luas wilayah satuan lahan

Sedangkan, rumus untuk menentukan besar aliran permukaan/run off (Q)


ialah sebagai berikut :
𝐐=𝐊×𝐏
Keterangan :
Q = Besar Aliran Permukaan
K = Koefisien aliran permukaan/run off
P = Curah hujan rata – rata tahunan

Untuk mencari volume aliran permukaan (Vp) menggunakan rumus


berikut ini,
𝐕𝐩 = 𝐐 × 𝐋
Keterangan :
Vp = Volume Aliran Permukaan (m3)
Q = Besar aliran permukaan
L = Luas wilayah (m2)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Menghitung tingkat kelas kemiringan lereng DAS Pelem dan
melakukan pemetaan
Diketahui :
 Ci = 12,5 m (pd peta rbi skala 1 : 25.000 )
 Penyebut skala = 25.000 cm = 250 m
 Diagonal = √𝑠𝑖𝑠𝑖 2 + 𝑠𝑖𝑠𝑖 2
 n = jumlah kontur terpotong
( 𝑛 − 1 )𝑥 𝐶𝑖
𝑅𝑢𝑚𝑢𝑠 ∶ 𝑡𝑔 ∝ =
𝑑 𝑥 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑠𝑘𝑎𝑙𝑎

Maka :
1. n=1
(1−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
0
tg =
353,5

tg = 0
= 0 
2. n=2
(2−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
12,5
tg =
353,5

tg = 0,0354
= 2,004
3. n=3
(3−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
25
tg =
353,5

tg = 0,0709
= 4,055
4. n=4
(4−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
37,5
tg =
353,5

tg = 0,1063
= 6,07
5. n=5
(5−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
50
tg =
353,5

tg = 0,1418
= 8,07
6. n=6
(6−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
62,5
tg =
353,5

tg = 0,1773
= 10,05
7. n=7
(7−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
75
tg =
353,5

tg = 0,2127
= 12,01
8. n=8
(8−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
87,5
tg =
353,5

tg = 0,2482
= 13,94
9. n=9
(9−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
100
tg =
353,5

tg = 0,2836
= 15,83

10. n=10
(10−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
112,5
tg =
353,5

tg = 0,3191
= 17,7
11. n=11
(11−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
125
tg =
353,5

tg = 0,3546
= 19,52
12. n=12
(12−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
137,5
tg =
353,5

tg = 0,390
= 21,3
13. n=13
(13−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
150
tg =
353,5

tg = 0,425
= 23,05
14. n=14
(14−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
162,5
tg =
353,5

tg = 0,4609
= 24,74

15. n=15
(15−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
175
tg =
353,5

tg = 0,4964
= 26,40
16. n=16
(16−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
187,5
tg =
353,5

tg = 0,53
= 27,94
17. n=17
(17−1)x 12,5
tg =
√2 x 250
200
tg =
353,5

tg = 0,56
= 29,56
Klasifikasi kelas lereng menurut van zuidam
Kelas Lereng Besar Sudut Klasifikasi
I 0o - 2o Datar
II 2o - 4o Landai
III 4o - 8o Miring
IV 8 o - 16 o Agak Curam
V 16 o - 35 o Curam
VI 35 o - 55 o Sangat Curam
VII > 55 o Terjal
Sehingga
No. n kemiringan Kelas Lereng Keterangan
1. 1 0o I Datar
2. 2 2,004  II Landai
3. 3 4,055 II Landai
4. 4 6,07 III Miring
5. 5 8,07  III Miring
6. 6 10,05  IV Agak Curam
7. 7 12,01 IV Agak Curam
8. 8 13,94  IV Agak Curam
9. 9 15,83  IV Agak Curam
10. 10 17,7  V Curam
11. 11 19,52 V Curam
12. 12 21,3  V Curam
13. 13 23,05  V Curam
14. 14 24,74  V Curam
15. 15 26,40  V Curam
16. 16 27,94  V Curam
17. 17 29,56  V Curam
2. Menyusun sebuah peta penggunaan lahan dari Daerah Aliran Sungai
(DAS)
( Peta terlampir )
3. Menyusun sebuah peta tanah dari Daerah Aliran Sungai (DAS)
( Peta terlampir )

4. Menyusun sebuah peta satuan lahan Daerah Aliran Sungai (DAS)


dengan cara meng-overlay ketiga peta tersebut diatas (peta lereng, peta
penggunaan lahan, dan peta tanah)
( Peta terlampir )

5. Menghitung volume curah hujan (Vh)


Diketahui : H = 1316mm/th = 1,316m/th

Rumus : 𝑉ℎ = 𝐻 × 𝐿

Volume curah hujan dihitung setiap satuan lahan


6. Menghitung besar aliran / Runoff (Q)
7. Menghitung besar volume aliran permukaan (Vp)
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum di atas dapat dilakukan pembahasan sebagai
berikut:
Dalam praktikum geologi dan geomorfologi acara III ini, DAS yang
digunakan adalah DAS Pelem. DAS Pelem dapat dilihat di peta RBI Lembar
1507-444 Bungkal tahun 2001. Peta RBI Lembar 1507-444 Bungkal dapat
dijadikan sebagai basemap dalam pembuatan peta DAS Pelem. Secara
administratif, DAS Pelem terletak di Desa Koripan, Desa Pelem, Desa Munggu,
Desa Cepoko, dan Desa Ngrayun yang terletak di Kecamatan Bungkal Kabupaten
Ponorogo.
Pada langkah awal yang dapat dihitung yaitu tingkat kelas kemiringan
lereng DAS Palem dan melakukan pemetaan. Kelas klasifikasi lereng yang
digunakan adalah Klasifikasi Kelas Lereng Menurut Van Zuidam, yang terdiri
dari kelas I (datar), kelas II (landai), kelas III (miring), kelas IV (agak curam),
kelas V (curam), kelas VI (sangat curam), dan kelas VII (terjal). Dari DAS Palem
yang digunakan, dihasilkan V kelas lereng yaitu kelas I jumlah n = 1, kelas II
jumlah n = 2, kelas III jumlah n = 2, kelas IV jumlah n = 4, dan kelas V jumlah n
= 8. Adapapun untuk visualisasi kemiringan lereng menggunakan gradasi warna,
dimana semakin besar kemiringan lereng, maka warna yang divisualisasikan
semakin gelap. Adapun kelas lereng yang ada di DAS Pelem yaitu : Kelas I = 0 –
20(datar) , Kelas II =2 – 40 (landai) , Kelas III = 4 – 80 (miring), Kelas IV = 8-
160(agak curam) , Kelas V = 16-350 (curam).
Dengan menyusun peta penggunaan lahan dari DAS Palem. Dapat
diketahui bahwa di DAS Palem penggunaan lahannya yaitu untuk pemukiman,
sawah, hutan, semak belukar, dan tegalan.
Setelah di ketahui peta penggunaan lahan, kemudian dapat disusun peta
tanahnya. Tanah yang terdapat di DAS Palem terdiri dari tanah Litosol dan tanah
Latosol. Litosol solum dalam sehingga kecepatan air untuk infiltrasi besar dan
kecepatan runoff kecil. Latosol solum dangkal dan berada di lereng ang terjal,
sehingga koefisien runoff akan lebih besar.
Pada penyusunan peta satuan lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) Palem
dilakukan dengan cara meng-overlay ketiga peta yang telah dibuat, yaitu peta
lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah. Satuan lahan yang dihasilkan
adalah sebanyak 82 satuan lahan.
Pada langkah selanjutnya ada 3 hal yang dihitung yaitu menghitung volume curah
hujan per satuan lahan, menghitung besar aliran (runoff), dan menghitung volume
aliran permukaan. Untuk menghitung volume curah hujan per satuan lahan rumus
yang digunakan adalah 𝑉ℎ = 𝐻 × 𝐿. Dimana Vh = Volume curah hujan, H =
Tebal rata – rata curah hujan dalam setahun, dan L = Luas wilayah satuan lahan.
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa volume curah hujan
tertinggi terdapat pada satlah La-Htn-V dengan tebal rata – rata curah hujan 1,316
dengan luas area 3562500 m2
Untuk menghitung besar aliran (runoff) digunakan rumus Q = K x P.
Dimana Q = Besar Aliran Permukaan, K = Koefisien aliran permukaan/run off ,
dan P = Curah hujan rata–rata tahunan. Berdasarkan tabel perhitungan dapat
diketahui bahwa runoff terbesar terletak pada satlah Li-Sw-V dengan runoff
sebesar 0,94752
Serta untuk menghitung volume aliran permukaan digunakan rumus Vp =
Q x L. Dimana Vp = Volume Aliran Permukaan (m3), Q = Besar aliran
permukaan, dan L = Luas wilayah (m2). Berdasarkan tabel perhitungan dapat
diketahui bahwa volume aliran permukaan terbesar terdapat pada satlah La-Htn-V
dengan volume aliran permukaan sebesar 2812950 m3.
Pada DAS Palem juga menentukan baik atau buruknya suatu penutupan
lahan di DAS Palem tersebut. Dalam menentukan baik atau buruknya suatu
penutupan lahan suatu daerah ialah dengan membandingkan antara Volume Curah
Hujan (Vh) dengan Volume Aliran Permukaan/run off (Vp) atau dengan rumus
berikut ini,
Vh
R=
Vp
Keterangan :
Vh = Volume Curah Hujan
Vp = Volume Aliran Permukaan (run off)
Hasil perbandingan tersebut dapat menyatakan keadaan sebagai berikut :
- R > 0,5 menunjukkan bahwa penutupan lahan baik.
- R < 0,5 menunjukkan bahwa penutupan lahan jelek.
Dan hasil penutupan lahan di DAS Palem menunjukkan bahwa seluruh penutupan
lahan di DAS Palem termasuk baik.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kelas lereng yang ada di DAS Pelem yaitu : Kelas I = 0 – 20(datar) ,
Kelas II =2 – 40 (landai) , Kelas III = 4 – 80 (miring), Kelas IV = 8-
160(agak curam) , Kelas V = 16-350 (curam).
2. DAS Palem penggunaan lahannya yaitu untuk pemukiman, sawah, hutan,
semak belukar, dan tegalan.
3. Tanah yang terdapat di DAS Palem terdiri dari tanah Litosol dan tanah
Latosol.
4. Dari hasil overlay peta kemiringan lereng, peta tanah, dan eta penggunaan
lahan di DAS Pelem dapat diketahui bahwa satuan lahan yang dihasilkan
adalah sebanyak 82 satuan lahan.
5. Volume curah hujan tertinggi terdapat pada satlah La-Htn-V dengan tebal
rata – rata curah hujan 1,316 dengan luas area 3562500 m2
6. Runoff terbesar terletak pada satlah Li-Sw-V dengan runoff sebesar
0,94752
7. Volume aliran permukaan terbesar terdapat pada satlah La-Htn-V dengan
volume aliran permukaan sebesar 2812950 m3
8. Seluruh penutupan lahan di DAS Palem termasuk baik. Dengan nilai R
>0,5

VII.DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C.2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Bakosurtanal.2001.Peta Rupabumi Indonesia Lembar 1507-444 Bungkal skala 1 :
25.000. Cibinong : Bakosurtanal
Leo.2009. Hidrologi Dasar 1. http://leosejati.blogspot.com/2009/01/hidrologi-
dasar-1.html, dakses tanggal 21 Oktober 2012 pukul 20.56 WIB.
Lembaga Penelitian Tanah. 1966. Peta Tanah Tinjau Propinsi jawa Timur Skala
1 : 250.000.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi Offset

Вам также может понравиться