Вы находитесь на странице: 1из 27

OLEH

KADEK DIAN MULYA DEWI NIM.1513071036


I DW. AYU MADE RATNA DEWI NIM. 1613071045
PUTU RASIKYA KUNTY MANIK NIM. 1613071044

JURUSAN PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2017 / 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setiap orang pasti memiliki kehidupan yang diimpikan masing-masing, dengan
minat dan hasrat yang berbeda-beda. Namun secara umum manusia pasti
mempunyai tujuan akhir yang sama dalam kehidupan ini. Didalam agama Hindu
tujuan akhir dari umatnya telah dirumuskan sejak Veda mulai diwahyukan. Tujuan
tersebut adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa
agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan
hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Secara lebih jelasnya
tujuan hidup dari agama Hindu tertuang dalam ajaran Catur Purusa Arta.
Didalam agama Hindu dikenal adanya berbagai jalan untuk mencapai tujuan
hidut tersebut atau jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Jalan atau cara trsebut bebas dipilih oleh umat-Nya sesuai dengan sifat dan
pembawaannya. Di dalam agama Hindu tidak ada suatu keharusan untuk
menempuh jalan tertentu, karena semua jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa
diturunkan oleh-Nya untuk memudahkan umat-Nya menuju kepada-Nya. Jalan
atau cara yang dimaksud untuk mencapai tujuanhidup umat Hindu atau Catur
Purusartha tersebut adalah Catur Marga (Yoga). Berdasarkan latar belakang
tersebut, dalam pembuatan makalah ini penulis akan membahas tentang Catur
Purusartha dan Catur Marga (Yoga) secara lebih terperinci.

1.1 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu
1. Apa yang dimaksud dengan Catur Purusa Artha, Catur Marga (Yoga), dan
Dharma Siddhyiyartha?.
2. Apa saja bagian-bagian dari Catur Purusa Artha, Catur Marga (Yoga), dan
Dharma Siddhyiyartha?.
3. Bagaimana hubungan antara Catur Purusa Artha dengan Catur Asrama?

2
4. Bagaimana bentuk pengimplementasian Catur Marga (Yoga) dalam kehidupan
sehari?.
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini, yaitu
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan Catur Purusa
Artha, Catur Marga (Yoga), dan Dharma Siddhyiyartha.
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui apa saja bagian-bagian dari Catur Purusa
Artha, Catur Marga (Yoga), dan Dharma Siddhyiyartha.
3. Agar mahasiswa mampu mengetahui bagaimana hubungan antara Catur Purusa
Artha dengan Catur Asrama.
4. Agar mahasiswa mampu mengetahui bagaimana bentuk pengimplementasian
Catur Marga (Yoga) dalam kehidupan sehari.

1.3 MANFAAT
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu
Selain memiliki tujuan, penulisan makalah ini juga memiliki beberapa manfaat
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penulis mengenai Catur Marga (Yoga) dalam ajaran Agama Hindu.
2. Makalah ini juga dapat digunakan sebagai bahan diskusi dan referensi dalam
pembuatan tugas mata kuliah Agama Hindu khususnya mengenai Catur Marga
(Yoga).

3
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Catur Purusartha


A. Pengertian Catur Purusartha
Catur Purusartha terdiri dari empat kata yaitu kata Catur yang berarti
empat, kata Purusa yang berarti hidup dan kata Artha yang berarti tujuan.
Sehingga Catur Purusaartha dapat diartikan sebagai empat tujuan hidup
yang utama. Catur Purusaarthaa dapat juga diartikan empat kekuatan atau
dasar kehidupan menuju kebahagian. Di dalam Kitab Brahma Purana, dapat
terdapat sebuah kutipan mengenai Catur Purusa Artha, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Dharma Artha Kama Moksanam Sariram Sadhanam”
Artinya: Tubuh adalah alat untuk mendapat Dharma, Artha, Kama, dan
Moksa.
Kutipan diatas menjelaskan bahwa manusia harus menyadari apa yang
menjadi tujuan hidupnya, apa yang harus dicarinya dengan badan yang
dimilikinya. Semuanya tak lain adalah Catur Purusa Artha itu sendiri.

B. Bagian – Bagian Catur Purusartha


Catur Purusarha memiliki empat bagian tahapan yang harus dijalani,
yaitu Dharma, Arta, Kama, dan Moksa. Urut dari keempat bagian tersebut
merupakan tahapan-tahapan yang tidak boleh dibulak-balik karena
mengandung keyakinan bahwa tiada arta yang diperoleh tanpa melalui
dharma; tiada kama diperoleh tanpa melalui arta, dan tiada moksa yang bisa
dicapai tanpa melalui dharma, arta, dan kama.
1. Dharma
Menurut terminologinya kata Dharma yang umum dipergunakan
sebagai istilah kerohanian di India, maupun yang biasa dikenal sebagai
ajaran agama Hindu di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta urat kata

5
“dhar” yang artinya menjungjung, memangku, mengatur dan menuntun
. urat kata “dhr” berkembang menjadi kata Dharma. Jadi, Dharma dapat
diartikan sebagai ajaran-ajaran suci yang mengatur, memelihara atau
menuntun umat manusia untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan
ketentraman bhatin. Dharma juga berarti agama dan kewajiban,
kemuliaan, kebajikan serta kebenaran. Dharma merupakan pegangan
hidup umat Hindu yang dilaksanakan dalam aspek kehidupan sehari-hari
baik dalam ucapan, pikiran dan dalam berprilaku sehari-hari dirumah
maupun dalam masyarakat dan lingkungan..
Menurut Santi Parva (109.11) bahwa semua yang ada di dunia ini
telah memiliki dharma dan diatur oleh dharma. Sebagai contoh, manusia
yang telah memelihara dan mengatur hidupnya untuk mencapai moksa
adalah orang-orang yang telah melaksanakan dharma. Artinya, bahwa
kewajiban-kewajiban daripada sorang manusia adalah melaksanakan
Dharma demi mencapai moksa. Ada sebuah kutipan yang
berbunyi “Dharma su Satyam Utamam” yang artinya Lakukanlah segala
sesuatu berdasarkan Dharma. Jangan pernah menyimpang dari Dharma.
Sebab, dengan melakukan Dharma terlebih dahulu, baik Kama atau Artha
akan mengikuti. Sesungguhnya, Kebenaran tertinggi adalah Brahman itu
sendiri. Dharma itu seperti layaknya sebuah perahu. Perahu mengantarkan
nelayan menyeberangi lautan, sedangkan Dharma adalah jalan untuk
mencapai Tuhan (Brahman). Untuk mengembangkan ajaran Dharma ini,
digunakan sebuah pedoman yang disebut dengan catur dharma yang
terdiri dari :
1) Dharma Kriya

Dharma Kriya berarti manusia harus berbuat, berusaha dan bekerja


untuk kebahagian keluarga pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya , dengan menempuh cara perikemanusian sesuai dengan
ajaran-ajaran agama Hindu.

6
2) Dharma Santosa
Berarti berusaha untuk mencapai kedamaian lahir batin dalam diri
sendiri, dilanjutkan kedalam lingkungan keluarga, masyarakat,
bangsa , dan negara.

3) Dharam Jati
Berarti kewajiban yang harus dilakukan untuk menjamin
kesejahteraan dan ketenangan keluarga serta selalu mengutamakan
kepentingan umum disamping kepentingan diri sendiri atau golongan.

4) Dharma Putus
Berarti melakukan kewajiban dengan penuh keikhlasan , berkorban
serta bertanggung jawab demi terwujudnya keadilan sosial bagi umat
manusia dan selalu mengutamakan penanaman budhi baik, untuk
menjauhkan diri dari noda dan dosa yang menyebabkan moral
menjadi rusak.

Dalam kitab suci disebutkan manfaat Dharma :


a. alat untuk mencapai surga dan moksa
b. menghilangkan segala macam penderitaan
c. sumber datangnya kebaikan bagi yang melaksanakannya
d. melebur dosa-dosa
e. harta kekayaan yang tidak bisa dicuri dan dirampas
f. landasan untuk mendapatkan Artha dan Kama.

2. Artha
Artha artinya harta benda (kekayaan). Arta yang didapat dan digunakan
sesuai dengan Dharma akan menimbulkan kebahagiaan. Artha juga dapat
diartikan sebagai sesuatu yang bernilai materiil yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara phisik. Arta dapat

7
diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Arta yang diperoleh
secara langsung misalnya seseorang yang swadharmanya sebagai petani
pemelihara lembu maka ia akan menikmati susu lembu itu. Arta yang
diperoleh secara tidak langsung misalnya seorang Ayah yang tekun
mendidik anaknya sejak kecil dengan baik sehingga dikemudian hari
anaknya menjadi tokoh yang kaya dan terhormat, maka anaknya dapat
merawat khidupan ayahnya dimasa tua dengan baik dan
berkecukupan. Yang termasuk artha ada 3 bagian, yaitu :
1) Bhoga, segala keperluan akan pangan/minum setiap hari yang cukup.
2) Upabhoga, mencukupi keperluan tentang sandang/pakaian dan
perhiasan.
3) Paribhoga, terpenuhinya perumahan, pendidikan dan hiburan.

Unsur-unsur Artha yang tersebut di atas, dapatlah diperinci, sebagai


berikut

1) Wareg, berarti perut kenyang, cukup makan/minum yang berguna


bagi tubuh.
2) Wastra, berarti terpenuhinya pakaian/perhiasan.
3) Wisma, berarti terpenuhinya rumah yang sehat (asta kosala).
4) Waras, berarti terpenuhinya pendidikan, sehingga menjadi pandai,
terampil dan bijaksana.
5) Waskita, berarti cukup hiburan dan pikiran yang tenang.

Fungsi Artha

Demikianlah pentingnya Aarta dalam kehidupan ini, namun harus


diperoleh berdasrkan Dharma, sedangkan Arta yang diperoleh
berdasarkan Adharma dihindari karena mengakibatkan dosa. Agama
Hindu menetapkan beberapa larangan tentang cara memperoleh Artha

8
dengan kejahatan seperti memaksa, merampas, mencuri, menipu, dan
sebagainya. Di samping itu agama Hindu menentukan dan mengatur cara
penggunaan Arta. Kitab Sarasamuscaya sloka 261 dan 262 menetapkan
bahwa Arta yang diperoleh dan telah menjadi milik, penggunaannya harus
dibagi menjadi 3 bagian :

1) “Sadhana ri kasidhaning dharma”


Artinya :
satu bagian harta milik dipakai untuk kepentingan Dharma.
Misalnya untuk melakukan Panca Yadnya. (kepentingan keagamaan)
2) ”Sadhana ri kasidhaning kama”
Artinya :
Satu bagian harta milik, dipakai untuk memenuhi Kama.
Misalnya untuk makan, minum, olahraga, kesenian, rekreasi,
memenuhi rasa estetika.
3) “Sadhana ri kasidhaning artha”
Artinya :
Satu bagian harta milik dipakai untuk melipatgandakan mendapatkan
hartanya kembali.
Misalnya untuk berusaha berekonomi sehingga kekayaan berrtambah.

Selain ketentuan ini, agama Hindu juga mengajarkan bahwa harta benda
itu sebenarnya kegunaannya adalah untuk (dana punia), dipakai untuk
kepentingan amal agama, karena harta itu tidak kekal sifatnya, tidak akan
dibawa mati, tetapi penting dicari karena tanpa harta manusia tidak dapat
hidup dan berbuat sesuatu. Jadi sebenarnya harta itu bukanlah merupakan
tujuan utama, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, karena
tujuan agama Hindu adalah mencapai kesejahteraan jasmani rohani di
dunia dan terakhir bertujuan mencapai Moksa, yaitu kebahagiaan abadi,
kebebasan sejati dan kemanunggalan Atman dengan Sang Hyang Widhi.

9
3. Kama
Kama dalam ajaran Agama Hindu berarti nafsu atau keinginan yang dapat
memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kepuasan atau
kenikmatan tersebut memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan
manusia, karena manusia mempunyai dasendriya atau 10 indriya yang ter
diri dari :
1) Panca Budhindriya, yaitu lima indra penilai.
a. Srotendriya, yaitu indra penilai pada telinga untuk mendengar.
b. Twakindriya, yaitu indra penilai pada kulit untuk merasakan
sentuhan.
c. Caksuindriya, yaitu indra penilai pada mata untuk melihat.
d. Jihwendriya, yaitu indra penilai pada lidah untuk mengecap.
e. Granendriya, yaitu indra penilai pada hidung untuk membaui.

1. Panca Karmendriya, yaitu lima indra pekerja.


a. Panindriya, yaitu indra penggerak pada tangan untuk memegang
atau mengambil.
b. Padendriya, yaitu indra penggerak pada kaki untuk bergerak atau
berjalan.
c. Wakindriya, yaitu indra penggerak pada mulut untuk berkata-kata,
makan, dan minum.
d. Paywindriya, yaitu indra penggerak pada anus untuk membuang
kotoran atau air besar.
e. Upasthendriya, yaitu indra penggerak pada kelamin untuk
membuang air seni.

Kesepuluh indra tersebut dipengaruhi oleh pikiran. Dalam kehidupan


manusia Indriya yang menimbulkan keinginan atau hawa nafsu sering
diumpamakan seperti kuda liar, apabila keinginan tersebut dapat

10
dikendalikan akan merupakan kekuatan yang luar biasa, sedangkan bila
keinginan tersebut tidak dapat dikendalikan akan membuat kehancuran
pada diri kita. Kama atau kesenangan menurut ajaran agama tidak akan
ada artinya jika diperoleh menyimpang dari dharma. Karenanya dharma
menduduki tempat di atas dari kama dan menjadi pedoman didalam
pencapaian kama.

4. Moksha
Kata Moksa berasal dari bahasa Sanskerta, dari urat (akar)
kata Muc, yang berarti: membebaskan, memerdekakan, melepaskan,
mengeluarkan. Dari akar kata Muc, ini. menjadi Mukta (Mukti), Moksa.
Moksa juga dapat diartikan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari
hukum karma phala, bebas dari samsara/ kelahiran. Moksa adalah
ketenangan dan kebahagiaan spiritual yang abadi (suka tan pawali dukha).
Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :

1) Samipya, adalah moksa atau kebebasan yang dapat dicapai semasih


hidupnya ini, terutama oleh para rsi saat melaksanakan yoga, samadhi,
disertai dengan pemekaran antusiasnya, sehingga mereka dapat
menerima wahyu dari tuhan.
2) Sarupya, adalah moksa atau kebebasan yang dicapai semasih hidup
dimana kedudukan atma mengatasi unsur-unsur maya. Kendati pun
atma mengambil perwujudan tertentu namun tidak akan terikat oleh
segala sesuatunya seperti halnya awatara seperti budha, sri kresna,
rama, dan lain sebagainya.
3) Salokya (Karma Mukti), adalah kebebasan yang di capai oleh atma itu
sendiri dan telah berada dalam posisi kesadaran sama dengan tuhan,
tetapi belum dapat bersatu dengannya.
4) Sayujya (Purna Mukti), adalah tingkatan kebebasan yang paling tinggi
dan sempurna di mana atma telah dapat bersatu atau bersenyawa

11
dengan tuhan dan tidak terbatas apa pun juga sehingga benar-benar
telah mencapai “ Brahma Atma Aikyam” yaitu atma dengan tuhan
betul-betul bersatu.

Istilah lain yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkatan-tingkatan


moksa tersebut, yaitu Jiwa Mukti, Wideha Mukti (Karma Mukti), dan
Purna Mukti. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1) Jiwa Mukti, adalah tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yg
dpt dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmannya tidak
lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya (pengaruh duniawi).
Dimana keadaan atma seperti ini disamakan dengan Samipya dan
Sarupya.
2) Wideha Mukti, adalah tingkatan kebebasan yg dpt dicapai oleh
seseorang semasa hidupnya, dimana atma telah meninggalkan badan
wadagnya (jasadnya), tetapi roh yg bersangkutan masih kena
pengaruh maya yg tipis. Tingkat keberadaan atma dlm posisi ini
disetarakan dgn brahman, namun belum dpt menyatu dengan-nya, sbg
akibat dari pengaruh maya yg masih ada. Widehamukti dpt
disejajarkan dgn salokya.
3) Purna Mukti, adalah tingkat kebebassan yg paling sempurna. Pada
tingkat ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dgn
Brahman. Setiap orang dpt mencapai posisi ini, apabila yg
bersangkutan sungguh-sungguh dgn kesadaran dan hati yg suci mau
dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Posisi
Purnamukti dpt disamakan dgn Sayujya.

Berdasarka pada keadaan tubuh (lahiriah manusia), tingkatan-tingkatan


atma dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
1) Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan
meninggalkan mayat disebut Moksa.

12
2) Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak
meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu,
tulang disebut Adi Moksa.
3) Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rohani yang tidak
meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parana Moksa.

C. Hubungan Catur Purusartha Dengan Catur Asrama


Dalam implementasinya, Catur Asrama adalah empat jenjang
kehidupan manusia yang dipolakan untuk mencapai empat tujuan hidup
manusia yang disebut Catur Purusa Artha. Masing-masing fase didalam Catur
Asrama mempunyai tujuan hidup yang berbeda-beda menurut Catur Purusa
Artha. Ada pula yang menyatakan bahwa Catur Asrama dengan Catur
Purusartha merupakan dua disiplin hidup yang diajarkan dalam agama Hindu.
Catur asrama adalah fase kehidupan dan catur purusartha adalah tujuannya.
Dharma adalah yang melandasinya. Hubungan bagian-bagian Catur Asrama
dengan bagian-bagian Catur Purusa Artha adalah sebagai berikut :
1) Pada masa Brahmacari tujuan utamanya adalah belajar untuk menuntut
ilmu baik itu disekolah maupun lingkungan masyarakat, fase ini berjalan
dari umur 5 (lima) tahun dan selambat-lambatnya umur 8 (delapan) tahun
karena pada saat itu kemampuan otak seseorang sedang tajam-tajamnya
sedangkan ahir dari fase ini adalah 20 (dua puluh) tahun dan dilanjutkan
pada tahap kehidupan yang berikutnya. Tujuan yang ingin dicapai pada
masa brahmacari adalah tercapainya Dharma dan Artha. Karena
seseorang belajar menuntut ilmu adalah untuk memahami dharma dan
dapat mencari nafkah di masa depan. Dharma merupakan dasar dan bekal
mengarungi kehidupan berikutnya.

2) Pada masa Grhastha, tujuan hidup / utama manusia adalah mendapatkan


Artha dan kama yang dilandasi oleh dharma. Mencari harta benda untuk
memenuhi kebutuhan hidup (kama) yang berdasarkan kebenaran

13
(Dharma). Jika memperoleh artha dengan cara mencuri, menipu,
merampok, korupsi, dll. Arta yang diperoleh dengan cara ini (adharma)
tidak akan kekal dan akan menyengsarakan hidup dikemudian hari.
Kesengsaraan itu bermacam-macam berbentuk "skala" dan "niskala"
Yang berbentuk skala misalnya seorang perampok yang tertangkap
akhirnya masuk penjara. Kesengsaraan niskala, misalnya seorang
koruptor karena kepandaiannya berkomplot dan berkuasa, mungkin saja
ia terhindar dari hukuman duniawi, tetapi kelak roh-nya akan mengalami
penderitaan karena menerima hukuman Tuhan (Hyang Widhi), atau
paling tidak bathinnya tidak tenang, karena merasa berdosa.Seorang
Grhastha memiliki kewajiban-kewajiban : bekerja mencari harta
berdasarkan dharma, menjadi pemimpin rumah tangga, menjadi anggota
masyarakat yang baik dan melaksanakan yadnya, yang semuanya itu
memerlukan biaya.

3) Pada masa Wanaprastha orang akan mulai sedikit demi sedikit


melepaskan diri dari ikatan keduniawian (Artha dan Kama hendaknya
mulai dikurangi), berkonsentrasi dalam bidang spiritual, mencari
ketenangan batin dan lebih mendekatkan diri kepada tuhan untuk
mencapai Moksa. Tujuan hidup pada masa ini adalah persiapan mental
dan fisik untuk dapat menyatu dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi). Pada
masa ini tujuan hidup yang diprioritaskan adalah Kama dan Moksa.

4) Pada masa Bhiksuka/sanyasin, manusia adalah berada pada situasi


dimana benar-benar mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi dan
kehidupannya sepenuhnya diabdikan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran agama. Pada masa ini orang tidak
merasa memiliki apa-apa dan tidak terikat sama sekali oleh materi dan
selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada masa ini, yang
menjadi tujuan utama adalah Moksa.

14
2.2 Catur Marga (Yoga)
A. Pengertian Catur Marga
Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti
empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi catur marga adalah
empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan
Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur marga juga
sering disebut dengan catur marga yoga. Sumber ajaran catur marga ada
diajarkan dalam pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya
tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang
membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran
asubha karma (perbuatan yang tidak baik).

B. Bagian – Bagian Catur Marga Yoga

Catur marga terdiri dari empat bagian yaitu bhakti marga yoga, jnana
marga yoga, karma marga yoga dan raja marga yoga.

1. Bhakti Marga Yoga

Sivananda (1997:129-130) menyatakan bahwa bhakti merupakan kasih


sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan
jalan kepatuhan atau bhakti. Bhaktiyoga disenangi oleh sebagian besar
umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan
dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya
yang mengelora dan menyerap segalanya. Cinta kepada Tuhan harus selalu
diusahakan. Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan
ataupun kesedihan. Ia tak pernah membenci mahluk hidup atau benda
apapun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul
semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya.

15
Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu Para bhakti dan
Apara bhakti. Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti
kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak
utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang
tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat
inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para
bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran
rohaninya tinggi.
Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak
terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan berbagai
simbol (niyasa). Sedangkan Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para
bhakti antara lain sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari
Tattwa Agama dan kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran
Agama sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik
dimana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran)
selalu terkendali dan berada pada jalur dharma. Bhakta yang seperti ini
banyak melakukan Drwya Yadnya (ber-dana punia), Jnana Yadnya
(belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri).

2. Jnana Marga Yoga

Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari


urat kata Yuj artinya menghubungkan diri. Jadi jnana yoga artinya
mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan
mempelajari dan mengamalkan ilmu pengetahuan baik science maupun
spiritual, seperti hakekat kebenaran tentang Brahman, Atman. Dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan yang sejati akan mampu membebaskan diri
dari ikatan-ikatan keduniawian.

Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau


membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi

16
langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang tertinggi yang
merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa
seseorang kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak). Pelajar
Jñanayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu: (1)
pembedaan (viveka), (2) ketidakterikatan (vairagya), (3) kebajikan, ada
enam macam (sat-sampat), yaitu: (a) ketenangan (sama), (b) pengekangan
(dama), (c) penolakan (uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan
(sraddha), (e) konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan
pembebasan (mumuksutva). Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci
dengan duduk khusuk di depan tempat duduk (kaki padma) seorang guru
yang tidak saja menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagus
dalam Brahman (Brahmanistha). Selanjutnya para siswa melaksanakan
perenungan, untuk mengusir segala keragu-raguan. Kemudian
melaksanakan meditasi yang mendalam kepada Brahman dan mencapai
Brahma-Satsakara. Ia seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu
dengan-Nya dalam kehidupan ini).

3. Karma Marga Yoga

Karma yoga adalah jalan pelayanan tanpa pamrih, yang membawa


pencapaian menuju Tuhan melalui kerja tanpa pamrih. Yoga ini
merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karma yoga mengajarkan
bagaimana bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya keterikatan.
Demikian juga bagaimana menggunakan tenaga untuk keuntungan yang
terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah pemujaan, sehingga setiap
pekerjaan dialihkan menjadi suatu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Seorang Karmayogin tidak terikat oleh karma (hukum sebab akibat),
karena ia mempersembahkan buah perbuatannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

17
Penjelasan tentang setiap pekerjaan dilaksanakan sebagai wujud bhakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan dalam Bhagavadgita IX.27-28
sebagai berikut.

“Wahai Arjuna, apa pun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau
makan, apapun yang engkau persembahkan, dan engkau amalkan, juga
disiplin diri apa pun yang engkau laksanakan. Lakukanlah semuanya itu
hanya sebagai bentuk bhakti kepada Aku. Dengan demikian engkau akan
terbebas dari ikatan kerja atau perbuatan yang menghasilkan pahala baik
atau buruk. Dengan pikiran terkendali, engkau akan terbebas dan
mencapai Aku”

Dalam kitab Bhagavadgita (III.19,30) juga mengamanatkan sebagai


berikut.

Laksanakanlah kerja yang engkau lakukan tanpa pamrih..................


Serahkanlah seluruh perbuatanmu kepada-Ku................ bebaskan dirimu
dari kerinduan dan kepentingan itu, berjuanglah jangan hiraukan
kesedihan.

Setiap kerja menambahkan satu mata rantai terhadap ikatan samsara dan
membawa pada pengulangan kelahiran. Ini merupakan hukum karma yang
pasti. Tetapi, melalui pelaksanaan Karmayoga, akibat karma dapat
dihapus, dan karma menjadi mandul.

4. Raja Marga

Rajayoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang


Maha Esa, melalui pengekangan diri dan pengendalian diri serta
pengendalian pikiran. Rajayoga mengajarkan bagaimana mengendalikan
indria-indria dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari
pikiran melalui tapa, brata, yoga dan semadhi. Dalam Hathayoga terdapat

18
disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga terdapat disiplin pikiran.
Melakukan raja marga yoga hendaknya dilakukan secara bertahap melalui
astangga yoga yaitu delapan tahapan yoga, yang meliputi Yama, Niyama,
Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.

Seseorang yang melaksanakan ajaran raja marga yoga disebut dengan


sebutan Yogi. Yogi berkonsentrasi pada cakra-cakra, pikiran, matahari,
bintang, unsur-unsur alam semesta dan sebagainya dan mencapai
pengetahuan supra manusia dan memperoleh penguasaan atas unsur-unsur
tersebut. Daya konsentrasi hanya kunci untuk membuka rumah tempat
penyimpanan kekayaan pengetahuan. Konsentrasi tak dapat muncul dalam
waktu seminggu atau sebulan, karena ia memerlukan waktu. Pengaturan
dalam melaksanakan konsentrasi merupakan kepentingan yang utama.
Brahmacarya, tempat yang dingin dan sesuai, pergaulan dengan orang-
orang suci (satsanga) dan sattvika merupakan alat bantu dalam konsentrasi.
Konsentrasi dan meditasi menuntun menuju Samadhi atau pengalaman
supra sadar, yang memiliki beberapa tingkatan pendakian, disertai atau
tidak disertai dengan pertimbangan (vitarka), analisa (vicara), kebahagiaan
(ananda), dan kesadaran diri (asmita). Demikian, kailvaya atau
kemerdekaan tertinggi dicapai.

Dari keempat jalan tersebut semuanya adalah sama, tidak ada yang lebih
tinggi maupun lebih rendah, semuanya baik dan utama tergantung pada
kepribadian, watak dan kesanggupan manusia untuk melaksanakannya.

C. Implementasi Ajaran Catur Marga Yoga dalam Kehidupan


Masyarakat Hindu.
1. Bhakti Marga Yoga
a. Pelaksanaan tri sandya dan yadnya sesa.

19
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin
menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas dengan
melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari,
pagi, siang, dan sore hari serta melaksanakan yandnya sesa/ngejot
setelah selesai memasak. Dalam kehidupan sehari -hari sebagai upaya
dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus mendekatkan diri
kehadapanya hendaknya melaksanakan puja tri sandya tersebut
dengan tulus dan iklas.
b. Pelaksanaan pada hari-hari keagamaan
Implementasi bhakti marga yoga juga dapat dilihat pada hari-
hari keagaman hindu, seperti hari saraswati, tumpek wariga dan
tumpek uye. Hari saraswati adalah hari turunnya ilmu pengetahuan
dengan memuja dewi yang dilambangkan sebagai ilmu pengetahuan
yaitu Dewi saraswati. Hari saraswati ini jatuh pada hari Saniscara
Umanis Watugunung dan diperingati setiap 210 hari. Pada hari ini
semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan
sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati untuk diberikan
suatu upacara. Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata
Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari
atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan
membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan
sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh,
tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh.
Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari
dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan
melakukan malam sastra dan sambang samadhi.

2. Jnana Marga Yoga


a. Ajaran brahmacari

20
Adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus iklas. tugas
pokok kita pada massa ini adalah belajar dan belajar. Belajar dalam
arti luas, yakni belajar dalam pengertian bukan hanya membaca buku.
Tetapi lebih mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal.
Contohnya: rela dan iklas jika dimarahi guru atau orang tua. Guru dan
orang tua, jika memarahi pasti demi kebaikan anak. Maha Rsi
Wararuci dalam Kitab Sarassamuccaya, sloka 27 mengajari kita
memanfaatkan masa muda ini dengan sebaik-baiknya, yang beliau
umpamakan seperti rumput ilalang yang masih muda. Bahwa masa
muda itu pikiran masih sangat tajam, hendaknya digunakan untuk
menuntut dharma, dan ilmu pengetahuan. Dengan tajamnya pikiran
seorang anak juga bisa me-yadnya-kan tenaga dan pikirannya itu.
b. Ajaran aguron-guron
Merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan
murid . namun istilah dan proses ini telah lama dilupakan karena
sangat susah mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi tertentu
dan juga sangat sedikit orang menaruh perhatian dan minat terhadap
hal ini. Maka untuk memenuhi kualifikasi tertentu, hendaknya
seorang guru mencari sekolah yang mempunyai kurikulum yang
membawa kesadaran kita melambung tinggi melampaui batas-batas
senang dan sedih, bahagia dan derita, lahir dan mati. Maka guru
seperti itu pasti akan datang kepada kita. Menuntun kita, menentukan
arah tujuan kita, menunjukkan cara dan metodenya, menghibur dan
menyemangatinya. Jangan ragu, pasti akan ada guru yang datang
kepada kita.
c. Ajaran catur guru
Berhasilnya seseorang menempuh jenjang pendidikan tertentu (
pendidikan tinggi yang berkualitas) tidak akan mungkin bila kita tidak
memiliki rasa bhakti kepada Catur Guru. Mereka yang melaksanakan
ajaran Guru Bhakti sejak dini (anak-anak), mereka pada umumnya

21
memiliki disiplin diri dan percaya diri yang mantap pula. Dengan
disiplin diri dan percaya diri yang mantap, tidak saja akan sukses
dalam bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan.
Di sinilah kita melihat ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan
sepanjang masa, sesuai dengan sifat agama Hindu yang Sanatana
Dharma . Aktualisasi ajaran Guru Bhakti atau rasa bhakti kepada
Catur Guru dapat dikembangkan dalam situasi apapun, sebab hakekat
dari ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya adalah
pendidikan disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti
yang seluas-luasnya.
3. Karma Marga Yoga
a. Ngayah dan Matatulungan
Ngayah merupakan suatu istilah yang ada di bali yang identik
dengan gotong royong. Ngayah ini bisa dilakukan di pura-pura dalam
hal upacara keagamaan, seperti odalan-odalan/karya. Sedangkan
matatulungan ini bisa dilakukan terhadap antar manuasia yang
mengadakan upacara keagamaan pula, seperti upacara pawiwahan,
mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran karma yoga, maka
hendaknya ngayah atau matatulungan ini dilakukan secara iklas tanpa
ada ikatan apapun. Sehingga apa yang kita lakukan bisa memberikan
suari manfaat.
b. Mekarme sane melah
Berbuat yang baik atau mekarma sane melah hendaknya selalu
kita lakukan. Dalam dalam agama hindu ada slogan mengatakan
“Rame ing gawe sepi ing pamrih”, slogan itu begitu melekat pada diri
kita sebagai orang Hindu. Banyaklah berbuat baik tanpa pernah
berpikir dan berharap suatu balasan. Niscaya dengan begitu kita akan
selalu mendapat karuniaNya tanpa pernah terpikirkan dan kita sadari.
Untuk melaksanakan slogan itu dalam kehidupan sehari-hari, tidaklah
mudah untuk memulainya. Sebagai makhluk ciptaan Brahman,

22
sepantasnya kita menyadari bahwa sebagian dari hidup kita adalah
untuk melayani. Ber-karma baik itu adalah suatu pelayanan. Kita akan
ikut berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain. Hal ini tentu
dibatasi oleh perbuatan Dharma. Slogan “Tat Twam Asi” adalah salah
satu dasar untuk ber-Karma Baik. Engkau adalah Aku, Itu adalah
Kamu juga. Suatu slogan yang sangat sederhana untuk diucapkan, tapi
memiliki arti yang sangat mendalam, baik dalam arti pada kehidupan
sosial umat dan juga sebagai diri sendiri/individu yang memiliki
pertanggungjawaban karma langsung kepada Brahman.

4. Raja Marga Yoga


Penerapan raja marga yoga ini antara lain terdapat pada ajaran
astangga yoga, catur brata penyepian.
a. Ajaran astangga yoga
Astangga yoga merupakan delapan anggota dari raja yoga yang
terdiri dari Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana,
Dhyana, dan Samadhi adalah delapan anggota (anga) dari Rajayoga
iyama membentuk disiplin etika yang memurnikan hati. Yama terdiri
atas, Ahimsa (tanpa kekerasan), Satya (kejujuran), Brahmacarya
(selibat), Asteya (tidak mencuri), dan Aparigraha (tidak menerima
pemberian kemewahan). Semua kebajikan berakar pada Ahimsa.
Niyama adalah kepatuhan, dan tersusun atas: Sauca (permurnian
dalam dan luar), Santosa (kepuasan jiwa), Tapas (kesederhanaan
/pengendalian diri), Svadhyaya (belajar kitab suci dan pengucaran
mantra) dan Isvarapranidhana (berserah diri pada Tuhan Yang Maha
Esa). Mereka yang bagus dalam Yama dan Niyama akan cepat maju
dalam melaksanakan Yoga pada umumnya. Dengan Yama dan
Niyama seseorang dapat mewujudkan Cittasuddhi atau Atmasuddhi
(kesucian hati).

23
Asana, Pranayama dan Pratyahara merupakan perlengkapan
pendahuluan dari Yoga. Asana adalah sikap badan yang benar.
Pranayama adalah pengaturan napas, yang menghasilkan ketenangan
dan kemantapaan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyahara adalah
penarikan indria-indria dari objek-objeknya. Seseorang harus
melakukan Pratyahara untuk dapat melihat di dalam batin dan
memiliki kemusatan pikiran.
Dharana adalah konsentrasi pikiran pada suatu objek atau cakra
dalam Istadevata. Lalu menyusul Dhyana, atau meditasi pengaliran
yang tak henti-hentinya dari pemikiran satu objek, yang nantinya
membawa kepada keadaan Samadhi, saat seperti itu yang bermeditasi
dan yang dimeditasikan menjadi satu. Semua vritti yakni gejolak
pikiran mengendap. Pikiran kehilangan fungsinya. Segala samskara,
kesan-kesan dan vasana (kecenderungan dan pikiran halus) terbakar
sepenuhnya dan Yogi (pelaksana Yoga)terbebas dari kelahiran dan
kematian. Ia mencapai kaivalya atau pembebasan akhir (kemerdekaan
mutlak)
Pelaksanaan Hari Raya Nyepi, pada hakekatnya merupakan
penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos)
untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin
(jagadhita dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam
(kebenaran), sivam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan /
keindahan).

2.3 Dharma Siddhiyartha


A. Pengertian Dharma Siddhiyartha
Yang dimaksud Dharma Sidhyarta disini adalah pertimbangan untuk
mencapai kebenaran dan kesejahteraan.
B. Bagian-Bagian Dharma Siddhiyartha

24
Dalam mencapai kebenaran hendaknya harus mertimbangkan lima
unsur yang disebut Iksa, Sakti, Desa, Kala dan tattwa.

1. Iksa disini berarti pandangan atau cita-cita untuk mencapai


kesejahteraan.
2. Sakti disini berarti kekuatan atau kemampuan, dalam mencapai cita-cita
hendaknya harus memiliki kekuatan yg sesuai.
3. Desa disini berarti batasan-batasan atau juga bisa disebut dengan
keadaan. Dalam berbuat hendaknya harus mengetahui keadaan terlebih
dahulu sebelum bertindak.
4. Kala disini berarti waktu, hendaknya juga harus mempertimbangkan
waktu sebelum melakukan sesuatu.
5. Tattwa disini berarti hakekat kebenaran, dalam menjalankan sesuatu
hendaknya berdasarkan atas kebenaran.

Dengan tercapainya Dharma Sidhyartha maka tercapai pula tujuan dari


ajaran Niti Sastra. Selain Dharma Sidhyartha hindu juga mempunyai tujuan
yaitu mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

26
DAFTAR PUSTAKA

Artajaya, Kadek. 2013. “Moksa”.


https://ikadekartajaya.wordpress.com/2013/09/10/moksa/. Diakses pada tanggal
18 April 2017.

“Niti Sastra”. https://terjakb1pahihdn.wordpress.com/niti-sastra/. Diakses pada


tanggal 18 April 2017.

27

Вам также может понравиться