Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB I

PENDAHULUAN

Rasa nyeri atau nosisepsi merupakan masalah unik, di satu pihak bersifat
melindungi badan kita dan di lain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri
menurut The International Association for the Study of Pain ialah sebagai berikut,
nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan
sebagai sesuatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (non
noksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.1
Nyeri selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme
proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel
nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab
nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai
mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami
inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa
mempercepat penyembuhan.Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik,
karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang
pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah
perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu.
Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah
perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah dimulai.2,3
Tujuan dari manajemen nyeri adalah untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin.
Pereda nyeri haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini
dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara umum nyeri adalah suatu keadaan yang tidak nyaman, baik
ringan maupun berat. Menurut International Association for Study of Pain
(IASP) nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya kerusakan actual maupun potensial, atau
menggambarkan terjadinya kerusakan. Nyeri sering dilukiskan sebagai
sesuatu yang berbahaya atau yang tidak berbahaya misalnya sentuhan ringan,
kehangatan, tekanan ringan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di
tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi
yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya
kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan
jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama
juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri
dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain without
nociception).1,2

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri


1. Usia
Menurut Potter dan Perry (1993) usia adalah variable penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan antara kedua kelompok ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak
kesulitan menyikapi nyeri dan beranggapan setiap tindakan medis
mengakibatkan nyeri. Untuk itu dibutuhkan teknik komunikasi yang baik
yang membantu anak untuk mendeskripsikan nyeri yang dialaminya.
Berbeda halnya pada orang dewasa yang dapat mendeskripsikan sendiri
nyeri yang dirasakannya.1,2,3

2
2. Jenis Kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan yang signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri.
Menurut Burn,dkk (1989) yang dikutip dari Perry dan Potter 1993
mempelajari kebutuhan narkotik post operatif pada wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria. 1,2,3
3. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas dapat
meningkatkan nyeri, mungin tidak seluruhnya benar untuk semua
keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten
antara ansietas dan juga nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan
pengurangan stress praoperatif menurunkan nyeri saat pasca
operatif.namun ansietas yang berhubungan dengan nyeri sejak awal, dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara umu, cara yang
paling efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan
pengobatan nyeri dibandingkan ansietas (Smeltzer dan Barre, 2002). 1,2,3
4. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan
nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mendapatkan dukungan,
membantu dan melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau orang terdekat
mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orang tua
merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapai
nyeri menurut Potter dan Perry, 1993. 1,2,3

2.3 Klasifikasi Nyeri1,2,3


a. Menurut Serangannya
1. Nyeri Akut
Nyeri yang terjadi dalam waktu yang cepat, ada penyebab yang
jelas seperti pada jejas atau lesi jaringan lunak, infeksi, atau inflamasi.
Pada umumnya nyeri akut bersifat temporer, berlangsung kurang dari

3
6 bulan (3-6 bulan), dapat berhenti tanpa terapi atau berkurang sejalan
dengan penyembuhan jaringan atau apabila penyebab nyeri telah
hilang atau memberi respon yang baik terhadap penatalaksanaan
sederhana seperti istirahat dan analgetik atau pengobatan kausal lain.
Kegagalan nyeri akut dapat menimbulkan nyeri kronik. 1,2,3,4
 Nyeri somatik luar; nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa
 Nyeri somatik dalam; nyeri tumpul di otot rangka, tulang,
sendi, jaringan ikat
 Nyeri visceral; nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam
2. Nyeri Kronik
Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaandan
lainnya. Nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung selama berbulan-bulan bahkan tahun. Nyeri kronik tidak
berkurang selama minggu atau bulan pertama, dan pada pasien tidak
menimbulkan peningkatan nadi, berkeringat, atau panas. Nyeri ini
biasanya disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena
pengobatan kanker tersebut, atau karena gangguan progresif lain.
Pasien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi
(gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampuan
fisik dan fisiologis. 1,2,3,4

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik


Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai hitungan bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal

- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C


- Ditandai peningkatan BP, nadi, - Fungsi fisiologi bersifat normal
dan respirasi

4
- Kausanya spesifik, dapat - Kausanya mungkin jelas mungkin
diidentifikasi secara biologis tidak
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, - Tidak ada keluhan nyeri, depresi
menangis dan mengerang, cemas dan kelelahan
- Tingkah laku menggosok bagian - Tidak ada aktifitas fisik sebagai
yang nyeri respon terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik : - Respon terhadap analgesik : sering
meredakan nyeri secara efektif kurang meredakan nyeri

b. Menurut derajat nyeri1,2,3


1. Nyeri ringan: nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang: nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat: nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri
sewaktu tidur.
c. Menurut Kualitas1,2,3
1. Nyeri cepat (fast pain)
Nyeri ini singkat dan tempatnya jelas sesuia rangsang yang diberikan.
Misalnya neri tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut
saraf kecil bermielin jenis A delta dengan kecepatan konduksi 12-30
meter/detik
2. Nyeri Lambat (slow pain)
Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsang.
Misalnya rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu, linu. Nyeri ini
dihantar oleh serabut saraf primitive tak bermielin jenis C dengan
kecepatan konduksi 0,52-2 meter/detik.

5
d. Berdasarkan Lokalisasi1,2,3,4
1. Cutaneous/superficial
Nyeri yang mengenai kulit/jaringan subkutan, biasanya bersifat
burning (seperti terbakar). Contoh: terkena ujung pisau atau gunting.
2. Deep somatic/nyeri dalam
Nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh darah, tendon, dan saraf.
Nyeri menyebar dan lebih lama dari cutaneous. Contoh: sprain sendi
3. Visceral/pada organ dalam
Stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium, dan
thorax, biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, atau gangguan
jaringan.
e. Berdasarkan sifat1,5,6
1. Radiating pain; nyeri menyebar ke jaringan di dekatnya. Contoh:
cardiac pain.
2. Referred pain; nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang
diperkirakan berasal dari jaringan penyebab.
3. Intractable pain; nyeri yang susah dihilangkan. Contoh: nyeri kanker
4. Phantom pain; sensasi nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang
hilang. Contoh: bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang
lumpuh akibat cedera medulla spinalis.
f. Berdasarkan Penyebab1,5,6
1. Fisik: karena stimulus fisik misalnya fraktur.
2. Psikogenik: terjadi karena sebab yang kurang jelas atau sulit
diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari.
Contoh: orang yang marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.

2.4 Fisiologi Nyeri


Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara

6
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.Stimulus pada jaringan akan merangsang
nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin,
bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan
mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance &
Serginson, 1997).4,7,8
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul
juga memiliki sensasi yang berbeda.Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen
yaitu: 4,7,8
a. Reseptor A delta: serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C: serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.

7
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang
tumpul dan sulit dilokalisasi.Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral,
reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap
pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi. 4,7,8

2.5 Respon fisiologis terhadap nyeri4,7,8


a. Stimulasi Simpatik(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
1. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
2. Peningkatan heart rate
3. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
4. Peningkatan nilai gula darah
5. Diaphoresis
6. Peningkatan kekuatan otot
7. Dilatasi pupil
8. Penurunan motilitas GI
b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
1. Muka pucat
2. Otot mengeras
3. Penurunan HR dan BP
4. Nafas cepat dan irregular
5. Nausea dan vomitus
6. Kelelahan dan keletihan

Respons tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi endokrin
berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi imunologik, yang
secara umum disebut sebagai respons stres. Respons stres ini sangat merugikan
pasien, karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, juga
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan

8
segala konsekuensinya, serta akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli, yang
pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. 4,7,8

2.6 Nyeri Inflamasi1,2


Proses inflamasi adalah proses unik baik secara biokimia atau seluler yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak
hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk
menyembuhkannya. Tanda-tanda inflamasi adalah: 1,2
1. Rubor (kemerahan jaringan)
2. Kalor ( kehangatan jaringan)
3. Tumor (pembengkakan jaringan)
4. Dolor ( nyeri jaringan)
5. Fungsio laesa ( kehilangan fungsi jaringan)
2.7 Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual,
muntah melalui penigkatan sirkulasi katekolamin akibat stress.1,2

2.8 Mekanisme Nyeri


Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor
nyeri pada ujung saraf yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit, vascular
dan pada beberapa jaringan didalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot
rangka, dan pulpa gigi (nosiseptor). Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari
spinal cord dengan local interneuron dan saraf proyeksi yang membawa informasi
nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Reseptor nyeri
bisa beradaptasi, setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Pada permulaan
terjadinya nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan
metabolisme.4,7,8,9,10
Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas saraf aferen A delta bermielin
halus bergaris tengah 2-5 µm dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik dan C tak
bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan kecepatan hantaran 0.5-2 m/detik.

9
Serabut A delta berperan dalam menghantarkan “nyeri cepat” dan menghasilkan
persepsi nyeri yang jelas, tajam, dan terlokalisir. Sedangkan serabut C menghantarkan
“nyeri lambat” dan menghasilkan persepsi nyeri yang samar-samar, rasa pegal, dan
persaan tidak enak. Reseptor-reseptor ini diaktifkan oleh adanya rangsangan dalam
intensitas tinggi, misalnya berupa rangsangan termal, mekanik, elektrik atau
rangsangan kimiawi. Serat-serat sensorik bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang
akan menginterprestasikan nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi. 4,7,8,9,10
Zat-zat algesik yang akan mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam
laktat, serotonin, bradykinin, histamine, dan prostaglandin. Setelah reseptor-reseptor
nyeri diaktifkan oleh zat algesik tersebut, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui
beberapa saluran saraf. Rangkaian proses menyertai antara kerusakan jaringan
(sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu
proses elektro-fisiologik, yang disebut sebagai nosiseptif (nociception). 4,7,8,9,10
Oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri)
ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf
bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).
Nyeri timbul setelah menjalani proses transduksi, transmisi, modulasi dan
persepsi.1,4,7,8

1. Transduksi
Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membrane
reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf. Proses rangsangan yang
mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri.
Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak,
bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan
substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan),
suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri). 1,4,7,8
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui
nosiseptor saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta
dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis

10
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke
thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus
selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri
melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri. 1,4,7,8
a. Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di
medulla spinalis disebut sebagai neuron afferent primer.
b. Jaringan saraf yang naik dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus disebut neuron penerima kedua.
c. Neuron yang menghubungkan dari thalamus ke korteks serebri
disebut neuron penerima ketiga
3. Modulasi
Adalah proses interaksi antara system analgesic endogen dengan
impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem
analgesic endogen meliputi enkefalin, endorphin, serotonin, dan
noreadrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu
posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang nyeri yang bisa tertutup atau
terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses tertutup atau terbukanya
pintu tersebut diperankan oleh sistem analgesic endogen tersebut. Modulasi
nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer, medulla spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menghambat atau memberi fasilitasi.Melibatkan
aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan
aktifitas di reseptor nyeri. 1,4,7,8
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai
dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi

11
nyeri.Nyeri sangat dipengaruhi oleh factor subjektif, walaupun
mekanismenya belum jelas. 1,4,7,8

2.9 Zat-Zat Penghasil Nyeri1


Pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dapat
menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi nyeri tersebut diantaranya bradikinin,
histamine, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrin prostaglandin,
substansi P dan 5 hidroksi triptamin. Nyeri ini dapat berlangsung berjam-jam
sampai berhari-hari.
Tabel 2.1 Zat yang timbul akibat nyeri1
ZAT SUMBER MENIMBULKAN EFEK PADA AFEREN
NYERI PRIMER
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamine Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitasi
Lekotrin Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitasi
Substansi P Aferen primer ± Sensitasi

2.10 Respon Sistemik Terhadap Nyeri1


Nyeri akut berhubungan dengan respon neuro-endokrin sesuai derajat
nyerinya. Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormone katabolic (katekolamin,
kortisol, glucagon, rennin, aldosteron, angiotensin, hormone antidiuretik) dan
penurunan hormone anabolic (insulin, testosterone). Manifestasi nyeri dapat
berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan O 2 dan produksi CO2
meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran air kemih meningkat (ileus,
retensi urin)

12
2.11 Intensitas Nyeri1
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).1,11
Pengetahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program penghilangan
nyeri pasca bedah. Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara,
misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar (VRS, Verbal Rating Scale), skala
analog visual (VAS, Visual Analog Scale).Secara sederhana nyeri pasca bedah
pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan
biasanya dikategorikan sebagai:
1. Tidak nyeri (none)
2. Nyeri ringan (mild pain)
3. Nyeri sedang (moderate pain)
4. Nyere berat (severe)
5. Sangat nyeri (very severe, intolerable)

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) skala intensitas nyeri dapat di uraikan:
1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

13
3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasidengan baik.
4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis,menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.

14
7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapatmengikuti
perintah tapimasih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapatmendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagiberkomunikasi,
memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau


intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan
nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini
berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga
sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien
untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga
menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh
nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian
numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti
alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,
1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang

15
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS
dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien
dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan
dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila
klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih
akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk
atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter,
2005).3

2.12 Manajemen Nyeri2,3,4,5,6,7,8


Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari:
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non
opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan
obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan


untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

16
The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula
ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi
yang logis untuk mengatasi nyeri.Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri
akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid,
Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan
dextropropoxyphene disertai dengan obat – obat lain untuk meminimalisasi
efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai
kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan Opioid
Kuat, misalnya Morfin. 3

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau


obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam
masing-masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih
meningkatkan efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang
menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap
tipe-tipe nyeri tertentu.

Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.


Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik
opioid dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat

17
disebut adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-
obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada
pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi
diberikan NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila
pada proses modulasi diberikan narkotik.

1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)


Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek
antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang
sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).
OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit
meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin

18
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain
di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.
Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar
tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan
pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan,
pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati,
dan berkurangnya fungsi ginjal. Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum
digunakan diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan
obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.
Obat Analgesik Non-Narkotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal
dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-
narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja
sentral. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini
cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh
pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat
kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak
mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan
Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik). Efek samping obat-obat analgesik perifer:
kerusakan lambung, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit.4
Macam-macam obat Analgesik Non-Narkotik:
a. Ibupropen
Ibupropen merupakan devirat asam propionat yang diperkenalkan banyak
negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak
terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin.
Ibu hamil dan menyusui tidak di anjurkan meminim obat ini. 4

19
Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara
klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan OAINS lainnya3
b. Paracetamol/acetaminophen
Merupakan devirat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol
sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat.
Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama
karena dapat menimbulkan nefropati analgesik.
Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak
menolong. Dalam sediaannya sering dikombinasikan dengan codein yang
berfungsi meningkatkan efektinitasnya tanpa perlu meningkatkan
dosisnya.4
c. Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat
kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna
sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung.4
d. Aspirin
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan,
mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki
waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis
tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin
dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Aspirin
memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin
untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-

20
obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis
dengan Reye’s Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai
analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun. Dosis berkisar dari
minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per oral per
hari. 3
e. Ketorolac
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas
antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik
yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.
Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik
pasien. Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek
terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total
Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral
dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik
alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari.
Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri
atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat
mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat
biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.5

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek,


analgesik dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi
sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator
utama peradangan. 3

Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak
ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit,

21
mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang. Pilihan OAINS harus dibuat
berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan. Jika rasa sakit
tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka
dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama.
Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping
penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua
OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan
pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis
prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping. Kontraindikasi relatif untuk
penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat ulkus peptikum,
perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan
darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan
setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.Apabila rute oral tidak
tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau
topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan
diserap dengan baik.3

2. Analgesik opioid6,7,8
Jika penggunaan analgesik non opioid hasilnya tidak efektif atau buruk
toleransinya, maka digunakan analgesik opioid lemah misalnya : kodein. Ini
merupakan langkah kedua dalam 'tangga analgesik' dari WHO. WHO
mengusulkan tangga tiga tingkat. Pada tingkat pertama: nyeri diobati dengan obat
non opioid dengan atau tanpa adjuvan. Pada tingkat kedua: nyeri yang menetap
atau bahkan meningkat diobati dengan opioid lemah dengan atau tanpa non
opioid dengan atau tanpa ajuvan. Pada tingkat ke tiga: nyeri yang masih tetap
atau semakin meningkat diobati dengan opioid kuat dengan atau tanpa non
opioid, dengan atau tanpa adjuvan.
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan
dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan

22
dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah
suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan opium poppy yang telah
dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek
analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas
digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk
menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan
efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas
sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis
(meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus
modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem
desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi
untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut
diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat
toleransi silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah
komplete. Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.
Efek analgesik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai
akibat kerja opioid pada reseptor µ.3 Reseptor κ dan δ dapat juga ikut berperan
dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Ketiga jenis reseptor
utama itu banyak didapatkan baik pada saraf yang mentranmisi nyeri di medula
spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui
reseptor µ, κ dan δ pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi
penglepasan transmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi

23
nyeri di kornu dorsalis medula spinalis. Dengan demikian opioid memilki efek
analgesik yang kuat melalui pengaruh pada medula spinalis. Selain itu, agonis µ
juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak. 7
Pemberian agonis opioid ke medula spinalis akan menimbulkan analgesia
setempat, sedangkan efek samping sistemik karena pengaruh supraspinal
minimal. Penglepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan
analgesia oleh pemberian opioid. Meskipun agonis opioid terutama bekerja pada
reseptor µ, akan tetapi selanjutnya hal ini menyebabkan terjadinya penglepasan
opioid endogen yang bekerja pada reseptor κ dan δ. Efek analgesik morfin dan
opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain
yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran; bahkan
persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu setelah pemberian morfin dosis terapi.
Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu; pasien
sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderiata lagi.
Berbeda dengan salisilat, morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari alat
dalam maupun yang berasal dari integumen, otot dan sendi.7
Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid
(seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat
diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-
hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural
berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal
ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam
kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari.
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat
berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan

24
tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan: Parasetamol
500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet
perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan
Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat
digunakan.3
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai
dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus
tindakan. Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga
lebih mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik obat di dalam darah.
Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah pembedahan.
Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau besar,maka
analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia pada pasien
yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin
dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat
mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan.
Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan. Faktor-
faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi yang besar
dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular. Ini
mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit ginjal, usia yang
ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi apapun yang mengurangi
aliran darah perifer dapat mengganggu penyerapan obat dan dengan demikian,
mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan
mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan
hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang
menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.
Nama obat Efek analgesic Cara pemberian dan Indikasi
Durasi kerja
Morfin Mengurangi persepsi nyeri di otak Diberikan secara per Diindikasikan untuk
(meningkatkan ambang nyeri), oral, injeksi im, iv, sc, nyeri berat yang tak
mengurangi respon psikologis dan per rektal, bisa dikurangi

25
terhadap nyeri (menimbulkan durasinya rata-rata 4-6 dengan analgesik
euforia), dan menyebabkan jam. non-opioid atau obat
mengantuk/tidur (efek sedatif) walau analgesik opioid lain
ada nyeri. yang lebih lemah
efeknya.
Metadon Mempunyai efek analgesik mirip Diberikan secara per Diindikasikan untuk
morfin, tetapi tidak begitu oral, injeksi IM, dan analgesik pada nyeri
menimbulkan efek sedatif. SC hebat, dan juga
Dieliminasi dari tubuh lebih lambat digunakan untuk
dari morfin (waktu paruhnya 25 jam) mengobati
dan gejala withdrawal-nya tak keterganungan
sehebat morfin, tetapi terjadi dalam heroin.
jangka waktu lebih lama.
Meperidin Menimbulkan efek analgesik, efek Efek analgesiknya Diindikasikan untuk
(petidin) euforia, efek sedatif, efek depresi muncul lebih cepat obat praoperatif pada
nafas dan efek samping lain seperti daripada morfin, tetapi waktu anestesi dan
morfin, kecuali konstipasi. durasi kerjanya lebih untuk analgesik pada
singkat, hanya 2-4 persalinan.
jam.
Fentanil Merupakan opioid sintetik, dengan Diberikan secara
efek analgesik 80x lebih kuat dari injeksi IV, dengan
morfin, tetapi depresi nafas lebih waktu paruh hanya 4
jarang terjadi. jam dan dapat
digunakan sebagai
obat praoperatif saat
anestesi.

Metode menggunakan obat opioid:

1. Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute
yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral
untuk mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat
berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi.

26
Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang
diberikan secara oral dan di samping itu,bioavailabilitas berkurang
setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi rute oral mungkin
tidak cocok dalam banyak kasus.
2. Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis
administrasi obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik
karena tidak melewati metabolisme lintas pertama. Obat yang telah
paling sering digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat
diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam). Rute
supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada
metabolisme jika diberikan melalui mulut.
3. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri
berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan
dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera
nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang penyerapannya
tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan
analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar
setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk
penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.
4. Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara
berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini
efek analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara
sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan
analgesik secara reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa
injeksi intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient
Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat ini diperlukan
penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan pengembangan
algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.
5. Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum
untuk memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan
pemulihan pasca-operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute

27
ini memiliki kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat
yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi
intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode lain.
Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau
dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada
dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien
dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Mekanisme kerja obat untuk nyeri

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang
paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin
(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang
bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus
obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan
tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang

28
tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis
opioid murni.

4. Adjuvan atau koanalgesik


Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan
untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki
sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan
nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri
neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti
efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf.
Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini
menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah
analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain
yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia
pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan
artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya
memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan
efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam
(valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan
nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk
mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau
metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik
apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik

29
simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1,
prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan
oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan
potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien
dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak
terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode
nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas
fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna
walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam
penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi
kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas
atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif
yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter
kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan
bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin
dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah
pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan
stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan
melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung
memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang
penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari
suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah

30
melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan
diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri punggung
bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode
noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan
dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri
yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui
sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas
dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik,
lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air
panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan
artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan
meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera
traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran
darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk
inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan
nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,
terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air
dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi
aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan.
Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan
memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai

31
otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin
menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang
lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup
relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun
sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau
pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan.
Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress
emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling
memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,
membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan
fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian
menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana
memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada
kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan
yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan
untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada
pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk

32
suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan
gelombang otak.

BAB III

KESIMPULAN

Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain
ialah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai
oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual.Nyeri selain menimbulkan
penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang
diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang
untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif,
memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah
sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat

33
penyembuhan.Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat
diketahui.
Penanganan nyeri harus mengetahui patofisiologi dan Pain Pathwaysehingga
penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesik),
pembedahan dan perawatan yang baik atau teknik non-farmakologi (fisioterapi dan
psikoterapi).

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dochlan MR.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-2
BagianAnestesiologidanTerapi Intensif FKUI: Jakarta, 2010. 74-83

2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2006.

3. Sugiarto, Adhrie, dkk. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.


Departemen Anstesiologi dan Intensive care Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.

4. Mengku, G dkk. Ilmu Anestesia dan Reanimasi Indeks: Jakarta. 2009. 217-32.

5. Boulton, B Thomas &Blogg, E Colin. Anestesiologi. Edisi ke-10. EGC: Jakarta,


1994. 13-20

34
6. Moeliono, AM. Physical Modalities in the Management of Pain. SimposiumNyeri
PIT IDI. Bandung, 2008.

7. Omoigui, Sota. Obat-Obatan Anestesia. Edisi ke-2. EGC: Jakarta, 1994.

8. ElvirLazo, LO. The Role of Multimodal in Pain Management after Ambulatory


Surgery. Current Opinion in Anesthesiology.2010

9. Lelo, Aznan dkk. Peran Sediaan Cox-2 inhibitor Dalam Modulasi Nyeri. FK
bagian Farmakologi dan Terapeutik. USU; 2004.

10. Sherwood, Luralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC; 2001.

11. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2008.

12. J. Corwin, Elizabeth. Buku saku Patofisiologi. EGC: Jakarta. 2001

35

Вам также может понравиться