Вы находитесь на странице: 1из 48

MODUL PRAKTIKUM

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Koordinator: Dyah Trifianingsih, S. Kep. Ns. M. Kep


Departemen Keilmuan Kegawatdaruratan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2019

1
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN

Visi Program Studi

Pada tahun 2018 menjadi Program Studi Ilmu Keperawatan dan Pofesi Ners yang unggul
dalam asuhan keperawatan medikal bedah di tingkat Nasional dikelola secara profesional
terus bertumbuh dan berwawasan global.

Misi Program Studi

1. Melaksanakan manajemen pendidikasn melalui kurikulum yang efisien dan efektif


berbasis kurikulum
2. Melaksanakan penelitian di bidang kesehatan
3. Melaksanakan pengabdian masyarakat di daerah binaan

Tujuan Program Studi

1. Menghasilkan lulusan perawat yang kompeten, berkomitmen dan berjiwa caring.


2. Menghasilkan lulusan perawat yang mampu melakukan penelitian yang berkualitas
dalam bidang ilmu keperawatan.
3. Menghasilkan lulusan perawat yang mampu menjadi change agent dalam bidang
kesehatan di masyarakat.
4. Menghasilkan lulusan yang mempunyai jiwa entrepreneur di bidang kesehatan.
5. Menghasilkan dan meningkatkan kualitas penelitian dosen dan mahasiswa guna
pengembangan ilmu pengetahuan dan penyelesaian masalah keperawatan.
6. Menggunakan hasil penelitian dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat untuk
meningkatkan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.

Sasaran Program Studi

Target sasaran dari program studi ini dicapai pada tahun 2018 adalah :
1. Lulusan tepat waktu minimal 85% dengan IPK minimal 3,00.
2. Lulusan cepat bekerja sesuai dengan bidang keperawatan, minimal 80% dari lulusan.
3. Dosen memiliki kualifikasi dan kompetensi
4. Tenaga Kependidikan yang berkualitas
5. Pelayanan maksimal bagi mahasiswa
6. Lulusan menjadi entrepreneur 15%.
7. Kerjasama dan Kemitraan

2
TATA TERTIB DI RUANG LABORATORIUM

1. Mahasiswa/iharap hadir 10 menit sebelum praktikum dimulai


2. Mahasiswa/i wajib mengenakan mengenakan jas laboratorium selama praktikum dan
mengganti sepatu dengan sandal jepit yang bersih
3. Tidak boleh gaduh/ ribut di ruang laboratorium
4. Tetap menjaga kebersihan dan kerapian ruangan
5. Pada saat praktikum HP wajib di silet/ matikan
6. Tidak boleh membawa makanan dan minuman ke ruang laboratorium
7. Tidak diperkenankan duduk/ tidur/ berbaring di tempat tidur
8. Setiap meminjam alat-alat harus bertanggungatas kebersihan dan keamanannya
9. Alat-alat peraga yang ada di ruang laboratorium tidak boleh dibuat mainan
10. Tidak diperkenankan merubah susunan tempat/ alat peraga yang ada di ruang
laboratorium
11. Bagi Mahasiswa/i yang merusakkan alat-alat/ menghilangkan harap mengganti
12. Apabila hendak menggunakan ruang laboratoriumdi luar jadwal praktiukum, harap
menghubungi bagian laboratorium dan catat alat yang diperlukan
13. Tidak diperbolehkan membawa keluar alar dari ruang laboratorium kecuali ada izin dari
bagian laboratorium
14. Mahasiswa/i dilarang merokok di ruang laboratorium.

3
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin.
Segala puji syukur disampaikan ke hadirat Illahi Robbi, karena pada akhirnya modul
praktikum Keperawatan Gawat Darurat ini dapat terselesaikan dengan baik sesuai pada
waktunya. Modul praktikum ini merupakan pedoman skill laboratorium bagi mahasiswa
semester VI Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Suaka Insan Banjarmasin dan staf pemgajar yang bertindak sebagai fasilitator
dalam melaksanakan pembelajaran skill laboratorium dan persiapan serta bekal ketika praktik
di Rumah sakit.
Modul Praktikum ini disusun untuk memberikan mahasiswa berbagai gambaran/
pedoman keterampilan dan intervensi keperawatan khususnya kasus kegawatdaruratan yang
harus dikuasai peserta didik di bidang Keperawatan Gawat Darurat diantaranya prosedur
primary survey, secondary survey, pembebasan jalan nafas, RJP
Semoga modul ini bermanfaat bagi mahasiswa, staf pengajar serta seluruh komponan
terkait dalam proses pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Suaka Insan Banjarmasin.
Modul ini tentunya masih banyak memiliki kekurangan, oleh sebab itu saran dan
masukan yang positif sangat kami harapkan demi perbaikan modul ini.
Semoga bermanfaat.

Banjarmasin, Januari 2019


Koordinator MA

4
DAFTAR ISI

Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Program Studi ........................................................................ 2


Tata Tertib Di Ruang Laboratorium ........................................................................................ 3
Kata Pengantar ......................................................................................................................... 4
Daftar Isi .................................................................................................................................. 5
Deskripsi Kegiatan & Kompetensi .......................................................................................... 6
Topik Praktikum ...................................................................................................................... 9
Topik 1. Initial Assessment.................................................................................................... 10
Topik 2. Pembebasan Jalan Nafas & Control Servical .......................................................... 23
Topik 3. Penanganan Henti Jantung/ BCLS .......................................................................... 31

5
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

1. DESKRIPSI KEGIATAN
Praktikum mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat ada di semester VI
memiliki beban 1 SKS. Praktikum akan dilaksanakan di Laboratorium STIKES
Suaka Insan Lantai III. Praktikum dilaksanakan setelah mahasiswa
mendapatkan teori perkuliahan terkait prosedur praktikum. Mahasiswa akan
dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah mahasiswa
sebanyak maksimal 8-10 mahasiswa per kelompok. Praktikum terdiri dari
fase demonstasi dari fasilitator selanjutnya dilanjutkan fase redemonstrasi
oleh mahasiswa. Masing-masing kelompok akan dibimbing secara intensif
oleh fasilitatorpraktikum dengan topic dan fasilitas dari laboratorium.
Mahasiswa dituntut untuk berperan aktif dalam proses praktikum dan
diharapkan semua mahasiswa mampu mendemonstrasikan skill yang
sedang di praktikumkan. Selain kegiatan praktikum dibawah bimbingan
instruktur, mahasiswa juga mempunyai kesempatan untuk belajar mandiri
sesuai jadwal yang telah ditentukan maupun belajar mandiri di luar jadwal
yang telah ditentukan dengan seijin coordinator laboratorium dan tetap
mengisi absensi praktikum mandiri. Diakhir kegiatan praktikum,
mahasiswa wajib untuk mengikuti ujian skills (OSCE).

2. KOMPETENSI
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran pada Keperawatan Gawat Darurat
mahasiswa akan mampu:
a) Melakukan simulasi asuhan keperawatan dengan kasus kegawatan,
kedaruratan dan kegawat daruratan terkait multi sistem pada berbagai tingkat
usia dengan memperhatikan aspek legal dan etis
b) Melakuakan simulasi pendidikan kesehatan dengan kasus kegawatan,
kedaruratan dan kegawat daruratan terkait multi sistem pada berbagai tingkat
usia dengan memperhatikan aspek legal dan etis
c) Mengidentifikasi masalah-masalah penelitian yang berhubungan dengan
kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan terkait multi sistem dan

6
menggunakan hasil-hasil penelitian dalam mengatasi masalah kegawatan,
kedaruratan dan kegawat daruratan.
d) Melakuakan simulasi pengelolaan asuhan keperawatan pada sekelompok klien
dengan kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan terkait multi sistem
pada klien dengan berbagai tingkat usia dengan memperhatikan aspek legal
dan etis
e) Melaksanakan fungsi advokasi pada kasus dengan kegawatan, kedaruratan dan
kegawat daruratan pada berbagai tingkat usia
f) Mendemonstrasikan intervensi keperawatan pada kasus dengan kegawatan,
kedaruratan dan kegawat daruratan pada berbagai tingkat usia sesuai dengan
standar yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif sehingga
menghasilkan pelayanan yang efisien dan efektif.

3. UJIAN SKILL LAB


Ujian Skill lab berupa OSCE, dimana Ujian praktikum dilakukan pada
akhir masa praktikum. Ujian ini untuk mengetahui penyerapan mahasiswa
tentang praktikum yang telah dijalankan dan mengetahui kemampuan
mahasiswa dalam melakukan praktikum. Bahan–bahan ujian terutama dari
bahan praktikum dan teori.

4. SISTEM PENILAIAN
1. Ujian Praktik (OSCE) 50%
2. Proses Praktikum 50%
Pre
Post
Demonstrasi

5. PETUNJUK PRAKTIKUM
a) Materi praktikum ada 3 Topik, yaitu:
1) Initial assesment
2) Pembebasan jalan nafas dan control servical
3) BCLS
b) Fasilitator:
1) Dwi Martha Agustina, S. Kep. Ners. M. Kep
2) Dyah Trifianingsih, S. Kep. Ners. M. Kep
7
c) Setiap mahasiswa wajib mengikuti kegiatan praktikum (100% kehadiran) sesuai
jadwal kelompoknya
d) Setiap kelompok wajib mengingatkan ke masing-masing fasilitator pelaksanaan
praktikum minimal 2 hari sebelumnya.
e) Setiap mahasiswa wajib membawa modul praktikum setiap kali praktikum
dilaksanakan

8
TOPIK PRAKTIKUM

1) Initial assesment
2) Pembebasan jalan nafas dan control servical
3) BCLS

9
TOPIK 1
INITIAL ASSESMENT

LEARNING OBJECTIVE

Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat:

1. Menjelaskan definisi dan tujuan initial assessment


2. Melakukan initial assesment dengan benar

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 14 tahun mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi dalm kondisi
mabuk, tiba-tiba mengalami kecelakaan lalu lintas menabrak truk yang sedang parkir di pinggir jalan.
Korban seketika tidak sadarkan diri, tampak luka dan perdarahan di kepala, patah kaki terbuka sebelah
kanan tampak banyak perdarahan. Polisi membawa korban ke UGD RS terdekat. Anda sebagai perawat
UGD melakukan initial assesment pada pasien.

Pertanyaan minimal :

1. Sebutkan definisi dan tujuan dari initial assesment?


2. Alat apa saja yang dibutuhkan untuk initial assesment?

Masalah Keperawatan :
1. Bersihan Jalan nafas tidak efektif
2. Pola nafas tidak efektif
3. Gangguan pertukaran gas
4. Penurunan curah jantung
5. Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
6. Resiko perfusi jaringan serebral

10
INITIAL ASSESMENT

Initial assessment merupakan bagian terpenting dari semua proses penilaian pasien
dimana anda harus mengenali dan melakukan penanganan terhadap semua keadaan yang
mengancam nyawa pasien. Initial Assessment dimulai dari penilaian lokasi kejadian, primary
survey yang didalamnya terdapat penilaian terhadap airway, breathing, circulation, disability,
exposure, ditambah dengan foley catheter, gastric tube, dan heart monitor, kemudian
dilanjutkan dengan secondary survey yang di dalamnya memuat pemeriksaan fisik dari
kepala sampai dengan kaki atau head to toe examination, pemeriksaan tanda-tanda vital,
pemeriksaan riwayat pasien, hand-off report.
Penilaian terhadap penderita dan penangganan yang akan dilakukan haruslah berjalan
secara teratur sesuai dengan kondisi dan keadaan pasien. Jika menemukan korban hal yang
pertama kali harus dilakukan adalah menilai keadaan korban pada saat itu. Jika waktu,
petugas dan situasi memungkinkan untuk melakukan penilaian harus segera dilaksanakan.
Langkah-langkah penilaian dilakukan dengan sistemik, terarah dan berorientasi pada
penanganan masalah yang ada pada pasien.
1. Fase Pra Rumah Sakit
 Pengamanan diri, lingkungan dan penderita
 Koordinasi dan komunikasi dengan Rumah Sakit Untuk Persiapan
 Pertahankan airway (Jalan nafas), breathing (pernafasan)
 Atasi shock, kontrol perdarahan luar
 Jaga pasien tetap imobilisasi
 Informasikan tentang kejadian: waktu, proses kejadian, riwayat pasien,
dan biomekanik trauma
2. Fase Rumah Sakit
 Koordinasi dan komunikasi dengan tim yang bertugas di Rumah sakit
 Melakukan penanganan primary survey
 Melakukan penanganan sekundary survey
 Dokumentasi

PROSEDUR PENANGGANAN PASIEN TRAUMA

Tahap Penangganan Pasien Trauma


Tahapan dalam pengelolaan atau penangganan pasien trauma pada kasus

11
kegawatdaruratan terdiri atas:
1. Primary Survey
2. Secondary Survey
A. Primary Survey
1. Danger
Perhatiakan bahaya yang mengancam kejadian. Pastikan aman/ safety dalam
melakukan tindakan pertolongan. Adapun keamanan yang harus diperhatikan
adalah:
 Keamanan diri/ penolong
 Keamanan lokasi kejadian
 Keamanan pasien/ korban
 Evaluasi dan waspadai semua potensi bahaya agar tidak membahayakan
penolong dan penderita
2. Respon
Menilai kesadaran di awal penilaian dilakukan dengan cepat dan tepat, dimana
hal ini untuk segera melakukan rencana tindakan pertolongan bagi korban. Cek
kesadaran di awal penilaian hanya mengukur apakah korban sadar atau tidak.
Adapun penggunaan cek kesadaran dengan menggunakan AVPU.
A= Alert/ sadar
Pasien dikatakan alert/ sadar apabila pasien dapat beorientasi terhadap
tempat, waktu dan orang
V= Verbal/ respon terhadap suara
Pasien berespon terhadap rangsangan suara (mengikuti perintah melalui
verbal)
P= Pain/ respon terhadap nyeri
Pasien hanya berespon terhadap rangsangan nyeri
U= Unresponsive/ tidak sadar
Pasien tidak berespon terhadap rangsangan nyeri
Tentukan kesadaran korban apakah berada dalam keadaan Alert, Verbal, Pain,
atau Unresponsive.

3. Call For Help


Segera aktifkan sistem emergency dan minta pertolongan kepada tim jika di

12
rumah sakit.
4. Airway
AIRWAY + CONTROL SERVICAL (Pertahankanjalan nafas dengan proteksi
tulang leher servikal). Airway harus diperiksa secara cepat untuk memastikan
bebas dan patennya serta tidak adanya potensi bahan dan obstruksi. Jika airway
terganggu maka diperlukan pembebasan sesuai dari sumbatannya baik dengan
metode manual seperti head tilt chin lift untuk pasien non trauma, chin lift
maupun jaw thrust untuk pasien trauma, maupun dengan peralatan lengkap,
pengelolaan jalan nafas dapat dilanjutkan dengan menggunakan alat mekanik
(oral airway, nasal airway atau intubasi endotracheal atau cricotiroidotomi).
WASPADA: Fraktur servical/ Tulang leher
Pada setiap penderita trauma dengan mekanisme cidera berat, harus dicurigai
adanya cidera korda spinalis sampai terbukti tidak adanya hal tersebut. Untuk
melakukan pemastian bebasnya airway, petugas harus ingat bahwa adanya
kemungkinan cidera tulang servikal. Gerakan berlebihan pada daerah korda
spinalis dapat menyebabkan kerusakan neurologik atau menambah kerusakan
neurologik akibat kompresi tulang yang terjadi pada fraktur tulang belakang.
Solusinya adalah memastikan leher tetap dalam posisi netral (bagi penderita)
selama pembebasan jalan nafas dan pemberian ventilasi yang dibutuhkan. Korban
trauma pasti gelisah sehingga harus difiksasi bagian leher dengan menggunakan
neck collar atau penyanggah leher. Pemasangan ini diindikasikan untuk
kemungkinan fraktur servik jika terdapat tanda-tanda:
 Trauma Kapitis, terutama jika korban mengalami penurtunan kesadaran
 Trauma tumpul di atas clavikula
 Setiap kasus multitrauma
 Proses kejadian yang mendukung (biomekanik trauma)

Penatalaksanaan

 Proteksi dan persiapan


 Jaw Trust dan chin lift dilakukan sementara sebelum alat tersedia
 Oropharingeal airway jika terdengar snoring pasien tidak sadar dengan tidak
adanya gag reflek tindakan bersifat sementara
 Nasopharingeal airway jika pasien sadar atau tidak sadar dengan adanya gag
reflek, perhatikan kontraindikasi pemasangan pada pasien dengan fraktur basis

13
cranii
 Airway definitif harus dipersiapkan jika pasien sudah tidak dapat
mempertahankan jalan nafasnya
 Airway definitif : endotracheal tube/ Nasotracheal tube (intubasi), needle
cricotiroidotomi, trakheostomy
5. Breathing
Oksigen harus terdistribusi secara efektif ke paru-paru. Hipoksia dapat terjadi
akibat ventilasi yang tidak adekuat dan kurangnya oksigen di jaringan. Setelah
airway bebas maka kualitas dan kuantitas ventilasi penderita harus dievaluasi.
Evaluasi pernafasan: dengan lihat, dengar dan rasakan. Jika tidak bernafas maka
penilaian dihentikan dan petugas harus segera memberikan ventilasi buatan. Jika
penderita bernafas, perkirakan kecukupan frekuensi dan kedalaman nafasnya
untuk menentukan kecukupan udara bagi penderita. Perhatikan gerakan nafas
dada dan dengarkan suara nafas penderita jika tidak sadar.
Evaluasi penyebab kemungkinan terjadinya masalah pada breathing diakibatkan
karena adanya trauma thoraks, seperti:
 Tension pneumothoraks
 Open Pneumothoraks
 Frail Chest
 Hemothoraks
 Tamponade jantung

Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat:

a) Pernafasan yang sangat cepat atau sangat lambat


Frekuensi pernafasan normal:
 Dewasa : 12-20 x/menit
 Anak-anak: 15-30 x/menit
 Bayi: 30-50 x/menit
b) Pergerakan dinding dada yang tidak adekuat
Pernafasan yang adekuat adalah pernafasan normal yang diikuti oleh
pergerakan turun naik dari dada. Jika tidak ada pergerakan turun naik dada
atau hanya salah satu dinding dada yang bergerak turun naik menandakan
bahwa pernafasan tidak adekuat
c) Cyanosis
14
Sianosis menandakan bahwa jaringan tubuh mengalami kekurangan
oksigen. Hal ini terlihat jelas pada kuku, bibir, hidung dan telinga pasien.
d) Penurunan kesadaran
Pasien yang mengalami disorientasi, kebingungan dan tidak sadar bukan
tidak mungkin mengalami pernafasan yang tidak adekuat.
e) Usaha bernafas yang berlebihan/ sesak
f) Sesak dan ngorok
Waspadai dengan suara nafas abnormal seperti snoring, gurgling,
crowing, dan stridor.
g) Denyut nadi yang lambat diikuti frekuensi pernafasan lambat

Pemeriksaan fisik terkait pernafasan:

a) Inspeksi
Perhatikan rate, ritme, dan bentuk pernafasan, perhatikan juga pergerakan
dinding dada apakah simetris atau tidak, lihat juga adanya dipsnea/
kesulitan bernafas.
b) Auskultasi
Dengarkan bising nafas, apakah vesikuler atau ada ronchi. Tempat
pemeriksaan utama dibawah klavikula pada garis aksilaris anterior. Suara
nafas harus simetris kanan dan kiri.
c) Perkusi
Pada keadaan normal akan selalu sonor. pada keadaan hipersoner
menandakan adanya penumpukan udara pada rongga dada (kasus tension
pneumothorak), atau ditemukan redup Hal ini terjadi bila jaringan paru yang
seharusnya terisi oleh udara diantikan oleh cairan atau jaringan padat. Contoh :
efusi pleura atau pneumonia lobaris, dimana terjadi konsolidasi akibat
akumulasi cairan, darah, jaringan fibrosa, sel-sel, atau tumor dalam spasium
pleural.
d) Palpasi
Identifikasi adakah suara krepitasi dan rasa nyeri pada saat dilakukan
palpasi. Kemungkinan terjadinya patah tulang iga sangatlah mungkin pada
kondisi trauma thorak

Penatalaksanaan:
Untuk lebih akurat tentang kondisi breathing korban dengan pemasangan pulse

15
oksimetri untuk mengetahui berapa jumlah saturasi oksigen Pulse Oximetri dapat
mengukur saturasi oksihemoglobin (SpO2) arterial sesat, nilai normalnya >95-
100%.

 Semua pasien trauma berikan oksigen sesuai kebutuhan


 Pulse oximetri terpasang untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah
 Kasus tension pneumothoraks dilakukan dekompresi selajutnya chest tube
oleh dokter
 Kasus Open Pneumothoraks dilakukan kasa tiga sisi selanjtnya chest tube
oleh dokter
 Kasus hemothoraks pembedahanoleh dokter
 Tamponade jantung dilakukan perikardiosintesis oleh dokter
 Kasus frail chest posisi nyaman dan analgesik oleh dokter
6. Circulation
Kenali masalah yang akan timbul dari sitem sirkulasi akibat perdarahan luar
maupun dalam yang dapat menimbulkan terjadinya syok, berikut ini masalah
yang dapat terjadi dan penanganannya:
Perdarahan:
 Perdarahan Eksternal
Apabila terjadi perlukaan atau terjadi perdarahan eksternal langsung
dilakukan direct pressure (penekanan langsung) pada daerah luka dapat
mengontrol hampir semua perdarahan besar, sampai penderita dapat
dipindahkan ke ruang operasi
 Perdarahan Internal
Apabila dicurigai adanya perdarahan internal, petugas harus dengan jeli
melakukan pemeriksaan fisik dengan
7. Disability
Setelah airway, breathing dan circulation pemeriksaan status neurologi harus
dilakukan yang meliputi: Tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). Penilaian tanda lateralisasi: pupil (ukuran, simetris dan reaksi
terhadap cahaya), kekuatan tonus otot (motorik). Pemberian oksigen, ventilasi,
perfusi, obat, alkohol dan hipoglikemia dapat mempengaruhi tingkat kesadaran.
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan skala yang penting untuk evaluasi
pengelolaan jangka pendek dan panjang penderita trauma. Pemeriksaan pupil

16
berperan dalam evaluasi fungsi cerebral pada tahap ini. Keadaan pupil yang
normal digambarkan dalam PEARL(pupil equal and round reactive to light) yaitu
pupil harus simetris, bundar dan bereaksi normal terhadap cahaya.

B. Secondary Survey
Tahapan survey sekunder dilakukan setelah melakukan primary survey dan
reevaluasinya, adapun pemeriksaannya sebagi berikut:
1. Head to toe examination (Pemeriksaan fisik dari ujung kepala sampai ujung
kaki)
Pada saat pemeriksaan fisik perhatikan: Bentuk, tumor, luka, sakit. Adakah
kelainan bentuk, tumor, luka, sakit pada saat inspeksi, palpasi, auskultasi dan
perkusi pada seluruh pemeriksaan area tubuh (head to toe).
 Kepala
 leher
 Thorax
 Abdomen
 Pelvis
 Ekstremitas
2. Vital sign
Tekanan darah, Nadi, pernafasan, suhu
3. Finger in every orifice (pemeriksaan lubang)
Memeriksa seluruh organ yang berlubang pada tubuh pasien, dikhawatirkan
terjadi perdarahan.

17
4. Anamnesa
5. Diagnostik
6. Rujukan

PROSEDUR PRIMARY SURVEY

Definisi:

Suatu tindakan yang dilakukan saat pertama kali bertemu dengan pasien yang mengalami
kondisi kritis (gawat darurat).

Tujuan:

Mengkaji dan mengintervensi kondisi yang mengancam kehidupan pada pasien gawat darurat
atau kritis

NO. KOMPONEN

I. I.Proteksi Diri, Gunakan Apd (Alat Pelindung Diri): Proteksi Diri, Lingkungan Dan
Pasien
II. Cek Respon Korban Dnegan Teknik AVPU (Alernt, Verbal Pain, Dan Un
Responsive)
III. Aktifkan Ems (Emergency Medical System) Atau Call For Help
IV. AIRWAY (jalannafas)+control servikal

1. Bebaskan jalan napas + control servikal


2. Indikasi korban terpasang servikal collar/ neck collar untuk menyanggah leher:
multiple trauma, trauma kepala disertai penurunan kesadaran, ada jejas diatas
klavikula, dan biomekanik mendukung
3. Penanganan jalan nafas :
Head tilt-chinlift : untuk korban non trauma
Chin lift-jaw thrust : untuk korban trauma yang dicurigai fraktur servikal
Suction/ sedot/ hisap/ logroll : sumbatan jalan napas karena cairan atau darah
di jalan napas atas (gurgling)
OPA (korban tidak sadar dan atau tanpa adanya gag reflex/ reflex muntah)
atau NPA (korban sadar): terdengar suara ngorok/ snoring karena jalan napas
terhalang oleh posisi lidah korban yang jatuh ke belakang
Needle cricotyroidektomi: jika terdengar stridor (edema laring) atau
perdarahan hebat yang terus menerus/massif
Intubasi : korban koma (GCS<8)
V. Breathing (pernapasan) + control ventilasi

1. Oksigenasi kurang ditandai dengan pasien sesak atau dengan saturasi oksigen
dibawah 95%, berikan dengan nasal canule, rebreathing mask atau non rebreathing

18
mask (berdasarkan tingkat kebutuhan konsentrasi oksigen terlihat dari alat pulse
oksimentri yang mengidentifikasi kadar saturasi oksigen pasien)
2. Jika korban henti nafas: berikan napas buatan (Ventilasi buatan) dengan mouth to
mouth, mounth to mask atau bag valve mask
3. Lakukan pemeriksaan daerah thoraks: inspeksi, Auskultasi, perkusi dan palpasi
4. Inspeksi: adakah sesak, jejas pada dada korban, lukaterbuka, JVP meningkat,
trakea terdorong ke arah yang sehat
5. Auskultasi: vesikuler kanan dan kiri (terdengar jelas atau tidak)
6. Perkusi ; sonor (normal), hipersonor, atau dull (jika hipersonor berisi udara yang
berlebihan berisi cairan/ darah)
7. Palpasi: adakah rasa nyeri tekan, terdengarkah suara krepitasi (identifikasi adanya
fraktur iga)
8. Masalah breathing: (tanda danger jalan lihat materi trauma thorax)
Tension pneumothorax : needle thorakosisntesis selanjutnya WSD oleh dokter
Open pneumothoraks: kassa oklusif 3 sisi, selanjutnya WSD oleh dokter
Flail chest : berikan posisi nyaman, dan untuk pemberian obat intruksi dokter
Temponade jantung : perikardiosintesis
Hematothoraks : WSD, Surgical (operasi)
VI. Circulation + Control Perdarahan

1. Stop bleeding: direct pressure (balut tekan), evaluation (tinggikan posisi), dan
point pressure (titik tekan)
2. Berikan cairan melalui IV line. Untuk korban trauma dan perdarahan berikan
cairan RL hangat, 2 jalur, guyur, dan jangan lupa ambil darah (khusus korban
wanita dewasa lakukan pemeriksaan HCG/ kehamilan) dengan hukum 3 for 1
(penggantian 3 cc untuk kehilangan 1 cc)
3. Ambil sampel darah untuk crossmatch
VII. Disability

1. GCS (GLASCOW COMA SCALE)= Eye, Verbal, Motorik


2. Lateralisasi pupil dan lateralisasi motoric
3. Lateralisasi pupil = Isokor/ anisokor, reflex cahaya, dilatasi
4. Lateralisasi motoric = motorik/ kekuatan tonus otot
VIII. Exposure (cek semua bagian tubuh)

1. Identifikasi perlukaan di tempat yang belum terlihat oleh mata (missal bagian
belakang) dengan membuka pakaian korban, beri selimut korban untuk mencegah
hipotermi/ kedinginan, lakukan logroll untuk pemeriksaan bagian belakang
IX. Evaluasi
Evaluasi kembali airway, breathing, dan circulation pasien serta status neurologi
X. Dokumentasi
1. Catat kondisi airway, breathing, dan circulation serta status neurologi pasien
2. Catat intervensi yang telah dilakukan serta respon yang ditampilkan pasien

19
PROSEDUR SECONDARY SURVEY

Definisi:

Suatu tindakan pengkajian yang dilakukan setelah primary survey untuk mengetahui kondisi
pasien secara menyeluruh dalam upaya mencegah cacat ataupun kematian

Tujuan:

 Mengkaji pasien injuri secara cepat dan sistematis dari ujung kepala ujung kaki
 Mengkaji pasien sakit kritis yang tidak diketahui secara jelas penyebab sakit maupun
manifestasi klinisnya secara cepat dan sistematis

NO. KOMPONEN

I. I.Pengkajian
Mengkaji kembali kondisi pasien setelah dilakukan primary survey yaitu kepatenan
jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulation)
II Perencanaan
Persiapan alat:
 Stetoskop
 Pulse oximeter
 EKG Monitor
 Sphigmomanometer
 Termomater
 Jam tangan dengan detik
 Selimut
Persiapan pasien:
Siapkan pasien dan lingkungan yang aman
III Pelaksanaan
1. Pertahankan kestabilan (imobilisasi) spina cervicalis untuk pasien trauma
sebagaimana dilakukan pada primary survey
2. Lepaska seluruh pakaian pasien dan selimuti pasien
3. Ukur tekanan darah, nadi, pernafasan pasien. Pengukuran temperatur harus
segera dilakukan terutama pada pasien sangat muda, sangat tua dan mereka yang
mengalami hipo-hipertermia
4. Pasang EKG monitor dan pulse oximeter
5. Jika pasien sadar, kaji rasa nyeri pasien dan lakukan palpasi. Kaji riwayat/
mekanisme terjadinya injuri, riwayat penyakit saat ini, penyakit kronis, alergi,
imunisasi dan pengobatan
6. Inspeksi daerah telinga, hidung, wajah dan kepala. Periksa mata dan mulut.
Observasi adanya deformitas, jejas, perdarahan/ drainase lain pada hidung,
telinga, wajah dan kepala. Evaluasi pergerakan ekstraokular, evaluasi bau mulut
yang tidak biasa (bensin/ alkohol)
7. Jika perlu, lepaskan bagian anterior collar cervical sementara orang lain
mempertahankan/ imobilisasi leher dan kepala secara manual. Inspeksi bagian
anterior leher akan adanya luka, distensi vena jugular, perubahan warna maupun
nyeri tanpa ditekan. Palpasi bagian anterior leher akan adanya deformitas,

20
krepitasi, nyeri tanpa tekan ataupun deviasi trakea. Dengan perlahan palpasi
bagian posterior leher mulai dari belakang kepala sampai punggung belakang
bagian atas untuk melihat adanya luka, deformitas, nyeri tanpa tekan ataupun
spasme otot
8. Inspeksi bagian anterior dan lateral dada untuk melihat adanya luka, deformitas,
perubahan warna, gerakan dan kesimetrisan ekspansi respirasi. Palpasi bagian
anterior dan lateral dada akan adanya deformitas, nyeri tanpa tekan dan krepitasi.
Auskultasi suara nafas, absen dan bilateral, catat adanya bunyi tambahan
(crackels-wheezing). Auskultasi bunyi jantung (tunggal-ganda)
9. Inspeksi abdomen akan adanya luka, perubahan warna dan distensi. Auskultasi
bising usus diseluruh kuadran. Perlahan palpasi abdomen akan adanya nyeri,
kekakuan dan massa
10. Inspeksi area pelvis dan genitalia akan adanya luka, deformitas, perubahan warna
atau perdarahan dari meatus uretra, vagina maupun rektum. Palpasi nyeri pada
pelvis, krepitasi ataupun ketidakstabilan dengan perlahan mendorong SIAS
bilateral dan mendorong ke bawah pada simpisis pubis, palpasi nadi femoral
bilateral bilateral
11. Inspeksi semua ekstremitas akan adanya nyeri, deformitas, spasme otot, nadi
distal. Jika pasien sadar, tentukan fungsi motorik dan sensorik dengan
menganjurkan pasien angkat tangan bila merasakan sentuhan
12. Pada pasien injuri, pertahankan spina cervikal dan bantu memiringkan dengan
teknik logroll untuk mengkaji area posterior. Inspeksi adanya luka, deformitas,
perubahan warna. Palpasi semua permukaan akan adanya nyeri deformitas dan
spasme otot
13. Pada pasien trauma, lakukan pemeriksaan rektal untuk mengkaji kekuatan spinter
dan prostat (pada pria)
IV. Evaluasi
1. Kaji kembali bahwa area luak sudah ditutup (perdarahan dihentikan), tidak
terjadi hipotermi dan pasien sudah stabil sebelum dipindahkan
V. Dokumentasi
Catat temuan secondary survey tentang perdarahan, hipotermia, ataupun spina cervica
dan tindakan yang telah dilakukan serta respon pasien

Keterangan : Banjarmasin,
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Fasilitator

21
FORMAT PENILAIAN

Skala Penilaian
Item 0 1 2 3 Nilai
yang dinilai
Pengkajian Tidak menyiapkan Bila alat yang disiapkan 75% Bila alat yang disiapkan Bila alat yang disiapkan
(Bobot 1) alat sesuai SOP sesuai SOP namun lengkap sesuai SOP dan
penempatan alat kurang penempatan alat
atau tidak memperhatikan memperhatikan keamanan
keamanan pasien pasien
Perencanaan Tidak melakukan Hanya melakukan 1 item pre Melakukan 2 item pre Melakukansemua(3)itempre
(Bobot 1) tahap pra interaksi interaksi dengan benar interaksi dengan benar interaksi denganbenar

Pelaksanaan Tidak melakukan Melakukan tahap kerja Melakukan tahap kerja 1 – Melakukantahapkerjasesuai
(Bobot 6) semua item yang ada kurangdari1–8itemdari 12 item dari yang SOP 1 – 15 item dan sesuai
pada tahap kerja yangseharusnyadilakukan seharusnya dilakukan prinsip yangbenar
pada tahap kerja pada tahap kerja
Evaluasi Tidak melakukan Hanyamelakukan1–2hal Melakukan 3 dari 4 hal Melakukan4halygharus
(Bobot 1) tahap terminasi dari 5 hal padatahap pada tahap terminasi dilakukan padatahap
Terminasi terminasi dengan baik
Dokumentasi Tidak melakukan Melakukan 1 hal Melakukan 2 hal Melakukan 3 hal yang harus
(Bobot 1) dokumentasi dokumentasi dokumentasi didokumentasi dengan
lengkap
Sikap Tidak menunjukan Menunjukkan 1 sikap Menunjukkan 2 sikap Menunjukkan3halsikapyang
(Bobot 1) sikap yang baik interaksi yangbaik interaksi yangbaik baik selama interaksi dengan
kepada pasien pasien

Nilai Akhir = Jumlah total skorex100 =…


38

Nilai batas lulus ≥ 75

22
TOPIK 2
PEMBEBASAN JALAN NAFAS DAN CONTROL SERVICAL

LEARNING OBJECTIVE

Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat:

1. Menjelaskan masalah yang terjadi pada airway


2. Mmengidentifikasi faktor penyebab masalah pada airway
3. Mengidentifikasi tanda dan gejala adanya gangguan pada airway
4. Melakukan Penanganan masalah yang terjadi pada airway

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 27 tahun diantar temen kerjanya ke IGD dengan keluhan penurunan
kesadaran setelah terjatuh dari ketinggian lantai 5 saat mengecat gedung. Tampak banyak luka ditubuh
pasien, tampak jejas di atas klavicula. Hasil pemeriksaan di IGD terdengar suara gurgling, GCS
E3V3M4. hasil tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi nafas 20 x/emnit, frekuensi nadi 98 x/menit,
SpO2 89%.

Pertanyaan minimal :

1. Sebutkan definisi dan tujuan dari pembebasan jalan nafas?


2. Alat apa saja yang dibutuhkan untuk membebaskan jalan nafas?

Masalah Keperawatan :
1. Bersihan Jalan nafas tidak efektif
2. Pola nafas tidak efektif

23
AIRWAY MANAGEMEN

1. PENDAHULUAN
Tubuh dapat menyimpan makanan untuk berminggu-minggu dan air untuk berhari-
hari, tetapi tubuh hanya dapat menyimpan cadangan oksigen untuk beberapa menit
saja. Ketika suplemen oksigen terhenti, maka sel-sel otak mulai mengalami kematian
sejak 5 menit pertama. Sistem pernafasan memberikan suplai oksigen yang
dibutuhkan, selain itu pula berfungsi untuk mengeluarkan karbondioksida.
Pengelolaan airway menepati urutan terpenting dalam pengelolaan pasien trauma.
Menjaga airway yang adekuat merupakan prioritas utama dalam menangani pasien
trauma. sering kali kematian terjadi karena keterlambatan atau bahkan ketidak
mampuan mengenali dan menangani gangguan pada airway pasien. Gangguan yang
terjadi pada airway dapat berupa sumbatan yang menutup saluran nafas secara total
dan sebagian/ parsial. Penanganan airway dapat ditangani secara cepat dan tepat.
Airway dinyatakan tidak mengalami sumbatan ketika pasien masih bisa berbicara
dengan baik tanpa adanya suara tambahan.
Hal yang penting dan harus selalu diperhatikan khususnya pada pasien yang
mengalami multiple trauma selain penanganan airway harus pula selalu
memperhatikan untuk melakukan imobilisasi pada tulang leher/ servikal sebab pasien
yang mengalami multiple trauma kemungkinan besar mengalami patah tulang
servikal.

2. PATOFISIOLOGI
Terganggunya sistem respiratorik yang akan mempengaruhi dalam penyediaan
oksigen yang adekuat dan pelepasan karbondioksida diantaranya melalui:
 Hipoventilasi akibat hilangnya penggerak usaha bernafas yang biasanya
disebabkan oleh penurunan fungsi neurologis
 Hipoventilasi akibat adanya obstruksi aliran udara pada jalan nafas atas dan
bawah
 Hipoventilasi akibat penurunan absorbsi oksigen melalui membran alveolar
kapiler
 Hipoksia akibat penurunan aliran darah ke alveoli
 Hipoksia akibat ketidakmampuan udara untuk mencapai alveolus, biasanya
karena terisi oleh air atau debris

24
 Hipoksia pada tingkat seluler akibat penurunan aliran darah ke sel jaringan.

3. PENGELOLAAN
Adanya masalah gangguan pada jalan nafas dan pernafasan yang segera diatasi dapat
mengakibatkan kematian, maka pentingnya mengenali tanda dan gejala sangatlah
mempengaruhi dari kecepatan dan ketanggapan dalam mengatasi masaalah pada
airway.

25
PROSEDUR PEMASANGAN CERVICAL COLLAR

Tujuan: Digunakan untuk mensuport akibat terjadinya injury atau kerusakan cervikal dan
mempertahankan posisi lurus selama penyembuhan

NO. KOMPONEN

I. I.Pengkajian
Kaji adanya kemungkinan dan trauma/ fraktur cervical, dengan adanya tanda-tanda:
 Multiple trauma
 Truma kapitis dengan penurunan kesadaran
 Luka di atas clavikula
 Biomekanik trauma yang mendukung (riwayat jatuh, tabrakan)
II Perencanaan
Persiapan alat:
 Cervical collar sesuai ukuran
Persiapan pasien:
 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemasangan kepada pasien dan keluarga
 Memberi posisi supine
III Pelaksanaan
1. Kaji status neuromuskular pasien sebelum pemasangan
2. Anjurkan pasien untuk posisi kepalanya secara perlahan ke arah depan
3. Tempatkan cervical collar di depan leher pasien
4. Kancungkan/ fiksasi ke belakang leher
5. Jika ada keluhan collar terlalu menekan, lepaskan dan pasang kembali, bila ada
iritasi kulit atau gesekan lapisi dengan kapas untuk mengurangi gesekan
IV Evaluasi
1. Cek jalan nafas pasien dan status neurovaskuler
V Dokumentasi
1. Catat tipe dan ukuran cervical collar dan waktu serta tanggal pemasangan
2. Catat hasil pengkajian status neurovaskuler sebelum dan setelah pemasangan
3. Catat ketidaknyamanan pasien dan respon pasien

Keterangan : Banjarmasin,
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Fasilitator

26
PROSEDUR PEMASANGAN OROPHARYNGEAL AIRWAY/ OPA

Tujuan: Membebaskan jalan nafas akibat obstruksi saluran nafas oleh lidah yang jatuh ke
belakang, terutama pada pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran

NO. KOMPONEN

I. I.Pengkajian
 Kaji tingkat kesadaran pasien, prosedur ini dilakukan pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dan tidak dilakukan pada pasien yang sadar,
setengah sadar yang masih ada reflek muntah
 Telah dilakukan pembebasan jalan nafas secara manual tetapi tidak berhasil
 Suara nafas terdengar snoring/ ngorok (obstruksi oleh lidah yang jatuh)
 Pastikan tidak ada sumbatan jalan nafas oleh benda asing lainnya dari
oropharing pasien
II Perencanaan
Persiapan alat:
 Suction oropharing dan kateter suction
 Resusitasi bag/ oksigen bag
 Oropharyngeal airway/ OPA sesuai ukuran:
Ukuran sesuai usia
Bayi : 0
1-3 tahun :1
3-8 tahun : 2
Dewasa kecil : 3
Dewasa sedang : 4
Dewasa besar : 5, 6
Ukur panjang tube dari cuping hidung ke sudut bibir pasien
 Spatel yang sudah dilapisi kassa
 Sarung tangan disposible
Persiapan pasien:
 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemasangan kepada pasien dan keluarga
 Memberi posisi supine
III Pelaksanaan
1. Mencuci tangan dan gunakan sarung tangan disposible
2. Jika perlu lakukan suction
3. Tempatkan pasien pada posisi supine dengan leher hiperekstensi bila tidak ada
kontraindikasi
4. Gunakan spatel untuk menekan dan menempatkan lidah ke depan
5. Masukkan OPA dari sisi kanan ke oropharing
6. Tehnik yang lain, masukkan OPA ke dalam mulut menghadap ke atas
7. Setelah ujung OPA mencapai dinding posterior pharing, putar OPA 1800 sampai
dengan posisi yang tepat
8. Pada pasien anak gunakan spatel, jangan dengan merotasi
9. Setelah OPA terpasang beri posisi pasien miring
10. Auskultasi suara nafas pasien
IV Evaluasi
11. Auskultasi paru untuk meyakinkan ventilasi adekuat

27
12. Observasi ketat tingkat kesadaran pasien, bila pasien sadar OPA dilepaskan
13. Observasi komplikasi yang dapat timbul:
 Trauma bibir, lidah, gigi dan mukosa mulut
 Muntah dan aspirasi
 Hypoxia akibat aspirasi/ penempatan yang tidak tepat
 Obstruksi jalan nafas meningkat
V Dokumentasi
Catat tanggal dan waktu pemasangan, ukuran OPA

Keterangan : Banjarmasin,
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Fasilitator

28
PROSEDUR PEMASANGAN NASOPHARYNGEAL AIRWAY/ NPA

Tujuan:
 Mempertahankan jalan nafas bila pemasangan OPA adalah kontraindikasi atau gagal
dalam mempertahankan kepatenan jalan nafas
 Memberikan akses untuk suction melalui pharing
 Mencegah trauma hidung bila dilakukan suction secara berulang

NO. KOMPONEN

I. I.Pengkajian
 Kaji adanya obstruksi jalan nafas bagian atas oleh lidah atau jaringan lunak
(epiglotitis) pada pasien yang sadar atau tidak sadar dengan reflek batuk yang
baik
 Pemasangan OPA sulit dilakukan atau tidak mungkin dilakukan karena trauma
massive sekitar mulut (mandibulomaksilaris), operasi daerah mulut, trauma
pada wajah, gigi yang terlepas
 Pasien mengalami edema nasopharingeal atau sekresi nasal yang berlebihan
pada anak-anak
 Tidak dilakukan bila pasien mendapatkan terapi antikoagulan atau gangguan
perdarahan, sepsisi atau deformitas nasopharingeal patologik
II Perencanaan
Persiapan alat:
 NPA sesuai ukuran pasien, sesuai besarnya diameter hidung pasien, diukur
dari cuping hidung ke telinga bawah
 Ukuran yang direkomendasikan adalah:
Dewasa besar: 8-9 mm
Dewasa sedang : 7-8 mm
Dewasa kecil : 6-7 mm
 Sarung tangan disposible
 Xylocain jely
Persiapan pasien:
 Menjelaskan prosedur dan tujuan pemasangan kepada pasien dan keluarga
 Memberi posisi supine
 Pilih lubang hidung yang besar dan mudah terbuka, kaji lubang hidung
terhadap trauma, benda asing, deviasi septum, polip
III Pelaksanaan
1. Mencuci tangan dan gunakan sarung tangan disposible
2. Jika perlu lakukan suction
3. Siapkan nasal airway, gunakan prinsip aseptik
4. Keluarkan NPA dari kantongnya dan kaji kelembutannya
5. Lumasi ujung NPA
6. Bersihkan kelebihan sekret dari hidung pasien dengan tisu
7. Utamakan pemasangan pada lubang hidung sebelah kanan (pemilihan lubung
hidung sebelah kiri bisa tetapi bevel tidak dapat menghadap ke septum hidung
kecuali ujung dipotomg pada sudut yang berlawanan
8. Masukkan melalui dasar hidung dimana bevel menghadap septum nasal.
Masukkan terus ke belakng terus sambil dirotasi sedikit miring ke arah telinga

29
sampai seluruh bagian NPA mauk lubang hidung
9. Jika ada tahanan, sedikit dirotasi tube NPA dapat membantu memasukkan alat
mencapai hypopharing
10. Bersihkan kelebihan lubrikasi dari wajah dan hidung pasien
11. Kaji kembali kepatenan jalan nafas dan beri posisi pasien yang nyaman
12. Lepaskan sarung tangan dan masukkan ke dalam kantong kotor
13. Cuci tangan
IV Evaluasi
14. Kaji kondisi pasien sebelum dan setelah pemasangan
15. Observasi adanya epistaksis, aspirasi dan hypoksia akibat aspirasi atau kesalah
pemasangan
16. Kaji keluhan nyeri hebat ditelinga dan demam
V Dokumentasi
Catat tanggal dan waktu pemasangan
Catat ukuran NPA yang digunakan
Sekresi pada saat suction

Keterangan : Banjarmasin,
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Fasilitator

30
TOPIK 3
PENANGANAN HENTI JANTUNG/ BCLS

LEARNING OBJECTIVE

Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat:

1. Menjelaskan konsep D-R-C-A-B


2. Mengidentifikasi faktor penyebab, tanda gejala henti nafas dan henti jantung
3. Mengatasi masalah henti nafas dan henti jantung dengan teknik cardio pulmonary
resuscitation
4. Melakukan resusitasi jantung paru pasien dewasa dan bayi

SKENARIO

Seorang perempuan berusia 54 tahun ditemukan tergeletak pingsan di taman kota oleh petugas
kebersihan setempat, anda sedang bersepeda pagi hari tiba-tiba mendengar teiakan “tolong” dari
petugas kebersihan dan anda langsung menuju tempat kejadian dan menemukan korban. Korban
ditemukan menggunakan pakaian olahraga, berkeringat, dan dalam posisi telungkup di tengah jalan.

Apa yang akan anda lakukan?

Pertanyaan minimal :

1. Sebutkan tanda gejala henti nafas dan henti jantung?


2. Bagaimana tehnik melakukan resusitasi jantung paru pada pasien?

Masalah Keperawatan :
1. Penurunan curah jantung
2. Resiko perfusi jaringan serebral

31
PENDAHULUAN

Henti jantung (cardiac arrest) adalah suatu keadaan dimana sirkulasi darah
berhenti akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Secara klinis,
keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda sirkulasi
lainnya. Henti jantung dapat disebabkan oleh 4 irama:
 Fibrilasi ventrikel/ ventricular fibrilation (VF)
 Ventrikel takikardia tanpa nadi/ Pulseless ventricular tachycardia (VT)
 Pulseless Electrical Activity (PEA)
 Asistol
Untuk mengatasi henti jantung, diperlukan integrasi dari tindakan bantuan hidup
dasar (BHD), Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) serta perawatan pasca henti jantung.
Dasar keberhasilan BHJL adalah RJP yang berkualitas dan untuk kasus VF/ VT tanpa nadi
defibrilasi segera. Untuk kasus VF/ VT tanpa nadi yang disaksikan, RJP dan defibrilasi
segera akan meningkatkan survival korban.
Algoritme tatalaksana henti jantung yang baru menekankan pentingnya RJP yang
berkualitas. Interupsi terhadap RJP harus sesingkat mungkin dan hanya dilakukan untuk
menilai irama, melakukan kejut listrik, menilai denyut nadi saat terlihat organized rhythm dan
pemsangan alat bantu jalan nafas lanjut.
Selama alat bantu jalan nafas lanjut belum terpasang RJP dilakukan dalam siklus
30x kompresi dan 2x ventilasi. Kecepatan kompresi minimal 100x/menit. Setelah
pemasangan alat bantu jalan nafas pipa endotrakeal, RJP dialkukan dengan melakukan
kompresi tidak terputus dengan kecepatan minimal 100x/ menit. Penolong yang memberikan
ventilasi memberikan nafas bantuan 1x nafas tiap 6-8 detik (8-10x/ menit). dan harus hati-hati
untuk tidak memberikan ventilasi berlebihan.
Satu-satunya terapi yang spesifik terhadap irama yang akan meningkatkan
survival korban henti jantung adalah defibrilasi. Karenanya defibrilasi merupakan bagian
integral dari siklus RJP pada saat irama menunjukkan VF/ VT tanpa nadi. Intervensi BHJL
lain berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan kembalinya sirkulasi spontan ireturn
of spontaneous circulation/ ROSC), tetapi tidak terbukti meningkatkan survival korban
hingga dapat keluar rumah sakit.Karenanya pemasangan akses pembuluh darah, pemberian
obat dan pemasangan alat bantu jalan nafas tidak boleh menyebabkan penundaaan atau
interupsi terlalu lama terhadap kompresi dan defibrilasi.

32
Irama jantung selama resusitasi dapat berubah. Pada kasus demikian, tatalaksana
harus disesuaikan dengan irama yang ada. Misalnya penolong harus siap untuk memberikan
kejut listrik bila penderita yang awalnya asistol/ PEA pada suatu waktu berubah menjadiVF/
VT tanpa nadi pada saat penilaian irama. Obat-obatan yang diberikan selama resusitasi harus
diawali dan dicatat. Obat-obatan yang dimiliki dosis maksimal harus ditabulasi untuk
menghindari toksisitas. Jika korban akhirnya memilki sirkulasi spontan, segera lakukan
perawatan pasca henti jantung untuk mencegah korban kembali jatuh ke keadaan henti
jantjng dan meningkatkan kemungkinan korban untuk selamat dengan fungsi neurologis yang
baik.

1. KASUS VF/ VT TANPA NADI


Tujuan pembelajaran:
Pada akhir pembelajaran diharapkan mahasiswa mampu:
 Mengidentifikasi penderita yang mengalami VF/ VT tanpa nadi
 Memahami tatlaksana VF/ VT tanpa nadi

Definisi
Ventricular Fibrilation (VF) dikenali dengan bentuk gambaran gelombang yang naik
turun dalam berbagai bentuk dan amplitudo gelombang yang berbeda-beda,
menimbulkan gambaran seperti cacing yang bergerak naik turun dan tidak berarturan.
Tidak tampak komplek QRS atau segmen ST atau gelombang T. Fibrilasi halus ditandai
dengan amplitudo gelombang kurang dari0,2 mv yang sering ditemukan pada kasus VF
yang sudah lama dan gambaran ini mirip atu menyerupai gambaran asistol.

Etiologi

Penyebab terbesar dari keadaan ini berhubungan dengan penyakit jantung koroner,
akumulasi ion Ca, adanya radikal bebas, gangguan metabolik sel, modulasi outonom dsb.
Sel yang iskemia atau mati menjadi salah satu pencetusnya. Gangguan elektrolit (hipo-K
dan Mg), toksisitas obat seperti digitalis, phenothiazine, antidepresan. Biasanya
merupakan kelanjutan VT, dapat berubah menjadi VF dalam hitungan detik atau menit.
Kadang-kadang torsade de pointes berubah menjadi VF.

Gambaran Klinik

Gambaran klinik VF dalah gambaran henti jantung dan henti nafas. Pda kondisi ini
jantung hanya bergetar saja, tidak mampu bekerja sebagai pompa, terjadi kematian klinis
yang dapat berlanjut menjadi kematian biologis. Penderita biasanya sudah tidak sadar.

33
Tatalaksana

Tatalaksana VF sama dengan VT tanpa denyut nadi


Lakukakn survei primer ABCD dan lakukan dengan RJP sambil menunggu alat kejut
listrik datang. Ketika alat monitor EKG beserta kejut listrik datang, pasang sadapan
segera pada penderita tanpa menghasilkan RJP. Setelah terpasang, hentikan RJP sejenak
(tidak boleh lebih dari 10 detik) dan lihat di monitor irama apakah yang terlihat. Bila
terlihat VT/VF, lakukan kejut listrik unsynchonizeddengan energi 360 joule untuk kejut
listrik monofasik atau 200 J untuk kejut listrik bifasik. Lalu lakukan RJP selama 5 siklus
(2 menit) dan setelah itu lihat kembali monitor EKG. Bila masih terdapat VT/VF,
kembali lakukan kejut listrik 360 J, lakukan RJP lagi 5 siklus dan bila jalur IV sudah
terpasang berikan epinephrine 1 mg IV/IO yang dapat diulang setiap 3-5 menit. Obat lain
yang dapat diberikan adalah vasopresin dengan dosis 40 U IV/IO. Khusus untuk obat
vasopresin hanya diberikan satu kali saja sampai RJP selesai. Kemudian lakukan survei
sekunder, lakukan intubasi. Setelah RJP selama 2 menit lihat kembali monitor EKG, bila
tetap VT/ VF kembali lakukan kejut listrik 360 J, diteruskan kembali RJP 2 menit dan
diberikan obat amiodarone 300 mg IV/IO.

Setelah RJP selama 2 menit lihat kembali monitor EKG, bila masih terdapat VT/ VF,
kembali lakukan kejut listrik 360 J dan lakukan RJP selama 2 menit serta berikan
epinephrine 1 mg IV/ IO. Setelah RJP selama 2 menit lihat kembali monitor, bila
ternyata masih VT/ VF lakukan kejut listrik 360 J dan RJP selama 2 menit diteruskan,
berikan obat amiodarone 150 mg IV/ IO.

Berikutnya lihat monitor lagi setelah 2 menit RJP, bila masih VT/ VF lakukan kejut
listrik 360 J, Lakukan RJP selama 2 menit dan berikan epinephrine 1 mg IV/IO, setelah
RJP selama 2 menit lihat lagi monitor, bila masih VT/ VF lakukan kejut listrik 360 J dan
RJP kembali selama 2 menit. Obat alternatif lain yang dapat diberikan adalah lidokain.

34
Intubasi trakea dapat dilakukan pada saat pemerian epinephrine atau amiodarone yang
pertama.

Bila pemerian oksigen dapat berlangsung denga baik, intubasi trakea bida ditunda dan
tidak perlu dilakukan sesegera mungkin pada kasus henti jantung yang terjadi di depan
kita. Namun pada kasus henti jantung yang tidak terjadi disaksikan intubasi dilakukan
sesegera mungkin, karena kita tidak tahu secara pasti berapa lama penderita itu sudah
tidak bernafas sebelum sampai ke tempat kita.

Lidokain dapat dihunakan bila amiodaron tidak ada. Dosis lidokain 1-1,5 mg/kgBB
IV/IO dosis awal dan diikuti 0,5-0,75 mg/kgBB sampai dosis maksimal 3 mg/kgBB.

Mganesium dengan dosis 1-2 gr IV/IO dih=gunakan untuk torsade de Pointes. Bila
terdapat perubahan irama pasca kejut listrik/ RJP, maka tatalaksana selanjutnya sesuai
dengan irama/ klinis penderita saat itu. Lakukan penilaian setelah sirkulasi spontan
kembali (ada denyut nadi, irama berubah). Nilai kembali ABC nya, penambahan obat
tergantung dari klinis penderita pasca sirkulasi spontan kembali.

Ketika melihat irama di monitor, RJP dihentikan sementara paling lama 10 detik. Bila
terlihat VF/VT, maka tetap perintahkan RJP sementara kita melakukan pengisian energi
360 J untuk kejut listrik monofasik atau 200 J untuk kejut listrik bifasik. Setelah energi
sudah penuh barulah kita melakukan kejut listrik dengan sebelumnya mengatakan “saya
bebas, (pemegang kejut listrik tidak bersinggungan/ bersentuhan dengan penderita),
“kamu bebas” (semua teman penolong lainnya juga tidak bersinggungan atau
bersentuhan dengan penderita), “semua bebas” (semua yang ada di tempat tindakan tidak
bersinggungan/ bersentuhan dengan penderrita), barulah energi listrik tersebut
dilepaskan. Sikap demikian diulang setiap akan meberikan kejut listrik.

2. KASUS PEA/ ASISTOL


Tujuan pembelajaran:
Pada akhir pembelajaran diharapkan mahasiswa mampu:
 Memahami dan mengenali PEA dan asistol
 Melakukan tatalaksana PEA/ asistol menurit algoritma henti jantung
 Mengetahui penyebab paling sering PEA/ asistol

35
Definisi

Aktivitas listrik tanpa denyut (Pulseless Electrical Activity (PEA) adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan adanya gambaran elektrik pada monitor EKG,
tetapi tidak ditemukan denyut nadi pada perabaan arteri karotis. PEA merupakan
suatu keadaan henti jantung dan henti nafas. Sebenarnya pada keadaan ini ventrikel
masih berkontraksi tetapi tidak cukup kuat menimbulkan pulsasi sampai pembuluh
darah.

Asistol merupakan keadaan pada saat jantung berhenti berkontraksi. Keadaan ini
merupakan puncak dari perjalanan henti jantung. Pada VT, VF dan PEA jantung
masih dapat bergerak walaupun tidak dapat memompa darah, tetapi pada asistol
jantung benar-benar berhenti total. Penyebab keadaan ini adalah sama dengan
penyebab henti jantung lainnya.

Gambaran EKG

Gambaran EKG pada PEA dapat bermacam-macam, tetapi pada keadaan ini irama
yang timbul di jantung tidak mampu membuat suatu aktivitas mekanik ventrikel atau
bisa saja terdapat aktivitas mekanik pada ventrikel tetapi tidak cukup utnuk membuat
terabanya nadi. Biasanya gambaran EKG berupa komplek QRS yang lebar dengan
frekuensi kurang dari 20x/mnt. Gambaran EKG ini dikenal dengan irama
idioventrikuler. Gambaran asistol adalah garis lurus tanpa aktivitas ventrikel (tidak
tampak komplek QRS).

36
Tatalaksana PEA/ asistole

Setelah CAB dilakukan, RJP dikerjakan sambil menunggu bantuan datang. Ketika
alat monitor dan kejut listrik datang, segera pasang lead monitor ke penderita tanpa
menghentikan RJP. Setelah lead terpasang, hentikan RJP paling lama 10 detik untuk
melihat irama pada monitor EKG. Bila ternyata terdapat irama terorganisasi, lakukan
perabaan karotis. Bila tidak terdapat denyut karotis maka keadaan ini disebut PEA.

Pada asistol, pertolongan yang diberikan sama dengan pertolongan pada PEA. Saat
monitor datang, ketika sadapan elektroda sudah terpasang dan RJP dihentikan
sementara, kita melihat monitor akan terlihat gambaran garis lurus. Beberapa
tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan pemeriksaan alat/ monitor,
misalnya:

 Apakah sadapan eletrodanya terpasang baik, tidak ada yang terlepas?


 Apakah sambungan sadapan elektroda dengan konektor alat kejut listrik
terpasang baik?
 Apakah baterai DC terpasang?
 Apakah kabel listrik alat DC tersambung baik?
 Apakah aliran listrik ada atau tidak?

37
Tujuan:

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi melalui pengenalan dan


intervensi segera
2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari pasien yang
mengalami henti jantung atau henti nafas melalui RJP
3. Memberikan oksigen ke otak, jantung dan organ-organ vital lainnya untuk sementara
pada kondisi emergency sampai dengan datangnya penanganan medik yang tepat
untuk mengembalikan fungsi jantung dan ventilasi normal, pada henti nafas dan henti
jantung

NO. KOMPONEN

I. I.Danger
1. Kaji bahaya yang ada dan sumber daya yang ada
2. Proteksi diri minimal menggunakan sarung tangan
II. Circulation
3. Periksa tingkat kesadaran pasien (Cek respon pasien dengan AVPU)
4. Periksa nadi carotis tidak boleh lebih 10 detik (AHA 2005)
5. Unresponsive, melakukan panggilan darurat/ call for help (penolong non petugas
kesehatan tidak dianjurkan memeriksa denyut nadi)
6. Mengambil posisi untuk kompresi dada (berlutut dengan paha rapat sejajar bahu
pasien jika pasien berbaring di bawah/ berdiri disamping pasien jika pasien
berbaring di tempat tidur)
7. Menentukan lokasi kompresi dada pada setengah bawah sternum pasien (posisi
tangan pertama di atas sternum, tangan satunya di atas tangan yang sudah berada
di sternum. Jari-jari saling mengunci/ interlocking)
8. Melakukan kompresi dada dengan frekuensi 100x/mnt dengan kedalaman minimal
2 inchi/ 5 m (untuk pasien dewasa) dan sedikit interupsi
III. Airway
9. Membuka jalan nafas pasien
 Pasien tidak dicurigai cedera servical dengan head tilt-chin lift
 Pasien dicurigai cedera servical dengan jaw thrust
IV. Breathing
10. Memberikan nafas buatan sebanyak 2 kali dalam waktu 1 detik (sesuai volume
tidal)
V. 11. Rasio kompresi dada:ventilasi 30:2
12. Lakukan RJP selama 5 siklus/ 2 menit
13. Setelah 5 siklus, lakukan pemeriksaan kesadaran pasien dengan meraba denyut
nadi carotis
 Jika teraba nadi carotis, hentikan RJP dan berikan posisi paten
 Tidak teraba nadi carotis, lanjutkan RJP minimal selama 20-30 menit. Dengan
tiap 2 menit/ 5 siklus melakukan memeriksaan denyut nadi
VI. 12. Dokumentasi
RJP dhentikan jika:
 Penolong sudah melakukan bantuan secara optimal dan mengalami kelelahan
 Petugas medis sudah tiba
 Adanya tanda-tanda kematian

38
 Bantuan hidup dasar dilaksanakan minimal 20-30 menit

Keterangan : Banjarmasin,
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Fasilitator

39
40
Keterangan : Banjarmasin,
0 = Tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan tetapi tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna Fasilitator

41
DAFTAR PUSTAKA

Bunga, A.L. Taringan, E. (2013). Prosedur Keterampilan Klinik Keperawatan Medikal


Bedah. Jakarta: STIK Sint Carolus
Emergency Nurses Association. (2006). Sheehy’s Manual of Emergency Care, 6th Ed
Hudak, C & Gallo, B & Morton P. (2007). Critical Care Nursing: A Holistic Approach.
Philadelphia Lipincott
Kozier, B. Erb, G. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 7. Jakarta: EGC
Kusyati, E. Mustaida. Fauziyah, N. (2006). Keterampilan dan Prosedur Laboratorium.
Jakarta: EGC
Patricia, A. Potter, A. 2009. Fundamental of Nursing 7th Edition. Jakarta: Salemba Medika
Widani, N. L. Suprapti, F. (2010). Prosedur Keterampilan Klinik Keperawatan Gawat
Darurat-Kritis. STIK Sint Carolus

42
DAFTAR NAMA KELOMPOK & JADWAL SKILLS LABORATORIUM
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SEMESTER VI TAHUN AJARAN 2018/2019

Kelompok I Kelompok II
PENGKAJIAN BCLS
KEGAWATDARURATAN
Dem: Rabu, 3 April 2019 Dem: Rabu, 3 April 2019
(08.00 - 09.00 WITA) (08.00 - 09.00 WITA)
Red: Rabu, 3 April 2019 Red: Rabu, 3 April 2019
(09.00 – 10.40 WITA) (09.00 – 10.40 WITA)
BCLS PENGKAJIAN
KEGAWATDARURATAN
Dem: Rabu, 10 April 2019 Dem: Rabu, 10 April 2019
(08.00 - 09.00 WITA) (08.00 - 09.00 WITA)
Red: Rabu, 10 April 2019 Red: Rabu, 10 April 2019
(08.00 - 09.00 WITA) (08.00 - 09.00 WITA)
1. Albert Fernando Putra Jefry 1. David Abraham Nathanael Esra
2. Fandi Jumaedy 2. I Gusti Ngurah Kasdiana Putra
3. I Wayan Wahyu Angga Kesuma 3. Irfan Kurniadi
4. Irwan Dwi Efron 4. Ojie Wiguna Pratama
5. Desiana Boru Sihombing 5. Untung Adinata
6. Devia Ferina 6. Aremia Vanesha
7. Ester Elizabeth Kartini 7. Erda
8. Fitria Elviani 8. Estermila
9. Grace Novemi Lidim 9. Florida Oktavia Utami
10. Indah Permata Dewi 10. Kirana Maria Sella
11. Maria Eka Nisfida 11. Meivani Angelia Radensiang
12. Melania Octavia Tappi 12. Mia
13. Muliani 13. Novaliana
14. Resti Juliawati 14. Siti Sri Rezky
15. Susi Susanti 15. Tesalonika Jayadara
16. Tirza Agustin 16. Varissa
17. Vena 17. Warni
18. Yohana Vetrinela 18. Yosepha Tanono
19. Yosua Krismon 19. Elence Y
OSCE
Rabu, 24 April 2019

43
DAFTAR HADIR SKILLS LABORATORIUM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SEMESTER VI TAHUN AJARAN 2018/2019

DOSEN PENGAMPU :
PROSEDUR :
No. Nama Mahasiswa Demonstrasi Redemonstrasi
1 Albert Fernando Putra Jefry

2 Fandi Jumaedy

3 I Wayan Wahyu Angga


Kesuma
4 Irwan Dwi Efron

5 Yosua Krismon

6 Desiana Boru Sihombing

7 Devia Ferina

8 Ester Elizabeth Kartini

9 Fitria Elviani

10 Grace Novemi Lidim

11 Indah Permata Dewi

12 Maria Eka Nisfida

13 Melania Octavia Tappi

14 Muliani

15 Resti Juliawati

16 Susi Susanti

17 Tirza Agustin

18 Vena

19 Yohana Vetrinela

20 Yosua Krismon

Paraf Dosen

44
DAFTAR HADIR SKILLS LABORATORIUM KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SEMESTER VI TAHUN AJARAN 2018/2019

DOSEN PENGAMPU :
PROSEDUR :
No. Nama Mahasiswa Demonstrasi Redemonstrasi
1 David Abraham Nathanael Esra

2 I Gusti Ngurah Kasdiana Putra

3 Irfan Kurniadi

4 Ojie Wiguna Pratama

5 Untung Adinata

6 Aremia Vanesha

7 Erda

8 Estermila

9 Florida Oktavia Utami

10 Gusti Lisna Lina

11 Kirana Maria Sella

12 Meivani Angelia Radensiang

13 Mia

14 Novaliana

15 Siti Sri Rezky

16 Tesalonika Jayadara

17 Varissa

18 Warni

19 Yosepha Tanono

Paraf Dosen

45
DAFTAR PESERTA OSCE SKILL LABORATORIUM
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SEMESTER VI ANGKATAN X TAHUN AJARAN 2018/2019

PROSEDUR :

PENGUJI :

NO NAMA MAHASISWA NILAI (0-100) TANDA TANGAN

1
Albert Fernando Putra Jefry
2
Aremia Vanesha
3
David Abraham Nathanael Esra
4
Desiana Boru Sihombing
5
Devia Ferina
6
Erda
7
Ester Elizabeth Kartini
8
Estermila
9
Fandi Jumaedy
10
Fitria Elviani
11
Florida Oktavia Utami
12
Grace Novemi Lidim
13
Gusti Lisna Lina
14
I Gusti Ngurah Kasdiana Putra
15
I Wayan Wahyu Angga Kesuma
16
Indah Permata Dewi
17
Irfan Kurniadi
18
Irwan Dwi Efron
19
Kirana Maria Sella

46
20
Maria Eka Nisfida
21
Meivani Angelia Radensiang
22
Melania Octavia Tappi
23
Mia
24
Muliani
25
Novaliana
26
Ojie Wiguna Pratama
27
Resti Juliawati
28
Siti Sri Rezky
29
Susi Susanti
30
Tesalonika Jayadara
31
Tirza Agustin
32
Untung Adinata
33
Varissa
34
Vena
35
Warni
36
Yohana Vetrinela
37
Yosepha Tanono
38
Yosua Krismon
39
Maria Eka Nisfida

Banjarmasin, ............................................2019
Penguji

(Dwi Martha Agustina, S. Kep., Ns. M. Kep)

47
48

Вам также может понравиться